Senin, 12 Agustus 2013

"GMIT TERSERET DALAM PUSARAN POLITIK PRAKTIS"



“GMIT TERSERET DALAM PUSARAN POLITIK PRAKTIS”
*Yoyarib Mau
Majelis Sinode Periode 2011 -2015, kepemimpinan Pdt. Robert Litelnoni ada beberapa pernyataan politis yang dianggap kontroversial dan menuai perdebatan. Pernyataan pertama, dilakukan pada saat putaran ke - 2 (dua) Pilkada Kota Kupang 27 Juni 2012 , pernyataan dilakukan pada tanggal 25 Mei 2012 usai mengadakan pertemuan dengan paket Salam (Jonas Saelan dan Herman Man) di kantor Sinode GMIT dirinya menyatakan dukungannya dan mendoakan paket Salam. Pernyataan kedua, dilakukan pada 05 Agustus 2013 di halaman gedung Sinode GMIT yang memberikan apresiasi atas perjuangan para wakil rakyat asal NTT di Senayan terutama Setya Novanto, Charles Mesang dan Herman Hery, juga Paul Liyanto. Apresiasi ini diberikan oleh Pdt. Robert Litelnoni  lantaran para wakil rakyat itu telah berjuang di DPR RI sehingga ada DIPA Kementerian Agama yang dialokasikan dana sebesar Rp. 3.5 miliar untuk pembangunan GMIT Center.

Dua sikap politik yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi GMIT, sebagai salah satu Gereja terbesar jumlah jemaatnya di daratan Timor, Rote, Sabu, Alor, dan sebagian Jemaatnya di Flores dan Sumbawa. Sikap politiknya melakukan dukungan dan memberikan apresiasi terhadap paket calon tertentu, juga memberikan apresiasi kepada individu tertentu. Dukungan dan apresiasi ini jelas mengarah kepada pribadi tertentu tanpa memberikan dukungan atau apresiasi secara menyeluruh kepada semua calon atau semua politisi yang jugaturut serta dan memiliki andil dalam proses politik yang ada. Pernyataan Politik yang dilakukan oleh Ketua Sinode dilakukan dalam kapasitas sebagai pemimpin gereja dan bukan secara pribadi karena dilakukan dalam kapasitas sebagai pemimpin gereja dan dalam lingkungan gereja.

Proses dukungan dan apresiasi dengan penyebutan nama atau dukungan kepada paket tertentu, pemimpin gereja telah melakukan sosialisasi politik atau isyarat politik bagi warga gereja mengenai paket atau nama-nama yang disebutkan diatas.  Gerakan politik dukung mendukung dan memberikan apresiasi terhadap politisi dalam tubuh GMIT dalam perjalanan sejarah GMIT kemungkinan dilakukan oleh Majelis Sinode Periode 2011 – 2015, keberanian ini dilatarbelakangi oleh adanya bidang politik dalam struktur kepengurusan Sinode GMIT, dan juga adanya beberapa politisi yang ada dalam struktur kepengurusan seperti Ayub Titueki , Ince Sayuna, Sofia Malelak de Haan, dan Paul Liyanto. 

Kondisi ini kemudian menghadirkan pertanyaan bahwa apakah gereja sudah seharusnya berada dalam tataran politik praktis ?  keberadaan gereja dalam era demokrasi dimana mereka yang adalah politisi dilibatkan dalam struktur majelis sinode GMIT tentu memiliki tujuan, yakni para politisi dapat mengakses uang (kebijakan APBN/APBN bagi GMIT karena mereka sebagai pejabat pemerintah. 

Penulisan opini ini tentunya memiliki perspektif yang berbeda sebagai warga gereja sebagaimana yang diungkapkan oleh Kenneth D. Wald bahwa anggota-anggota gereja memperoleh lima keterampilan esensial dari kewarganegaraan aktif: (1). Keterampilan sosial dalam mendengarkan, memediasi, dan memimpin (2). Kesadaran akan isu-isu publik dari perspektif moral (3). Dorongan untuk bergabung dengan kegiatan-kegiatan lain untuk perbaikan sipil dan masyarakat. (4). Sebuah keyakinan bahwa ada sifat sakral kewajiban-kewajiban  sosial yang melampaui kepentingan diri-sendiri; dan (5). Penghargaan diri yang berasal dari tugas-tugas publik (David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt – 1993) 

Pemikiran diatas jelas memberikan arahan bahwa apa yang dilakukan oleh Sinode GMIT perlu diteropong baik sebagai warga gereja maupun sebagai kewarganegaraan aktif. Berdasarkan keterampilan esensial kami apakah layakkah apresiasi itu di berikan kepada; Setya Novanto, Herman Herry dan Charles Jonas Mesang. Ketiga nama ini dalam isu-isu publik sangatlah fenomenal dalam track record mereka sebagaimana yang dirilis oleh Indonesian Corruption Watch (ICW),  mereka diragukan komitmentnya terhadap pemberantasan korupsi, indikator penilaian ICW adalah jika politisi pernah disebut dalam persidangan kasus korupsi. Setya Novanto diduga terlibat dalam kasus korupsi PON Riau bahkan KPK telah menyita sejumlah dokumen yang diduga terkait suap menyuap terkait pelaksanaan PON Riau dari ruang kerja Setya Novanto di gedung DPR RI. Setya Novanto disebut dalam pengakuan Muhamad Nazarudin yang terlibat dalam dugaan korupsi e-KTP.

Herman Hery adalah anggota komisi III DPR disebut oleh Muhamad Nazarudin terlibat dalam pusaran kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korps Lalu Lintas Polri dan telah diperiksa sebagai saksi simulator SIM di Korlantas Mabes Polri dan dihadapan penyidik KPK. Charles J. Mesang pernah disebut sebagai salah satu dari enam anggota DPR RI yang menerima uang dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigarasi oleh Kepala Biro Keuangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kasus proyek pengadaan alat latihan kerja.  

Isu-isu publik ini dalam perspektif moral dikategorikan sebagai hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang didengungkan oleh gereja, kehadiran gereja dalam menyiapkan warga gereja untuk terlibat dalam penegakan moral serta perlawanan terhadap korupsi demi perbaikan moral dan perilaku sipil. Seyogiannya sifat sakral gereja tidak digadaikan dengan memberikan apresiasi kepada politisi. Gereja harus berani menegakan nilai-nilai spiritual tanpa dikompromikan.

Berdasarkan pengamatan atas keterlibatan sejumlah politisi di DPR RI dalam berbagai kasus korupsi, mereka yang melakukan korupsi adalah mereka yang bertanggung jawab atas APBN karena posisi mereka yang berada dalam Badan Anggaran  (banggar) dan Bendahara Partai politik. Seperti Anggelina Sondakh, Muhamad Nazarudin, Zulkarnain Djabar, dan lainnya. Sehingga ketiga nama yang disebutkan diatas dalam berbagai dugaan korupsi mereka adalah juga anggota Banggar dan Bendahara partai politik yang memiliki kuasa untuk menetapkan alokasi anggaran.

Ketika GMIT mendapatkan alokasi dana dari pos DIPA kementerian Agama dimana menurut Ketua Sinode GMIT bahwa ketiga orang ini yang berjuang untuk adanya dana ini, kecenderungan pernyataan ini sangatlah politis dan mengabaikan unsur moral dan nilai-nilai spritual, sebab masih ada anggota DPR RI asal NTT lainnya yang juga ada dalam Banggar yakni Fary Djemy Francis, dan perlu diingat bahwa alokasi DIPA Kementerian Agama ini tidak saja diberikan kepada GMIT semata tetapi sejumlah lembaga keumatan dan agama lainnya semisal PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) serta sinode gereja lainnya seperti GMIM, GPM dan HKBP juga. 

Pernyataan politis dengan menyebut tiga nama ini, semoga bukan karena pernyataaan terimaksih Ketua Sinode yang melampaui kepentingan sakral gereja dengan memanfaatkan gereja untuk kepentingan diri sendiri karena melihat penyebutan ketiga nama ini,  berasal dari partai politik PDIP dan Golkar yang adalah pendukung pasangan pemenang Pilkada Gubernur NTT. Gereja harus meroposisi diri bahwa gereja ada dan hidup dalam negara (baca: politik) tetapi tidak mengorbankan nilai-nilai moral dan spritualnya untuk mendapatkan keuntungan, atau berkompromi dengan mengatakan “ambil uangnya jangn pilih orangnya”. Gereja haruslah tegas dan memilih  ya atau tidak.

*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI