Jumat, 21 Juni 2013

“GUBERNUR BAYANGAN PROVINSI NTT’


GUBERNUR BAYANGAN  PROVINSI NTT’
*Yoyarib Mau

Harap cemas menanti keputusan Mahkamah Konsititusi (MK) dalam memutuskan sengketa Pilkada Gubernur  Putaran II, untuk menentukan siapa pemenang sebagai Gubernur, dilain kesempatan KPUD NTT telah menetapkan pemenangnya. Penetapan ini belum memberi keyakinan kepada seluruh masyarakat NTT terhadap penetapan terebut. Pendukung dari kedua kubu kandidatyang berkompetisi masih menanti dalam kecemasan, karena mengharapkan keputusan akhir yang sah ada di tangan MK.

Jabatan Gubernur walaupun dalam era otonomi daerah hanyalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Namun Realitas yang ada seperti kekuasaan atas sebuah teritorial, anggaran yang didapatkan dari Pemerintah Pusat berupa APBN, maupun di tingkat Provinsi sendiri di tunjang dengan APBD, sejumlah fasilitas yang di miliki sebagai Kepala Daerah menunjukan bahwa Gubernur adalah penguasa tunggal di sebuah wilayah Provinsi. Kondisi ini mengesahkan bahkan membangun opini publik bahwa jabatan Gubenur adalah jabatan yang prestisius.

Padahal dalam era otonomi daerah meletakan kewenangan otonomi di tingkat II yaitu pada kabupaten dan kota, dan bukan pada provinsi, provinsi hanya sebagai perantara atau perpanjang tangan. Seyogiannya perebutan kepemimpinan yang paling menarik dan menguras energi untuk dibahas adalah perebutan kepemimpinan di tingkat kabupaten dan bukan pada provinsi. Dalam Pilkada NTT yang bersamaan dengan Pilkada Gubernur adalah Pilkada Kabupaten Sikka. Namun pembahasan dan animo masyarakat NTT lebih besar menyedot perhatian ada pada pilkada Gubernur.

Kondisi ini menggambarkan bahwa fenomena politik di NTT sangatlah menarik untuk ditelusuri lebih jauh, bagaimana figure kandidat yang bertarung menjadi buah bibir pembicaraan, apakah dilatarbelakangi oleh psikologi pemilih dan sikap primordial, atau karena pemahaman akan jabatan struktural gubernur itu sendiri yang prestisius ? Pembahasan dalam opini ini, tidak akan membahas perilaku pemilih akan tetapi akan menyoroti keberadan struktur gubernur itu sendiri dalam struktur bernegara.

Salah satu pemikir demokrasi Joseph Schumpeter merumuskan demokrasi sebagai pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih dan memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan (AA.GN. Ari Dwipayana – LP3ES – 2004), infrastruktur demokrasi tidak semata-mata kepala negara semata, tetapi meliputi partai politik, ornop local  (NGOs), pers lokal, universitas  lokal, dan politisi daerah.

Gubernur adalah jabatan strategis di sebuah wilayah atau tritorial dan memiliki otoritas dari rakyat sehingga memberikan hak bagi gubernur terpilih untuk dapat membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan secara absah. Menanti keputusan MKtentu akan menetapkan pasangan tertentu sebagai gubernur defenitiv dan salah satu pasangan harus menerima kenyataan untuk tidak menduduki jabatan gubernur yang memiliki otoritas penuh dalam batasan teritorial tertentu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pasca penetapan MK siapa Gubernur terpilih akan nampak secara Psikologis dari kandidat yang kalah, akan terlihat adanya penurunan power baik secara fisik maupun psikis, karena kedua calon gubernur sebelumnya menduduki posisi kekuasaan, Frans Leburaya sebagai Gubernur dan Esthon Foenay sebagi Wakil Gubernur yang berhak  mendapatkan sejumlah fasilitas untuk mendukung kinerjanya.

Keadaaan ini kemudian tidak serta-merta membuat salah satu dari mereka tidak dapat disebut dengan sebutan gubernur, semua kandidat dengan bebas dapat menggunakan sebutan gebernur, namun yang membedakan adalah “gubernur berkuasaVsgubernur oposisi”. Penyebutan ini bukan berarti tidak menerima akan keputusan Mahkamah Konstitusi dan bukan juga menghadirkan dualisme kepemimpinan di NTT.

Gubernur Oposisi atau Gubernur Bayangan

Penyebutan Gubernur bagi yang kalah dalam keputusan MK juga adalah sebuah pembelajaran demokrasi, bahwa sebutan dan jabatan Gubernur bukanlah sebuah jabatan elitis yang prestisius akan tetapi dapat memberikan pemahaman bahwa Gubernur adalah sebuah jabatan biasa dalam struktur bernegara. Karena penyebutan Gubernur dan mendewakan posisi tersebut akan mengembalikan persepsi masyarakat dimana rakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan dan perlakuan istimewa, akan terbalik di mana kembali pada jaman feodal yang mana rakyat harus memperlakukan gubernur sebagai raja pada jaman feodal.

            Kedua kandidat yang bertarung dalam Pilakda Putaran kedua sama-sama adalah pimpinan partai politik yang selevel dengan posisi struktural gubernur, sehingga penyebutan gubernur bagi kandidat yang kalah harus di pahami sebagai bentuk kehidupan sipil yang berada dalam era demokrasi. Salah satu kandidat yang kalah dapat berperan sebagai gubernur oposisi untuk mengontrol gubernur yang berkuasa. Peran sebagai gubernur oposisi dapat dilakukan melalui struktur partai yang ada, atau dapat juga menjalankan fungsi gubernur oposisi melalui organisasi sosial, lsm, organisasi lokal.

            Peran gubernur oposisi sangat strategis dimana tanpa aturan protokoler yang di bangun oleh sistem, peran oposisi dapat dilakukan untuk mewujudkan visi dan misi yang telah dikampanyekan pada masa kampanye pilkada sebelumnya. Bentuk dari peran gubernur opisisi ini adalah bentuk kebangkitan sosial yang bertujuan mendemokratisasikan masyarakat dalam menjalankan politikal namun bukan berarti mengarahkan rakyat untuk tidak tunduk dan taat terhadap program yang dijalankan oleh gubernur berkuasa.


Design Kelembagaan Oposisi

            Membangun demokrasi dengan peran oposisi belum dilakukan dalam kehidupan bernegara secara masif dalam berbagai struktur pemerintahan di tingakt Provinsi dan Kabupaten/kota, sepintas terlihat pada level pusat namun hanya pada level legislatif dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah yang berkuasa terutama menjelang pengambilan keputusan dalam penetapan APBN dan APBN-P. Prinsip dan peran oposisi seharusnya menurun ke tingkat terbawah dimana ada juga  peran oposisi dalam mengontrol kebijakan pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

            Jika peran oposisi dilakukan dan dipahami oleh masyarakat luas bahwa perlu adanya gubernur oposisi  agar pemahaman akan demokrasi tidak sekedar memahami demokrasi secara parsial dimana demokrasi hanya dipamai hanya pada saat pemilu atau pemungutuan suara semata, adanya kontestasi melalui kampanye, debat publik  yang dapat diyakni sebagai sesuatau yang demokratis. Padahal pemahaman demokrasi jauh melampaui hal-hal teknis yang berkelanjutan dimana adaanya ruang kontrol sebagai bukti partisipatif  yang dapat dilihat dalam bentuk tindakan politik secara langsung melalui demonstrasi, surat terbuka, bahkan sikap resmi melalui partai politik di parlement.

            Design kelembagaan akan Gubernur Bayangan atau Gubernur Oposisi tidak perlu diformalkan namun dibutuhkan dalam kehidupan berdemokrasi, dimana struktur-struktur dalam lembaga kemasyarakatan, lembaga sosial, lembaga adat bahkan  partai politik sekalipun dapat membiasakan penyebutan struktur pengurus dengan sebutan presiden, gubernur, bupati/walikota agar sebagai bagian dari upaya untuk pendalaman demokratisasi dan membiasakan rakyat untuk tidak menganggab jabatan-jabatan tersebut sebagai jabatan prestisius yang selama ini telah terbangun dalam pemikiran masyarakat bahwa jabatan tersebut adalah jabatan yang mendewakan seseorang yang harus di dewakan atau bahkan dituhankan.

*Mahasiswa  Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI