Senin, 13 Februari 2012

"PARTAI POLITIK PENGHASIL SWING LEADER"

“PARTAI POLITIK PENGHASIL SWING LEADER”
*Yoyarib Mau

Peranan partai politik dalam penentuan kandidat calon kepala daerah sangatlah menentukan, sebagaimana dalam penentuan calon walikota dan wakil walikota Kota Kupang untuk berkompetisi dalam pilkada pada awal Mei 2012. Sejumlah paket yang sudah dipastikan akan ikut dalam pilkada adalah paket Jefri Riwu Kore – Kristo Blasin yang diusung oleh beberapa partai politik yang saat deklarasi yakni PDIP, Gerindra, PAN, dan PPD, sehari setelah deklarasi baru Partai Demokrat menyatakan dukungan ke paket Jeriko, paket berikut adalah Daniel Adoe – Daniel Hurek yang diusung oleh Partai Golkar yang kemungkinan didukung oleh PPP dan PDS, Yovita Mitak - Anton Natun diusung oleh Partai Hanura dengan didukung oleh PPRN dan PDP. Sedangkan Veki Lerik – Muhamad Wongso di dukung oleh Partai-partai non sheet. Sedangkan paket Salam (Jonas Salean – Herman Man) telah menyerahkan dokumen dukungan KTP untuk maju dari jalur independen serta calon lainnya yang berupaya untuk turut serta dalam pesta pemilihan kepala daerah di Kota Kupang.

Proses penentuan partai politik untuk mengusung para kandidat sepertinya terjadi sebuah konspirasi besar dalam penentuan paket calon walikota dan wakil walikota di Kota Kupang, peta politik terlihat dengan jelas kehadiran dan peran partai politik di NTT terbangun dalam konteks primordialisme kedaerahan serta kelompok. Pemikiran ini kemudian tercermin dalam kepemimpinan yang telah terkonstruksi dalam sejumlah tubuh partai politik di NTT, membedah PDIP dengan dikendalikan oleh kelompok Flores dimana Frans Leburaya sebagai Ketua DPD I PDIP NTT, sehingga terlihat bahwa kekuatan DPD I PDIP mengendalikan DPD II Kota Kupang dengan memberikan kesempatan bagi siapa untuk boleh mendaftar melalui pintu PDIP tetapi Calon Wakil Walikota telah di patok mati yakni Kristo Blasin yang adalah orang kepercayaan Frans Leburaya.

Di tubuh Partai Gerindra sepertinya partainya orang Timor, pasca kematian Ketua DPD I Partai Gerindra Libret Foenay yang kemudian di gantikan oleh Esthon Foenay terlihat bahwa kekuatan partai ini sepertinya ingin meraup suara dari komunitas orang Timor bahkan ketua DPD II Kota Kupang adalah orang Timor yakni Hengki Benu, di partai lain yakni PAN NTT sendiri ada sebuah kecenderungan bahwa partai ini membangun basis politiknya pada warga Indonesia keturunan Timor Leste hal ini dikarenakan Ketua dan Sekretaris DPW PAN NTT adalah keturunan Timor Leste.

Partai Golkar NTT memiliki kecenderungan dikendalikan oleh orang Rote, dimana pimpinan DPD I adalah Ibrahim Medah dan Ketua DPD II Kota Kupang adalah Walikota Incumbent Daniel Adoe yang nota bene adalah orang Rote. Sedangkan Partai Demokrat NTT yang dalam sejarah pembentukannya jelang tahun 2004 di NTT di lakukan oleh salah seorang tokoh Sabu sehingga menghasilkan dua anggota DPR RI yang nota bene orang Sabu sehingga memberikan indikasi bahwa partai ini masih dikendalaikan oleh orang Sabu tidak saja itu tetapi walau Ketua DPD I Partai Demokrat NTT aalah Johni Kaunang tetapi Sekjend DPD I Partai Demokrat tetap orang sabu Jonatan Kana.

Pemaparan anatomi kekuatan partai politik di NTT diatas seyogianya ingin menggambarkan bahwa kondisi politik di Kota Kupang menjelang Pilkada ini sedang terjebak dengan tarik – menarik kepentingan politik berada di level Gubernur dan sehingga struktur pimpinan partai di tingkat DPD I yang nota bene memiliki kekuatan politik diatas DPD II Kota/Kabupaten.

Sehingga logika yang ingin dimunculkan oleh kekuatan DPD I yang nota bene secara structural ada diatas DPD II, maka DPD II harus tunduk atas kebijakan pimpinan partai secara structural lebih tinggi. Jika kekuatan structural yang dikuasai secara etnies dan kelompok ini yang menentukan kepemimpinan dalam pesta dermokrasi di level lokal atau daerah, bagaiman peran partai politik dalam era demokratis memainkan perannya ?

Firmanzah menegasakan bahwa ideology dan program partai-partai peserta pemilu sehingga betapa pentingnya peran dan kedudukan ideology dalam sistem piolitik di Indonesia, sehingga masing-masing partai politik perlu memikirkan strategi untuk memperkuat identitas mereka. Identitas ini berperan penting sekali dalam era kompetisi. Adanya identitas politik yang tegas akan semakin memudahkan para pemilih untuk mengidentifikasi keberpihakan dalam isu politik suatu partai dan kebijakan publik yang akan dibuatnya (Firmanzah – 2011 – Obor)

Kesalahan terbesar yang di bangun atau dikonstruksi oleh politik lokal di NTT adalah membangun identias politik berdasarkan suku atau komunitas, hal inilah yang menjadi persoalan dalam politik di NTT. padahal identitas yang di maksud adalah semisal metode atau tujuan akhir yang ingin di capai atau diperjuangkan oleh partai politik yakni dalam sejarah bahwa dua ideology besar yang menjadi identitas partai-partai politik yakni ideology sosialis yakni masyarakat dengan kesejahteraan yang merata, sedangkan ideology kapitalis yakni ingin menciptakan kemakmuran dan kekayaan yang sebesar-besarnya atau ingin meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara itu ada juga ideology agama yang ingin memperjuangkan nilai-nilai agama tertentu dalam konstitusi bernegara.

Kenyataan dalam mengusung kandidat dalam kompetisi pesta demokrasi di tingkat Kota Kupang, partai-partai politik di level nasional memngempanyekan program mereka berdasarkan pemetaan ideology yakni sosialis-kerakyatan, kapitalis, dan juga agamais tetapi di tingkat lokal, ideology – ideology tersebut hanyalah aksesoris demokrasi untuk menghiasi buku-buku panduan kaderisasi partai politik. Bagaimana mungkin keberadaan Partai Democrat yang memiliki kecenderungan kapitalis dimana kebijakan negara dalam pemerintahan SBY melakukan import berbagai bahan pangan semisal Ikan, Kentang, Garam dan bahan pangan lainnya, dapat berkoalisi dengan PDIP dan Gerindra yang berkoar-koar dengan ekonomi kerakyatan yakni menolak import pangan dan mendorong konsumsi pangan lokal. Pada paket lain dimana PDS dapat berkoalisi bersama PPP untuk mengusung Daniel Adoe padahal kedua partai ini memiliki kutub politik yang sangat berbeda.

Penerapan ideologi politik sebagai identitas politik pada tingkatan lokal di NTT khususnya dalam Pilkada Kota Kupang membangun sebuah identitas politik yang tidak sesuai dengan ideologi politik pada tingkatan partai level nasional tetapi lebih cenderung membangun sebuah identitas poltik yang primordial sehingga dalam penetapan pasangan calon kandidat pun melakukan pertimbangan suku atau identitas primordial, seperti yang terlihat dalam paket-paket yang akan bertarung ada paket Rote-Flores, Sabu – Flores, Flores – Timor dan sebaginya. Sehingga dalam penetapan calon dan Gerindra mengurung niatnya mencalonkan calon walikota yang seyogianya sudah menjadi hak Ketua DPD II Gerindra Kota Kupang Hengki Benu, hal inilah yang menjadi pemicu bagi ormas Persehatian Orang Timor untuk menarik dukungan politiknya dari kempimpinan Frans Leburaya dan Esthon Foenay, karena Atoin Meto (Orang Timor) merasa di abaikan oleh kedua petinggi pimpinan partai di NTT ini.

Penggunaan identitas politik yang primordial seperti ini akan menghasilkan kualitas demokrasi serta kepemimpinan yang mengambang (Swing Leader) karena pertimbangan etnies, kelompok dan kepentingan komunitas yang menjadi pertimbangan, partai politik hanya berorientasi pada kerja-kerja jangka pendek, tidak menjalankan program kerja yang merupakan perjuangan dari ideologi partai politik yang ada. Model identitas politik sebagai ideologi politik di NTT ini membuat kepemimpinan di NTT dapat diukur dari berapa besar material dan harta yang dimiliki oleh sesorang yang berasal dari komunitas petinggi pengurus partai tersebut, untuk dapat diajukan sebagai kandidat calon kepala daerah.

Model kepemimpinan seperti ini yang dikembangkan dalam setiap Pilkada di NTT maka dukungan politik yang diberikan berdasarkan oleh komunitas akan terbangun sebuah consensus “balas jasa” yakni sejumlah jabatan dan alokasi penerimaan PNS harus di berikan kepada komunitas dan suku tertentu, sehingga kepemimpinan dalam masa tertentu hanya akan dikendalikan oleh suku dan komunitas tertentu, Modus kepemimpinan ini akan menjadi sebuah trend balas dendam dalam kepemimpinan berikutnya.

Idealnya partai politik menjadi aset terpenting dalam mewujudkan demokratisasi untuk melahirkan perbaikan kepemimpinan di level lokal maupun di level nasional namun jika sudah di bangun di level paling bawah dengan model kepemimpinan yang primordial maka kepemimpinan akan mengambang dan menjadi liabilitas bagi kemajuan bangsa.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
.

Rabu, 08 Februari 2012

"USUR TAK BERARTI HARUS MATI"

“USUR TAK BERARTI HARUS MATI”
(DIES NATALIS GMKI KE 62)
*Yoyarib Mau

Sudah Tua……. Tua sudah….. Renta raga kami /
Namun Tegap langkah kaki kami /
Tangan kami memegang pemantik /
Memantulkan percikan cahaya /
Menerangi lorong bagi sang Nasionalisme//

Tertatih menyusuri alur gelombang /
Gelombang ganas yang namanya kolonialisme /
Dengan jurus Christelijke Studenten Vereeniging /
Hempasan Gelombang dapat ditaklukan /
Menghentar bahtera Oikoumenisme //

Ujung lorong bagi tahta Nasionalisme /
Di persempit oleh para exstrimis berbaju warna putih /
Menyulitkan bahtera Oikoumenisme /
Membuang Jangkar, menautkan saung /
Menabur benih “Syallom” di Pantai Persada Nusantara //

Semilir angin yang meniup layar Bahtera, menuju pelabuhan NKRI /
Kami pun bangkit berjibaku mendayung bahtera /
Tanpa nutrisi salmon, teri piranha, bukan sari pati apel Malang dan apel Wasington /
Bukan pula senyuman maut malaikat betina yang terkutuk itu /
Tetapi Gelora yang tak pernah usang walau telah usur terus membakar /
Dalam panji : UT OMNES UNUM SINT //

*Sekretaris Fungsional Aksi dan Pelayanan
Pengurus Pusat GMKI Masa Bhakti 2010 - 2012

Jumat, 03 Februari 2012

“KETIKA JAKARTA BERUJAR”

“KETIKA JAKARTA BERUJAR”
*Yoyarib Mau

Indonesia tana air gue…. kata orang Jakarte /
Indonesia tana air eloe…. apa kata dunia nanti /
Indonesia tana Jawa… (terkekeh) he..he…...
kan aturan tidak tertulis harus orang Jawa /
Mungkin Indonesia hanyalah dari Jl. Sabang sampai Jl. Merauke //

Indonesia hanyalah mimpi bagi mereka yang ada di Ujung Kulon /
Indonesia telah berubah bukan lagi Ujung Pandang, yah….telah berubah /
Indonesia tak di pahami di Ujung Perbatasan Malaysia /
Indonesia akan mutlak di Ujung Pucuk senjata
ampuh dengan peluru “NKRI harga mati” //

Akulah Indonesia ketika Apel Malang jadi makanan ku /
Akulah Indonesia andai bisa bermimpi menyantap Apel Washington /
Indonesia banget… disaat dapat menjinjing laptop Apple /
Indonesia jugakah ? jika terpaksa mencuri sandal untuk makan….
Jawab Jakarta : itu DL (derita loe) //

Jakarta berkata “ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang” /
Jakarta semua ada uang, hukum rimba pun berlaku /
Wanita Terbaik Negeri bernama Malaikat-pun kemalaikatannya di jual karena uang /
Jika demikian Apa nasib anak negeri yang bernama Injil //

Sekretaris Fungsional Bidang Aksi dan Pelayanan
Pengurus Pusat GMKI Masa Bhakti 2010 - 2012

“SMD3T KERDILKAN OTONOMI DAERAH”

“SMD3T KERDILKAN OTONOMI DAERAH”
*Yoyarib Mau

Program SMD3T (Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang ditelurkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional adalah sebuah ide untuk menjawab apa yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa namun tidak serta merta ide tersebut harus di sepakati secara mutlak karena ini kebijakan menteri.

Kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan (Kemendiknasbud) mengirim 2.700 sarjana pendidikan untuk mengajar di pulau tertinggal dan terluar. 339 di antaranya merupakan sarjana pendidikan asal Sulsel (beta.fajar.co.id). pemerintah pusat dalam hal ini Kemendiknasbud berencana menempatkan 703 guru kontrak di Nusa Tenggara Timur, kebijakan penempatan guru kontrak dari luar NTT inilah yang membuat hampir seluruh mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Kota Kupang gerah dengan kebijakan ini dan melakukan aksi protes.

Dari jumlah 703 guru kontrak untuk Nusa Tenggara Timur hampir semuanya berasal dari luar NTT, tarik menarik antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah mengenai program ini membuktikan ada kesalahan manajemen pemerintahan, anggota Komisi D yang membidangi masalah pendidikan, Antonius Timo menjelaskan, pihak kementerian terkesan tertutup dengan program ini. Pasalnya, terdapat dua versi penjelasan, yakni berbeda antara Mendikbud Moh. Nuh dan Wamendikbud Musliar Kasim. Menurut Mendikbud, kata Anton-sapaan Antonius Timo anggota Komisi DPRD NTT yang membidangi masalah pendidikan, anak-anak NTT juga mengikuti tes namun tidak lulus, padahal IPK minimal 2,75. Selain itu, Universitas Nusa Cendana (Undana) juga terlibat dalam tes tersebut. Sementara itu, menurut penjelasan Musliar, yang mengikuti tes tersebut hanya dari IKIP, bukan FKIP (Timor Exprees Jumat, 03 Feb 2012).

Pendapat petinggi negara patut di pertanyakan mengenai kebijakan negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, dilain pihak Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App, Sc, Ph.D mengakui tidak mengetahui proses perekrutan tenaga pendidik untuk program SMD3T, Ia mengatakan, Undana tidak diikutkan sebagai salah satu universitas dalam proses tersebut. Rektor Undana akan menyurati Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud agar Undana bisa menjadi salah satu universitas yang bisa melakukan perekrutan tenaga SM3T jika program itu masih ada.

Komunikasi antara lembaga dibawah kementrian saja tidak berjalan dengan baik apa lagi dengan pemerintahan daerah lebih tidak dihiraukan lagi, kondisi ini menyebabkan lahirnya pertanyaan, ada kepentingan apa dibalik program SMD3T, sehingga terkesan tidak transparan dan tertutup ?

Otonomi daerah hadir karena masa orde baru kekuasaan terpusat di Jakarta, pemda dan rakyat di daerah tidak punya ruang gerak karena semua serba ditentukan dari atas. Program SMD3T bagi NTT ini menunjukan bahwa kekuasaan kembali terpusat di Jakarta. UU Otonomi Daerah yakni UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5 ; Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ayat 6 ; Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Urusan di daerah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan daerah menurut prakarsa sendirti berdasarkan aspirasi masyarakat hanya ada beberapa hal saja yang diatur secara langsung oleh pusat meliputi; politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama yang menjadi domain pemerintah pusat. Sedangkan persoalan pendidikan tetap menjadi domain pemerintahan daerah dan bukan urusan pusat, berangkat dari pemahaman ini maka Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan telah salah melangkah dalam urusan pengembangan pendidikan didaerah dengan mendatangkan tenaga guru honorer secara langsung ke daerah terpencil, sedangkan pemerintah daerah dalam hal ini Provinsi tidak mengetahui akan program Kemendiknasbud, bahkan institusi terkait Universitas Negeri terbesar di NTT yakni UNDANA tidak ada koordinasi menyangkut program SMD3T ini.

Demokrasi Partisipatoris

Spirit otonomi daerah dalam bingkai sistem pemerintahan demokratis adalah pemerintahan partisipatoris, tujuan dari penerapan otonomi daerah lebih dititikberatkan pada pemberdayaan masyarakat yang merupakan prasyarat utama dalam mengimplementasi desentralisasi dan otonomi daerah. dimana pembangunan harus melibatkan partisipasi masyarakat, namun kenyataan yang ada pemerintah dalam hal ini Kemendiknasbud berjalan sendiri seolah-olah menunjukan dominasi pusat terhadap daerah dengan mematikan peran serta daerah dalam pembangunan bangsa.

Jika Kemendiknasbud menyadari akan penerapan otonomi daerah maka APBN untuk pengadaan guru honorer atau guru kontrak untuk daerah tertinggal yang dialokasikan dari APBN tidak serta merta di lakukan sendiri tetapi dapat di sinergikan dengan pemerintah daerah sebagai representasi masyarakat, bisa saja kurikulum dan kemajuan terknologi pendidikan yang tidak di kuasai oleh guru-guru lokal terutama guru-guru honorer di daerah dapat dilatih untuk memeliki kemampuan dana penguasaan teknologi pendidikan tersebut.

Selama ini persoalan tenaga pendidik yang tidak melakukan tugas di daerah tertinggal atau terluar karena faktor biaya hidup yang tidak memadai, apabila Kemendiknasbud memiliki niat baik dan tulus untuk kemajuan pembangunan pendidikan yang merata bagi seluruh insan di Republik Indonesia maka proses dalam pengejewantahan program kerja pun perlu mengikut sertakan masyarakat lokal. Realitas yang ada Kemendiknas menciptakan kesenjangan baru bahwa tenaga guru dari pulau Jawa dan kota besar lainnya lebih berkompeten.

Jika konsep berpikir dengan menciptakan disparitas kemampuan guru lokal dan guru yang didatangkan dari kota besar, hal ini menunjukan bahwa pemerintah tetap menginginkan kebodohan dan ketertinggalan menjadi bagian dari daerah tertinggal atau terluar sehingga tidak memberikan kesempatan bagi orang lokal untuk berperan keluar dari keadaan tersebut dan tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam semangat otonomi daerah.

Program SMD3T Abaikan Kearifan Lokal

Pendidikan di Indonesia di bentuk untuk menciptakan sebuah pemahaman yang terkensan sentralistik sebagaimana yang terjadi dengan standar kelulusan yang didasarkan pada hasil Ujian Nasional, dimana penyususan soal dilakukan di Pusat dan daerah hanya menjalankan saja. Keadaan ini menyebabkan banyak ketidaklulusan ada di daerah, kondisi ini yang kemudian mendorong Kemendiknasbud melahirkan ide SMD3T untuk sebuah penyeragaman.

Proses penyeragaman seperti ini terkesan didominasi oleh sebuah kultur dominan dari budaya tertentu yang dikenal dengan sebutan Triple-S (Selaras, Serasi, Seimbang) proses ideologisasi seperti ini mematikan kearifan lokal yang ada di daerah tersebut. Padahal UU 32 tahun 2004 pasal 22 memberikan ruang bagi pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah dengan melestarikan nilai sosial budaya.

Proses pelestarian nilai sosial budaya dapat dilakukan oleh institusi pendidikan tentunya yang mengoperasikannya adalah seorang guru, karena itu seorang guru perlu memahamai dan mengerti akan budaya dan karakter sosial masyarakat setempat sehingga proses implementasi kurikulum pendidikan harus diadaptasikan dengan kultur setempat. Pemahaman akaln kultur atau kearifan lokal yang merupakan tatanan nilai dan menjadi pedoman hidup yang dimiliki masing-masing kelompok masyarakat. Keberadaan kerarifan lokal ini dapat beguna untuk menjaga keseimbangan lingkungan sehingga pendidikan yang diajarkan pun harus mendukung atau disesuaikan dengan kearifan lokal, bagaimana mungkin seorang guru honorer yang didatangkan dari luar NTT dapat memahami kearifan lokal NTT.

Kebijakan kemendiknasbud merupakan sebuah kebijakan yang mengkerdilkan Otonomi Daerah sehingga menghadirkan apriori baru yang terkesan “top down” dan merupakan pesanan sponsor untuk mengecilkan nilai-nilai lokal dan sepertinya adanya muatan zat “nitron” yang lain yang dapat berkembang sebagai sebuah proses ideologisasi baru yang mengacu pada Triple – S (Selaras, Serasi, Seimbang) yang berlaku secara nasional.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI