Minggu, 28 Juni 2009

Gereja dalam Pemilu President 2009

“POSISI GEREJA DALAM PEMILU PRESIDENT 2009”

*Yoyarib Mau

Pemilu President pada 08 Juni 2009 cukup menyita perhatian Warga Negara Inodensia yang di dalamnya ada Warga Gereja, mengapa demikian karena apapun pertimbangannya Warga Gereja yang otomatis Warga Negara Indonesia memiliki hak dan akan menggunakanya dalam pemilihan president 2009, salah satu isu politik yang cukup santer dan berpengaruh di Indonesia yang dapat di jadikan komoditas politik untuk menarik dukungan adalah isu Agama, selain isu lain seperti Mashab Ekonomi (Neoliberal – Ekonomi Kerakyatan), Nasionalisme, Pendidikan, Hukum dan HAM, Tata Kelola Pemerintahan.
Namun dari isu-isu politik diatas yang dianggab sangat sensitive karena dapat menimbulkan konflik horizontal dan juga dapat menjadi propaganda kampanye hitam (black campaign) dan juga meningkatkan keterpilihan para pasangan kandidat capres-cawapres. Isu-isu yang berhubungan dengan agama jelang pilpres 2009 adalah para calon Ibu Negara dengan cara berpakaian ada pasangan yang dianggab tidak mewakili mayoritas wanita muslim karena tidak mengunakan kerudung. Pendekatan dan silaturahmi dengan berbagai ulama atau petinggi organisasi keagamaan seperti yang dilakukan, dan klaim dukungan dari organisasi keagamaan guna mendapatkan dukungan dari basis organisasi tersebut.
Institusi Gereja menjadi salah satu primadona dalam tarik-menarik dukungan dalam pemilu president, bukan hanya kali ini tetapi sepanjang sejarah dunia dan di belahan dunia permasalahan tarik-menarik lembaga keagamaan telah ada. Karena Agama Kristen dalam hal ini institusi Gereja dalam sejarah tidak hanya sebagai kelompok social yang minoritas yang hanya menjadi pendukung dalam pemerintahan Negara tetapi pernah menjadi agama resmi imperium Romawi, dan pernah imperium melakukan ekspansi kekuasan yang sekaligus melakukan penyebaran agama atas wilayah yang ditaklukan. Akhirnya dapat dikatakan bahwa Agama Kristen (baca : Gereja) memiliki dimensi politik, pemikiran ini menimbulkan pertanyaan yang perlu kita bahas bersama yakni; Bagaimana Institusi Gereja memberikan sumbangsinya bagi proses politik jelang pemilu president 2009?.
Dari pemikiran di atas dapat memberikan gambaran bahwa gereja pun turut memiliki andil dalam politik, konteks saat ini pemilu president, warga gereja memiliki kepentingan untuk menentukan arah bangsa ini 5 (lima) tahun kedepan dengan menentukan pilihan politiknya, kepentingan politik warga gereja disambangi oleh para kandidat cawapres seperti yang dilakukan oleh pasangan JK-Wiranto dengan mengunjungi dan melakukan dialog dengan Pengurus Pusat PGI (Persatuan Gereja Indonesia), Prabowo Subianto beberapa waktu lalu hadir dalam Pertemuan Kebaktian Tahunan Gereja-gereja Injili - tahun 2009 di Batu – Malang, mengenai pasangan SBY – Boediono penulis tidak mendaptkan informasi pasti mengenai pasangan ini dalam melakukan hubungan dengan institusi gereja, namun yang digembor-gemborkan bahwa Istri Boediono adalah seorang penganut ajaran Katolik.
Sebenarnya Agama (baca : Gereja) dan Politik adalah dua hal yang berbeda tetapi dalam kehidupan masyarakat, kedua hal ini saling bersinggungan bahkan sering berbenturan dalam melakukan fungsinya, pemilu diharapkan agar semua warga Negara yang didalamnya warga gereja turut memberikan hak politiknya, namun di satu sisi hak nya sebagai warga Negara terkadang mengalami pemasungan karena tempat Ibadahnya ditutup atau bahkan tidak diberikan surat ijin untuk mendirikan rumah ibadah. Padahal sebagai warga Negara semua berhak atas perlindungn Negara bahkan konstitusi negara dalam UUD 1945 pasal 29, mengatur tentang jaminan dan perlindungan terhadap warga Negara namun dalam realisasi kepemimpinan bertolak belakang (terakhir : Pencabutan Surat IMB pembangunan gedung gereja HKBP Cinere). Hal ini membuat gereja terkadang bersikap a-politis, apatis terhadap politik (GOLPUT), pasrah terhadap keadaan dan beriman saja bahwa pasti Tuhan tolong.
Gereja dalam Iman-nya kepada Yesus Kristus tetap harus menjalankan apa yang diharapkan oleh Yesus sebagai kepala Gereja, bahkan dalam Injil dicatat dalam Surat Roma 13 : 1-7 memuat hubungan warga gereja dengan pemrintah, hal ini menunjukan kepatuhan warga gereja kepada Negara. Proses bernegara adalah proses politik karena berkaitan dengan masalah kekuasaan (decision making), kebijakan public (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution) sumber daya yang ada (Miriam Budiardjo – 2008), Gereja dalam kehidupan bermasyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang maksimal dari penguasa yang menguasai kekuasaan, dari kebijakan-kebijakan yang di terbitkan baik itu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, bahkan Peraturan Daerah. Tidak hilang dari ingatan kita tentang kontrovesi yang lalu tentang beberapa produk Undang-Undang yang sempat menuai protes dari lembaga gerejawi yakni; Undan-Undang Sisdiknas (Sistim Pendidikan Nasional), SKB dua Menteri (Menteri Agama danMenteri Dalam Negeri) tentang pendirian rumah Ibadah serta Perda Syariah di sejumlah wilayah yang dapat mengancam eksistensi gereja dan lainnya.
Gereja terkadang hanya memiliki pemikiran yang sempit dimana pasrah dengan keadaan dan berharap akan mujizat Tuhan, padahal Gereja dituntut untuk berperan dalam proses politik, sedangkan politik menurut Harold D. Laswell adalah “masalah siapa mendapat, apa, kapan dan bagaimana”? ( Miriam Budiardjo – 2008) peran politik Gereja perlu juga memikirkan apa yang di ungkapkan oleh Laswell namun bukan pada tataran berebut mendapatkan kekuasaan tetapi bagaimana peran politik gereja guna mendapatkan hak-hak nya sebagai warga gereja bahkan eksistensinya sebagai Institusi Sosial yang menaungi sejumlah warga gereja, sehingga konteks perjuangan gereja adalah menyuarakan suara kenabian.
Kekuasaan berhubungan dengan pengelolan penerapan keadilan kepada seluruh warga Negara yang didalamnya termasuk warga gereja, sehingga peran Institusi Gereja tidak hanya memberikan siraman rohani untuk memenuhi kebutuhan spiritual warga gereja tetapi bagaimana menyuarakan suara kenabian guna adanya keadilan dan pelayanan pemerintah kepada warga gereja, menjadi salah jika ada kesalahan yang penguasa lakukan gereja berdiam diri dan tidak tegas untuk menyatakan protes bahwa hal ini salah.
Pemilu President saat ini Gereja tidak pada posisi perjuangan politik gereja untuk mencapai kekuasaan atau merebut kekuasaan tetapi bagaimana menyuarakan suara kenabian (pendidikan politik) bagi warga gereja untuk menentukan pilihan politik yang benar dimana memilih pemimpin yang memiliki visi, misi dan program yang jelas terutama komitmentnya terhadap eksistensi gereja dan pelayanannya.
Jika di hubungkan dengan pemikiran Laswell bahwa “masalah siapa mendapat apa?” perlu digaris bawahi bahwa siapa mendapat apa di sini, bukan pada tataran gereja melakukan bergaining posision untuk mendapatkan jabatan structural dalam Kabinet (jabatan menteri), atau mendapatkan alokasi dana tertentu? Tetapi maksud mendapatkan apa? disini adalah bagaimana gereja mendapatkan perlakukan yang sama di mata hukum, mendapatkan pelayanan pemerintahan tanpa membedakan mayoritas dan minoritas, dapat mendirikan rumah ibadah dengan baik tanpa ada pembatasan.
Posisi Gereja dalam melakukan pendidikan politik dalam mengarahkan warga gereja untuk terlibat dalam proses politik tidak hanya sekedar mengarahkan untuk memilih calon berdasarkan hati, tetapi perlu ada penegasan bahwa dalam pemilihan president pada tanggal 08 Juli 2009 ini, warga gereja diharapkan memilih pemimpin yang memiliki visi, misi dan program yang jelas memiliki komitment untuk menjamin eksistensi gereja, kepentingan gereja, serta berkomitment untuk merevisi segala peraturan-pemerintah yang menimbulkan disparitas, menghambat pembangunan gereja dan mampu menciptakan kehidupan bersama serta menjaga “ideology negara” dalam hal ini Pancasila sebagai satu-satunya asas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah di sepakati oleh the founding father.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Nomor Pokok Mahasiswa : 0806383314




















“POSISI GEREJA DALAM PEMILU PRESIDENT 2009”

*Yoyarib Mau

Pemilu President pada 08 Juni 2009 cukup menyita perhatian Warga Negara Inodensia yang di dalamnya ada Warga Gereja, mengapa demikian karena apapun pertimbangannya Warga Gereja yang otomatis Warga Negara Indonesia memiliki hak dan akan menggunakanya dalam pemilihan president 2009, salah satu isu politik yang cukup santer dan berpengaruh di Indonesia yang dapat di jadikan komoditas politik untuk menarik dukungan adalah isu Agama, selain isu lain seperti Mashab Ekonomi (Neoliberal – Ekonomi Kerakyatan), Nasionalisme, Pendidikan, Hukum dan HAM, Tata Kelola Pemerintahan.
Namun dari isu-isu politik diatas yang dianggab sangat sensitive karena dapat menimbulkan konflik horizontal dan juga dapat menjadi propaganda kampanye hitam (black campaign) dan juga meningkatkan keterpilihan para pasangan kandidat capres-cawapres. Isu-isu yang berhubungan dengan agama jelang pilpres 2009 adalah para calon Ibu Negara dengan cara berpakaian ada pasangan yang dianggab tidak mewakili mayoritas wanita muslim karena tidak mengunakan kerudung. Pendekatan dan silaturahmi dengan berbagai ulama atau petinggi organisasi keagamaan seperti yang dilakukan, dan klaim dukungan dari organisasi keagamaan guna mendapatkan dukungan dari basis organisasi tersebut.
Institusi Gereja menjadi salah satu primadona dalam tarik-menarik dukungan dalam pemilu president, bukan hanya kali ini tetapi sepanjang sejarah dunia dan di belahan dunia permasalahan tarik-menarik lembaga keagamaan telah ada. Karena Agama Kristen dalam hal ini institusi Gereja dalam sejarah tidak hanya sebagai kelompok social yang minoritas yang hanya menjadi pendukung dalam pemerintahan Negara tetapi pernah menjadi agama resmi imperium Romawi, dan pernah imperium melakukan ekspansi kekuasan yang sekaligus melakukan penyebaran agama atas wilayah yang ditaklukan. Akhirnya dapat dikatakan bahwa Agama Kristen (baca : Gereja) memiliki dimensi politik, pemikiran ini menimbulkan pertanyaan yang perlu kita bahas bersama yakni; Bagaimana Institusi Gereja memberikan sumbangsinya bagi proses politik jelang pemilu president 2009?.
Dari pemikiran di atas dapat memberikan gambaran bahwa gereja pun turut memiliki andil dalam politik, konteks saat ini pemilu president, warga gereja memiliki kepentingan untuk menentukan arah bangsa ini 5 (lima) tahun kedepan dengan menentukan pilihan politiknya, kepentingan politik warga gereja disambangi oleh para kandidat cawapres seperti yang dilakukan oleh pasangan JK-Wiranto dengan mengunjungi dan melakukan dialog dengan Pengurus Pusat PGI (Persatuan Gereja Indonesia), Prabowo Subianto beberapa waktu lalu hadir dalam Pertemuan Kebaktian Tahunan Gereja-gereja Injili - tahun 2009 di Batu – Malang, mengenai pasangan SBY – Boediono penulis tidak mendaptkan informasi pasti mengenai pasangan ini dalam melakukan hubungan dengan institusi gereja, namun yang digembor-gemborkan bahwa Istri Boediono adalah seorang penganut ajaran Katolik.
Sebenarnya Agama (baca : Gereja) dan Politik adalah dua hal yang berbeda tetapi dalam kehidupan masyarakat, kedua hal ini saling bersinggungan bahkan sering berbenturan dalam melakukan fungsinya, pemilu diharapkan agar semua warga Negara yang didalamnya warga gereja turut memberikan hak politiknya, namun di satu sisi hak nya sebagai warga Negara terkadang mengalami pemasungan karena tempat Ibadahnya ditutup atau bahkan tidak diberikan surat ijin untuk mendirikan rumah ibadah. Padahal sebagai warga Negara semua berhak atas perlindungn Negara bahkan konstitusi negara dalam UUD 1945 pasal 29, mengatur tentang jaminan dan perlindungan terhadap warga Negara namun dalam realisasi kepemimpinan bertolak belakang (terakhir : Pencabutan Surat IMB pembangunan gedung gereja HKBP Cinere). Hal ini membuat gereja terkadang bersikap a-politis, apatis terhadap politik (GOLPUT), pasrah terhadap keadaan dan beriman saja bahwa pasti Tuhan tolong.
Gereja dalam Iman-nya kepada Yesus Kristus tetap harus menjalankan apa yang diharapkan oleh Yesus sebagai kepala Gereja, bahkan dalam Injil dicatat dalam Surat Roma 13 : 1-7 memuat hubungan warga gereja dengan pemrintah, hal ini menunjukan kepatuhan warga gereja kepada Negara. Proses bernegara adalah proses politik karena berkaitan dengan masalah kekuasaan (decision making), kebijakan public (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution) sumber daya yang ada (Miriam Budiardjo – 2008), Gereja dalam kehidupan bermasyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang maksimal dari penguasa yang menguasai kekuasaan, dari kebijakan-kebijakan yang di terbitkan baik itu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, bahkan Peraturan Daerah. Tidak hilang dari ingatan kita tentang kontrovesi yang lalu tentang beberapa produk Undang-Undang yang sempat menuai protes dari lembaga gerejawi yakni; Undan-Undang Sisdiknas (Sistim Pendidikan Nasional), SKB dua Menteri (Menteri Agama danMenteri Dalam Negeri) tentang pendirian rumah Ibadah serta Perda Syariah di sejumlah wilayah yang dapat mengancam eksistensi gereja dan lainnya.
Gereja terkadang hanya memiliki pemikiran yang sempit dimana pasrah dengan keadaan dan berharap akan mujizat Tuhan, padahal Gereja dituntut untuk berperan dalam proses politik, sedangkan politik menurut Harold D. Laswell adalah “masalah siapa mendapat, apa, kapan dan bagaimana”? ( Miriam Budiardjo – 2008) peran politik Gereja perlu juga memikirkan apa yang di ungkapkan oleh Laswell namun bukan pada tataran berebut mendapatkan kekuasaan tetapi bagaimana peran politik gereja guna mendapatkan hak-hak nya sebagai warga gereja bahkan eksistensinya sebagai Institusi Sosial yang menaungi sejumlah warga gereja, sehingga konteks perjuangan gereja adalah menyuarakan suara kenabian.
Kekuasaan berhubungan dengan pengelolan penerapan keadilan kepada seluruh warga Negara yang didalamnya termasuk warga gereja, sehingga peran Institusi Gereja tidak hanya memberikan siraman rohani untuk memenuhi kebutuhan spiritual warga gereja tetapi bagaimana menyuarakan suara kenabian guna adanya keadilan dan pelayanan pemerintah kepada warga gereja, menjadi salah jika ada kesalahan yang penguasa lakukan gereja berdiam diri dan tidak tegas untuk menyatakan protes bahwa hal ini salah.
Pemilu President saat ini Gereja tidak pada posisi perjuangan politik gereja untuk mencapai kekuasaan atau merebut kekuasaan tetapi bagaimana menyuarakan suara kenabian (pendidikan politik) bagi warga gereja untuk menentukan pilihan politik yang benar dimana memilih pemimpin yang memiliki visi, misi dan program yang jelas terutama komitmentnya terhadap eksistensi gereja dan pelayanannya.
Jika di hubungkan dengan pemikiran Laswell bahwa “masalah siapa mendapat apa?” perlu digaris bawahi bahwa siapa mendapat apa di sini, bukan pada tataran gereja melakukan bergaining posision untuk mendapatkan jabatan structural dalam Kabinet (jabatan menteri), atau mendapatkan alokasi dana tertentu? Tetapi maksud mendapatkan apa? disini adalah bagaimana gereja mendapatkan perlakukan yang sama di mata hukum, mendapatkan pelayanan pemerintahan tanpa membedakan mayoritas dan minoritas, dapat mendirikan rumah ibadah dengan baik tanpa ada pembatasan.
Posisi Gereja dalam melakukan pendidikan politik dalam mengarahkan warga gereja untuk terlibat dalam proses politik tidak hanya sekedar mengarahkan untuk memilih calon berdasarkan hati, tetapi perlu ada penegasan bahwa dalam pemilihan president pada tanggal 08 Juli 2009 ini, warga gereja diharapkan memilih pemimpin yang memiliki visi, misi dan program yang jelas memiliki komitment untuk menjamin eksistensi gereja, kepentingan gereja, serta berkomitment untuk merevisi segala peraturan-pemerintah yang menimbulkan disparitas, menghambat pembangunan gereja dan mampu menciptakan kehidupan bersama serta menjaga “ideology negara” dalam hal ini Pancasila sebagai satu-satunya asas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah di sepakati oleh the founding father.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Nomor Pokok Mahasiswa : 0806383314

Rabu, 24 Juni 2009

"Negara membuat Prita MUlyasari Menangis bahkan merenggut Kebebasannya"

“PRITA MULYASARI KEBEBASANNYA DIRENGGUT NEGARA”
*Yoyarib Mau

Kasus Prita Mulyasari (32) yang di jerat dengan Pasal 27 Ayat 3 UU Nomor 11 Thn 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU - ITE) yang berbnunyi; “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yan memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”

Bunyi Undang-Undang ini menjerat Ibu dua anak ini serasa membuat dirinya terserabut dari kebahagian keluarganya dan tidak sesuai lagi dari maksud awalnya yakni ingin mencari bantuan serta merasa ketidakberesan yang di perlakukan RS. Omni saat dirinya masuk UGD pada tanggal 07 Agustus 2008, dirinya merasa ada keganjilan yang dilakukan oleh pihak RS. Omni terhadap perawatan dirinya yakni akibat ada beda informasi mengenai hasil tes laboratorium saat dirawat disana, dirinya mengalami bengkak di tangan, muka, dan mata, dan tidak sembuh setelah dirawat empat hari (Kompas 03 Juni 2009), keluhan ini membuat dirinya berharap hal ini dapat diketahui oleh teman-temannya, keluhan itu ia layangkan melalui email kepada sejumlah temannya.

Keluhan Prita yang semula untuk mengungkapkan kekesalan atas keteledoran pihak rumah sakit terhadap dirinya malah menuai bencana dimana dirinya harus dirumahkan di LP. Wanita Tanggerang derita ini ibarat pepatah kuno “sudah jatuh tertimpa tangga pula” proses hukum harus dialalui oleh wanita ini sebagai tergugat hingga harus masuk tahanan kejaksaaan pada tanggal 13 Mei 2009, menarik untuk disimak tatkala proses peradilan berlangsung sepertinya sepi dari perhatian publik, para wakil rakyat bahkan pemerintah sekalipun namun jelang masa kampanye pemilu president, para kandidat berebut untuk memberikan perhatian terhadap permasalahan Prita seolah-olah, mereka prihatin dan peduli terhadap derita yang di alami oleh san Ibu ini.

Para kandidat untuk memberikan pernyataan di media, JK mendesak kepolisian tidak langsung memenjarakan orang hanya karena e-mail dan gossip saja” , berbeda dengan Megawati yang mengunjungi LP. Wanita Tanggerang menurut Megawati, jika memang pasal-pasal dalam UU ITE itu melekat dengan hak-hak warga Negara, UU itu harus di revisi. Sedangkan berbeda dengan incumbent SBY dimana UU ITE disahkan dan ditanda tangani oleh dirinya saat sore harinya beliau, meminta kepada aparat penegak hukum tetap menggunakan hati nurani dan rasa keadilan sehingga keduanya dapat seimbang (Kompas, 04 Juni 2009). Pendapat dari para kandidat seolah-olah memberikan kepedulian dan rasa ibanya seolah-olah berperan seperti cerita dalam Injil dimana “tokoh Pilatus memutuskan hukuman bahwa Yesus bersalah, dan mencuci tangan nya pertanda dia tidak bertanggung jawab atas dosa Orang ini” ia hanya melakukan tugas seremonial sebagai pejabat Negara dan memutuskan perkara tetapi dosa di lemparkan kepada ornag lain.

Apa mau dikata “Nasi telah menjadi Bubur” proses hukum telah di jalani dengan berbagai beban yang harus dipikul yakni beban moril, social, material, psikologis oleh dirinya, suami dan kedua anakanya. Menjadi pertanyaan yang perlu kita pahami bersama, siapakah yang harus bertanggung jawab atas permasalahan hukum ini? Jika di tilik dengan seksama permasalahan ini mengalami berbagai pertentangan diantara produk hukum yang ada dalam Negara ini. Pihak Kepolisian dalam hal ini POLDA Metro Jaya menerima laporan dari Rs. Omni dengan pasal pencemaran nama baik, dan proses berlanjut dimana berkas-berkas penyilidikan di lanjutkan ke Kejari Tanggerang, pada dasarnya pihak Kepolisian dan Kejaksaan merasa benar dalam menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan permasalahan ini kemungkinan dengan beralasan bahwa proses ini berdasar pada produk hukum yang di hasilkan oleh pemerintah.

Dalam era demokrasi kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu variabel penentu di mana deomokrasi telah mengalami perkembangan dengan baik selanjutnya dasar Negara juga turut menjamin, dalam Pancasila diamana dalam Sila Ke 5 bahwa “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” dan UUD 1945 Pasal 28 Ayat 2 “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran,dan sikap, sesuai dengan hati nurani”, sedangkan Prita Mulyasari didakwa karena dianggap melanggar Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Jika Prita didakwa dengan pasal-pasal tersebut maka perlu di ketahui bahwa ada hal lain yang perlu diperhatikan bahwa hukum ketatanegaraan Indonesia menganut Teori Berjanjang (Stufen Teori) dari Hans Kelsen;

teori ini mengandung ajaran-ajaran sbb:
a. Dasar berlakunya dan legalitas suatu norma terletak pada norma yang ada di atasnya (dari bawah ke atas) atau,
b. Suatu norma yang menjadi dasar berlakunya dan legalitas norma yang ada di bawah nya (dari atas ke bawah)
c. Secara acak diambil dua norma saja, bisa dari bawah bisa dari atas atau dari atas ke bawah.
Susunan Teori berjenjang seperti ini:
Pancalisa
UUD 1945
Ketetapan-Ketetapan MPR
Undang/Undang Perpu
Peraturan Pemerintah
Peraturan Daerah

Oleh karena itu melihat jenjang teori ini bahwa produk hokum atau kaidah hokum yang di pakai oleh Kejati untuk menjerat Prita harus sesuai dengan dasar berlakunya suatu kaidah atau produk hukum yang ada di atasnya.dan teori menganut asas hukum yakni “lex superiori derogat lex inferiori” (hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya).

Dari hierarki di urutan jenjang di atas jelas bahwa dua pasal yang di tujukan yakni KUHP Pasal 310 dan UU ITE Pasal 27 merupakan perundang-undangan yang paling bawah, sehingga dengan sendirinya keberadaanya tidak boleh bertentangn dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya. Meskipun Pancasila tidak di sebutkan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan namun Pancasila adalah norma dasar hokum di Indonesia harus di jadikan acuan utama dalam membuat Undang-Undang.

Menkoinfo perlu bertanggung jawab sebagi eksekutif yang mengajukan rancangan draft Undang-undang ini ke DPR RI, di tambah lagi dengan peran DPR RI yang bertanggung jawab untuk melakukan kajian dan pengesahan atas Undang-Undang ini sehingga dengan mudah UU ITE dapat di gunakan sebagi penafsiran hukum oleh Rs. Omni untuk menjerat Prita Mulyasari, sehingga Iwan Fals menggkritik DPR bahwa mereka hanyalah “Paduan Suara” yang hanya mensahkan dan menyayikan kata sepakat atas produk hukum.

Penentu tertinggi atas hadirnya sebuah UU adalah President karena yang menanda tangani untuk menyepakati rancangan undang-undang ini menjadi Undang-Undang padahal banyak pihak memprotes pasal-pasal yang perlu di revisi karena melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) namun tidak di gubris karena menyangkut nama baik nya sebagai representasi Partai pemerintah dan Pemerintahan yang berkuasa dianggab tidak kapabel sehingga mencuci tangan bahw ayang bertanggung jawab adalah Kepolisian dn pihak Kejaksaan.

Sehingga semua kandidat President yang akan maju dalam pemilu president 2009 bertanggung jawab dan perlu memohon maaf terhadap korban karena mereka semua bertanggung jawab atas UU ITE, karena dua dari mereka tidak serta merta menanda tangani tetapi sebagai representasi Partai Politik yakni GOLKAR dan PDIP yang paling banyak anggota DPR RI sebagai wakil rakyat sehingga, dengan demikian tidak salah jika dapat di simpulkan bahwa Pemerintahlah yang menyebabkan adanya tangisan, merenggut dan memenjarakan Prita Mulyasari.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – UI
Nomor Pokok Mahasiswa : 0806383314

"Budaya Mempengaruhi Karakter Politik"

“Feodalisme, Alam Gaib dan Modernisasi sebagai Karakter Politik ”
*Yoyarib Mau

Budaya adalah kependekan kata dari kebudayaan yang memiliki arti “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.” dengan demikian bahwa budaya adalah hasil interaksi social antara manusia yang menghasilkan tindakan atau konsep tertentu yang terjadi setiap waktu yang kemudian manusia menyimpulkan perilaku atau tindakan ini menjadi sebuah gagasan atau konsep yang baku. Pada dasarnya budaya adalah hasil perilaku manusia yang terus menerus di dilakukan dan menjadi kebenaran mutlak bagi komuniatas atau masyarakat yang menjalaninya.

Budaya setiap komunitas masyarakat tidak selamanya sama ada factor pembeda yang sangat di pengaruhi oleh factor alam atau letak geografis serta rutinitas keseharian dan termasuk juga agama. Budaya itu menjadi bagian yang melekat pada kehidupan masyarakat, bahkan budaya tersebut menjadi stigma bagi kelompok, suku atau agama tertentu yang dinyakininya.

Yang menjadi permasalahannya, budaya hadir dan terkadang semuanya itu di serap dan di telan mentah-mentah oleh masyarakat tanpa melalui proses atau mekanisme formal di tengah masyarakat untuk membedakan mana yang layak dan mana yang tidak boleh tidak.

Pembahasan mencoba mengulas peranan budaya dalam kehidupan manusia, dimana budaya dapat memberikan efek yang baik bagi kehidupan manusia apabila budaya tersebut digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi terkadang ada gagasan budaya yang ada dalam masyarakat memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan masyarakat bahkan menyebabkan masyarakat di perbudak oleh budaya tesebut.

Bagaimana manusia memandang dan menggunakan budaya itu dalam kehidupan kesehariannya? Demi sebuah harapan guna tidak dengan mudah masyarakat mengcopi budaya yang telah mengalami pencampuran dengan teknologi dan peradaban yang telah maju, dan juga masyarakat tidak menagalami ketertinggalan yang diakibatkan merasa alergi dengan kemajuan teknologi perlu adanya internalisasi budaya dalam institusi keluarga, masyarakat ataupun agama sehingga budaya tersebut dapat di pakai atau di manfaatkan untuk kehidupan manusia. Budaya dalam pembahasan ini hanya di batasi pada modernisasi dan dampaknya bagi manusia Indonesia.

Ada beberapa teori yang dapat di gunakan menjadi pembanding dalam penulisan ini yakni Teori Modernisasi yakni teori yang menganggap bahwa penyebab keterbelakangan suatu negara adalah factor internal. Factor internal yang di maksud di sini adalah manusianya dimana sangat berhubungan dengan gagasan dan perilaku yang dimiliki oleh manusia yang mempengaruhi terhadap kinerja dan kehidupan manusia.

Teori yang berikut adalah Teori ketergantungan teori ini adalah antithesis dari teori sebelumnya, teori ketergantungan adalah “suatu teori yang muncul atas dasar penolakan terhadap teori modernisasi, berbeda dengan para penganut teori modernisasi yang beranggapan bahwa penyebab terbelakangnya suatu negara adalah di sebabkan factor-faktor internal para penganut teori ketergantungan menganggap bahwa penyebab terjadinya keterbelakangan suatu negara justru di karenakan “campur tangan” dari pihak asing.” Ketergantungan disini adalah manusia mengalami ketergantungan pada dunia luar atau intervensi asing sebagai penentu kemajuan (neoliberalisme)

Teori ini dapat di gunakan guna menolong memahami pembahasan ini sehingga dapat memetakan permasalahan budaya yang menghambat dan budaya yang memberikan dampak positif serta konsep ke depan dengan berbagai pertimbangan terutama pemikiran Alex Inkeles, untuk Negara Indonesia yang sangat multicultur

Budaya Primitife (Alam Gaib) – Jalan Pintas

Alam gaib masih menjadi tempat bahkan perhatian masyarakat, berdialog dengan alam untuk mendapatkan magic, bahkan melakukannya dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi, kekuatan fisik untuk menjadi sakti. Hal ini menghasilkan budaya instant dan tidak mau bekerja mengolah alam yang telah di berikan oleh Sang Pencipta, padahal pengetahuan telah hadir di tengah peradaban baru dimana penguasaan akan teknologi yang dapat menentukan kemajuan bangsa, namun hal supranatural sebenarnya telah di patahkan oleh hadirnya Agama dimana kekuasaan alam ada dalam pengusaan Sang Pencipta, sehingga agama yang di anut sebenarnya mengarahkan manusia atau umat untuk tidak memikirkan akhirat saja tetapi bagaimana menghadirkan suasana akhirat itu di bumi. Etika Protestan yang dilahirkan Max Weber “hanyalah orang sukses bekerja di dunialah yang menjadi penghuni surga” maksudnya nilai-nilai agama ini di terapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak mencari sesuatu dengan tidak di terima oleh rasio namun pemikiran agama mengalami pertarungan dengan kekusaan yang diperoleh dari alam gaib.

Tahapan perkembangan ini menghasilkan orang-orang sakti yang berperan sebagai penguasa di wilayah-wilayah tertentu dan bahkan melegenda dalam kehidupan masyarakat, seperti; Si Pitung, Jaka Tengkir di Jawa dan lainya, namun budaya ini lebih pada pertarungan Hukum Rimba/alam siapa yang kuat dialah yang berkuasa akhirnya tercipta budaya kekerasan dimana sesorang yang berkuasa atau sakti semua orang akan tunduk kepadanya jika tidak tunduk maka akan di bantai sehingg tercipta budaya tunduk dan setia karena tekanan (pressure), alam demokrasi tidak memberikan ruang bagi pola atau karakter budaya seperti ini, namun kelihatannya “track record” dari para politisi kita banyak yang memiliki atau di besarkan dari budaya ini sehingga sebaiknya rakyat memiliki kepekaan dan pengetahuan yang cukup untuk mampu memilih pemimpinnya.

Budaya Feodalisme – Harap Gampang

Budaya feodal hadir akibat pewarisan dan perlakukan khusus penjajah (colonial) bagi raja-raja kerajaan wilayah nusantara, dimana penjajah membangun hubungan dengan raja dengan berbagai perjanjian tertentu dan seluruh hasil bumi harus ada penyerahan upeti kepada raja, dari pemikiran ini menghasilkan batasan-batasan cultural yang sangat menghambat akses masyarakat terhadap peradaban, suara raja mewakili keseluruhan rakyat.
Dalam bidang Pendidikan Belanda dengan politik etisnya hanya memberikan akses pendidikan bagi kaum ningrat atau turunan raja dan tidak semua masyarakat di berikan kesempatan untuk menikmati pembangunan yang memberikan kemajuan, karena pendidikan yang dapat memberikan kemajuan karena pendidikan yang mampu memberikan kemampuan kreatif atau inovatif. Namun budaya feodal mengental dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah mereka yang dapat memberikan perubahan adalah turunan ningrat, darah biru, dan juga memiliki postur tubuh yang ganteng dan berperawakan besar semua hal ini hampir di miliki oleh pra penguasa feodal ( Tokoh Gajah Mada).

Pemikiran ini memasung dan mematahkan kaum kecil atau rakyat untuk memberikan sumbangsih bagi pembangunan, karena Pembangunan ada karena tersedianya Sumber Daya Manusia yang memadai. Budaya ini sangat mengental dalam proses perekrutan dan keikutsertaan mereka dalam perpolitikan Indonesia, mereka adalah anak dari bangsawan atau anak raja (konteks nusantara) ataupun pejabat tinggi Negara mulai dari anak President seperti, Edi Baskoro anak SBY yang maju lewat Partai Demokrat, Puan Maharani anak Megawati maju lewat PDIP. Dan juga alat elit-elit politik senior yang sedangk berkuasa seperti Maruarar Sirait anak Sabam Sirait dan lainnya.

Dan tidak hanya di tingkat pusat tetapi di daerah, sejumlah anak mantan Pejabat di daerah seperti di Kalimantan Tengah dimana keluarga Gubernur Teras Narang hampir semuanya menjadi anggota legislative, mereka menang karena kekuatan birokrasi dan lembaga yang dipimpin oleh bapak, Ibu nya, pengetahuan minim dan apakah mereka lantang untuk menyeruakan kepentingan rakyat, apa yang akan mereka kerjakan di parlement? Apalagi umur yang belum matang seperti anak Gubernur Kalimantan Barat Karolin Margaret Natasa yang baru berusia 26 tahun lolos sebagai Anggota DPR RI terpilih mampukah mereka berargumen untuk memperjuangakan kepentingan rakyat serta mampu melaksanakan fungsi legislasi dan pengawasan serta control terhadap pemerintah atau sebaliknya hanya melakukan peran kompromistis.

Masa Otonomi Daerah ini pun kekuasaan Feodal kembali tampil karena mereka mampu memobilisasi diri sebagai penguasa local yang perlu mendapatkan perlakuan khusus, dan tercermin dalam pemerintahan Bupati atau Gubernur di daerah investor yang akan melakukan penanaman modal di daerah untuk mendapatkan surat ijin maka Investor tersebut harus menyerahkan sejumlah uang sebagai bentuk upeti dengan demikian jika hal ini terus sipertahankan maka para Investor akan meninggalkan Indonesia.

Budaya digit remote control - modernisasi

Membiaknya mesin-mesin kecepatan tombol speed, dial pada telephone, remote control, handphone, electric digital diary. Semua ini untuk meningkatkan profesionalisme dan makna kehidupan karena barang siap pakai dan memberikan dampak melakukan segala sesuatu dengan cepat, bekerja cepat, bicara cepat, menonton cepat, bisnis cepat semuanya serba cepat tanpa di batasi oleh ruang waktu. Kemajuan ini membuat manusia untuk dapat menghargai waktu dan berorientasi ke depan. Apabila tidak menguasai teknologi maka tidak dapat melakukan apa-apa karena untuk mengoperasikannya perlu kemampuan intelektual atau keahlian. Barack Obama President Amerika terpilih karena mampu memanfaatkan kemajuan teknologi dengan media sosialisasi terkini yakni Friendster, Facebook bahkan mereka memakai tim kerja yang khusus menangani website serta blog yang khusus untuk memperkenalkan dirinya, bahkan saat pemilu legislative yang telah berlalu kebanyakan para politisi berusaha untuk memanfaatkan media – media ini semaksimal mungin

Semua masyarakat memiliki budaya tersendiri untuk mengembangkan diri serta mencapai kepentingannya dengan memilih budaya mana yang tepat untuk bisa mencapai keinginan atau target yang akan dicapai. Menjadi persoalan apakah budaya ini menjadi kebutuhan dan milik pribadi-pribadi tertentu yang memiliki akses dan kemudahan untuk mendapatkan semua ini dan mereka yang tidak memiliki kesempatan dalam hal rakyat hanya menjadi sapi perahan atau sapi yang bisa di beli dengan sejumlah uang?

Tanggung jawab Negara untuk mencerdaskan masyarakat untuk berkompetensi dengan demikian maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan yakni membudayakan penghargaan (reward) kepada orang lain dengan menghargai hasil karya sesorang dalam segala bidang. Kebanyakan yang dilakukan selama ini hanya menghukum mereka yang salah (sanksi) dengan demikian mematahkan semangat serta mengkerdilkan naluri inovasi dalam diri. Akhirnya tercipta kecenderungan untuk bertahan hidup, tetapi tidak membudayakan penghargaan kepada mereka yang berkarya atau menghasilkan sesuatu karya melalui perjuangan dan kemampuan yang dimiliki.

Jika hal ini di lakukan bagi setiap orang maka dapat menghasilkan atau menciptkan etnerpreunership-eterpreneurship baru yang terus berinovasi dan berkreasi menghasilkan temuan-temuan baru dan bukan menghasilkan pemimpin yng karena kesaktian karena pengaruh alam gaib ataupun karena citra turunan raja atau pengusa orde baru ataupun pejabat Negara yang berkuasa. Sebaiknya pemerintah menciptakan ruang bagi semua orang guna berlomba untuk mendapatkan award yang di tawarkan atau di sediakan dan tercipta kompetisi-kompetisi yang sehat untuk kemajuan bersama dengan kompetisi ini membangun rasa percaya diri bangsa dengan mengikuti perkembangan dunia luar (baru sebatas bidang musik dan perfilman) dan tidak bergantung kepada negara asing serta mampu menciptkan profesionalisme dan lapangan kerja yang terbuka luas. Sehingga harapan terbesar adalah para capres- cawapres yang kita harapkan adalah pasangan yang mampu mengembangkan budaya masyarakat Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan jaman, Pengembangan Budaya yang benar akan mampu menghadirkan anak-anak bangsa yang mampu membangun ekonomi dan kemajuan bangsa Indonesia. Seperti apa yang di katakan the founding father kita Soekarno dengan konsep Berdikari (Berdiri diatas Kaki Sendiri).
Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – UI / NPM : 0806383314

"archipelago economical development"

“Archipelago Economical Development”
*Yoyarib Mau

Masalah ekonomi menjadi pembahasan yang menarik dan semakin dipertegas mengenai mashab ekonomi yang cocok dan relevan guna diterapkan di Indonesia, sejak SBY menetapkan Boediono Mantan Gubernur Bank Indonesia menjadi calon wakil president untuk mendampingi. Karena pemahaman yang berkembang di masyarakat dan dilabelkan bagi Cawapres yang diusung oleh Partai Democrat ini sebagai antek asing oleh beberapa ekonom kawakan Indonesia Kwik Kian Gie bahwa alasan mengapa Ia melabelkan hal ini dengan alasan bahwa Boediono merupakan orang yang mendukung penjualan BCA ke tangan asing dengan harga murah karena tunduk pada tekanan IMF dan juga Boediono ikut mendorong pajak impor yang rendah atas gula dan kedelai. (Sinar Harapan 22 Mei 2009)

Mashab “neoliberalisme” berangkat dari diskursus yang berkembang di kalangan para ekonom yang berada di Washington DC untuk menyikapi krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Latin pada pertengahan 1980-an dengan tiga pilar utama; kebijakan fiscal yang disipilin dan konservatif, privatisasi BUMN dan liberalisasi pasar atau market fundamentalism (Kompas 27 Mei 2009). Dari pilar-pilar ini maka label neoliberalisme dianggap pro pasar dan tidak berpihak tehadap rakyat, jika diterapkan di Indonesia maka dapat merugikan bangsa dan negara. Menurut neoliberalisme pilar liberalisme pasar dimaksudkan agar pasar-pasar produk dan jasa maupun pasar factor produksi (modal-tenga kerja) di biarkan berjalan begitu saja tanpa perlu campur tangan pemerintah karena akan menyebabkan kegagalan pemerintah, karena menurut pertimabgan neoliberalisme apabila pemerintah ikut campur tangan dalam pasar akan menghasilkan para pemburu rente dan membangun mental korupti. maka mashab ini dapat digunakan untuk menyerang paket yang diusung oleh Partai Demokrat.

Dilain pihak ada dua paket capres – cawapres yang menitik beratkan pembangunan ekonomi dengan mashab “ekonomi kerakyatan”, JK- Win berkomitment untuk bersama-sama menjaga serta membangun NKRI, membangun ekonomi kerakyatan, dan berbagai kewenangan di pemerintah serta berjanji akan melindungi ekonomi rakyat. Paket Mega – Pro sepakat untuk membangun ekonomi kerakyatan Indonesia, keberpihkan terhadap wong cilik, seperti petani, nelayan, buruh, guru, dan pedagang kecil, serta menjalankan kemandirian di bidang ekonomi (Kompas 19 Mei 2009), kedua pasangan ini kecenderungan kuat untuk lebih menitik beratkan program kerja mereka apabila tepilih di bidang ekonomi dan ada penegasan-penegasan tertentu yang menjadi komitmen mereka.

Sehingga kedua mashab ini menjadi isu yang dapat dijadikan oleh para Tim Sukses Para Capres – Cawapres untuk saling menyerang, kedua mashab ini tidak dapat disalahkan karena hadir berdasarkan permasalahan yang ada di tengah- tengah dunia dimana dengan tujuan memajukan ekonomi. Hal ini akibat kebuntuan yang disebabkan oleh krisis financial yang berkepanjangan yang tidak di ketahui kapan akan berakhir. Pada Pemilu President (Pilpres) 2009 isu ekonomi menjadi realisme utama dalam kampanye karena masalah ini menjadi pergumulan hampir di seluruh dunia terutama negara-negara berkembang. Semua negara berkembang hampir memiliki prinsip dan prioritas yang sama untuk menemukan mashab ekonomi yang tepat untuk membawa sebuak negara berada pada penikmatan politik yang baik, ada sebuah adagium bahwa “logika tanpa logistic mati” maksudnya bagaimana bisa berpikir apabila perut lapar, berpikir berhubungan dengan politik sedangkan perut berhubungan dengan ekonomi.

Negara Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dimana terbentang dari Sabang – Merauke, Mingaas – Rote, yang sebagian besar masyarakatnya membangun kehidupannya yang besifat agraris dan inilah yang menjadi kekuatan utama negara ini. Kekutan itu diperkuat dengan kemajemukan yang dimiliki seperti terdapat berbagai kelompok etnies, agama, dan ras dalam satu wilayah. Untuk menunjang nation building dan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperlukan sebuah konsep atau mashab ekonomi yang tepat untuk dapat menjawab apa yang di butuhkan oleh masyarakat Indonesia sesuai konteks.

Penulis tidak alergi dengan kedua mashab yang telah di bahas terdahulu dan mungkin mashab ekonomi kerakyatana tepat untuk di terapkan dalam Negara kita tetapi menurut penulis Implementasi dari ekonomi kerakyatan yang mereka tawarkan harus lebih menukik dan menyentuh dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, oleh karena itu lewat tulisan ini penulis menawarkan sebuah konsep yang mungkin tepat untuk menjawab kebuntuan yang di hadapi saat ini yakni; “pembangunan ekonomi kepulauan atau archipelago economical development” sepakat atau tidak sepakat itu hal kemudian, namun ada pertanyaan yang perlu kita diskusikan bersama mengapa harus pembangunan ekonomi kepulauan?

Pada awal Negara ini dengan komitment utama sebagai negara kesatuan, hal ini sudah final dan harga mati yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurut C.F. Strong; Negara kesatuan ialah bentuk Negara di mana wewenang legislative tertingi dipusatkan dalam satu badan legislative nasional/Pusat”(Miriam Budiardjo – 2008) Sejak kemerdekaan hingga sebelum reformasi masa orde baru dimana kekuasaan dalam hal ini pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk mengatur seluruh kehidupan masyarakat hingga ke pelosok (sentralisasi) penguasa daerah sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat untuk melakukan program-program kerja, akibat konstelasi politik dalam perjalanan reformasi yang menelurkan demokratisasi di Indonesia menghasilkan sebuah konsep baru yakni pemerintah pusat membagi kekuasaan atau wewenang sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (otonomi daerah).

Dengan demikian supremasi tetap ada dalam tangan pusat untuk mengendalikan sebahagian urusan dalam negara ini. Namun kenyataan yang tejadi harapan dari otonomi daerah untuk memajukan seluruh daerah di kepulauan nusantara hingga hari ini dapat dikatakan belum menuai hasil yang maksimal sepertinya setengah hati menjalankan otonomi daerah, mengapa demikian pembangunan semua masih di pusatkan di wilayah Barat Indonesia terutama di Pulau Jawa, sedangkan di Pulau lain hanyalah pelengkap keindonesian untuk tetap di sebut NKRI.

Pemikiran ini pasti menuai perdebatan namun ada alasan yang mendasar yakni Ibukota Negara yang terletak di Jakarta, di sini juga di kembangkan kota Jasa, Kota perdagangan dimana Pusat Perbelanjaan yang tersebar di hampir seluruh Ibukota Negara, Kota Industri, Kota Pendidikan semua di pusatkan di Ibukota Negara, Pusat Militer dan hal – hal lain. Dengan demikian kemajuan ekonomi hanya bertumpu di Ibukota Negara dan tidak menyebar di seluruh kepulauan Indoensia. Sehingga tidak disalahkan sering terjadi konflik untuk mendapatkan sumber-sumber tetentu yang bersifat materil - jasmaniah untuk dapat hidup layak dan terhormat, hal ini sesuai dengan teori Marx dimana teori ini dikategorikan sabagai determinisme ekonomi dimana factor ekonomi adalah determinan dimana masalah kesenjangan social berupa perbedaan anatara kaya dan miskin (antara pusat dan daerah) teori ini dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pembangunan ekonomi di Indonesia jika di bandingkan Jawa dan luar Jawa.

Sehingga konsep ekonomi pembangunan kepulauan dimana pembangunan ekonomi perlu dipikirkan untuk menyebar di seluruh wilayah Indonesia bukan karena hadirnmya otonomi daerah sehingga segala pusat kegiatan yang besifat atau yang berurusan dengan pemerintahan Pusat semuanya di pusatkan di Ibu Kota Negara dan tidak perlu dibangun di daerah, contoh Jika Ibu Kota Negara berada di Jakarta, berarti Jakarta hanayalah sebagai Kota Pemerintahan, dan wilayah atau Kota lain di Indonesia di pikirkan sebagai pusat Bisnis, ada wilayah sebagai Pusat Pertanian, Pusat Peternakan, dan Pusat Pengembangan Militer, dan Pusat kegiatan lainya.

Apabila hal ini diterapkan maka diharapkan dapat memacu ekonomi di wilayah kepulauan lain di Indonesia karena tersebarnya infrastrukutur yang di bangun di seluruh wilayah di Indonesia. Sebenarnya telah ada pusat bisnis yang di bangun di Barat Indonesia yang di kenal dengan sebutan Otorita Batam karena memiliki keputusan hukum yang kuat tetapi hal ini tidak dilakukan di wilayah Timur Indonesia dengan membangun pusat bisnis yang sama, seyogiannya demi perimbangan ekonomi perlu ada Otorita Timor (Rote) atau Otorita Talaud (Miangas) sehingga ada perimbangan ekonomi. Konsep atau mashab “ekonomi pembangunan kepulauan” ini seandainya menjadi program kerja dari ketiga pasangan kandidat capres – cawapres maka dengan seyogianya rakyat Indonesia dapat mengentaskan kemiskinan sesuai dengan pembukaan UUD – 1945.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – UI / NPM : 0806383314

"Kontroversi Kejatuhan Peswat Hercules TNI - AU"

“Jatuhnya Pesawat Hercules Milik TNI AU”
*Yoyarib Mau

Tragedi nahas jatuhnya Pesawat Hercules milik TNI – AU di Desa Geblak, Kec. Karas Kab. Magetan, Prov. Jawa Timur, adalah jatuhnya pesawat TNI – AU kesekian kalinya, sebelumnya pada tanggal 06 April 2009 di Bandung pesawat jenis Fokker 27 milik TNI- AU mengalami tragadei jatuh dan meledak di Bandara Intenational / Pangkalan Udara Husein Sastranegara, menewaskan 24 Prajurit TNI – AU (Kompas, 08- April 2009). Kejatuhan pesawat Hercules ini menarik perhatian semua pihak baik itu pemerintah, petinggi TNI dan juga masyarakat luas.
Pesawat Hercules C-130 A-1325 mengangkut 98 penumpang dengan 14 kru dan menewaskan hampir seluruh penumpangnya Pesawat ini berangkat dari Halim Perdana Kusuma dengan tujuan akhir Biak – Papua, pesawat ini menurut informasi bahwa telah mengalami peremajaan terlebih dahulu satu tahun lalu (Sinar Harapan,20 Mei 2009) dan menewaskan hampir seluruh penumpangnya.

Menjadi manarik bahwa semua pihak yang berkompeten mengucapkan rasa prihatin dan belasungkawa bagi korban yang meninggal dunia, selain itu ada yang mereduksi pernyataan bahwa jatuhnya pesawat ini karena usia pesawat sudah tua, dan tidak laik terbang. Pernyataan ini mengingatkan kita kembali pada tuntutan TNI yang memohon akan pengadaan “alat utama sistem persenjataan pertahanan” (alustista) TNI dan diresponi dengan baik oleh President RI pada oktober 2004 dengan memberikan instruksi kepada Menteri Pertahanan untuk menata dan menertibkan pengadaan alustista TNI (Kompas, 11 Mei 2009), bahkan Wakil President Jusuf Kalla juga berharap pemerintah yang terbentuk dari pemilu 2009 harus memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki alutista TNI (Sinar Harapan, 20 Mei 2009).

Dari semua pernyataan pemerintah dan anggapan semua pihak bahwa jatuhnya pesawat Hercules ini di sebabkan oleh umur pesawat yang sudah usur, namun ada hal lain yang perlu kita cermati bersama permasalahan, mengapa sehingga korban yang tewas terbanyak adalah warga sipil ? padahal kita ketahui bersama bahwa pesawat Hercules TNI – AU ini memiliki fungsi untuk membawa logistic ke pangkalan TNI – AU yang tesebar di beberapa daerah di Indonesia, namun juga sering di gunakan untuk keperluan Negara seperti pengririman bantuan kemanusiaan ke daerah bencana atau keperluan lainnya yang menyangkut kepentingan Negara.

Maurice Duverger bahwa kekuasaan itu seperti dewa Janus bermuka dua; yakni dapat menimbulkan dua wajah kekuasaan ini – serentak penindas dan pelindung, penyalahgunaan dan pencipta ketertiban (Maurice Duverger - Sosiologi Politik – 1982) Teori Duverger ini dapat dipakai untuk melihat permasalahan ini, Pertama, penguasa politik (baca: Tentara) untuk mengatur masyarakat demi ketenangan, ketertiban dan kemajuan masyarakat. Kedua, kekuasaan (tentara) juga tergadang melakukan penyalagunaan kekuasaanya yang menyebabkan kecelakaan bagi masyarakat.

Pemerintah dalam hal ini juga didalamnya tentara terlepas dari umur pesawat yang tua, tetapi ada human eror (kesalahan manusia) yang di lakukan oleh TNI – AU yang menyebabkan korban kebanyakan warga sipil dalam peristiwa ini. Fungsi Pesawat Hercules ini telah bergeser dari fungsi sebenarnya, ada kelelaian Tentara dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya hal ini sepertinya telah di pelihara dalam waktu yang cukup lama.

Rasionalisasi dalam menilai permasalahan ini dapat diterima secara umum, secara sederhana pesawat ini dengan tujuan keberangkatan Biak – Papua dan transit dibeberapa daerah seperti Makasar dan lainnya dimana ada penumpang masyarakat sipil yang berasal dari Makasar perlu di telur. Apabila bila pesawat ini dengan tujuan Biak dan transit di beberapa wilayah persinggahan berarti membawa sejumlah logistic untuk kebutuhan militer dalam TNI – AU, dan di tambah dengan sejumlah penumpang bersama kru pesawat berjumlah kurang-lebih 100 orang, perlu di telusuri apakah para penumpang ini membeli tiket penumpang atau murni keluarga militer yang mendapatkan kemudahan, ini memberikan indikasi bahwa kelebihan muatan, penulis tidak menyimpulkan bahwa penyebab jatuhnya pesawat adalah kelebihan muatan, tetapi hal ini merupakan kelalaian dan penyalagunaan manfaat pesawat untuk kepentingan Bisnis Militer apabila para penumpang terbukti memberi sejumlah uang, padahal sudah diputuskan dan sudah dilakukan larangan bagi bisnis-bisnis militer.

Dengan demikian perlu tim khusus yang terdiri dari; SAR, anggota DPR RI, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), POLRI dan pihak TNI sendiri sehingga perlu ada pertanggungjawaban dan klararifikasi dari pihak TNI – AU mengenai jatuhnya pesawat ini guna memberikan kepastian hukum bagi korban dari masyarakat sipil……

*.Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – Universitas Indonesia.
NPM : 0806383314

"Apa bedanya Soeharto dan Amien Rais"

“Apa bedanya Soeharto dan Amien Rais”
*Yoyarib Mau

Partai Politik di Indonesia memiliki banyak varian dalam struktur partainya, secara nasional struktur tertinggi yakni Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dalam struktur ini ada bagian strukutur yang memiliki peran penentu dalam setiap kebijakan (decision maker), sedangkan ada nama dalam strukutur yang idealnya sebagai penanggung jawab organisasi namun kenyataannya hanyalah jabatan seremonial. Bagian-bagian struktur ini hampir ada dalam setiap partai politik baik itu partai nasionalis dan agamais. Struktur Partai dengan model bertingkat seperti dalam Partai Golkar ada DPP (Dewan Pimpinan Pusat) dimana penanggung jawab organisasi ada pada Ketua Umum (Ketum) dan Sekertaris Jenderal (Sekjend) juga ada Dewan Penasihat DPP Golkar, di PDIP juga memiliki susunan Dewan Pimpinan Pusat dan juga Dewan Penasihat Partai, demikian juga Partai Demokrat, sedangkan PAN ada Dewan Pimpinan Pusat dan ada Majelis Penasihat Partai, sedangkan ada partai politik dengan fungsi struktur yang sama namun nama berbeda seperti Partai Kebangkitan Bangsa ada Dewan Pimpinan Pusat yang di kenal dengan sebutan Dewan Tanfidziah Pusat dan juga Dewan Penasihat Partai yang biasanya di sebut Dewan Syuro Partai.

Menarik dalam struktur partai-partai politik ini, karena berbagai jenjang struktur yang ada seperti DPP. Partai Demokrat Ketua Umum-nya Hadi Utomo, tetapi keputusan akan dikonsultasikan dengan Ketua Dewan Penasihat Partai yakni Susilo Bambang Yudoyono, demikian juga dengan Partai Kebangkitan Bangsa keputusan partai harus disepakati atau mendapatkan restu dari Abdurahman Wahid (alias = Gus Dur). Demikian juga partai baru yang memiliki struktur yang sama, Partai Gerindra walaupun dalam struktur partai Ketua Umum tetapi keputusan perlu diketahui atau di konsultasikan telebih dahulu dengan Ketua Dewan Penasihat Partai Gerindra Prabowo Subianto. Partai lainya pun memiliki pola yang hampir sama seperti PKS, PAN.

Peranan para Ketua Dewan Penasihat, Ketua Majelis Penasihat Partai, Ketua Dewan Syuro dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), Rapat Kerja Nasional (Rakernas), dan kegiatan organisasi partai lainya sejak pemilu legislative hingga menjelang pemilu president, penentu kebijakan seolah-olah dikendalikan oleh para tokoh sentral yang berperan sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai maupun sebagai Ketua Umum Partai. Peran para tokoh sentral atau para Ketua Dewan Penasihat adalah sebagai penentu akhir kebijakan, partai walaupun telah melalui mekanisme Partai Politik dalam rapat kerja atau rapat pimpinan dengan hasil akhir merekomendasikan kepada tokoh sentral untuk menentukan kebijakannya sebagai representasi partai, realitas ini yang terjadi dalam penentuan capres dan cawapres dalam pemilu president bulan Juli.

Partai Democrat yang tokoh sentralnya SBY maju sebagai Calon President, partai merekomendasikan kepadanya untuk menentukan Cawapresnya, demikian juga PDIP merekomendasikan kepada Megawati Soekarno Putri untuk menentukan Cawapresnya. Demikian juga Partai Golkar yang tidak memiliki tokoh sentral namun hasil rapat partai yang walaupun melalui pro dan kontra tetapi memutuskan Jusuf Kalla sebagai Capres dan merekomendasikan kepadanya untuk menentukan Cawapres.

Semua partai politik yang lolos masuk Parliamentary Treshold – 2,5 % suara sah secara nasional sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan koalisi dengan Partai lain untuk mengajukan Capres atau Cawapres, yang menarik adalah Partai Amanat Nasional, partai ini didirikan oleh Amien Rais mantan Ketua Umum PP. Muhamadiah dengan basis masa Muhamadiah – muslim modernis, Pendiri sekaligus manjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional pada Agustus 1998 pasca reformasi dan mendapatkan 7% suara pada pemilu 1999 dan menghentarnya menjadi Ketua MPR.

PAN hadir dengan tujuan terwujudnya masyarakat modern dan demokratis yang bebas dari pola-pola loyalitas politik yang tradisional feodal (Kevin Raymond Evans- Sejarah Pemilu dan Partai Politik – 2003) dan pada pemilu 2004 PAN kembali menorehkan diri sebagai Partai Besar yang masih eksis sebagai peserta pemilu masih menorehkan diri sebagai 5 partai besar dan pada pemilu president 2004 PAN mengusung Ketua Umum PAN Amien Rais sebagai Capres berpasangan dengan Kader Partai Golkar Siswono Yudo Husodo Sebagai Cawapres (Amien – Sis).

Pasangan yang diusung PAN ini kalah pada pemilu president putaran I, pasca kekalahannya Amien Rais memilih mundur dari dunia Politik dan kembali ke dunia Academik sebagai Guru Besar Universitas Gajah Madah, namun sebelum meninggalkan Partai yang didirikannya ini melalui Munas PAN beliau mampu mempersiapkan kader yang siap menggantikannya, Soetrisno Bachir seorang Pengusaha Batik asal Pekalongan yang sempat bersaing bersama Hatta Radjasa memenangi pemilihan Ketua Umum, peran Amien Rais diposisikan sebagai Majelis Pertimbangan Pusat PAN. Menjadi Pertanyan adalah “mengapa Amien Rais yang telah memilih mundur dari dunia Politik tetapi pada pemilu president 2009 ini kembali hadir sebagai tokoh sentral dalam mengarahkan pilihan koalisi serta penentuan kader PAN yang akan diusung sebagai cawapres?”

Kepemimpinan Soetrisno Bachir sebagai Ketua Umum PAN dengan tanggung jawab dan beban yang cukup berat untuk mempertahankan basis PAN, yang pada periode kepemimpinannya sebagian kader kecewa serta memilih untuk membentuk partai baru dengan nama Partai Matahari Baru (PMB) yang juga target basis massanya adalah warga Muhamadiah. Hal ini membuat Soetrisno Bachir (SB) harus berjuang untuk membesarkan PAN yang besar karena pengaruh figure Amien Rais, strategi SB sangat spectakuler dengan menggelontorkan dana dari kocek pribadi untuk biaya iklan, iklan SB memiliki trade marck “hidup adalah perbuatan” membuat elektabilitas public terhadap dirinya sebagai salah satu capres meningkat.

Proses organisasi yang dipimpin selama lima tahun cukup baik dan solid dalam internal kepengurusan PAN serta dukungan untuk caprespun mendapat sambutan yang baik, namun pasca pemilu legislative 2009 dimana hasil suara PAN mampu meraih perolehan suara sebesar 6.254,580 atau kurang – lebih 7,50% suara (Sinar Harapan 13 Mei 2009) hasil ini tidak memungkinkan PAN mengajukan capres, dan hanya bisa mempersiapakan diri untuk menjadi cawapres. Permasalahan yang berkembang dalam internal pengurus PAN bahwa PAN akan mengajukan SB dan Hatta sebagai calon untuk mendampingi SBY, namun dorongan untuk mengusung Hatta lebih kuat pasca pertemuan Amien Rais dengan Susilo Bambang Yudoyono (tokoh sentral PAN – tokoh sentral P. Demokrat) (Majalah Tempo Edisi 20 – 26 April 2009) sehingga memberikan peluang lebih besar kepada Hatta untuk mendampingi SBY.

Awal meruncingnya persoalan di Internal PAN diawali kehadiran Amien Rais bertatap muka dengan SBY, perilaku yang dilakukan Amien Rais menurut French & Raven sebagai bentuk “legitimate power” sebagai Majelis Pertimbangan Partai dimana “individu dalam struktur organisasi menggunakan kekuasaan terhadap bawahannya, kekuasaan ini dapat digunakan oleh A untuk mempengaruhi B, jika B percaya bahwa A memiliki hak untuk mempengaruhi lingkungan sekitarnya.” (Haris – Politik Organisasi – 2006) pasca pertemuan tersebut seakan memberikan sinyal positif bagi sebagian kader PAN sehingga 27 DPW PAN (Dewan Pimpinan Wilayah) sepakat untuk mengusung Hatta Radjasa (HR) sebagai calon wakil president mendampingi SBY (Suara Karya 28 April 2009), padahal penentuan arah koalisi baru akan dilakukan PAN pada Rakernas di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 2009 SB sebagai penanggung jawab organisasi telah membentuk tim kecil untuk melakukan komunikasi politik dengan partai lain untuk menyamakan paltform untuk melakukan koalisi (Suara Karya 28 April 2009) akhirnya menyebabkan dua faksi dalam PAN di Rakernas Yogyakarta hal ini membuat gusar SB sebagai penanggung jawab organisasi merasa dikhianati sehingga sebelum Rakernas usai beliau terlebih dahulu meninggalkan tempat Rakernas tanpa menghadiri penutupan dan pembacaan keputusan Rakernas bahkan stiker kampanye pun yang di tampilkan adalah wajah Amien Rais dan Hatta Radjasa mewakili PAN yang di tampilkan bersama SBY.
Sikap SB menunjukan bahwa penghianatan terhadap dirinya sebagai penanggung jawab organisasi telah terjadi, dengan tanpa mengindahkan mekanisme organisasi. Dirinya hanyalah boneka dan Rakernas hanyalah ajang seremonial untuk melegitimasi apa yang telah di sepakati oleh Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Amien Rais mencoba untuk mengobati kekecewaan SB bahwa akan diadakan Rapimnas II di Jakarta yang kemudian diubah menjadi Rapat Koordinasi PAN Pemenangan Pemilu President 2009 namun SB tetap tidak menghadiri acara tesebut yang diadakan pada Selasa 26 Mei 2009, dengan alasan berobat ke Singpaura. Untuk menghindari perpecahan dalam tubuh PAN Amien Rais sepertinya mengambil alih kekuasaan PAN dengan memberikan Pengarahan dalam acara tersebut yang secara organisatoris harus dilakukan oleh Ketua Umum Partai.

Tujuan Awal didirikannya PAN agar terwujudnya masyarakat modern dan demokratis yang bebas dari pola-pola loyalitas politik yang tradisional feodal, namun tujuan ini hanyalah kenangan belaka. Amien Rais sepertinya lupa diri dan mengkhianati sejarah dimana dirinya di kenal sebagai salah satu tokoh reformasi karena dikenal sangat getol menentang praktek-praktek loyalitas politik, yang di lakukan oleh penguasa orde baru dibawah kekuasaan Soeharto. Soeharto dalam kekuasaannya sebagai tokoh sentral yang mengendalikan Golkar di masa orde baru, apa keinginan Soeharto merupakan keputusan Golkar yang hanya di legitimacy melalui mekanisme organisasi, dengan demikian apalah bedanya Amien Rais dan Soeharto………….

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – Universitas Indonesia NPM : 0806383314

"Preseden Buruk terhadap Komunitas Debit Collector"

KOMUNITAS DEBIT COLLECTOR
*Yoyarib Mau
Komunitas ini menarik untuk disimak karena pada hakekatnya komunitas ini diperlukan tetapi juga ditolak oleh masyarakat. Komunitas ini memiliki nama yang cukup beragam ada yang menyebut mereka preman, tukang tagih, penjaga tanah kosong, tukang pukul, pengaman dan lain sebagainya tergantung permasalahan yang dijalankan, namun mereka merasa aman dan supaya dapat di terima di tengah masyarakat mereka lebih memilih untuk di sebut “Debit Colector” hal ini bertujuan bahwa mereka professional dan dimata masyarakat mereka memiliki pekerjaan jelas.

Komunitas ini tersebar hampir di seluruh daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tanggerang, dan kebanyakan mereka berasal dari luar daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Kehidupan berkelompok merupakan ciri utama kehidupan sosialnya, apabila semakin banyak komunitas ini mereka akan membela diri lagi dalam komunitas-komunitas tertentu berdasarkan bahasa dan suku dan Agama ataupun sekampung berdasarkan jumlahnya biasanya satu keolompok kecil terdiri dari 10-20 orang.

Ada kelompok Maluku yang terbagi menjadi Kelompok Basri Sangaji (kelompok yang kebanyakan beragama Islam) dan juga ada Jhon Kei (kata “Kei” menunjukan bahwa ia berasal dari Maluku Tenggara dimana beribukota Kei dan mereka kebanyakan beragama Kristen dan berasal dari kota Ambon dan Kei). Kelompok NTT hanya membela diri dalam komunitas Flores dan Timor, namun mereka semua tunduk kepada tokoh senior yang memiliki nama besar yakni Hercules. Kelompok Papua penulis kekurangan informsi tetapi mereka kebanyakan penerus dari kelompok Yoris Raweyai yang kini telah menjadi anggota DPR RI.

Ada kelompok-kelompok lain dari daerah lain tetapi mereka kurang diminati karena factor keberanian, dan kepecayaan dan jam terbang yang terbilang sangat rendah. Kelompok ini seperti FBR (Forum Betawi Rembug), FORKABI (Forum Komunikasi Anak Betawi), BPPKB (Badan Potensi Pembinaan Keluarga Banten). Mereka adalah organisasi massa kedaerahan yang memakai nama daerah atau provinsi, namun organisasi ini lebih bersifat politis yang berbasis masa untuk dukungan politik dalam Pilkada atau Pilpres.

Kelompok Debet Kolektor yang kebanyakan dari Indonesia Timur tidak menggunakan nama daerah karena sensitive dan dapat menimbulkan konflik SARA. mereka lebih menggunakan nama kelompok sesuai dengan Tokoh atau Pribadi yang memiliki nama yang dituakan sebagai pemimpin dan biasanya akan dipanggil Bung….. Si Bung biasanya sudah hidup lebih lama Jakarta dan memiliki jaringan luas/kenalan yang biasanya memberikan order pekerjaan, Tokoh atau Pribadi tersebut minimal memiliki kendaraan beroda dua, nama Si Bung inilah yang dijadikan nama kelompok ini sebagai identitas kelompok. Namun dalam perkembangan ada juga Bung yang lain mencoba membangun pemikiran baru terhadap Debit Colllector ini dengan Manajemen Baru dengan membuat Perseroan Terbatas yang bergerak dalam jasa penagihan, dan Beliau sukses membuka tempat usahanya ini di beberapa tempat di Jawa, mungkin karena manajemen modern serta kepercayaan perbankan kepada dirinya.

Peranan Si Bung sangat penting dalam kelompok, jika seseorang yang sudah punya jaringan atau patron yang banyak namun jika tidak memiliki anggota maka ia tidak dapat memperoleh keuntungan lebih karena ia tetap akan bergabung dengan kelompok tertentu. Seseorang yang telah mendapatkan panggilan Bung, karena hal ini menyangkut prestise dan mungkin saja jenjang karier di kalangan mereka, sehingga ia harus melakukan perekrutan anggota dengan menjemput teman, saudaranya dari daerah asalnya, dengan alasan bahwa mereka akan dipekerjakan di Jakarta, karena tampilan Jakarta di layar Televisi sebagai kota besar sering menarik hati semua orang, apalagi mereka yang di rekrut biasanya dari Kampung yang mengalami kesulitan ekonomi di tambah lagi dengan kondisi wilayah Indonesia Timur yang kondisi ekonomi sangat minim karena lapangan pekerjaan yang sangat terbatas sehingga tidak sulit bagi perekrut untuk menggugah hati mereka. Si Bung juga yang betanggung jawab atas kebutuhan hidup mereka terutama makan dan minum.

Sambil menanti orderan pekerjaan tagihan, mereka dilatih sebagai petinju dan sasana latihan hampir ada di tempat mereka tinggal (tanah sengketa) dan yang menjadi alasan mereka tertarik karena akan tampil di acara Tinju Profesional yang ditampilkan atau disiarkan di stasiun Televisi seperti Indosiar dan TVRI. Mereka pada dasarnya penuh semangat karena akan tampil di Televisi yang akan di saksikan oleh keluargnya di kampung. Padahal maksud tersembunyi di balik itu agar membentuk fisik dan bentuk tubuh yang ideal sebagai seorang Debit Kolektor, saat tampil di ring tinju mereka akan memakai nama asli dan akan ditambahkan dengan nama belakang dengan nama daerah asalnya seperti; Jhon Timor dan sebaginya (Timor menunjukan bahwa ia berasal dari Pulau Timor).

Mengenal para debit colectore tidak lah sulit yang pasti selain cirri-ciri fisik yang kebanyakan berkulit hitam dengan kepala plontos atau rambut di lepas seperti potongan rambut Tokoh Pemuda Pro Integrasi dari Timor Leste Eurico Guiteres. Ada fashion dan aksesors khusus yang dikenakan seperti, Jaket Kulit Hitam, Sepatu Kulit Vantofel, Rantai leher yang terbuat dari besi Putih dengan mata rantai yang berbentuk Salib bagi yang beragama Kristen sedangkan Islam dengan symbol Islam atau bentuk aksesoris lainya, gelang tangan yang terbuat dari besi putih, menarik bahwa mata rantai atau hiasan salib yang di gantung di rantai leher tersebut berukuran cukup besar mulai dari 5 cm – 10 cm. hal ini untuk menunjukan bahwa mereka memiliki dan menganut agama yang diakui dalam Negara ini. Kehidupan keagamaan mereka cukup baik mereka tetap akan beribadah pada jam ibadah bahkan mereka membentuk Persekutuan Doa atau kelompok Ibadah khsusus untuk komunitas mereka. Hal ini menunjukan bahwa mereka pun memiliki harapan untuk mendapatkan berkat atau Rezeki dari jasa yang mereka kerjakan.

Jenis Pekerjaan yang di kerjakan oleh kelompok ini sangat beragam yakni;
1. Jasa penagihan Hutang Perusahaan kepada Perusahaan lain
2. Jasa penagihan Hutang Perusahaan kepada Perorangan
3. Jasa Penagihan Hutang Perorangan Kepada Perusahaan
4. Jasa Penagihn Hutang Perorangan Kepada Orang Lain
5. Jasa Pengamanan Perusahaan
6. Jasa Pengamanan Aset
7. Jasa Pengamanan Pribadi (Body Guard)
8. Jasa Pengamanan Event
9. Jasa Pengamanan Pengalihan Lahan atau Eksekusi Lahan.
Jasa ini terkadang di bentuk dalam sebuah perusahan jasa, tetapi kebanyakan di bawah koordinasi Si Bung yang memiliki jaringan dengan para konglomerat ataupun para Advocat yang menangani perkara sengketa atau utang-piutang ini.
Menarik dalam perkembangan kini Si Bung juga sudah mulai membenahi diri dengan pendidikan Hukum alias Kuliah Ilmu hukum biasanya kelas malam atau eksekutif sabtu-minggu di universitas seperti Universitas Bung Karno, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Gotong Royong dan lainnya. Dengan perhitungan apabila ia sudah selesai ia dapat bergabung di kantor Advocat tertentu dan memiliki massa apabila ada eksekusi lahan atau rumah maka tidak perlu lagi mencari orang, bahkan mereka dapat tinggal di lahan atau rumah yang dalam masa sengketa atau proses pengadilan.

Hampir di semua lahan kosong di Jakarta yang dalam proses pengadilan di didiami oleh komunitas ini, tetapi tidak hanya melakukan pekerjaan itu saja tetapi mereka biasanya melakukan perkerjaan lain atau menerima jasa lain seperti penagihan hutang dari bank-bank swasta dan negeri. Dengan satu tujuan mengumpulkan uang sebanyaknya untuk dapat mengirimkan uang ke kampong halaman bagi orang tua.

Dalam melakukan penagihan mereka memiliki cara-cara baku dalam tahap-tahap tertentu ketika mereka mendapatkan orderan penagihan ada proses tawar menawar harga melalui proses perhitungan yang matang jika ada uang operasional yang ditanggung dari pemberi order berarti komisi dari jumlah penagihan berkisar 20-25% menjadi milik Penagih, pemberian 5% untuk Si Bung. Tetapi apabila tidak ada uang opeasional dari yang punya orderan maka komisi dan uang operasional diambil dari hasil tagihan yang berkisar 30- 35%. Sedangkan untuk jasa pengalihan lahan biasanya perhitungan harian dimana sehari Rp.50.000 - Rp. 100.000 tergantung berat ringannya kasus karena mengyangkut taruhan nyawa.

Apabila telah ada kesepakatan antara yang punya Hutang atau yang punya lahan mereka atau komunitas ini hanya memohon Surat Kuasa sebagai legalitas dan foto kopi surat-surat hutang-piutang, atau bukti-bukti transaksi lainya. Hal ini sebagai kekuatan baginya untuk melakukan pekerjaan ini. Cara kerja debit collector melalui proses dan jenjang dari sopan hingga batas tolerir yakni; Debit Collector dating ke rumah tagih secara sopan dan baik-baik terus menetapkan tanggal bayar, pada tanggal jatuh tempo tersebut mereka akan kembali hadir namun mereka sudah melaporkan diri ke polsek terdekat serta RT/RW dimana rumah tagih itu ada, apabila belum dilakukan pembayaran mereka akan menunggu di rumah tagih tesebut, apabila yang bersangkutan tidak ada mereka akan menelpon dan menggertak bahkan mereka akan datang ke tempat kerja dari si penghutang hingga mendapatkan kesepakatan tertentu tetapi apabila tidak ada kesepakatan maka para debit collector akan mengambil barang-barang berharga tertentu yang senilai dengan jumlah hutang tersebut, apabila telah di lakukan pelunasan maka barang jaminan akan di kembalikan.

Sikap inilah yang dianggap oleh para Penghutang bahwa sangat meresahkan dan dianggab sebagai sikap premanisme namun komunitas ini menolak untuk di katakan sebagai preman karena mereka memiliki Surat Kuasa sebagai legalitas atau dasar hukum untuk melakukan tugas atau jasa ini. Dan bahkan masyarakat memohon kepada Kapolri waktu itu Sutanto memberlakukan program penumpasan Premanisme di Indonesia banyak orang berharap agar bukan saja premanisme jalanan dan konvensional yang di tumpas tetapi mereka menggeneralisir agar komunitas ini pun ikut di tumpas.

Pemikiran ini sebenarnya sangat keliru karena jasa komunitas ini pun membantu pihak bank-bank baik itu swasta maupun Negara sehingga peran mereka sebenarnya tidak salah tetapi sebaiknya diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang jasa penagihan karena hal ini menyangkut sistim perbankan yang ada di dalam Negara kita, sehingga tidak dapat di salahkan apabila komunitas ini ada karena mereka mampu melihat peluang atau menciptakan peluang kerja guna mengatasi problem lapangan kerja baru. Debit Collector bukanlah sebuah kutukan tetapi ini adalah peluang sesuai dengan karakter diri dimana mungkin alam dan kondisi geografis di Indonesia Timur yang sangat kompleks permasalahan nya dimana dengan kekuatan fisik untuk mendapatkan uang atau makanan sehingga Komunitas ini tertarik dengan profesi ini karena dengan kekuata fisik dapat menghasilkan uang namun sangat menggiurkan karena dapat memperoleh komisi dalam jumlah yang besar.

Hal lain yang turut mendorong adalah pembangunan yang hanya terkonsentrasi di wilayah Barat Indonesia menyebabkan kamajuan dan perputaran uang ada di Kota di Wilayah Barat Indonesia hal inilah yang menjadi daya tarik bagi komunitas ini untuk mengadu nasib di Jakarta dan kota lainnya, di perhadapkan lagi dengan pendidikan yang kurang memadai membuat peluang untuk mendapatkan pekerjaan lain sangat kecil sehingga apa boleh buat profesi yang mudah dan tidak sulit untuk di kerjakan adalah bergabun dengan komunitas Debit Collector.

Solusi yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini anggota legislative adalah membuat Undang-Undang yang mengatur tentang Jasa penagihan dan pengamanan, mensahkan jasa penagihan sebagai salah satu profesi yang dapat diakui oleh masyarakat luas, dan diatur bagaimana komunitas atau seseorang dapat melakukan jasa ini dengan memiliki sertifikasi melalui pelatihan-pelatihan tertentu sehingga komunitas ini memiliki keahlian sebagai seorang tenaga atau profesi jasa penagihan atau pengamanan.

Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik FISIP – UI NPM : 0806383314
Sebuah Refleksi atas Realitas Sosial yang faktual

"Tari Poco-Poco Ala Megawati"

“Tarian Poco-Poco ala Megawati”
*Yoyarib Mau
Mengamati pertarungan menuju kursi RI – 1 (satu) sangat menarik sejak Pilpres 2004 hingga menghadapi pilpres 2009 Megawati seakan tak kalah saingan dengan incumbent SBY dan JK yang akan bertarung lagi pada pilpres 2009. Pada setiap kesempatan Megawati selalu memosisikan diri sebagai kelompok oposisi, hal ini bukti ekspresi jati diri partai yang dipimpinya karena sejak pemilu 1971 PDIP yang kala itu masih tampil dengan nama PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang mengalami penyerderhanaan pada era President Soeharto karena alasan “efisiensi pemilihan”.

Pada pemilu 2004 maka PDIP kembali mempertegas diri sebagai partai opisisi yang sering mengidentikan diri sebagai partai wong cilik, yakni mereka yang termarjinalkan, dan minoritas dan selalu membakar semangat romantisme mendiang president Soekarno sebagai nasionalis dan tokoh kerakyatan yang tidak peduli pada dunia harta, pro rakyat dan anti asing menjadi ideology partainya.

Pada awal kepemimpinan SBY-JK partai yang di pimpin Megawati ini getol mengkritisi setiap kebijakan yang digelontorkan SBY-JK, peran PDIP sebagai oposisi yang tidak menguasai parlemen pada pemilu 2004 otomatis harus berperan sebagai pengontrol terhadap partai yang memegang tambuk kekuasaan, bukti peran sebagai oposisi yakni menolak kebijakan pemerintah yang melakukan import beras dan gula illegal, yang menarik adalah para politisi dari PDIP untuk mengenakan “topi petani” dalam setiap ruang rapat parlemen maupun di gantung di ruangan kerjanya sebagai bukti keseriusan PDIP dalam menolak kebijakan ini, tidak hanya itu saja tetapi saat kondisi minyak dunia yang mengalami kenaikan maka PDIP tetap menolak kenaikan minyak dan tetap menuntut agar subsidi minyak bagi rakyat tetap dipertahankan.

Fungsi politik yang dijalankan PDIP menarik simpati masyarakat bahkan sempat memosisikan diri sebagai partai yang memiliki elektabilitas yang cukup baik, bahkan program BLT (Bantuan Langsung Tunai) di anggap sebagai program pembodohan masyarakat, bahkan pemerintahan SBY-JK di anggap seperti “menari poco-poco” yang berpola dua langkah ke depan – dua langkah kebelakang, dua langkah ke samping kiri – dua langkah ke samping kanan, dan juga seperti permainan “yo yo” yang memiliki pola naik-turun Megawati sebenarnya hendak mengatakan bahwa pemerintahan ini tidak berbuat apa-apa. Bahkan dalam setiap kesempatan kampanye PDIP jelang Pemilu Legislatif 09 April 2009 yang lalu Megawati selalu mencebir program BLT.

Pasca Pemilu Legislatif PDIP keoposisian PDIP sebagai oposisi sejati dengan memotori beberapa partai politik untuk mengkritisi hasil Pemilu Legisltif karena ada kecurungan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dimana banyak rakyat tidak dapat mengikuti pemilu legislative karena pemerintah mengkhianati hak politiknya, bahkan permasalahan ini membawa sejumlah partai politik yang tergabung dalam koalisi besar yang akan bergabung dalam parlement untuk menandingi partai pemenang pemilu.

Namun dalam perjalanan menuju pilpres 2009 semuanya berubah ketika President Susilo Bambang Yudoyono mengutus Mensesneg Hatta Radjasa untuk menemui Mantan President Ibu Megawati di rumahnya di Jl. Teuku Umar, untuk melakukan komunikasi politik dan memberikan hibah rumah tersebut kepada mantan president ini, walaupun Hatta Radjasa adalah kader PAN tetapi mewakili President SBY untuk menyampaikan pesan-pesan politik diamana SBY sebagai ikon Partai Demokrat. Hal ini sebenarnya adalah sebuah kesalahan tetapi mereka mencoba membungkusnya dengan bahasa politik demi kamajuan bangsa.

Pembahasan dalam tulisan ini mengapa dengan mudahnya Megawati berputar haluan seperti jarum jam yang berputar 180 derajat? PDIP seakan lupa akan masa lalu apa yang telah diucapakan, ibarat “menjilat air ludah sendiri” karena tergiur dengan tawaran-tawaran politik dan melupakan apa yang menjadi hasil keputusan PDIP lewat mekanisme organisasi yakni hasil Kongres di Bali Maret 2007, Rakernas PDIP di Solo Jawa Tengah pada Januari 2009, dan terakhir dalam Rapimnas di Jakarta akhir yang lalu. Dimana Megawati tetap ditetapkan maju sebagai Capres. Berubahnya sikap Megawati pasca kunjungan Hatta Radjasa ke Teuku Umar membuat Megawati seperti kehilangan arah. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Megawati memiliki kesenangan berpoco-poco? dimana menyindir orang dengan tarian Poco-poco padahal dirinya sendiri sedang bermain Poco-poco.

Sikap Megawati ini mencerminkan bahwa dia sendiri tidak konsisten dalam setiap keputusannya, dengan alasan bahwa demi memikirkan “langkah strategis untuk memperkuat bangsa kedepan” padahal dalam posisi politik sebagai oposisi hal ini juga melakukan fungsi politik demi keamjuan bangsa yakni “cheks and balance” dalam pemerintahan juga dalam rangka memperkuat bangsa, namun pertimbangan lain yang mungkin di pikirkan oleh Megawati yakni lelah menjadi oposisi dan ingin berada dalam lingkaran kekuasaan sebagaimana yang di utarakan Gaetano Mosca (Ramlan Surbakti – Ilmu politik – 1992) bahwa “dalam masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol Pertama; kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua; kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan paksaan.”

Sesuai dengan pendapat diatas hal ini menunjukan bahwa Megawati kemungkinan besar tergiur dengan kekuasaan dan ingin menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan memilih berada pada posisi koalisi pemenang pemilu yang mayoritas menguasai parlement setidaknya sejumlah jabatan strategis akan di berikan kepada PDIP. Jika memang PDIP dalam hal ini Megawati sebagai Ketua Umum PDIP menerima tawaran untuk berkoalisi dengan Partai Democrat maka Hasil keputusan organisasi yang memberikan mandate dan mengaskan bahwa tetap Megawati maju sebagai Cawapres sudah final dan tambahan mandat untuk menentukan Cawapres sendiri menjadi “blunder” (cair), terkesan bahwa keputusan ini merupakan keputusan pribadi dan segelintir orang dalam lingkaran DPP PDIP dan tidak lagi melakukan mandat atau hasil keputusan PDIP.

Apabila hal ini benar dan dikemudian hari keputusan berkoalisi ini gagal karena menemui kebuntuan karena tidak menemukan titik temu, kemudian Megawati kembali menegaskan diri untuk maju sebagai Capres dan bergabung kembali dalam koalisi besar yang telah di gagas bahkan di tanda tangani di Teuku Umar (kediaman Megawati) sebagi bukti kesepakatan bersama maka sikap Megawati (PDIP) ini seperti menari poco-poco, karena Megawati ibarat wanita yang memiliki body Poco-poco (baca : tubuh seksi) yang didekati oleh para lelaki (baca : partai politik) untuk menarik hatinya dalam permainan poco-poco, maka akan sesuai dengan sepenggal lirik lagu “kau yang memulai kau yang mengakhiri”

Penulis Mahasiswa : Jurusan Ilmu Politik - Politik Indonesia, FISIP - Universitas Indonesia, Nomor Pokok Mahasiswa : 0806383314

Berawal dari kisruh DPT Pilkada Jawa Timur

"Kisruh DPT Pilkada Jawa Timur"
*Yoyarib Mau
Kisruh DPT (Daftar Pemilih Tetap) di Jawa Timur merupakan hal yang tidak sewajarnya terjadi, karena merugikan berbagai pihak yang berkepentingan dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur (selanjutnya akan di pakai PILKADA JATIM) yang berlangsung dua putaran. Putaran kedua menyisihkan dua pasangan kandidat yakni Soekarwo – Saefulah Yusuf (Kar–Sa) dan Kofifah Indar Parawansa – Mujiono (Ka-Ji) bahkan setelah itu masih juga dilakukan Pilkada putaran ketiga di daerah Sampang dan Bangkalan.

Pada pilkada ulang yang dilakukan di dua daerah inilah, ditemukan ada indikasi tentang dugaan penggelembungan DPT . Permasalahan ini sebenarnya telah diinformasikan hasil audit LP3ES pada Agustus 2008 terhadap daftar pemilih yang pada saat itu masih berstatus sementara (DPS) Audit dilakukan secara dua arah, yakni dengan mencocokan nama dari daftar pemilih ke masyarakat (list-to-people test) dan sebaliknya mewawancara sejumlah orang untuk dicocokan daftar pemilih (people-to-list test) .

Pilkada Jatim merupakan salah satu pilkada yang menyedot perhatian dan energi serta biaya dari pemerintah pusat selain Pilkada Maluku Utara. Untung nya Pilkada Jatim kali ini tidak menimbulkan ketegangan hingga konflik fisik. Menarik bahwa kedua kubu memilih untuk melakukan gugatan melalui proses hukum yang berlangsung cukup sengit, karena tuntutan pihak Ka-Ji mengenai dugaan manipulasi ini melanggar UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Manipulasi data kependudukan meliputi, yang meninggal dunia, yang belum genap 17 tahun, satu nama bisa memiliki lebih dari Nomor Identitas Kependudukan dan KTP dengan alamat, tempat dan tanggal lahir yang sama.

Pasca Pilkada serta keputusan KPU dengan memenangkan pasangan Kar-Sa tidak dengan sendiri permasalahan hukum nya selesai, tetapi tetap dilakukan upaya penegakan hukum oleh pihak yang berwewenang yakni kepolisian dalam hal ini yang bertanggung jawab yakni Eks Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Herman Surjadi Sumawiredja, ketika masih menjabat Kapolda, Herman mengendus pemalsuan DPT di Sampang dan Bangkalani. Dia menemukan lebih 27 persen dari total pemilih yang terdapat dalam DPT adalah fiktif. Temuan yang dilakukan Eks. Kapolda Jatim ini akhirnya menjadikan ketua KPUD Jatim sebagai tersangka. Namun penegakan hukum yang dilakukan oleh oleh Mantan Kapolda Jatim ini menemui bencana dimana Ia harus rela menerima kenyataan karena di copot dari Kapolda dari Mabes Polri dengan alasan hendak pensiun, dan tidak hanya dirinya yang dicopot, tetapi juga status tersangka ketua KPUD Jatim, Wahyudi Purnomo diturunkan dari tersangka menjadi saksi. Herman lalu kecewa dan memilih mundur sebagai anggota Polisi

Penegakan hukum dalam negara Indonesia masih mengalami hambatan akibat intervensi atasan, kekuasaan yang berkuasa, atau keberpihakan akibat oligarki (pemerintahan yg dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu), dan menggerus idealisme serta perilaku etis-moral untuk menegakan kebenaran, dalam era reformasi menjunjung tingggi hukum hanyalah fatamorgana belaka.

Penegakan hukum menemui kebuntuan bahkan menciptakan konflik kepentingan antara para elit dan penguasa, menjadi pertanyaan yang perlu dijawab bersama yakni, “mengapa dalam menegakan hukum sebagai salah satu agenda reformasi bangsa Indonesia, harus berujung dengan pencopotan Jabatan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Herman Surjadi Sumiawiredja?”



Penyelesaian hukum tentang masalah DPT Pilkada Jawa Timur yang belum selesai mengalami kebuntuan karena Eks. Kapolda Jatim keburu dicopot dari jabatannya padahal hasil temuan tentang DPT fiktif dalam Pilkada Jawa sedang dalam penanganan dengan demikian hal ini menimbulkan konflik antara Eks. Kapolda Jawa Timur yang di copot dengan Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Konflik terjadi karena adanya kemungkinan adanya intervensi kekuasaan, hal ini sesuai dengan tulisan Ramlan Surbakti mengenai konsep Asumsi-asumsi Politik bahwa
“Pada setiap masyarakat, penguasa berusaha mempertahankan kekuasaannya yang istimewa. Upaya itu dilakukan dengan mencari pembenaran-pembenaran dalam bentuk ideologi, mitos nasional, ajaran agama, dan formula-formula politik lainnya. Maksudnya, penguasa acapkali melakukan pembohongan atau setengah benar-setengah bohong untuk menyakinkan masyarakat”.

Dalam menetapkan teori yang tepat, perlu di lihat hubungan antara elit dan penguasa terkait yang memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dalam Pilkada Jawa Timur yang dimenangkan oleh Kar-Sa. Perlu dilihat latar belakang Partai Pengusung dari masing-masing pihak, dimana salah satu partai pengusung adalah Partai Demokrat dan Saefulah Yusuf sendiri adalah mantan anggota Kabinet atau Menteri Pengembangan Daerah Tertinggal yang memiliki kedekatan atau hubungan emosional dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Kapolri terpilihpun adalah nama yang diajukan oleh Presiden sedangkan dari pihak Kaji, partai pengusung nya adalah PDIP.

Dengan demikian, kelompok kami akan meneropong konflik DPT di Jawa Timur dengan menggunakan teori konflik Scott” yakni “Patron-Klien”. James C. Scott memberikan defenisi kelompok patron-klien sebagai;

“Hubungan dua orang yang terdiri dari seorang dengan status sosioekonomi yang lebih tinggi (patron) yang menggunakan pengaruh dan sumber-sumber kebutuhan hidup (resources) yang dimilikinya untuk member perlindungan dan keuntungan bagi orang lain (klien) yang membalasnya dengan memberikan dukungan dan bantuan”.

Patron sendiri adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan terpandang dalam masyarakat dan pemerintahan sehingga mempunyai pengaruh terhadap sejumlah besar orang lain dalam masyarakat. Kelompok patron klien adalah kelompok yang sangat informal . Tidak ada ketentuan-ketentuan tertulis yang mendasari pembagian kekuasaan dalam kelompok. Selain itu juga tidak ada peraturan-peraturan kelompok yang mengatur hubungan antar anggota dalam kelompok. Kelompok berjalan sebagaimana adanya tergantung keinginan dan kebutuhan patron. Kelompok ini juga tidak memerlukan pengesahan secara hukum dan terbentuk dengan sendirinya sesuai kebutuhan patron klien. Oleh sebab itu, seorang patron dapat memberikan bantuan kepada sejumlah kliennya tetapi dapat juga menarik bantuan tersebut jika si klien mulai menyimpang atau membelot dari perintah si patron. Begitu juga di pihak klien, para klien membalas pemberian patron dengan memberikan dukungan dan pelayanan terhadap patron. Namun dalam konflik DPT Jawa Timur dari dua model patron klien yakni; patron-klien-gugus dan patron-klien-piramida. Patron-klien-gugus hanya ada satu patron dengan beberapa klien, sedangkan patron-klien-piramida terdiri dari seorang patron tertinggi dan di bawah patron tertinggi terdapat sejumlah klien yang merupakan patron kecil bagi sejumlah klien. Sehingga pembahasan ini lebih mengerucut pada patron-klien-piramida karena permasalahannya bertingkat dan sesuai dengan permasalahan atau konflik ini dalam bidang pemerintahan dan politik. Teori ini juga memegang faktor penting, yaitu hubungan kekuasaan. Kekuasaan sendiri mengandung :
1. Suatu tipe pengaruh tertentu, akan tetapi tidak identik dengan nya.
2. Diwarnai dan dimodifikasi oleh nilai, kaidah atau patokan yang dianut oleh pihak yang berinteraksi. Apabila ada nilai yang disepakati, maka kekuasaan distabilkan dalam bentuk wewenang.
3. Oleh karena reaksi ambivalen atau negatif lebih sering terjadi daripada reaksi afeksional atau positif, maka biasa nya keadaan itu mengandung konflik atau friksi.
4. pengecualian terhadap konflik ada, apabila kekuasaan terjadi karena daya tarik seseorang yang dominant, atau mempunyai kharisma.

Karena kelebihan yang dimiliki oleh patron tertinggi lah, ia memiliki kekuasaan terhadap para klien-klien nya. Menurut Schermerhorn, kekuasaan menurut kasus diatas berdasarkan hubungan asimetris yang mempunyai cirri khas proses pengaruh-mempengaruhi yang tidak setara (timpang) artinya tipe pengaruh yang tidak mempunyai efek umpan balik yang setara .


Konflik ini lebih pada konflik politik dan bukan konflik ekonomi, karena berhubungan dengan kekuasaan. Pada kasus ini, patron tertinggi adalah Presiden bagi sejumlah klien seperti Kapolri dan KPU, sedangkan Patron Kecil Kapolri memiliki Patron kecil dengan Kapolda Jawa Timur, KPU berpatron kecil dengan KPUD serta KPUD memiliki klien yakni Pasangan Kar-Sa yang merupakan salah satu kandidat peserta Pilkada Jawa Timur.

Seorang klien akan dikeluarkan oleh patron dari kelompok patron-klien bila klien tersebut ia anggap tidak lagi setia atau loyal atau tidak lagi memberikan dukungan dan bantuan kepada patron. Oleh sebab itu terjadilah pencopotan Irjen. Pol.Herman Surjadi Sumawiredja dari Kapolda oleh Kapolri Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri. Ini menunjukan patron-klien-piramida, Presiden sebagai patron tertinggi dimana perintah Presiden kepada Kapolri (patron kecil) untuk menyelesaikan kasus tersebut, dan Irjen Pol. Herman Surjadiwiredja sebagai klien. karena menjadikan Ketua KPUD Jawa Timur sebagai tersangka, sehingga Herman di copot dari Kapolda dengan alasan Pensiun, status tersangka ketua KPUD Jatim diturunkan dari tersangka menjadi saksi, Herman lalu kecewa dan memilih mundur sebagai anggota Polri . Jika diteliti lebih lanjut posisi Herman untuk membeberkan masalah intervensi Kapolri terhadap kasus Pilkada Jatim, didukung sejumlah perwira, terutama yang satu lulusan dengannya, yakni angkatan 1975 atau perwira menengah (pamen), tetapi itu saja tidak kuat karena Kapolri didukung para jenderal, terutama yang satu angkatan dengan Kapolri BHD juga presiden.

Hal ini membuat jajaran Polri kebakaran jenggot karena harus mempertanggung jawabkan permasalahan ini kepada patron tertinggi yakni presiden, sehingga pada tanggal 20 Maret 2009 Kapolri mengumpulkan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pilkada Jatim, mereka yang diundang adalah ketua KPU Abdul Anshary beserta jajarannya, ketua KPUD Sampang Abu Ahmad Dhofier Syah, ketua KPUD Bangkalan Jazuli Nur, ketua Panwaslu Jatim Sri Sugeng Pujiatmoko, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jatim Made Suratmadja dan seluruh jajaran Polri hadir, sebut saja Kapolda Jatim Birgjen Pol. Anton Bachrul Alam yang didampingi Dirserse dan Dir Intel dan Kapolri sendiri tampil full team bersama Wakapolri Komjen Pol. Makbul Padmanegara, Kabareskim Komjen Pol. Susno Duadji, Kadiv. Humas Irjen. Pol. Abubakar Nataprawira, Irwasum Komjen Pol. Yusuf Manggabarani dan beberapa pejabat Polri.

Ini menunjukan bahwa teori patron-klien benar-benar tercermin karena Kapolri harus mempertanggung jawabkan permasalahan ini kepada patron tetinggi yakni Presiden, sehingga semua all out untuk menyelesaikan permasalahan ini, seyogyanya jika masalah DPT maka KPU yang berhak mengundang semua elemen untuk menjelaskan karena DPT merupakan ranah dan tugas KPU bukan masalah Kepolisian. Tugas polisi sebaiknya menindaklanjuti laporan tentang polemik daftar pemilih tetap. Sebenarnya Kepolisian berusaha untuk mencuci tangan atas kesalahan yang telah di buat dan melaksanakan apa yang di perintahkan Presiden, yang menarik adalah pasca pertemuan semua panwaslu yang hadir dalam acara tersebut terasa tidak berdaya lagi untuk menegakkan kebenaran, hal ini merupakan formula-formula politik yang diterapkan untuk mengamankan kekuasaannya.


Tidak dapat di pungkiri bahwa Kapolri tunduk dan taat kepada Presiden karena Kapolri merupakan jabatan birokrasi dimana jabatan tersebut dipilih oleh Presiden dengan meminta persetujuan wakil rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian bahwa ada domain kekuasaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya atas orang yang dipilih untuk menjabat posisi tertentu, sudah barang tentu orang yang di tunjuk untuk menjabat sebuah posisi pejabat birokrasi harus loyal kepada Presiden. Hal ini merupakan persoalan klasik yang kembali di ungkapkan oleh Miftah Thoha, bahwa dalam hubungan seperti ini timbul persoalan siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai, memimpin, dan mendominasi siapa.
Sebaiknya pejabat birokrasi atau lembaga pemerintah harus bekerja secara professional tanpa ada intervensi dari pribadi atau patron lebih tinggi. Tak dapat di pungkiri bahwa penunjukan atau pemilihan nama sudah melalui deal-deal atau kesepakatan-kesepakatan tertentu sehingga tidak dapat disangkal bahwa patron-klien tetap terpelihara atau kompromi harus dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan dengan formula-formula politik seperti yang dituliskan diatas bahwa Kapolri yang mengundang KPU dan Panwaslu ini menunjukan bahwa perilaku orde baru kembali hadir dimana kuatnya dominasi negara dan birokrasi dalam mengontrol kehidupan masyarakat serta melaksanakan politik penyingkiran secara paksa, Hal ini dapat menghadirkan persepsi bahwa lembaga kepolisian sebagai pengabsah keputusan dan keinginan presiden.

Oleh Yoyarib Mau/ Mahasisa Ilmu Politik Universitas Indonesia/ NPM - 0806383314

"Bentuk Komisi Khusus atau Panitia Ad Hoc untuk seleksi CALEG"

“Pembentukan Komisi atau Panitia Ad Hoc Penyeleksian Caleg”
Oleh: Yoyarib Mau
Pemilu legislatife tahun 2009 ini meninggalkan banyak kisah yang perlu di cermati bersama, pemilu kali ini partai peserta pemilu terbanyak yang terdiri dari 44 partai politik yang didalamnya terdapat 6 partai local yang semuanya ada di Provinsi Aceh. Dari 34 Partai ini memperebutkan 560 kursi di DPR RI, dan juga perebutan kursi DPRD di tingkatan Provinsi serta Kota/Kabupaten.

Perebutan kursi legislatife puncaknya telah diikuti bersama oleh seluruh masyarakat di seluruh wilayah NKRI pada tanggal 09 April 2009 yang sebelumnya di minta untuk diundur pelaksanaannya karena permasalahan DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang dimuat dalam Majalah Tempo Edisi 23 Februari – 1 Maret 2009 bahwa “ada masalah serius pada daftar pemilih tetap yang jumlahnya 170 juta, pemilih tak terdaftar, ditemukan pemilih yang lahir setelah 2008, duplikasi nama, komposisi lelaki dan perempuan dilokasi yang tak masuk akal, juga pemilih fiktif” Protes diajukan oleh Partai politik bahkan lembaga swadaya masyarakat agar pemilu di tunda tetapi KPU (Komisi Pemilihan Umum) tetap konsisten untuk melakukan pesta demokrasi atau legislatife. Pemilu kali ini diikuti oleh berbagai calon anggota legislative dari berbagai latar belakang profesi dan tingkatan pendidikan karena banyaknya partai politik sehingga perlu melakukan perekrutan guna memenuhi kuota.

Diantara para caleg (calon anggota legislatife) ada yang dari latar belakang anak petinggi negara, artis, penyanyi, pengusaha, birokrat, bahkan dari berbagai strata kehidupan mewarnai bursa calon anggota legislative, yang menarik adalah hasil dari pemilu legislatife itu sendiri pada satu sisi membawa berkah bagi yang beruntung, namun membawa petaka bahkan penyakit bagi mereka yang tidak terpilh atau berhasil, kebanyakan yang beruntung adalah mereka yang memiliki uang atau biaya operasional politik yang memadai dengan mendirikan sekertariat kampanye seperti di Daerah Pemilihan NTT II Setya Novanto dengan SNC (Setya Novanto Center) dan ada keberuntungan bagi partai politik tertentu yang mencalonkan anggota legislatife yang berasal dari kalangan selebritis, artis penyanyi ataupun pemain film, ini menjadi keberuntungan tersendiri seperti Tantowi Yahya maju dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I yang memperikirakan akan meraup suara sekitar 200.000 suara, sedangkan H. Mandra yang nota bene seorang pemain sinetron yang memainkan peran yang lucu adalah seorang Caleg dari PAN (Partai Amanat Nasional) Daerah Pemilihan (Dapil) I Jakarta Timur yang mampu meraup suara sebanyak 1.244 suara.

Bagi para caleg yang gagal tidak terpilih banyak dari mereka yang mengalami frustasi bahkan depresi bahkan tidak segan-segan bunuh diri karena tidak kuat menangggung kekalahan, Koran tempo mencatat bahwa sedikitnya 15 calon anggota legislatife dari berbagai partai di duga mengalami tekanan kejiwaan (stress) Para calon legislator yang gagal dalam pemilihan 9 april lalu itu memilih pengobatan alternatife di Majelis Zikir Darul Lukman milik Ustad Bustomi di Desa Sinarancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Tidak hanya yang stress tetapi yang lebih tragis lagi adalah nekat bunuh diri dengan gantung diri atau menabrakan diri hingga meregang nyawa seperti yang terjadi di Cirebon dimana anggota legislatife Partai Kebangkitan Bangsa Kota banjar Jawa Barat, Ny Sri Hayati di temukan tewas di sebuah gubuk di tengah sawah. Dan juga apa yang terjadi di Kupang - NTT Cristofel Max beberapa hari lalu, masih banyak hal lain yang dilakukan pasca kekalahan dalam pertarungan dalam pesta demokrasi bahkan apa yang telah disumbangakan kepada masyarakat mau di ambil kembali karena dia tidak dipilih realitas ini merupakan cerminan yang menunjukan bahwa ketidaksiapan atau ketidakmatangan berpikir dan tidak siap menerima kegagalan.

Kondisi ini membuat banyaknya jatuh korban akibat pesta demokrasi dan menjadi pertanyaan yang perlu dilakukan guna menjawab permasalahan ini yakni, “Bagaimana proses yang tepat untuk menentukan seseorang dapat menjadi Calon Anggota Legislatif?”
Memang partai politik memiliki hak dan kewenangan untuk menentukan calegnya untuk mewakili partai politik pengusung, dengan memenuhi sejumlah syarat administrative dan kesehatan namun hal lain yang perlu di perhatikan kedepan adalah masalah kejiwaan dan kematangan serta kedewasaan berpikir serta psikologinya dan yang terutama adalah kemampuan atau skill (keahlian) melalui proses kaderisasi partai, guna menjawab fungsi seorang legislatife.
Untuk mendapatkan respon yang baik dari masyarakat terhadap partai politik tertentu, hal ini ditentukan oleh kapabilitas legislatornya sehingga legislator harus dilihat dari perilaku manusia atau dilakukan Pendekatan perilaku Menurut Meriam Budiardjo - 2008 bahwa, “salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya.sebaliknya lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati” dari pernyataan ini menunjukan bahwa perilaku manusianya yang menentukan arah politik atau hasil sebuah kebijakan politik

Pemikiran ini sesuai dengan salah dua dari konsep pokok yang disimpulkan oleh David Easton dan Albert Somit yang di tulis kembali oleh Miriam Budiardjo - 2008, “Perilaku politik menampilkan keteraturan (reigularities) yang perlu dirumuskan sebagai generalisasi-generalisasi yang kemudian dibuktikan atau diverifikasi kebenarannya. Dan yang kedua “harus ada usaha membedakan secara jelas antara norma (ideal atau standar sebagai pedoman untuk perilaku) dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan dan pengalaman). Dari pemikiran teori “pendekatan perilaku” dapat menunjukan bahwa perilaku anggota legislator di parlemen atau dirumah rakyat dapat terlihat dari perilaku anggota dewan perwakilan rakyat dalam memberikan suaranya dalam penyusunan undang-undang, melakukan pengawasan bahkan bagimana memperoleh inspirasi dalam memprakarsai sebuah ide yang akan dituangkan dalam undang-undan bahkan melakukan fungsinya sebagai seorang legislative, berdasarkan UUD 1945, lembaga DPR RI memiliki tiga fungsi utama yakni, fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

Tuntutan dari para calon legislator guna memiliki perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan sangatlah tepat karena harus memenuhi esensi dari legislative, namun kenyataaan saat ini bahwa partai politik hanya memenuhi nafsu kekuasaan tanpa mempertimbangkan esensi dari legislasi dengan demikian produk undang-undang yang dihasilkan pun tidak berbobot bahkan roda pemerintahan pun tidak berjalan maksimal bahkan berdampak pada tingkat pengambilan kuputusan yang sangat pragmatis. Pemikiran penulis sangat mendasar karena partai-partai politik yang mengajukan caleg-calegnya kebanyakan tidak memiliki kapabilitas yang cukup hanya karena wajah mereka yang familiar lewat media massa, atau bahkan mereka yang memiliki mental yang labil serta moral yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Penulis dalam tulisan ini menawarkan solusi atau wacana guna menemukan bahkan mendapatkan legislator-legislator yang baik dimasa yang akan datang. Peran pemerintah dalam memajukan demokrasi di Indonesia dengan membentuk Komisi Khusus atau Panitia Ad Hoc yang anggotanya berlatar belakang psikolog dan akademisi yang bertugas melakukan seleksi bagi calon-calon legislative yang diajukan oleh partai politik sebagai institusi pengkaderan yang kemudian nama-nama inilah yang diajukan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk di tetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) dari partai-partai politik peserta pemilu. Jika pola ini diterapkan maka niscaya Negara kita dapat dan mampu menghadirkan legislator-legislator yang bermutu dan berbobot yang akan tercermin lewat kinerjanya dalam menghasilkan produk-produk hukum serta melakukan pengawasan yang optimal terhadap roda pemerintahan yang di jalankan.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI
NPM : 0806383314