Senin, 25 Juli 2011

"BIROKRASI BARTER ITU BIROKRASI PRIMITIF"

“BIROKRASI BARTER ITU BIROKRASI PRIMITIF”
*Yoyarib Mau
Persoalan birokrasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan persoalan yang klasik, dan birokrasi dijadikan sebagai hal yang prestisius, dimana birokrat adalah proesi terhormat bagi masyarakat NTT mungkin karena tidak adanya penghargaan kepada profesi lain dan juga terbatasnya lapangan kerja sehingga birokrasi atau aparatur negara sebagai salah satu tujuan porofesi. Kemudian seorang birokrat dalam melakukan tugasnya tidak melakukan fungsi dengan baik sebagai pelayan rakyat tetapi bergeser paradigm bahwa rakyatlah yang harus menyembah untuk mendapatkan pelayanan sehingga membuat masyarakat ingin menjadi menjadi aparatur negara agar menjadi orang terhormat karena telah mengenakan pakian PNS.

Dengan diri terhormat maka birokrat akan mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahkan mampu menjadi panutan, pengayom bagi keluarga, marga atau klannya bahkan komunitas agamanya. Pandangan ini kemudian menjadi pertimbangan dalam penempatan pejabat di Pemprov NTT, serta juga menjadi pertimbangan bagi penempatan pejabat di Pemerintah kota atau kabupaten yang melihat lebih bervariasi. Artinya, melintasi diskriminasi SARA, lebih banyak walikota-wakil wali kota, bupati-wakil bupati dalam menempatkan pejabat di dinas dalam menjalankan pemerintahan.

Penempatan pejabat kedinasan di tingkat Pemerintah Provinsi lebih memakai pertimbangan unsur SARA karena pertarungan dua agama besar di NTT yakni Protestan dan Katolik serta dengan pertimbangan suku. Hal ini tidak menjadi rahasia umum dalam penempatan pejabat di Pemprov juga tidak berdasarkan pada proesionalitas dan spesifikasi keahlian. Semisal yg menjadi Kabid PLS Dinas PPO adalah bekas penyuluh petanian. Sedangkan di tingkat kota atau kabupaten penempatan pejabat dinas berdasrkan dukungan politik yang diberikan pada pilkada yang lalu, Mengapa penempatan sebuah jabatan pelayanan birokrasi harus menjadikan agama, suku atau pertimbangan dukungan politik sebagai standar utama dan bukan berdasarkan kualifikasi kompetensi ?

Birokrasi pada dasarnya memiliki peran administarif yakni melaksanakan kebijakan - kebijakan yang telah ditetapkan oleh legislatif dan eksekutif yang kemudian harus dilaksanakan oleh birokrasi dalam melakukan pelayanan publik, dan salah satu semangat otonomi daerah yang harus di wujudkan adalah goog governance dan hal ini sebagai sprit reformasi pelayanan sektor publik, spirit good governance adalah suatu proses yang melibatkan birokrasi dimana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber- sumber sosial dan politiknya untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya, dengan demikian jelaslah bahwa untuk mencapai pembangunan yang mensejahterakan maka hal yang menentukan adalah kualitas tata pemerintahannya.

Kualitas tata pemerintahan menjadi dasar bagi birokrasi dalam mengejewantahkan program - program atau kebijakan pemerintah, kualitas tata pemerintaha akan terlihat jika pribadi yang menjalankan dalam hal ini birokrat atau PNS yang ditempatkan untuk menjalankan pemerintahan yang menurut Max Weber harus di seleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya yang dihasilakan melalui ujian yang kompetitif dan penempatan jabatan berdasarkan "merit sistem" dimana jabatan yang diduduki harus sesuai dengan latar belakang pendidikan atau latar belakang jenjang karier yang dilalui kenyataan yang ada birokrasi kita di tingkat pemerintahan pusat hingga ke kabupaten/kota tidak mewujudkan kualitas tata pemerintahan yang baik yang ditentukan oleh penempatan dan perekrutan pegawai berdasarkan kualifikasi yang dibutuhkan.

Tentunya ada pertanyaan yang mendasar diatas tadi yakni mengapa harus dipaksakan PNS atau birokrat yang tidak memenuhi kulaifikasi untuk menempati posisi tertentu yang bukan menjadi domain kemampuannya ?, kelihatannya pemda memiliki pemahaman yang berbeda yang sangat "primitif". jika pada masa lalu orang bertemu di pasar melakukan transaksi barter orang dari gunung datang membawa Ubie kemudian ingin memperoleh ikan maka ubie di tukar ke nelayan yang menjual ikan, padahal sebenarnya nelayan tidak membutuhkan ubie, atau ubie bukan kebutuhan yang utama namun atas dasar belas kasihan maka transasaksi barter ini pun terjadi.

Kemajuan teknologi telah maju dan alat transaki yakni uang sudah ada, dan juga teknologi informatika dan manajemen organisasi pemerintahan sudah pada level yang lebih tinggi sehingga membutuhkan kemampuan yang mumpuni untuk menjalankannya dan tidak lagi pada pola barter atas dasar belas kasihan.Realitas yang ada pada level pemda kita dalam menjalankan pemerintahn masih ada pada pola primitif yang di terapkan dalam "birokrasi barter" dimana dukungan politik yakni dukungan mobilisasi masa yang dilakukan oleh birokrat atau PNS pada pemilu kepala daerah.

Jika perilaku gubernur, bupati atau walikota yang menerapkan pola primitif "birokrasi barter" maka mereka adalah penganut paham Marxis yang menjadikan birokrasi menjadi perjuangan kepentingan kelompoknya yakni menjadikan birokrasi itu bukannya untuk kepentingan bersama dalam masyarkat yang multikultural tetapi lebih pada kepentingan partikular yang ingin memperjuangakan kepentingan klas ( kelompok agama, sukunya, atau kepentingan politiknya).

Solusi yang harus dilakukan adalah peran legislatif dalam hal ini DPRD dalam melakukan fungsi kontrolnya, namun DPRD kita juga memiliki perilaku yang sama yakni "titipan sponsor" ada deal politik yang dilakukan antara legisltaif dan eksekutif untuk mengamankan konstituen yang mendukungnya sehingga tercipta setali tiga uang, sehingga yang sangat diharapkan untuk mengontrol proses perekrutan ini adalah mahasiswa, LSM yang konsen pada kebijakan dan urusan publik, serta pers yang diharapkan memainkan fungsi kontrol melalui tekanan dan propaganda.

*Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI

Kamis, 21 Juli 2011

SBY DIANGGAP GAGAL KARENA KEGENDUTAN"

“SBY Gagal Karena Kegendutan”
*Yoyarib Mau

Presiden yang dinilai hampir 50% tidak dijalankan alias gagal merupakan realitas yang tak dapat dipungkiri karena upaya mensejahterakan rakyat tidak tercapai karena hanya mensejahterahkan kelompok yang berada dalam lingkaran istana. Akibat korupsi yang mewabah mengakibatkan anggaran untuk rakyat di nikmati oleh kelompok elit yang berkuasa, Anggaran yang dikorupsi mulai dari proses anggaran di badan anggaran DPR hingga proyek ditenderkan kementrian bahkan pada level terendah di pemerintahan daerah.

Kegagalan yang terjadi dalam pemerintahan SBY tidak saja di akibatkan oleh korupsi tetapi disebabkan oleh struktur lembaga negara yang terlalu banyak, masa Presiden SBY tercatat 88 lembaga nonstruktural serta 28 lembaga pemerintahan non kementrian sehingga berkisar 116 lembaga yang ada dalam pemerintahan SBY (Kompas, 18/07/2011) banyaknya lembaga menyebabkan banyaknya anggaran rakyat yang harus digelontorkan untuk membiayai operasional kantor, gaji pegawai, dan program kerja.

Lembaga – lembaga yang ada sebenarnya ideal apabila menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik namun kenyataannya tumpang tindih dalam menjalankan fungsi dan tugasnya atau bahkan mengalami kontraproduktif karena mengerjakan atau mengambil alih wewenang dan tugas dari lembaga tertentu. SBY dalam menjalankan pemerintahannya memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda dari Presiden-Presiden sebelumnya, SBY memiliki dua kegemaran yakni suka menerbitkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) serta ketika ada persoalan yang muncul ke permukaan selalu membentuk lembaga nonstruktural baru untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Persoalan mafia hukum maka dibentuklah Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Mafia Hukum padahal sudah ada lembaga Yudikatif yang menangani persoalan hukum, ada kepolisian, kemudian dibentuk lembaga nonstruktural sebagai fungsi pengawasan dan kontrol seperti Komisi Hukum Nasional, Komisi Kepolisian Nasional,Ombudsman Republik Indonesia,Komisi Kejaksaan dan lainnya.

Hal lain yang menggangu kinerja pemerintahan adalah kemampuan birokrasi yang mengeksekusi anggaran dan mengejewantahkan program, perilaku birokrasi yang selalu menggunakan pola-pola lama yakni suka memping-pong dari meja petugas yang satu ke meja petugas yang lain, dan mempersoalkan hal-hal teknis yang sebenarnya tidak perlu di perdebatkan tetapi dijadikan alasan untuk mempersulit sebuah proses administratif.

Penanganan Birokrasi dalam Pemerintahan negara ini ada Kementrian yang mengurusi birokrasi dan tidak hanya Kementrian tetapi juga ada sejumlah lembaga pemerintahan nonkementrian dan juga lembaga nonstruktural yang memiliki keterkaitan dalam penanganan birokrasi dalam negara. sebagaimana keberadaan Kementrian Dalam Negeri yang memiliki visi; Terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang desentralistik, dengan menjalankan misi; menetapkan kebijakan nasional yang memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan, yang salah satu misi konkritnya, memantapkan efektifitas dan efisiensi penyelengaraan pemerintahan yang desentralistik. (http://www.depdagri.go.id)

Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memiliki visi; terwujudnya aparatur negara yang professional efektif dan efisien dan akuntabel dalam pelaksanaan reformasi birokrasi menuju pemerintahan yang baik, serta memiliki misi; meningkatkan kualitas pelayanan, meningkatkan akuntabilitas kinerja aparatur, meningkatkan koordinasi pengawasan, terwujudnya kelembagaan yang efektif dan efisien, meningkatkan professionalitas SDM aparatur.

Selain dua kementrian diatas yang hampir sama memiliki lingkup kerja dan kewenangan yang hampir sama ada juga lembaga pemerintahan nonkementrian seperti Lembaga Administrasi Negara yang didirikan sejak tahun 1957 dengan peraturan pemerintah No. 30 tahun 1957 dengan visi; Menjadi Institusi Yang Handal Dalam Pengembangan Sistem Administrasi Negara dan Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) Penyelenggara Negara. tidak hanya memiliki visi tetapi juga memiliki misi; yakni Memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan kapasitas aparatur negara dan sistem administrasi negara guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik, melalui :Perumusan kebijakan dalam bidang administrasi negara; Pengkajian, penelitian, dan pengembangan dalam bidang administrasi negara; Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan aparatur negara; Pembinaan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan aparatur negara; Perkonsultasian dan advokasi dalam bidang adminstrasi negara; Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi administrasi; Peningkatan kapasitas organisasi LAN (http://www.lan.go.id).

Lembaga Pemerintahan Nonkementrian lainnya yang memiliki fungsi yang hampir sama seperti LAN dan dua Kementrian di atas yakni Badan Kepegawaian Nasional dengan misi; Menyelenggarakan Manajemen PNS berbasis Kompetensi untuk Mewujudkan PNS yang Profesional, Netral dan Sejahtera. Misi BKN dalam Renstra 2010-2014 adalah: Mengembangkan Sistem Manajemen SDM PNS, Merumuskan kebijakan pembinaan PNS dan menyusun peraturan perundang-undangan kepegawaian, Menyelenggarakan pelayanan prima bidang kepegawaian, Mengembangkan sistem informasi manajemen kepegawaian, Menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian kepegawaian, Menyelenggarakan manajemen internal BKN (http://www.bkn.go.id).

Dari uraian diatas menarik sebuah pertanyaan; mengapa untuk urusan hal yang sama berhubungan dengan penyelenggara pemerintahan atau aparatur negara harus dibentuk lebih dari satu lembaga yang mengurusi bidang atau lingkup kerja yang sama ?, bagaimana komitment pemerintah pasca reformasi dimana salah satu agenda reformasi politik adalah melakukan reformasi birokrasi ?

Dua pertanyaan diatas menjadi pisau analisa untuk meneropong persoalan gagalnya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, Pemikiran Peter M.Blau dan Marshall W. Meyer menuliskan jalan pemikiran Hukum Parkinson bahwa; semakin besar suatu organisasi maka semakin besar pula personalia yang harus menangani dan mengurusnya, sehingga membenarkan kesimpulan bahwa semakin besar suatu organisasi akan semakin besar pula pengeluaran administrasinya (Birokrasi Dalam Masyarakat Modern – UI Press – 1987).

Logika Hukum Parkinson tidak menjadi pertimbangan dalam menjalankan pemerintahan, model pemerintahan yang memilih untuk mengadakan bentuk-bentuk lembaga nonstructural atau lembaga pemerintah nonkementrian yang lebih banyak sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan presiden Soeharto, namun mengakomodir banyaknya personalia dalam lembaga pemerintahan lebih pada pertimbangan politis dan bukan pada efektifitas dan efisiensi.

Soeharto dengan alasan Golkar bukan partai politik sehingga semua aparatur negara atau PNS diharuskan menjadi anggota partai golkar, yang walaupun golkar bukan partai politik tetapi tetap sebagai salah satu kontestan dalam setiap pemilu dalam masa orde baru. Pola ini akhirnya menyeret aparatur negara harus loyal kepada Golkar karena Golkar adalah merupakan organisasi politik penopang pemerintah.

Kacung Maridjan menuliskan kembali pikiran Afan Gaffar bahwa; birokrasi merupakan penyedia dana bagi usaha untuk memenangkan Golkar dalam setiap pemilihan umum, dalam kasus - kasus tertentu praktik demikian misalnya dilakukan dengan cara menarik sekian persen dari proyek yang ada di dalam suatu instansi, sebagaian dari dana itu kemudian diberikan kepada Golkar (Sistem Politik Indonesia – Kencana – 2010).

Lembaga nonstructural dan lembaga pemerintah nonkementrian pada hakikatnya adalah sistem yang dibentuk untuk meraup dukungan politik bagi partai politik sebagaimana yang dilakukan pada masa orde baru dengan jalur ABG (ABRI – BIROKRASI-GOLKAR), padahal birokrasi harusnya netral dan tidak di seret dalam dukungan politik kepada Partai tertentu, sebenarnya sudah ada kementrian yang mengurus tentang aparatur negara namun mengapa perlu ada lembaga nonstructural dan lembaga pemerintah nonkementrian sudah tentu memiliki nuansa politik karena membagi-bagi jabatan structural kepada tim sukses yang telah memberikan dukungan politik sebagai tim sukses ataupun yang mampu mengarahkan birokrasi dari instansi yang dipimpin kepada calon tertentu.

SBY dalam menjalankan pemerintahan dinilai gagal karena dari instruksinya kepada aparatur pemerintahan yang menjalankannya tidak dapat menjalankan dengan baik karena jabatan Menteri adalah jabatan politik yang diduduki oleh politisi dari partai tertentu sehingga menjadi hambatan bagi pemerintahan SBY, karena jika kementrian tersebut sukses dalam menjalankan program kementrian maka klaim keberhasilan menjadi keuntungan bagi SBY.

Karena jabatan Kementrian adalah jabatan Politik maka lembaga-lembaga nonstruktural juga lembaga pemerintahan nonkementrian menjadi strategi alat perpanjangan tangan pemerintahan SBY untuk mewujudkan program kerjanya namun persoalannya adalah para pejabat yang ditempatkan pada lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi yang tepat sehingga tidak mampu mewujudkan program-program kerja, jika pun mampu ada hal lain yang membuat program tidak dapat di lakukan karena jaringan korupsi yang begitu mewabah baik di internal lembaga yang dipimpin, tuntutan partai politik yang berperan dalam penempatan atau promosi di dalam jabatan-jabatan tersebut ditambah lagi tuntutan success fee dari para anggota DPR di komisi yang menyepakati program kerja mereka di DPR, bahkan pemerintah daerah yang menjalankan program di daerah.

Apabila sekian lembaga nonstruktural dan lembaga pemerintahan nonkementerian melakukan hal yang sama maka begitu besar kerugian negara, pemerintahan SBY dan Soeharto menempatkan lembaga-lembaga ini sebagai mesin politik sekaligus mesin penghasil uang bagi partai politik dari setiap proyek atau program kerja yang dikerjakan.

Apabila masa pemerintahan Soeharto lebih banyak membentuk lembaga pemerintahan non kementrian yang nota bene sebagai PNS sudah tentu menjadi pendukung dan lumbung suara bagi Partai Golkar, sedangkan masa SBY lebih banyak membentuk lembaga nonstruktural karena PNS sudah tidak dapat dikooptasi dalam partai politik sehingga lembaga nonstruktural ada yang bertujuan untuk menempatkan para tim sukses yang telah memenangkan dirinya sebagai Presiden, kemudian menjadi lembaga untuk menjamin dan mengamankan kepentingan politik dirinya sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan baik, serta sebagai sumber keuangan bagi partai politik dari proyek atau program kerja yang dikerjakan, sehingga dapat disimpulkan bahwa reformasi birokrasi yang diharapkan dari reformasi 1998 tidak terlaksana karena SBY tetap menjalankan semangat politik orde baru dengan memanfaatkan birokrasi dengan design baju yang berbeda dari orde baru.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Khekhususan Politik Indonesia – FISIP

Rabu, 06 Juli 2011

'POLITIK RASA IBA"

“POLITIK RASA IBA”
*Yoyarib Mau

Pasangan kandidat SBY – Boediono yang memperoleh suara pemilih berkisar 50% lebih dalam pemilu President RI pada rabu, 08 Juli 2009 , hasil yang diperoleh terpaut jauh dari dua pasangan kandidat lainnya. Walaupun ada banyak kelemahan dalam pemilu President tahun terkait DPT (Daftar Pemilih Tetap), namun proses pemilihan dapat berjalan lancar tanpa ada kekacauan.

Indonesia memilih President yang kedua kalinya secara langsung pasca reformasi 1998, kali ke dua ini mampu menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia telah menjadi salah satu negara Asia yang telah memajukan demokrasi. Demokrasi hingga saat ini diyakini oleh sebagian negara sebagai salah satu konsep terbaik untuk mensejahterakan rakyat.

Dalam proses menuju kekuasaan ada tahapan-tahapan yang dilalui oleh para pasangan untuk bisa menarik simpati masyarakat. Tahapan awal melalui pemilu legislative bagi partai politik untuk mencapai 20% sebagai syarat untuk mencalonkan President, dan tahapan yang menarik dan menyita banyak energi yakni pendeknya masa kampanye yang hanya berlangsung sebulan, menarik adalah dalam kampanye pemilu president tahun ini model kampanye dilakukan dengan debat terbuka yang di pandu oleh para akademisi dan professional yang berkompeten serta disiarkan langsung melalui media massa.

Para kandidat capres atau cawapres dapat memaparkan visi, misi, serta program kerja apabila terpilih nanti, dan para kandidat bisa saling menyanggah dan memperdebatkan pemaparan yang di sampaikan kandidat lain yang dipandu oleh moderator semuanya sangat demokratis, dalam perdebatan tersebut ada kandidat yang saling menuding dan menyudutkan namun mengakhirinya dengan jabatan tangan seraya memaafkan.

Rakyat dapat menyaksikan secara langsung dan memberikan dukungan bagi kandidat yang didukungnya bahkan menaru rasa simpati dan rasa iba bagi kandidat yang didukungnya, pasangan kandidat yang paling banyak di pojokan adalah incumbent Susilo Bambang Yudoyono, kedua pasangan kandidat yang menyerang SBY-Boediono yakni Megawati-Prabowo dan M. Jusuf Kalla-Wiranto, bahkan sejak Pemilu legislative Megawati sudah menyerang SBY dengan program BLT-nya sedangkan JK mengkritisi SBY yang terkadang lamban dalam memutuskan sebuah keputusan harus melalui rapat berkali-kali dengan cabinet.

Pemojokan tidak hanya dilakukan terhadap SBY tetapi cawapres Boediono juga mendapatkan bagiannya dengan menstigmanya sebagai kaki tangan asing yang akan menerapkan mashab ekonomi neoliberal, dan yang tak luput adalah Istri-istri pasangan kandidat, istri SBY diberitakan tidak berkerudung jadi tidak pantas menjadi Ibu negara sedangkan Istri Boediono diisukan sebagai seorang penganut Katolik, dan Boediono sendiri adalah penganut Kejawen, isu-isu ini ditujukan bagi pasangan ini tetapi isu-isu ini dilabelkan bagi pasangan ini.

Menjelang dua hari sebelum pemilu president kedua kandidat pasangan dengan nomor urut satu (1) dan tiga (3) melakukan konferensi pers dan mengancam akan melakukan boikot dengan tidak menyertakan diri dalam pemilu president jika tidak ada pengumuman dari KPU mengenai Daftar Pemilu Tetap (DPT) secara transparan, tindakan ini membuat resah kandidat incumbent.

Pemojokan dan isu-isu yang menyudutkan, menyalahkan kandidat lain menjadi keuntungan bagi kandidat yang mengalami hal tesebut, bagi rakyat hal ini mengurangi rasa simpati bagi incumbent tetapi bagi kelompok masyarakat tertentu yang tidak setuju dengan memojokan atau sering dibahasakan menzalimi orang lain, rakyat melihat hal ini tidak baik karena membangun permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Kemampuan untuk membangun citra dengan kondisi ini membuat keuntungan tersendiri bagi para petarung.

Ketika Korupsi menerpa kader-kader Partai Demokrat yang dilakukan secara berjamaah terstruktur maupun pribadi membuat sang SBY gusar, Nazarudin yang menjadi kambing hitam dalam kasus proyek Wisma Atlet Sea Games XVI, mengapa jadi kambing hitam karena korupsi itu dilakukan di kementrian yang nota bene Menteri Andi Malarangeng adalah Pengurus Partai Demokrat menutup mata tanpa mengetahui bawahannya melakukan deal-deal proyek dengan perusahaan yang dikendalikan oleh Nazarudin. Ansaman pun diterima Nazarudin hal ini diakui oleh Nazarudin yang mengaku diancam akan dibunuh agar tidak lagi membongkar keterlibatan elit Partai Demokrat (PD) dalam kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga dan korupsi terkait PT Anugerah Nusantara (www.detiknews.com kamis, 07/07/2011).

Waktu kasus ini terkuak ke permukaan semua berusaha membela Nazarudin dengan menyerahkan kepada Tim Pencari Fakta yang dibentuk oleh internal Partai Demokrat tanpa hasil yang dipublikasikan, tarik menarik antar faksi pun tercipta di tingakt kepengurusan pengurus pusat kemudian berujung dengan pencopotan Nazarudin dari jabatan Bendahara Umum Partai Demokrat, namun ketika nama-nama petinggi demokrat diungkit ke permukaan akan keterlibatan mereka makahal yang sama juga diungkapkan oleh Mustofa Nahrawardaya. "Soalnya Nazar tahu banyak soal aliran uang di PD, dan kini terus meniupkan terompet tentang aliran dana haram ke sejumlah elit PD. Apalagi sekarang sudah menyentuh petinggi Polri," kata Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) (www.detiknews.com kamis 07/07/2011).

Isu ini membuat geram para petinggi partai democrat termasuk SBY memerintahkan untuk penangkapan terhadap Nazarudin dilakukan sedangkan koruptor lain yang melarikan diri seperti Nunun Nurbaitie tidak dilakukan perintah keseluruhan untuk semua koruptor dan hanya Nazarudin yang disebutkan, apakah hanya karena ketakutan akan aib petinggi Demokrat di publikasikan kepublik sehingga mereka merasa terpojok di zalimi sehingga perintah tegas dengan alasan kepentingan negara ?

Menjadi pertanyaan yang menarik adalah “apakah budaya politik rasa iba menjadi pola yang tepat dalam perpolitikan Indonesia?, jawaban yang dapat diberikan sangat paradoksal karena dalam konteks tertentu hal ini dapat dibenarkan, tetapi pada kontkes tertentu pertanyaan ini tidak relevan. Sejarah memberikan referensi bahwa kemenangan PDI-P dalam pemilu 1999 pasca orde baru karena figure Megawati sebagai putri proklamator Bung Karno. President I yang saat berkuasa di puja masyarakat tetapi kemudian dimusihi bahkan disingkirkan, dikucilkan oleh rezim orde Baru, puncak nya pada tragedy 27 Juli 1996 dimana intervensi penguasa saat itu.

Inisiatif Peristiwa dan perilaku ini memupuk rasa simpati terhadap Megawati, hal ini membuat rakyat menaruh rasa prihatin dan rasa ibanya pada pemilu 26 Juli 1999 PDI-P memenangi Pemilu legislatif dengan perolehan suara mencapai 35.689.073 suara atau 33,76 % (Kompas, 29 Juni 2009).

SBY dalam perjalanan karier politiknya hampir memiliki kemiripan yakni mengalami kemelut politik karena merasa tidak dipercaya lagi pada masa kepemimpinan Megawati, sehingga membuatnya mengundurkan diri dari Menko Polkam, keputusan ini membuat rakyat merasa kasihan dan menaruh rasa iba terhadap SBY. Momentum ini membuat SBY berinisiatif bersama-sama teman-temannya membidani lahirnya Partai Demokrat, dan Pengunduran diri SBY dan maju bersama JK sebagai Cawapres membuat Megawati geram dn menyindir mereka sebagai “bajing loncat” membuat rasa simpati rakyat terhadap dirinya kemudian pasangan ini memiliki suara terbanyak pertama pada putaran pertama dan pada putaran kedua menang dengan perolehan suara 78,22 % mengungguli pasangan Mega-Hasyim.

Budaya politik dapat diambil dari fakta-fakta yang dialami bahkan tanpa sadar dilakoni oleh politisi, hal ini dianalisa dianggap sebagai sesuatu yang ideal dan dapat di terapkan dalam perilaku politik (political behavioral) James Bryce mengungkapkan bahwa; ”terdapat ketetapan dan keseragaman pada berbagai kecenderungan dalam sifat manusia, yang memungkinkan kita beranggapan bahwa tindakan seseorang pada suatu saat selalu dikarenakan oleh sebab-sebab yang sama, yang telah pula menentukan tindakan-tindakan mereka pada waktu sebelumnya” (SP. Varma 2007) pemikiran ini jika di kaitkan dengan fakta-fakta yang dialami oleh para President terpilih maka ada kecenderungan yang dapat dijadikan salah satu alasan keterpilihan president ditentukan oleh rasa iba atau rasa simpati rakyat karena diri salah satu kandidat dizalimi atau di pojokan.

Sifat ini dapat dijadikan salah satu dalil politik bahwa menempatkan diri sebagai korban yang dizalimi atau dikucilkan oleh lawan politik dapat menguntungkan bagi diri yakni menarik rasa simpati atau rasa iba dari rakyat. Dan ini menjadi selera atau keinginan rakyat, pasca pemilu president 2009, Andrinof Chaniago menuturkan bahwa “dalam memilih rakyat menempatkan porsi kepribadian calon lebih besar ketimbang soal kemampuan calon, dengan 80 % pemilih berpendidikan SLTP ke bawah, pilihan lebih ditentukan oleh factor selera” (Kompas 9 Juli 2009). Jika dikaitkan dengan proses menuju pemilihan president yang kita lalui saat ini maka dapat di benarkan bahwa perolehan suara yang di peroleh SBY- Boediono, pemojokan terhadap kepribadian yang dimiliki oleh pasangan kandidat nomor urut 2 (dua) yang selalu disudutkan, hal ini pulalah yang mampu dicitrakan pada diri pasangan kandidat yang memperoleh suara terbanyak.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa sifat manusia Indonesia, memiliki salah satu kecenderungan politik untuk memilih adalah memilih karena rasa iba atau simpati terhadap kandidat tertentu yang mengalami pemojokan atau disudutkan dan bukan karena memilih berdasarkan kemampuan calon.

Sikap SBY yang mencoba bersikap tegas dengan memerintahkan penangkapan terhadap Nazarudin walaupun sangat diskriminatif karena ada sejumlah nama yang terlibat korupsi dan melarikan diri tidak diperintahkan untuk penangkapan, sikap ini diambil untuk kembali merebut hati rakyat atau memelas hati rakyat untuk memiliki rasa iba kepada dirinya yang telah berkeras untuk melakukan penangkapan terhadap dirinya. Padahal jika dirunut dari setiap sikap politik yang dilakukan sebelumnya hampir memiliki motif yang sama yakni di saat diri dan kepentingan kelompok terancam dan terpojok maka SBY bersuara.

Padahal jika ditilik dengan seksama perintah ini sebenarnya lebih pada kepentingan pribadi dan kepentingan partai demokrat dalam penegakan citranya dalam menghadapi pemilu 2014 dan bukan semata-mata untuk kepeduliaan terhadap rakyat, karena sikap tebang pilih dalam penyelesaian kasus korupsi di tanah air ini….



*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI