Minggu, 20 Juli 2014

"Anomali POT Bunga Politik"

“Anomali POT Bunga Politik”
*Yoyarib Mau

            Masyarakat Persehatiaan Orang Timor (POT) adalah Orang Timor sebagai penduduk asli yang mendiami Pulau Timor di NTT yang meliputi: Kab. Belu, Kab. Timor Tengah Utara, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Kupang dan Kota Kupang. Menarik dari ormas POT adalah bukan lembaga atau institusi politik namun dalam setiap perhelatan politik selalu hadir dan memberikan partisipasi politik, partisipasi politik POT teranyar dalam pemilu legislatif yang telah berlalu, POT secara resmi memberikan dukungan politiknya untuk memenangkan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta pada 26 Mei 2014 di depan Kantor DPD Partai Gerindra Provinsi NTT.

            POT memiliki basis pemilih yang cukup real dari jumlah pemilih NTT yang terdaftar sebagai DPT sebanyak 3.1 juta. Pemilih yang mendiami Pulau Timor yang juga merupakan basis POT, hasil pemilu presiden 09 Juli 2014 yang lalu, dari jumlah pemilih yang ditetapkan sebelum pemilu legislatif sumber KPUD-NTT di beberapa kabupaten yang merupakan basis POT tersebar, seperti di Kab. Kupang 201.395, TTS 289.534, TTU 151.176, Belu 247.354 di tambah dengan sebagian basis POT yang bermukim di Kota Kupang maka dapat diprediksi berkisar 1 juta pemilih.

            Dukungan basis ini tidak sejalan dengan harapan yang hendak dicapai oleh POT, saat sesumbar yang disampaikan dalam deklarasi dukungannya kepada Prabowo-Hatta. Hasil rekapitulasi perolehan suara pemilu presiden di NTT. Prabowo Subianto -Hatta Rajasa hanya memperoleh suara 769.391 suara atau 34,08%, padahal idealnya jika POT mendukung pasang ini maka 30% suara yang di peroleh ini berasal dari basis POT, sebelum ditambah dengan basis Prabowo-Hatta di kabupaten lain yang bukan basis POT. Kenyataan yang terjadi pada pemilu presiden yang telah berlalu suara pasangan Prabowo-Hatta di kab/kota basis POT hanya 362.304, harapan untuk menggarap suara di basis POT tidak mencapai 50% .

            Realitas politik ini menghadirkan beberapa pertanyaan yang cukup mendasar bahwa, mengapa POT tidak berhasil mendapatkan tempat di hati masyarakat Timor ? POT ini dibentuk untuk apa dan siapa ? Deklarasi dukungan POT untuk Prabowo-Hatta dapat diberi kesimpulan sementara bahwa pemilih di NTT dapat digarap untuk memilih calon tertentu karena aspek rasional psikologis pendukungnya.

            Tobias Basuki Staf Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS memberikan karakterisasi pemilih; 1. Pemilih merupakan masa mengambang yang siap diarahkan penguasa. 2. Pemilih oportunis yang menunggu insentif material (menunggu serangan fajar atau politik gentong babi dimana diberi sumbangan baru memberikan suara bagi partai/figure yang memberi). 3. Kelompok pengikut yang hanya mengikuti langkah pemimpin agama, sosial ataupun etnis (Analisi CSIS – Maret 2014 – Vol 43 No 1).

            Strategi POT untuk mendapatkan dukungan melalui karakterisasi, dimana mengharapkan kelompok pengikut atau basis POT mengikuti apa yang dilakukan oleh para pemimpin atau pengurus. Sejatinya keberadaan POT sebagai civil society yang bertujuan melakukan pemberdayaan, pembelajaran dan pendidikan bagi masyarakat sipil (khususnya orang Timor – Atoin Meto). Dengan tujuan mensejahterakan dengan peran bergaining power dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang berpihak bagi orang Timor.

            Kenyataan yang terjadi wujud pengurus POT mengambil haluan yang berbeda memposisikan dirinya sebagai ormas yang memiliki legitimasi sosial untuk membentuk diri menjadi rezim despotik dan berevolusi menjadi kelompok menengah,  sebagai sebuah stratum yang dapat di identifikasi kepentingannya yakni hasrat ekonomi dan kekuasaan (politik) dengan membangun tempramen ideologi baru yakni bangkitnya orang Timor (Spring Timor) musim semi di tanah Timor akibat politik warisan penjajah (devide et impera).

            Pola yang dilakukan selalu melalui sistem yang dibangun sebagaimana yang diungkapkan oleh David Easton dalam teori sistemnya, apabila dianalogikan POT sebagai out put dan orang Timor sebagai in put, menurut David Easton, agar sebuah sistem dapat terus berlangsung maka out put (POT) harus senantiasa memperoleh in put (dukungan orang Timor) dari lingkungannya, karena tanpa in put maka sistem tersebut tidak akan dapat bekerja dan berjalan dan sebaliknya tanpa out put maka kita tidak akan menikmati dan mengetahui hasil dari sebuah sistem (Ronald H. Chilcote – Grafindo – 2003).

            Keberadan POT yang tampil sebuah kekuatan sosial politik di NTT tentunya tersistem dalam kepengurusan serta memiliki AD/RT. Kenyataannya setiap pengambilan keputusan selalu saja menurut kehendak segelintir pengurus saja, atau pengurus memobilisasi perwakilan raja dari suku atau klan yang ada didataran Timor untuk merepresentasi masyarakat Timor. POT selalu saja menguntungkan dan dimanfaatkan dalam setiap momentum pemilu, awal berdirinya POT dimanfaatkan dalam pemilu 2004 dimana masyarakat diarahkan untuk memilih orang Timor untuk kursi DPD-RI maka saat itu semua orang Timor memilih Jonatan Nubatonis.

            Terpilihnya Jonatan Nubatonis  sebagai anggota DPR- RI dari NTT merupakan sebuah prestasi yang luar biasa, kemudian dalam Kongres POT II memilih Jonathan Nubatonis sebagai Ketua Umum dan Gustaf Oematan sebagai Sekertaris Umum. Dalam perjalanan ormas ini akan terdengar dan terlihat taringnya ketika menjelang suksesi kepemimpinan dalam Pilkada, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. POT akan bersuara untuk siapa yang diusung atau berafiliasi. Pada Pilkada Kota Kupang yang telah berlalu Gustaf Oematan diberbagai media mengatakan bahwa dirinya telah siap untuk maju sebagai calon walikota, karena sudah saatnya orang Timor pimpin Kota Kupang. Gustaf Oematan beranggapan bahwa dirinya sebagai representasi dari orang Timor telah mendapat restu dari para tokoh orang Timor yang tergabung dalam organisasi POT.

            Pemilu 2009 Jonatan Nubatonis tidak lagi maju sebagai calon DPD-RI karena maju sebagai calon anggota DPR-RI dari Partai Karya Perjuangan, Istrinya Carolina Nubatonis – Kondo maju sebagai calon DPD-RI dan terpilih, sedangkan Pileg 2014 strategi Ketua Umum POT ini berubah, dirinya tidak lagi mencalonkan diri tetapi incumbent DPD-RI tetap maju sebagai caleg DPD-RI bersama anaknya Ronny Nubatonis caleg No 2. DPR-RI dapil II NTT dari Partai Bulan Bintang.

            Pada Pemilu Gubernur 2013 yang lalu Esthon Foenay mendapatkan dukungan dari POT dalam pilkada gubernur karena posisi Esthon Foenay dalam ormas POT sebagai Ketua Dewan Penasihat, walau hampir 10 tahun hubungan POT dengan Esthon Foenay tidak berjalan harmonis,  namun dengan dibuatnya ritual adat potong hewan sebagai hukum adat tertinggi untuk kembali membangun kesatuan (nekaf mese - ansaof mese) dan mengharapkan seluruh orang Timor memilih pasangan Esthon-Paul akan tetapi dimenangkan oleh pasangan Frans-Benny (Frenly).

            Keberadaan POT perlu mengevaluasi keberadaannya jika ingin mendapatkan pengakuan dari basis masanya dalam setiap momentum politik, dimana dapat dibuktikan melalui dukungan suara sesuai dengan arahan pengurus POT maka yang perlu dilakukan adalah kembali ke “khitah” POT yakni melakukan pemberdayaan, pembelajaran dan pendidikan bagi masyarakat Timor dan tidak memanfaatkan POT hanya untuk kepentingan pengurus, jika tidak POT hanya akan menjadi bunga yang mekar dan bersemi di musim pemilu dan layu setelah pemilu.

*. Pemerhati Sosial – Politik (Intelektual Muda Timor)

    


“Jokowi Memilih Sapi Timor Berarti Sangat Atoin Meto?”

“Jokowi Memilih Sapi Timor Berarti Sangat Atoin Meto?”
*Yoyarib Mau

        Kunjungan Jokowi  Gubernur DKI Jakarta ke NTT pada 28 April 2014 yang lalu menuai banyak tanggapan pro-kontra, kapasitas kunjungan Jokowi jelas sebagai Gubernur DKI Jakarta yang hendak melakukan hubungan kerjasama di sektor peternakan dengan Pemerintah Provinsi NTT. Bentuk kerjasama ini adalah sebuah arah kepastian ekonomis bagi Provinsi NTT dalam cita-cita yang digaungkan selama ini sebagai lumbung ternak bagi Indonesia.

Provinsi DKI Jakarta sebagai Provinsi dengan kebutuhan tertinggi akan daging sapi rata-rata mencapai 150 ton per hari, kebutuhan konsumsi daging akan meningkat jika bertepatan dengan hari raya keagamaan, dimana dapat mencapai hingga 2 kali lipat, bahkan dalam setahun daging yang dibutuhkan sebesar 52.500 ton per tahun. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri sehingga kebutuhan ini harus dipenuhi dengan melakukan import.

Untuk menekan import daging sapi, maka inisiatif Pemda DKI untuk mencari daerah-daerah yang potensial. Berdasarkan data Dinas Peternakan Prov. NTT dengan lahan padang yang cukup luas berkisar 1.5 juta ha, dengan populasi Sapi Bali di Timor sekitar 600.000 ekor, di daratan Flores 155.195 ekor yang masih bisa dikembangkan hingga 400.000 ekor, dan di Sumba ada sapi Ongole berkisar 60.000 ekor masih dapat dikembangkan hingga 300.000 ekor.  ketika melihat peluang dengan prospek besar ini maka Jokowi menaruh harapan besar akan ketersediaan sapi dari NTT untuk menekan impor daging sapi baik di Jakarta maupun secara nasional.

Kondisi ini kemudian mendorong Jokowi dan Frans Leburaya mewujudkannnya dalam kesepakatan kerjasama dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) sebagai kekuatan hukum untuk segera diwujudkan, jika tidak maka hanya akan menjadi wacana sepanjang masa. Peristiwa yang bersejarah dalam era otonomi daerah ini kemudian menghadirkan polemik di tengah masyarakat NTT bahwa perjanjian kerjasama ini lebih pada nuansa politis, karena menjelang pemilu presiden.

Polemik ini kemudian menghadirkan pertanyaan yang sangat mendasar bahwa, Apakah dengan bertepatan momentum pemilu presiden kerjasama untuk kesejahteraan masyarakat NTT tidak boleh dilakukan ?.  Konsep pembangunan ekonomi khususnya di wilayah pedesaan juga tidak terlepas dari “konsep resilince yang dikemukan oleh W. N. Adger ” dimana masyarakat perdesaan dalam aktivitas sehari-hari jamak ditemui tergantung dari sumber daya alam sehingga kesinambungan keberadaan sumberdaya alam tersebut merupakan bagian terpenting untuk mendukung keberlanjutan dari kehidupan masyarakat (Menuju Desa 2030 – PSP3-IPB).

   Telah digambarkan diatas bahwa alam dan potensi sumberdaya alam NTT sangat potensial untuk pengembangan ternak padang yang luas, modal sapi yang tersedia sudah ada, bahkan kehidupan masyarakat NTT khususnya daratan Timor pernah ada pada masa keemasan, Timor sebagai gudang ternak sapi yang pada tahun 60-an, ada pusat peternakan sapi di Besipae – Amanuban TTS, akan tetapi tinggal kenangan.  Tidak dapat di pungkiri bahwa komoditas sapi sebagai produk unggulan untuk menggerakan roda perekonomian di pulau Timor khususnya untuk membiayai adat (mas kawin/belis dan kebutuhan pesta adat) dan memenuhi kebutuhan pendidikan anak.

Untuk memenuhi kebutuhan adat dan pendidikan, kepemilikan ternak bagi setiap rumah tangga berkisar 3-4 ekor sapi, maka bagi tiap keluarga hanya mampu menjual 1 ekor ternak setiap 3 tahun sekali, rendahnya produktifitas inilah merupakan faktor kunci, kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mensuplay tingginya permintaan sapi lokal. Modal untuk mengembangkan sumberdaya alam yang sudah ada, yang menjadi persoalan agar bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kondisi ini yang harus di lihat sebagai peluang yang sangat berarti bagi pengembangan ekonomi masyarakat NTT. Jika produktifitas rendah sedangkan permintaan tinggi tetapi tidak mampu dipenuhi dengan keadaan lokal yang ada maka perlu strategi baru dengan melibatkan pihak ketiga.

Pihak ketiga adalah kehadiran mereka yang ingin menginvestasikan dananya. Era otonomi daerah dimana setiap daerah harus mampu mengembangkan pendapatan asli daerah (PAD), jelas terlihat ada potensi SDA namun membutuhkan biaya  untuk pengembangan lebih besar. Protes dilakukan oleh kelompok tertentu atas kerjasama yang dilakukan Pemda DKI dan Pemda NTT yakni mengapa harus mendatangkan (import) sapi dari Australia kemudian hanya dilakukan penggemukan di NTT, setelah itu daging atau sapinya dikirim ke DKI, melihat ketersediaan ternak lokal yang ada di NTT untuk saat ini belum mampu menjawab kebutuhan di DKI, maka penting untuk melakukan strategi lain dengan mendatangkan bibit sapi dari daerah yang surplus ternak sapinya seperti Australia, untuk kemudian dikembangkan sebagai sapi produktif (dikawinkan dengan sapi lokal) dan dilakukan penggemukan.

Keadaan NTT ini membutuhkan stimulasi dana untuk pengembangan ternak sapi maka DKI menyediakan dana investasi hingga Rp. 2 triliun, tidak semua daerah berkesempatan untuk mendapatkan kesempatan kerjasama antar provinsi karena ego sektoral, apalagi  kesempatan emas ini diberikan bagi NTT yang memiliki indeks pertumbuhan manusia (IPM) sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat pada tahun 2011 menurut UNDP dikategorikan sebagai daerah tertinggal bersama NTB dan Papua. Pertumbuhan ekonomi (PDRB) NTT pada triwulan I 2014 masih dibawah normal sebesar 5,02 % daerah lain berada di atas 6 %. 

Dengan kondisi demikian apakah dengan tawaran investasi dari sesama anak bangsa yang hendak membangun negeri bersama, kemudian kita melakukan penolakan. Kesempatan emas ini harus dilihat sebagai proses magis, proses magis sangat kita butuhkan untuk berubah dan menghantarkan kita untuk mencari mimpi-mimpi besar. Bagaimana orang Timor hendak menyekolahkan anaknya, agar sejalan dengan cita-cita yang digaungkan untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit sedangkan dalam 3 tahun baru bisa menjual 1 ekor sapi itupun untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup.

Jika Jokowi jeli melihat peluang NTT khususnya orang Timor membutuhkan lebih dari 3 ekor sapi per- rumah tangga serta bagaimana dapat menjual per-tahun minimal 1 ekor, maka kehadiran Jokowi dalam menandatangani MoU di NTT, sebaiknya dilihat sebagai ibadah politik untuk melakukan amal-soleh demi terwujudnya Amar Ma’ruf  Nahi Mungkar

Jika saja ada ketakutan bahwa ini adalah bentuk kampanye, biarkan rakyat menilai dan menentukan pilihan politiknya, lahan dan wilayah NTT tidak dikapling oleh figure tertentu. NTT penuh dengan kompleks persoalan serta terbuka bagi siapa saja untuk melakukan proses-proses magis sebagai bentuk ibadah politik dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Tidak ada batasan dan bahkan membangun ketakutan berlebihan dari pihak tertentu bahwa Jokowi telah menguasai NTT, hanya karena membawa pengembangan sapi di Pulau Timor. Silahkan kandidat lain  menjalankan strategi dan pola pendekatan yang tepat sesuai kebutuhan hakiki masyarakat.

*Pemerhati Sosial Politik     

Sabtu, 05 Juli 2014

"SBY Dengan Kebijakan Banci"

“SBY Dengan Kebijakan Banci”
*Yoyarib Mau

            Pemilu 2014 merupakan pemilu yang menarik perhatian dan keterlibatan semua masyarakat karena hanya dua pasangan kontestan, yakni Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. SBY sebagai incumbent tidak ikut dalam kontestasi karena dibatasi oleh konstitusi dimana hanya dua periode. SBY selain sebagai Presiden tetapi juga sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

            Sikap Partai Demokrat dalam Pilpres 2014 pada 18 Mei 2014 seusai rapat pimpinan partai Ketua Harian Syarief Hasan mengatakan bahwa; Partai Demokrat akan bersikap netral tidak akan bergabung secara formal dengan kubu capres Jokowi atau capres Prabowo namun tidak berarti golput. Partai Demokrat menginisiasi kegiatan dialog bersama Partai Demokrat dan Prabowo-Hatta di Hotel Sahid, pada 01 Juni 2014, dan pada kesempatan itu Prabowo menyampaikan visi dan misi Prabowo-Hatta, kemudian Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan memberikan kesimpulan bahwa visi dan misi Prabowo-Hatta segaris dengan Partai Demokrat. Pada kesempatan tersebut Syarief Hasan menyatakan bahwa hasil dialog ini akan disampaikan ke SBY dan baru akan mendeklarasikan mendukung atau tidak.

            Beberapa waktu kemudian pada 30 Juni 2014 melakukan jumpa pers di kantor DPP. Partai Demokrat yang disampaikan oleh Syarief Hasan selaku Ketua Harian yang dihadiri juga oleh para pimpinan DPP Demokrat termasuk Sekretaris Jenderal Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono, DPP. Partai Demokrat memutuskan dan menginstruksikan kepada pimpinan DPD,DPC dan kader Demokrat, simpatisan Demokrat, termasuk organisasi sayap Demokrat untuk memberikan dukungan penuh sekaligus suarannya kepada Prabowo-Hatta dalam Pilpres 9 Juli mendatang.

            Keputusan ini berbeda dengan sejumlah pengurus dan kader Partai Demokrat yang memilih untuk mendukung Jokowi-JK seperti; Suadi Marasabesy, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hayono Isman, didahului oleh Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Sinyo Sarundajang yang juga Gubernur Sulawesi Utara, himpunan komunitas demokrat yang digagas oleh politisi Demokrat Pasek Suardika dengan sebutan PD (Pemilih Dua) juga menyatakan dukungan ke pasangan capres nomor urut dua. Tokoh kontroversial yang juga Juru Bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul juga mendeklarasikan diri untuk mendukung Jokowi walau sebelumnya selalu mengkritik Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sikap Ruhut ini mendapat dukungan dari Sekjend Demokrat  Edhie Baskoro Yudhoyono, tetapi juga kecaman dari Wakil Ketua Umum Max Sopacua.

            Melihat kebijakan Partai Demokrat yang semula memilih netral dengan tidak memberikan dukungan politik ke salah satu pasangan capres-cawapres dalam rapimnas, tetapi kemudian memilih menyatakan dukungan ke pasangan Prabowo-Hatta setelah melakukan dialog bersama antara Partai Demokrat dan Prabowo-Hatta, hasil dialog tersebut menurut Ketua Harian Syarief Hasan akan dikomunikasikan dengan Ketua Umum, selang beberapa hari kemudian Demokrat mengumumkan kepada publik bahwa Demokrat mendukung Pasangan Prabowo-Hatta, dengan demikian bahwa Susislo Bambang Yudhoyono yang adalah Presiden juga sebagai Ketua Umum Partai Demokrat memberikan dukungan Politik kepada pasangan Prabowo-Hatta dan tidak lagi netral.

                  Dari pembahasan diatas menghadirkan pertanyaan mengapa SBY bersikap seperti memakan buah simalakama, merasa bersalah jika tidak memberikan dukungan ?, di satu sisi menyatakan netral dalam sebuah keputusan resmi partai dalam salah satu forum pengambilan kebijakan tertinggi partai yakni rapimnas, atau SBY memilih menjadi safety players ?  

            Pemilu adalah sebuah agenda demokrasi yang menjadi tangung jawab negara yakni Presiden untuk mewujudkannya, peran SBY seharusnya turut serta dalam mewujudkan proses pemilu presiden sehingga berjalan dengan baik, untuk perwujudan Indonesia sebagai negara demokrastis, meminjam istilah Larry Diamond yang menilai demokrasi baru sekedar “demokrasi prosedural” dan belum mencapai “demokrasi substansial”. 

Menurut Daniel Sparingga demokrasi prosedural dari pemilu adalah suatu sistem kompetitif yang bukan saja merupakan wahana perebutan jabatan-jabatan publik (official elected), kata kunci paling penting dari demokrasi prosedural adalah kapasitas pemilu sebagai cara untuk memproduksi legitimasi sebesar-besarnya dari rakyat (pemilih) melalui kontestasi yang kompetitif (competitivines) berdasarkan prosedur yang ditetapkan. Sedangkan entitas lain yakni demokrasi substansial adalah apakah hasil pemilu dapat bermanfaat bagi pencapaian kesejahteraan rakyat banyak. Pemilu hanya digelar untuk mengatur sirkulasi kekuasaan dan kepemimpinan sementara produk dari demokrasi bernama itu dipertanyakan (Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia – Fajar Media Press- 2011).

Keberadaan dan posisi SBY sebenarnya dalam pemilu 2014 adalah demi mewujudkan demokrasi substansial karena SBY tidak lagi sebagai kontestan tetapi berperan sebagai kepala negara untuk mewujudkan produk pemilu yang demokratis, dengan kata lain bagaimana pemilu itu digelar dari proses hingga menuju hasil pemilu (dari hulu hingga hilir) itu, tanpa ada kecurangan atau keberpihakan kepada kontestan tertentu. 

Awal yang baik ketika 02 Juni 2014, SBY mengintruksikan kepada seluruh jajaran TNI/Polri dan juga BIN untuk bersikap netral dalam Pemilu Presiden 2014, puluhan jenderal TNI/Polri hadir dalam agenda Apel Pimpinan Perwira Tinggi TNI/Polri di Kementerian Pertahanan, dalam kesempatan itu SBY juga berpesan kepada para jenderal untuk bisa menciptakan suasana yang tertib, serta menghimbau dengan sangat agar para jenderal TNI/Polri bersikap netral dalam Pilpres. Pernyataan SBY ini sebenarnya diikuti dengan sikap tegasnnya untuk mempertahankan kenetralan Partai Demokrat secara organisasi tidak melakukan dukungan kepada pasangan tertentu.

Atmosfir SBY dalam kebijakan terkesan banci, karena secara institusi partai politik adalah Ketua Umum Partai Demokrat, yang walaupun keputusan partai dibacakan oleh ketua harian, namun SBY lupa bahwa ketua umum sebagai penanggungjawab organisasi bukan di tangan ketua harian tetapi ketua umum. Kebijakan Partai Demokrat ini seolah-olah SBY membuang badan bahwa bukan kebijakan SBY tetapi kebijakan sebagian pengurus. Seyogiannya SBY memberikan kebebasan kepada kader dan pengurus untuk menentukan pilihan politik tetapi secara institusi partai politik tidak memberikan dukungan kepada pasangan manapun.

Menjadi sangsi bagi TNI/Polri untuk bersikap netral jika SBY tidak netral, sebab keberadaan TNI/Polri adalah netral, akan tetapi posisi Panglima TNI dan Kepala Kepolisian selalu ditentukan oleh Presiden, penentuan jabatan ini oleh presiden menjadi impian, sehingga tidak secara formal petinggi TNI/Polri menyatakan sikap mendukung salah satu pasangan capres-cawapres tetapi bisa saja secara diam-diam memakai kekuasaan komando untuk menggerakan mesin struktural TNI/Polri untuk mendukung pasangan tertentu dengan imbalan posisi Panglima TNI atau Kepala Kepolisian.

Kenetralan TNI/Polri harus sejalan dengan kenetralan SBY, namun kenyataannya SBY menjalankan perilaku banci yakni setengah hati, bukan saja dalam keputusan institusi partai tetapi dalam menyikapi persoalan-persoalan dalam masa kampanye ini, dalam persoalan Tabloid Obor Rakyat yang dibidani oleh para staf dari lingkaran istana yang melakukan “blak campaign” tetapi SBY diam dan tidak memberikan sikap. Namun ketika persoalan kader PDIP yang melakukan presure ke stasiun TV-One yang nota bene stasiun tv ini memberikan dukungan penuh kepada pasangan capres-cawapres tertentu malah SBY angkat bicara.
 
SBY dibutuhkan untuk mewujudkan demokrasi substansial dalam mewujudkan akhir kepemimpinan yang baik, ada peribahasa; gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, SBY meninggalkan jabatan dengan demokratis, sehingga suatu saat nanti ketika SBY hendak diperjuangkan menjadi pahlawan nasional ada alasan yang mendasar.

*Pemerhati Sosial - Politik