Selasa, 23 Maret 2010

"Permasalahan ACFTA dalam Sistem Ekonomi Pancasila"

PERMASALAHAN ACFTA DALAM SISTIM EKONOMI PANCASILA
*Yoyarib Mau

Sistim Ekonomi Indonesia (SEI) dalam setiap masa kepresidenan Republik Indonesia memiliki konsep yang berbeda- beda, hal ini di pengaruhi oleh faktor pergumulan politik pada setiap masa kepemimpinan. Diawali masa kemerdekaan dari kolonialisme maka konsep ekonomi memiliki penerjemahan karena perjuangan politik saat itu yakni bagaimana mengintegrasikan bangsa yang tercerai berai karena penjajahan imperialisme Eropa yang cukup panjang. Mengakibatkan konsep pembangunan ekonomi yang dikembangkanpun hanyalah untuk memenuhi kebutuhan hidup yakni kecukupan pangan sehingga tidak menghadirkan persepsi dunia luar bahwa Indonesia mengalami ”failed state” (negara gagal).

Karena kondisi kemerdekaan baru saja diraih dari penjajahan, keadaan ekonomi negara pun berjalan tertatih-tatih sehingga membutuhkan pertolongan, gotong-royong dan pembenahan sehingga kepemimpinan duet proklamator Soekarno dan Muhammad Hatta, tetap berkomitment dalam kondisi memajukan perekonomian bangsa Indonesia sebagaimana Bung Hatta yang merumuskan bentuk perekonomian yang cocok bahwa perekonomian Indonesia yang sesuai dengan cita-cita adalah tolong – menolong (elearning_gunadarma.ac..id).Bentuk perekonomian yang ditawarkan Bung Hatta dilatarbelakangi oleh semangat perjuangan kemerdekaan yang diraih oleh berkat kerjasama dan bahu-membahunya rakyat.

Masa Soeharto masa di mana pembangunan lebih di titik beratkan pada pembangunan ekonomi sehingga semua ideologi atau asas politik, ekonomi dan lainnya harus berasaskan Pancasila, sehingga tidak hadir asas lain yang dapat mempengaruhi stabilitas yang dibangun Soeharto agar adannya suasana kondusif untuk menunjang pembangunan ekonomi, tawaran pembangunan yang di kembangkan dalam master plan pembangunan yang di kenal dengan REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahunan). Rancangan pembangunan ekonomi tesebut mampu dan sukses membawa Indonesia berswasembada pangan serta mencapai pertumbuhan ekonomi mencapai 9 % per tahun di era ’80-an.

Soeharto yang dianggap mampu membangun ekonomi bangsa tetapi mengarah kepada kepemimpinan yang otoritarian, sehingga menyebabkan matinya demokrasi dan banyaknya pelanggaran Hak Asazi Manusia (HAM), Soeharto dalam dekade kepemimpinannya Kolusi dan Nepotisme mewarnai seluruh dunia usaha dimana ia melakukannya tidak atas namannya sendiri tetapi seluruh keluarganya terlibat luas sebagaimana di tuliskan Yoshihara Kunio bahwa; Adik tirinya Probosutedjo memimpin kelompok perusahaan Mertju Buana. Ia berbagi hak monopoli impor cengkeh dengan Liem Sioe Liong, merupakan kontraktor utama untuk proyek-proyek pemerintah, dan menjai pemasok utama bagi perusahaan minyak Indonesia. Saudara angkat Soeharto, Sudwikatmono, sering bertindak sebagai wakil (frontman) perusahaan bagi Liem Sioe Liong,disamping juga memiliki group perusahaan sendiri (group subentra). Selanjutnya saudara lelaki Nyonya Soeharto, Bernard Ibnu Hardjono, memiliki group perusahaan Gunung Ngadeg Jaya, yang terjun dalam usaha kayu gelondongan, distribusi semen, perdagangan luar negeri, dan pemasokan lepas pantai. Tiga putra President Soeharto juga terjun dalam bisnis, yakni Tomy (Hutomo Mandala Putra) memiliki perusahaan dagang bernama PT. Humpus, Sigit Hardjojudanto menjalin hubungan usaha dengan teman dekat ayahnya, Bob Hasan bersamasama dalam bisnis kayu lapis. Bambang Trihatmodjo bersama-sama dengan saudara iparnya, Indra Rukmana Kowara (putra wirausahawan Eddie Kowara) membangun group bisnis bernama Bimantara (Yushihara Kunio – Kapitalisme Semu Asia Tenggara – LP3ES)

Sistem ekonomi yang diterapkan dengan asas Pancasila sudah sedemikain tepatnya hinggamampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup baik namun karena manajemen pengelolaan yang tidak tepat serta salah memanfaatkan kemajuan ekonomi yang ada, mengakibatkan Indonesia tidak mampu menahan terpaan krisis ekonomi yang dialami seluruh dunia mengakibatkan Indonesia harus menerima keterpurukan ekonomi dimana ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar, yang menembus angka Rp. 19.000,- per US Dollar. Keterpurukan ekonomi inilah yang mendorong di tumbangkannya Soerhato pada tahun 1998.

Kemajuan ekonomi yang pernah dicapai Indonesia tinggal kenangan masuk ke era reformasi Sistem Ekonomi Indonesia mengalami guncangan yang cukup berat, di tambahkan dengan kekuatan globalisasi yang menerobos ke seluruh jantung kehidupan, dan mewabah ke pelosok dunia, menambah ketidak berdayaan bangsa Indonesia untuk tampil sebagai kekuatan ekonomi dunia dengan sumber daya alam yang melimpah.

Globalisasi merupakan produk peradaban yang tidak dapat di batasi atau di bendung keberadaannya dan ada dalam semua bidang baik itu; politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Di bidang ekonomi hadirnya perusahaan multi nasional (MNC = Multi National Coorperation) seperti Exxon Mobil, Total, British Petroleum, KFC, Mc. Donalld, Cevron, Carrefure, Petronas, Shell dan sejumlah MNC lainnya bahkan pembiayaan perdagangan dunia pun dibentuk lembaga keuangan dunia untuk memberikan dukungan financial seperti IMF (International Monetary Fund), World Bank dan ADB (Asian Development Bank).

Akibat dari meluasnya perusahaan multi nasional ini ke seluruh belahan dunia maka hadirlah “free market” (pasar bebas) kondisi ini mendorong untuk membentuk kerja sama di bidang ekonomi dengan negara dunia baik itu regional dan Intenasional.
Di tingkatan intenasional seperti World Trade Organization (WTO), regional Eropa ada Uni Eropa, di kawasan perdagangan bebas Amerika ( Free Trade Area of the Americas = FTAA/ALCA) di Asia – Pasifik ada APEC (Asia Pasific Economic Co-operation) ada ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan terkini yang diasar nggab dapat mengancam Sistem Perekonomian Indonesia adalah perdagangan bebas ASEAN – Tiongkok atau ACFTA (Asean – China Free Trade Center).

Prinsip dasar dari dibuatnya setiap persetujuan perdagangan dunia memilki tujuan yakni memberikan keuntungan bagi seluruh pihak, kondisi Indonesia tahun 2009 seperti yang di ungkapkan anggota DPR RI Komisi VI Mukhamad Misbakhum, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,3 % (Batavia.co.id). Angka yang memprihatinkan ini mampukah Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi lebih meningkat lagi dalam era ACFTA seperti pertumbuhan ekonomi pada tahun 80 – an yang mencapai 9 % dengan Sistim Ekonomi Pancasila? Atau sebaliknya merugikan bagi Indonesia?

Perjanjian perdagangan yakni ACFTA memberikan kesan bahwa ada penggolongan negara center (pusat) dan satelit/ peri-peri (pinggiran) sehingga tercipta ketergantungan sebagaimana di ungkapkan oleh ekonom Amerika Andre Gunder Frank yang mengungkapkan tentang hubungan yang tidak sehat antara negara-negara pusat dan pinggiran. Menurutnya keterbelakangan bukan suatu kondisi alamiah dari sebuah dari sebuah masyarakat. Bukan juga karena masyarakat itu kekurangan modal. Keterbelakangan merupakan sebuah proses ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi sebagai akibat globalisasi dari sistem kapitalisme. Keterbelakangan di negara-negara pinggiran (yang oleh Frank disebut sebagai negara satelit) adalah akibat langsung dari terjadinya pembangunan pembangunan di negara-negara pusat (Frank : negara-negara metropolis) (Arif Budiman – Teori Pembangunan Dunia Ketiga – Gramedia)

China merupakan negara dengan fenomena yang tidak saja di ganrungi tetapi menakutkan bagi sejumlah negara di dunia termasuk Amerika Serikat (AS), Jepang, Eropa, dimana hampir di seluruh negara tesebut di banjiri dengan produk China yang dapat di beli dengan harga murah dan dapat diperoleh di mana saja akhirnya hampir semua mengakui bahwa China akan tampil sebagai raksasa ekonomi Asia karena pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 berada pada level 9,4 % yang diikuti oleh India dengan memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 6,9 %. Dengan demikian tidak salah jika China di kategorikan sebagai negara center atau metropolis menurut apa yang diungkapkan Frank diatas.

ACFTA sebenarnya bukanlah sebuah ancaman yang ditakuti tetapi merupakan konsekwensi dari globalisasi sehingga untuk menghadapinya Indonesia sebagai salah satu negara yang termasuk dalam perjanjian perdagangan tersebut perlu membenahi diri.
Menurut Jusuf Wanandi salah satu penyebab majunya perekonomian China adalah upah buruh yang rendah, kegiatan produksi yang fleksibel dan investasi asing telah menjadikan China sebagai produsen dan eksportir utama garmen dan produk-produk sejenis (Indoneisa dan Tantangan Ekonomi Global – CSIS – 2003).

Jika salah satu penyebab majunya ekonomi China karena biaya operasional produksi produk cukup murah yakni biaya pembiayaan buruh. Dengan demikian mau tidak mau apakah biaya operasional buruh perlu dikurangi sehingga produk yang dihasilkan Indonesia dapat memiliki daya saing harga? Jika pilihan ini yang di ambil maka imbasnya ada pada buruh jika tidak pertimbangan tersebut maka akan terjadi pengurangan tenaga kerja atau PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

Padahal Sistim Ekonomi Indonesia yang di jalankan dengan Sistim Ekonomi Pancasila (SEP) dimana ideologi ekonomi Indonesia adalah pancasila yakni sistim ekonomi yang merupakan usaha bersama yang bersaskan kekeluargan dan gotong royong. sebagaimana di tekankan lagi oleh Sri Edi Swasono (Suryati Rizal – Sistim Ekonomi Indonesia – FISIP UI) bahwa SEP harusnya berorientasi (atau berwawasan) pada sila-sila Pancasila yang berorientasi pada :

a. Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya etika dan moral agama bukan materialisme)
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan antar manusia, penghisapan, subordinsi ekonomi-modern)
c. Persatuan (kebersamaan, gotong – royong, kekeluargaan tidak saling mematikan nasionalisme)
d. Kerakyatan (demokrasi, kedaulatan ekonomi, mengutamakan ekonomi rakyat, hajat hidup orang banyak)
e. Keadilan Sosial (persamaan, pemerataan, kemakmuran rakyat yang utama, bukan kemakmuran orang – seorang)

Dimensi kemanusiaan sangat kental dalam wawasan Sistem Ekonomi Pancasila yang ditawarkan oleh Sri Edi Swasono dimana keberpihakan kepada hal-hal yang menyangkut kemanusiaan, etika dan moral sehausnya menjadi pertimbangan penerapan ACFTA, jika salah satu penentu kemajuan ekonomi China adalah upah buruh yang murah dengan demikian apakah demi menyaingi perekonomian China kemudian menekan upah buruh, maka akan mengabaikan wawasan SEP yang bersumber dari Pancasila sebagai ideologi negara.

Kondisi ini hanya menguntungkan bagi mereka yang memiliki modal yang cukup, investor atau kaum elit lokal, sebagaimana di tekankan oleh Frank bahwa dampak politisnya adalah mnculnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan modal asing dn borjuasi lokal dengan mengorbankan kepentingan rakyat (Arif Budiman – Teori Pembangunan Dunia Ketiga – Gramedia).

Jika terjadi keuntungan maka akan memberikan peluang hanya bagi mereka yang memiliki akses untuk melakukan investasi maupun kerjasama, ataupun mereka yang berada di puncak kekuasaan sebgaimana di masa Orde Baru dimana masa kejayaan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh Soeharto dan kroninya. Sedangkan rakyat harus menanggung krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Jika hal ini tidak diperhatikan maka Indonesia hanya sebagai daerah konsumsi barang impor dan barang produksi Indonesia sendiri tidak dapat berkompetensi di pasar global karena harga yang mahal. Jalan keluar yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan wilayah sebagaimana yang ditawarkan oleh C.P.F. Luhulima (Asean Menuju Postur Baru – CSIS – 1997) yakni:

a. penarikan FDI (Foreign Direct Invesment) ke sector infrastruktur (pembangunan jalan raya, rel kereta api, angkutan laut dll) sehingga tercipta kondisi yang efisien untuk investasi serta mengurangi biaya operasional.
b. Penarikan FDI oleh perusahaan menengah dan kecil dan ke industri kecil dan menengah.
c. PenarikanFDI untuk usaha patungan.
d. Pemanfaatan optimal keunggulan lokasi yang komplementer.
e. Penarikan FDI ke dalam industri berbasis teknologi
f. Kerjasama di bidang hak milik intelektual, harmonisasi standard an kualitas, harmonisasi peraturan dan prosedur kepabeanan.

Sikap antisipatif dari Indonesia sehausnya sudah seharusnya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum pananda tanganan perjanjian ini sehingga tidak terkesan tanpa kesiapan menjalani ACFTA akhirnya rakyat di korbankan untuk sebuah kebijakan.

ACFTA adalah salah satu produk era perdagangan bebas (free market) bukanlah sesuatu yang ditakuti dan dihindari tetapi merupakan sebuah perwujudan dari peradaban manusia untuk disikapi, namun bukan berarti kita mengikuti arus globalisasi dengan mengabaikan Sistem Ekonomi Pancasila yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang selalu berpihak pada rakyat.

Kesiapan Indonesia apabila telah diperhitungkan jauh sebelumnya dengan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) maka Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah di seluruh Indonesia maka akan mampu dikelola dengan sempurna dan mampu menyanggi perekonomian dunia. Namun karena perekonomian yang hanya didominasi oleh sekelompok orang saja maka tidak adanya stock manusia Indonesia yang berjiwa entrepreneurship. Akhirnya pemerintah Indonesia melakukan persetujuan ACFTA hanya karena mengalami tekanan dan solidaritas ke-Asia-an.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Kamis, 04 Maret 2010

"Vox Populi Vox Dei In Bailout Century"

“VOX POPULI VOX DEI IN BAILOUT CENTURY ”
*Yoyarib Mau


Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Pengusutan Kasus Bank Century yang bekerja selama kurang lebih 5 (lima) bulan yang kemudian diakhiri dengan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat - Republik Indonesia (DPR-RI). Rapat Paripurna yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut sejak tanggal 01- Mei 2010 hingga berakhir 03-03-2010 sekitar pukul 23:30, menyita perhatian seluruh rakyat Indonesia, dan membangun dua kekuatan baik ditingkatan masyarakat yang pro dan kontra, dengan melakukan demontrasi dan juga di level DPR – RI dengan dua kekuatan yang terbelah dengan dengan voting dua opsi yakni Opsi A (kebijakan bailout dan aliran dana tidak bermasalah) dan Opsi C (kebijakan bailout dan aliran dana diduga terdapat penyimpangan sehingga diserahkan kepada proses hukum).

Hasil voting yang dilakukan DPR dengan dua opsi tersebut, Anggota DPR yang memilih opsi A sebanyak 212 suara (Demokrat 148 suara, PAN 39 suara dari 46 Kursi di DPR, serta PKB 25 suara dari 28 Kursi di DPR) sedangkan anggota DPR yang memilih opsi C sebanyak 325 suara ( Golkar 104 suara dari 106 Kursi di DPR, PDIP 90 suara dari 96 Kursi di DPR, PKS 56 suara dari 57 Kursi di DPR, PPP 32 suara dari 38 Kursi di DPR, PKB 1 suara, Gerindra 25 suara dari 26 Kursi di DPR, dan Hanura 17 suara dari 17 Kursi di DPR).

Di sela-sela proses pemungutan suara (voting) banyak hal yang terjadi, di mulai dari kisruh karena Ketua DPR RI Marzuki Ali menskor rapat paripurna secara sepihak tanpa koordinasi dengan pimpinan DPR RI lainnya, banyaknya hujan interupsi, bahkan banyaknya suara sumbang, celetuk-celetuk ringan, cemohan, intrik dan sindiran. Namun ada hal yang menarik yang perlu kita bersama perhatikan dalam proses ini adalah pemakaian atau pengadopsian akan kata “vox pupuli vox dei” dalam rapat paripurna tersebut, bahkan saat salah satu anggota DPR RI dari fraksi Golkar yakni Nurul Arifin dalam kesempatan menyampaikan pendapatnya sempat menyampaikan pemikirannya sesuai dengan moto golkar dalam masa kepemimpinan Ketua Umum Aburizal Bakrie, “Suara Golkar adalah Suara Rakyat”. Apabila di simak dengan seksama banyak hal yang dikaitkan dengan suara rakyat, bahkan diakhir rapat paripurna semua fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan akhirnyapun hampir semuanya sepakat bahwa hasil akhir rekomendasi DPR-RI dalam rapat paripurna menyangkut hak angket penyusutan kasus bank century adalah kemenangan rakyat.

Vox Populi Vox Dei merupakan ungkapan yang cukup tua dalam sejarah dunia, dimana pada abad ke-8, seorang penulis yang bernama Alcuin menuliskan surat buat Charlemagne 768 – 814 Masehi (bahasa Prancis) seorang raja Frank. Charlemagne dalam bahasa latin di sebut Carolus Magnus dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Karel Agung. Dan dalam perkembangannya “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan) sepertinya lebih ditujukan sebagai sebuah pembenaran, bahwa apa yang diinginkan rakyat itu yang diinginkan Tuhan, kemungkinan hal ini dapat dikaitkan kepada wakil rakyat yakni para anggota DPR karena dipilih secara langsung oleh rakyat.

Wakil rakyat yakni para DPR dalam rapat paripurna DPR yang terbagi karena pilihan opsi A dan C, menimbulkan kebingungan manakah yang benar memenuhi krieria slogan Vox Populi Vox Dei ? apakah 212 suara yang memilih opsi A atau 325 suara yang memilih C ? memang tidak ada criteria yang tepat untuk dijadikan indicator untuk mengkategorikan mana yang memenuhi syarat “suara rakyat suara Tuhan”.

Namun mencermati voting (pemungutan suara) yang berlangsung dalam rapat paripurna pada rabu 03-03-2010 yang telah berlalu ada rujukan yang dapat menyakinkan bahwa jargon “vox populi vox dei” masih relevan karena dimiliki oleh wakil rakyat di DPR – RI. Suara DPR yang memberikan harapan bahwa “suara rakyat suara Tuhan” hanyalah satu orang yakni Lili Wahid salah satu anggota Dewan dari Fraksi PKB, ia berbeda dari mayoritas anggota Fraksi PKB yang memilih opsi A.

Timbul pertanyaan mengapa dalam tulisan ini, memilih Lili Wahid yang masih mewakili suara rakyat suara Tuhan, tentu hal ini beralasan seperti sepenggal pemikiran yang dituliskan oleh Joseph Losco dan Leonard Williams bahwa, “Jiwa besar sang legislator adalah satu-satunya keajaiban yang dapat membuktikan misinya” (Joseph Losco – Political Theory – Rajawali Pers - 2005)

Pilihan Lili Wahid bukanlah sekedar mencari popularitas, karena nama besar yang tertera di belakang yakni “Wahid” sudah dikenal di seantero Jawa Timur bahkan di kalangan Ormas Nadhatul Ulama (NU), Sehingga sikap Lili Wahid lebih tepat adalah sebuah “pilihan beresiko”, pilihan tersebut bukan dilakukan dalam kondisi alam bawa sadar (mimpi) tetapi dilakukan dalam keadaan sadar. apa yang dilakukan oleh Lili Wahid bukan dipengaruhi celetuk –celetuk yang dilontarkan anggota DPR lainnya ketika giliran voting bagi fraksi PKB bunyinya “ingat Gus Dur….ingat Gus Dur” pilihan tersebut juga bukan hanya sekedar sebagai solidaritas bersama anggota tim 9 (sembilan) sebagai inisiator penggunaan hak angket untuk kasus bank century. Sudah tentu perlawanan melawan keputusan fraksi akan berakibat fatal tetapi dia tidak gentar dan takut. Melihat sikap ini maka sudah barang tentu ini adalah suara hati karena keputusan untuk turut memilih opsi C bersama suara mayoritas adalah sebuah pergumulan dan pergulatan bathin yang cukup berat. Perjuangan untuk berbeda sikap seumpama, terperosok dalam jurang yang dalam dan berjuang untuk keluar dari jurang tersebut sehingga ketika ia berani menentukan pilihan untuk berbeda, dirinya bagaikan dirinya terselamatkan dari jurang yang dapat mematikan dirinya karena kehabisan tenaga dan membuatnya tak berdaya bahkan kehabisan suara untuk berteriak memohon pertolongan.

Suara Lili Wahid dalam menentukan pilihan opsi C berbeda dengan anggota mayoritas fraksi PKB adalah pilihan sebagai sejatinya seorang legislator karena ia sadar sebagai seorang legislator yang memahami misinya sebagai wakil rakyat. Kemungkinan besar dari 212 suara yang memilih opsi A adalah perintah atau amanat partai yang berkoalisi dengan penguasa, demikikian juga dengan 325 suara memilih karena pesanan ketua partai politik atau desakan fraksi sehingga tidak lah memenuhi atau menjawab jargon “vox populi vox dei”. Ketepatan hanyalah ada pada 1 suara dari PKB yang memilih opsi C sebagai bukti perwujudan jargon demokrasi tersebut karena ia mengetahui untuk apa, kapan dan bagaimana kehadirannya di Senayan sebagai wakil rakyat yang adalah simbol dari rakyat yang berdaulat dan di lain pihak ia pun berada pada posisi yang dilematis karena merupakan perwakilan partai politik.

Penyadaran sebagai simbol rakyat, yang mengemban mandate rakyat berkewajiban untuk bertindak atas nama kelompok yang lebih besar yang telah mempercayainya dan tidak hanya mewakili PKB. Sehingga keberanian untuk berbeda satu suara dari mayoritas patut mendapatkan penghargaan sebagai pewujud jargon demokrasi ”vox populi vox dei”

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI