Senin, 30 Juli 2012

“BANGKRUTNYA PARTAI POLITIK DI INDONESIA - 1”

“BANGKRUTNYA PARTAI POLITIK DI INDONESIA  - 1”
*Yoyarib Mau

            Keberadaan partai politik dari kemerdekaan NKRI hingga  pasca reformasi 1998 diharapkan keberadaannya untuk mensejahterahkan rakyat Indonesia namun kenyataannya keberadaan parpol di Indonesia memiliki kecenderungan berperilaku oligarkis yang kemudian perilaku ini  menjadi persoalan bagi kehidupan demokrasi yang baru . 

            Persoalan yang dialami partai politik yang sepertinya mengalami kemunduran yang sangat besar menuju kebangkrutan, bukan persoalan tidak memiliki keuangan yang cukup untuk menghidupi atau membiayai roda organisasi partai politik dari pusat hingga daerah tetapi partai politik terancam di tinggalkan oleh konstituen karena tergerusnya spirit dan nilai kehadiran partai politik itu sendiri.

Semaian Partai Politik di Tanah Air 

            Keberadaan partai politik di Indonesia pada masa ke masa untuk mengisi parlemen, memiliki corak dan ciri tersendiri. Penulisan ini akan mencoba melihat sejauhmana kekuatan – kekuatan politik ini dalam tubuh partai politik mempengaruh warga negara  yang mampu mendorong, memobilisasi dan mendorong warga negara untuk memilih partai politik tertentu?. 

            Sejak Republik Indonesia masih berbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat) dimana Parlemen pasca kemerdekaan 1945 berbentuk bicameral dimana ada DPR dan Senat yang masih bersifat kedaerahan dan kesukuan dimana  dari 16 negara yang berfederasi ke dalam RIS dari masing-masing federasi tersebut memiliki wakil 2 orang senat disamping partai politik yang masih bersifat kedaerahan kebudayaan dan keagamaan seperti Serikat Islam (SI), PNI (Partai Nasional Indonesia). .

            Dalam perkembangan partai politik  1954 di tanah air, warna politik dalam parpol mencerminkan ideology apa yang diperjuangkan dan representative dari yang diwakilkan sebagaimana  terlihat pada masa orde lama (pemerintahan Soekarno – Hatta) yakni pertarungan ideologi nasionalisme dimana negara Republik Indonesia (RI) yang berdaulat, adil dan makmur, berdasarkan kedaulatan rakyat, yang direpresentatifkan dengan kehadiran PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan berusaha mempersatukan bangsa dan negara serta memperbesar rasa cinta, setia dan bhakti kepada tanah air. Sedangkan ada tiga partai besar lainnya disamping partai-partai kecil lainnya. 

             Seperti Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia), yang memiliki basis pada kelompok agama beragama Islam dengan perjuangan pembentukan negara Islam, ada partai berideologi komunis yakni PKI (Partai Komunisme Indonesia) tiga kekuatan besar aliran ideologi ini yang  mewarnai perpolitikan awal berdiri negara ini, ditambah dengan sejumlah partai yang ada tetapi memiliki kecenderungan untuk memihak pada ketiga aliran besar ideologi yang diwakilkan oleh PNI, Masyumi, dan PKI. Keberadaan tiga ideologi besar ini namun kemudian Masyumi dibubarkan karena dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI, sehingga secara otomatis basis masa Masyumi bergabung dengan NU (Nadhatul Ulama)  kekuatan-kekuatan ideologi politik ini kemudian Soekarno menyebutnya dengan sebutan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) sebagai unsur mutlak daripada pembangunan bangsa.

Pertarungan Ideologi 

            Pada tahun 1960 politik tanah air dalam perkembangan partai politik di tanah air yang lebih pada perjuangan golongan menyebabkan adanya  keberadaan golongan dalam parlement yang melakukan aktititas dan perilaku politik tetapi menamakan diri golongan dan bukan partai politik yakni Golongan Karya.  Golongan Karya (Golkar) membangun sebuah strategi baru yakni didalam tubuh  tubuh Golongan Karya ada berbagai sub golongan yakni golongan ABRI dan Veteran, sub golongan alim-ulama (Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu-Budha), sub golongan pembangunan materil dan sub golongan pembangunan sprituil yang merupakan wakil dari pemuda, cendikiawan, angkatan 45 dan seniman dan wartawan (Parlemen Indonesia – Efriza dan Syafuan Rozi – 2010).

            Keberadaan Golongan Karya pada tahun 1960 dalam DPRGR menjadi kekuatan mayoritas karena memiliki kemampuan membelah diri dalam sub-sub golongan sehingga mampu mendapatkan kursi mayoritas. Keberadaan Golongan Karya menyebabkan hubungan antara partai politik mulai menunjukan ketidakharmonisan, dimana hubungan militer yang berafiliasi ke golongan karya memimiliki hubungan yang renggang dan tercipta ketegangan politik antara militer dan PKI. 

              Karena memiliki kekuatan mayoritas di parlemen maka Golongan Karya dan dukungan dari beberapa partai politik  serta kekuatan Militer melakukan tekanan politik bagi berbagai kegiatan politik PKI dan Ormasnya. Mungkin saja akibat pertarungan politik antara militer dan PKI yang kemudian memuncak dengan adanya  pemberontakan G 30 S/PKI. 

               Pertarungan ideologi yang berakhir dengan pertumpahan darah dan pembantaian dalam peristiwa G 30 S/PKI inilah, akhirnya dengan kekuatan politik DPR mulai berseberangan dengan Presiden dimana pada tahun 1965 DPRGR dalam rapat-rapatnya mulai mengabaikan keberadaan PKI, karena posisi Presiden terjepit menghadapi militer dan rakyat  yang menuntut pembubaran PKI.

            Kekuatan militer dan rakyat yang melakukan tekanan politik terhadap presiden adalah juga memiliki perwakilan dalm sub golongan di bawah Golongan Karya. Tuntutan militer dan rakyat mulai gencar dilakukan pada tahun 1966 dengan melakukan demonstrasi ke DPR dengan nama tuntutan TRITURA  (Tiga Tuntutan Rakyat) yakni : Bersihkan Kabinet dan Pemerintahan dari oknum G 30 S/PKI, Bubarkan PKI dan Ormas-Ormasnya, Turunkan Harga.

             Akibat tuntutan dan tekanan yang masif  kekuatan militer  maka pembubaran PKI dilakukan dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). PKI dijadikan oraganisasi terlarang di seluruh NKRI atau diharamkan, sehingga PKI menjadi bangkrut karena pengikutnya diciduk hingga ke akar-akarnya. Pada masa orde baru melalui stigma bagi para anak cucu anggota PKI dan tidak diberikan kesempatan serta di pasung hak-haknya sebagai WNI terutama dalam perekrutan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).

            Kekuatan Golongan Karya semakin kuat karena sudah teruji dengan mematahkan keberadaan PKI hingga ke akar-akarnya. Pengalaman empiris yang ada sepertinya memberikan legitimasi bagi Golkar untuk mengendalikan politik dalam negara, Golkar menyadari bahwa ancaman-ancaman masih akan ada dengan keberadaan banyaknya partai-partai politik, Golkar memiliki pandangan yang berbeda bahwa selagi masih ada gerakan politik tentunya ideologi tidak akan pernah berakhir. 

               Sebagaimana pemikiran Aiken (1964), ide dan gagasan tentang akhir atau matinya ideologi adalah hal yang mustahil, karena ideologi melekat dalam aktivitas politik (Firmanzah – Mengelola Partai Politik – 2011). Pemikiran Aiken ini menjadi pertimbangan Golkar dengan sikap antisipatif, karena dalam dinamika partai politik ada perlawanan baru dari lawan politik. Sehingga partai berkuasa perlu melakukan penyerderhanaan Partai Politik agar dapat dengan mudah mengendalikan dan menaklukan lawan politik karena selagi masih berjubelnya partai politik tentu akan tercipta interaksi dan dinamika politik yang akan menguras energy dan korban.

            Kekuatan Orde Baru yang dikendalikan oleh kekuatan Golkar dengan dinakhodai oleh Soeharto  menganggap partai politik sebagai sumber pertikaian yang mengganggu stabilitas kehidupan bernegara maka perlu penyerderhaan terhadap partai – partai politik yang ada sehingga pada pemilu 1971 partai perserta pemilu terdiri dari; PNI 20 kursi, NU 58 kursi, Parmusi (Masyumi baru) 24 kursi, Golkar 236 kursi, Partai Katolik 3 kursi, PSII 10 kursi, Murba 0 kursi, Partai Kristen Indonesia 7 kursi, Perti 2 kursi, dan IPKI 0 kursi, (Efriza – Syafuan Rozi – Alfabeta – 2010).  

          Hasil perolehan suara ini tetap memberikan legitimasi yang kuat bagi Golkar karena memiliki suara mayoritas yang merupakan kumpulan golongan kekaryaan memberikan rekomendasi bagi pemerintahan orde baru untuk membangun kekuatan hegemoniknya di parlement untuk  mengendalikan pemerintahan melalui kebijakan-kebijakan maka ada kebijakan khusus bagi ABRI (militer) yang mendapatkan 75 kursi tanpa melalui pemilu serta tambahan 25 kursi untuk Golkar…… Bersambung…….

*Mahasiswa Ilmu Politik  Kekhususan Politik Indonesia – FISIP UI