Selasa, 17 Februari 2015

“Hati - Hati Ressentiment Atas KPK Vs POLRI”



“Ressentiment Atas KPK Vs POLRI”
By Yoyarib Mau

Berawal sejak penetapan calon Kapolri Budi Gunawan (BG) menuai kontroversi ketika selang waktu KPK menetapkan BG sebagai tersangka karena kepemilikan rekening gendut. Komjen BG tersangka kasus Tipikor saat menduduki Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006, Ketua KPK Abraham Samad dalam jumpa pers di kantor KPK pada 13-Januari-2015. Penetapan ini tidak di menjadi penghalang bagi jalan Budi Gunawan menjadi calon Kapolri karena dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR. Menariknya Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Komisaris Jenderal Komjen Budi Gunawan sebagai calon kapolri menggantikan Jenderal Sutarman, pada Kamis (15/01) siang. Keputusan sidang paripurna itu didukung oleh delapan fraksi yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, PKS,PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP. Sementara Fraksi Demokrat dan PAN meminta DPR menunda persetujuan dengan sejumlah pertimbangan, antara lain adanya penetapan tersangka Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pada situasi ini, beredar foto-foto mesra yang diduga sebagai sebagai Ketua KPK Abraham Samad dan Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira. Jelang 2 hari kemudian pada 22-1-2015, PLT Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto memberikan pernyataan publik bahwa Abraham Samad pernah mengutarakan ambisi menjadi calon wakil presiden dan bahwa Samad menuduh Budi Gunawan menggagalkan ambisinya. Kemudian Bareskrim Polri menangkap wakil ketua KPK Bambang Widjojanto dengan tuduhan memerintahkan saksi sengketa pilkada Kotawaringin Barat untuk bersumpah palsu. 

Penangkapan dilakukan petugas bersenjata di hadapan anak Bambang. Ratusan orang berdatangan ke gedung KPK untuk memberikan dukungan kepada KPK. Pada malam harinya, serta sejumlah tokoh masyarakat mendatangi Bareskrim Mabes Polri menuntut pembebasan Bambang Widjojanto.
Publik membelah diri dan berpihak baik kepada Polisi maupun KPK, masing-masing menuntut Presiden untuk  bersikap tegas untuk bersuara dalam konflik ini, yang memihak ke KPK dengan simbol #SaveKPK walaupun  menuntut untuk  Presiden bersikap tetapi dengan syarat Budi Gunawan tidak di lantik menjadi Kapolri, bahkan kelompok ini menganggap Polri hendak mengkriminalisasi KPK dengan melakukan penangkapan terhadap Bambang Widjoyanto serta melaporkan pimpinan KPK lainnya. Sedangkan pihak yang mendukung kepolisian memilih simbol #SavePolri sebagai bagian dari dukungan kepada Polri, sedangkan kelompok ketiga memilih untuk tidak berpihak pada KPK maupun Polisi tetapi lebih memilih untuk mendukung penegakan hukum di Indodnesia dengan simbol #SaveIndonesia.

Puncak dukungan publik jelang putusan pra-peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16-02-2015 terlihat dengan jelas dukungan kepada dua institusi ini, namun di media sosial banyak pihak yang mencerca Polisi yang melakukan sujud syukur ketika putusan Pra Peradilan Budi Gunawan diterima, Polisi sepertinya terbawa dalam perasaan dukungan terhadap korps, padahal persoalan ini lebih pada persoalan pribadi (private)  dan bukan persoalan institusi. kekecewaaan menyaksikan pra-peradilan BG menang , publik kecewa serta antipati akan pemberantasan korupsi kedepan, disuatu sisi partai politik begitu mendesak partai agar BG tetap jadi Kapolri.

Perilaku ini membuat rasa simpati terhadap Polisi oleh publik menjadi menurun,seolah-olah Polisi hendak membenarkan akan gratifikasi atau kepemilikan rekening gendut. Situasi ini menghadirkan pertanyaan apakah harus melakukan kebencian kolektif terhadap institusi Polri sebagai penegak hukum ? Nietzsche dalam bukunya Genealogie der Moral memperkenalkan “Ressentiment”, yaitu sentimen kebencian terpendam yang dipelihara oleh kaum budak, ressentiment menjadi kekuatan yang luar biasa untuk meledakan pemberontakan di kalangan kaum budak terhadap kasta para tuan, perilaku ini terjadi karena moralitas (balas dendam imajiner) dan bukan pada kenyataan politik.  Nietzsche menyimpulkan perilaku ini sebagaimana yang di kenal dalam kekristenan sebagai “suara hati” (F. Budi Hardiman – Erlangga – 2011).

Suara hati publik ibarat mengalami kekangan akibat kekuasaan institusi yang selama ini melakukan tekanan represif, menerima suap, apalagi menjalankan tugas penilangan STNK/SIM, dan melakukan razia kelengkapan aksesories kendaraan sekedar untuk mendapatkan uang melalui penyelesaian di tempat, dan terlibat dalam human traffiking. Sekelumit kasus-kasus in menjadi alasan yang kuat untuk rakyat menjalankan sikap ressentiment. Persoalan yang melibatkan KPK Vs Polri sudah terulang yang keduakalinya, pertama; konflik  pertaman anatara Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto (KPK) Vs Susno Duadji (Polri) saat menjabat sebagai Kepala Badan Reserse dan Kriminal, konflik ini lebih kental dengan sebutan Cicak Vs Buaya. Menjadi alasan yang kuat bagi publlik untuk menjalanklan ressentiment karena menumpuknya perilaku buruk penegak hukum yang dijalankan Polisi.

Ressentiment  adalah sebuah bentuk kekecewaan yang menggunung namun ressentiment bukanlah jalan hukum untuk kemudian menggiring publik untuk berada dan melakukan mobilisasi ressentiment sebagai perjuangan moral atau suara hati, perjuangan ressentiment harus mampu ditundukan dalam proses hukum yang berlaku, bukan pada kekuatan membangun sentiment kebencian yang mendalam untuk mematahkan proses dan keputusan hukum. Persoalan konflik KPK dan Polri ini merupakan persoalan private (pribadi) yang menggiring institusi, karena pribadi melekat kuat pada institusi. Runtutan persoalan ini memberikan indikasi bagi interpretasi personal dan subyektif serta terkesan balas dendam.

Persoalan sikap Polisi yang kemudian mendapatkan hukuman sosial dari masyarakat bukan sebuah kebenaran absolut yang menggiring publik untuk mengabaikan keterlibatan oknum KPK  dalam penyalahgunaan wewenang jabatan, ressentiment bukanlah alat legitimasi untuk dibenarkan dalam mempengaruhi bahkan menekan keputusan hukum, tetapi sebagai pesan moril untuk membangun rasional berpikir kita bahwa ada kontrol masyarakat terhadap penegak hukum  bahwa ada kebutuhan terbatas dari sikap ressentiment.

Ressentiment dibangun bukan dengan tujuan mengggeneralisir persoalan dan hendak menggulung kekuatan yang diserang tersebut, ressentiment hanyalah alat atau jembatan untuk mengamati proses hukum ditegakan dan menggiring opini publik, tetapi bukan kekuatan hukum, kekuatan hukum adalah penegakan konstitusi dengan segala pasal dan ayat yang dijalankan. Terkesan bahwa resentiment sebagai alat induksi karena mengaitkan kasus-kasus yang dilakukan polisi sebelumnya yang diabstraksi publik menjadi opini hukum yang harus dilegalkan, induksi ini kemudian hendak menghadirkan deduksi untuk menyimpulkan bahwa seolah-olah keseluruhan persoalan yang melibatkan polisi bejat, dan terbangun stigma menyeluruh bahwa setiap persoalan yang melibatkan polisi selalu berada pada pesimistis miring yakni dari sana sudah begitu sehingga tidak bisa dipercaya (black list).

Negara hukum seyogiannya menjunjung tinggi keputusan hukum, keputusan pra-peradilan terhadap gugatan BG diterima harus dihargai, jika ada celah hukum maka dapat dilakukan gugatan hukum, ressentiment yang di bangun dapat digunakan untuk melakukan perlawanan hukum secara kolektif melalui prosedural adminsitratif  dan standard hukum yang berlaku bukan melakukan bulling di media sosial.

* Yoyarib Mau (Pemerhati Sosial - Politik)

Rabu, 11 Februari 2015

BANJIR ADALAH SEBUAH KEHENDAK



“BANJIR ITU SEBUAH KEHENDAK”
*Yoyarib Mau

Judul ini pasti menuai kontroversi,  sebab banjir selalu diidentikan dengan bencana, bencana selalu dihindari dan tidak diinginkan oleh setiap manusia normal. Kenyataannya kekuasaan untuk menolak banjir takluk dan tidak berdaya, dibuat lumpuh oleh banjir. Banjir melanda Jakarta yang diakibatkan oleh hujan deras, dengan intensitas yang cukup tinggi sejak Minggu 09-02-2015 hingga Senin 10-02-2015,  menghadirkan air yang berlebihan karena tanah di Jakarta sudah tidak lagi menyimpan bahkan menampung air yang berakibat meluap memenuhi sejumlah ruang kosong seperti jalanan, rumah, dan gedung yang berada di dataran rendah tidak luput dari genangan air dengan ketinggian yang bervariasi.

Bencana ini berdampak pada lumpuhnya aktivitas masyarakat, menggangu persoalan ekonomi, kerusakan materil, serta dampak turunan lainnya yang diakibatkan oleh banjir. Kejadian luar biasa ini tidak saja terjadi di Ibukota negara tetapi hampir menyeluruh di sejumlah daerah di tanah air. Ibu kota Negara sebagai pusat pemerintahan dan sebagai salah kota besar di Indonesia sebagai pusat sumbu kegiatan ekonomi dan jasa apabila mengalami bencana maka dampaknya akan berpengaruh bagi daerah lain. Jakarta sebagai barometer negara, hal ini membuat  setiap orang akan memberikan perhatian, bantuan kemanusiaan, komentar serta kritik bagi mereka yang bertanggung jawab menjalankan pemerintahan di kota ini.

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang biasannya di sapa Ahok, menjadi sasaran umpatan, makian dari masyarakat Ibu kota baik secara langsung maupun melalui media sosial, dasar pemikiran menyalahkan Ahok karena dianggap paling bertanggung jawab soal banjir di DKI Jakarta, namun Ahok berargumentasi bahwa banjir terjadi karena PLN mematikan listrik sehingga pompa air di sejumlah lokasi tidak dapat berfungsi dengan baik, PLN beralasan bahwa gardu PLN terlalu rendah sehingga terendam air, yang dapat menyebabkan arus pendek dan banyak orang terkena setrum. 

Ahok menimpali alasan pihak PLN bahwa jika Gardu berada di tempat yang rendah maka seharusnya segera di tinggikan sehingga pompa dapat berfungsi dengan normal.  Perdebatan yang tak berujung dan saling menyalahkan akan menguras energi dan tidak menyelesaikan akar persoalan, melihat persoalan banjir yang telah berlangsung cukup lama sejak tahun 2002, 2007, 2012 dan 2015. Rutinitas banjir  menghadirkan pertanyaan apakah banjir menjadi kehendak mutlak yang harus di terima

Dunia filsafat memberikan pemahaman yang berbeda soal kehendak atau “will”, menurut Plato kehendak merupakan fungsi menengah manusia, yakni diantara akal dan nalurinya, kehendak merupakan suatu instansi kekuatan motivasional di dalam diri individu. Filsuf Jerman Schopenhaeur memberikan pemahaman tentang kehendak sebagai bentuk metafisis yakni suatu realitas yang meliputi segala sesuatu (segala sesuatu adalah kehendak).  Berbeda dengan pendalaman filsuf Nietzche yang melukiskan kehendak itu sebagai kehendak untuk berkuasa sebagai sikap hidup yang otentik (F. Budi Hardiman – Erlangga – 2011) 

Dari pemikiran para filsuf diatas menghadirkan korelasi antara kehendak dan banjir, Pertama; apabila dipahami menurut Plato maka banjir adalah kehendak manusia, banjir terjadi karena kehendak atau kemauan manusia, dimana manusia melakukan penebangan hutan tanpra memikirkan bagaimana fungsi hutan untuk mencegah terjadi erosi. Penebangan hutan untuk pemukiman dan perkebunan menambah beban persoalan terjadinya banjir, Jakarta yang sering mengalami banjir kiriman dari hulu Bogor dan Puncak Ciawi memberikan ruang bagi kita semua untuk  menyimpulkan bahwa, Banjir di Jakarta disebabkan oleh pembangunan pemukiman dan vila didaerah Puncak Bogor. 

Manusia yang sering membuang sampah ke sungai, daerah resapan air yang dibangun mall, supermarket dan bangunan lainnya menambah kehendak adanya banjir. Kedua; Schopenhaeur melihat kehendak itu adalah sebuah bentuk metafisis dimana realitas yang berkembang dan menjadi pengetahuan umum, tidak menjadi rahasia umum lagi menjelang hari raya imlek (tahun baru china) selalu ditandai dengan hujan lebat yang menyebabkan banjir. Masyarakat yang menyakini bahwa apabila pada perayaan imlek  bersamaan dengan hujan yang lebat maka pertanda banyak rezeki yang akan diperoleh pada tahun berjalan. 

Pemahaman metafisis ini dianggap mitos namun menjadi pemahaman umum yang dapat di terima kebenarannya di tengah -tengah masyarakat. Untuk menghindari adanya banjir maka Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Bidang Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) berencana merekayasa turunnya hujan. Menggunakan bantuan pesawat terbang untuk mempercepat awan menjadi hujan. Pesawat tersebut terbang setiap hari dengan menjatuhkan hujan buatan sekaligus mendistribusikan hujan tersebut ke luar area rawan banjir yakni laut. Upaya ini menurut ahli feng shui Xiang Yi, hujan memang sering kali dipercaya membawa keberkahan. Namun, rekayasa hujan tidak akan mengubah garis peruntungan seseorang. Rekayasa hujan hanya untuk mengalihkan hujan, bukan sebuah alat ampuh untuk  bisa menciptakan atau menghilangkan hujan," (www.tempo.co)

Berbeda dengan Ketiga; Nietzche yang melihat kehendak sebagai sebuah keadaan untuk berkuasa, kehendak ini selalu diidentikan dengan penguasa, banjir juga dapat disebabkan oleh penguasa yakni kebijakan yang dihasilkan atau ditetapkan seperti; soal planologi, tata ruang serta pemberian ijin membangun bangunan (IMB). Merujuk pada pemikiran Nietzche, kehendak selalu memiliki dua dimensi dalam wujudnya yakni kebaikan yang mensejahterahkan dan nafsu yang memusnahkan. Indikasi kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk nyata dari sebuah “kehendak” dari nafsu kekuasaan adalah adanya banjir. Banjir yang sudah terjadi berulang-ulang tanpa menemukan solusi terbaik untuk memberikan kenyamanan, hal ini merupakan warisan kehendak penguasa yang membudaya. 

Harapan untuk mengatasi banjir selalu menjadi isu bahkan ide yang menarik dalam kampanye, kenyamanan dari banjir menjadi kebutuhan dari seluruh rakyat  namun menjadi persoalan ketika rakyat diperhadapkan pada tiga pilihan pemikiran diatas. Pilihan pertama menolak banjir adalah kehendak manusia, karena kesalahan manusia (human eror) yang dalam kesehariannya melakukan kebiasaan buruk. Pilihan kedua ini menghadirkan ambiguitas (mendua) karena keyakinan masyarakat yang membuat sebagian masyarakat hendak menikmati suasana banjir karena hendak mendapatkan peruntungan. Pilihan Ketiga yakni banjir dihadirkan karena kehendak berkuasa, pilihan ini pastinya akan mendapatkan perlawanan dari masyarakat karena nafsu kekuasaan yang mendatangkan kemudaratan.

Imlek yang diidentikan dengan hujan lebat dapat dinikmati dalam suasana yang baik untuk mendapatkan peruntungan, karena adanya hujan yang melimpah dan mensejahterahkan apabila individu/manusia menjaga lingkungan dimana dirinya tinggal, tidak melakukan kegiatan yang merusak alam. Kehendak kepemimpinan dari penguasa yang menjalankan pemerintahan yang pro rakyat, dengan menetapkan kebijakan-kebijakan dan pembangunan yang melestarikan alam, membangun daerah-daerah resapan, menetapkan program pembangunan yang kreatif sehingga bisa menjamin keyakinan atau mitos yang berkembang dalam masyarkat dapat dinikmati dalam suasana yang bersahabat tanpa menimbulkan bencana dan kerugian materil.

*Pemerhati Sosial-Politik