Minggu, 29 Maret 2015

"DIMENSI MORAL KONTESTAN PILKADA"



“Dimensi Moral Kontestan Pilkada”
*Yoyarib Mau

            Moral bukan tidak relevan jika didahulukan sebagai panglima dalam jati diri konstentan yang akan bertarung dalam pilkada, pilkada serentak yang hendak dilakukan dalam tahun ini sebanyak 272 pilkada serentak di tanah air Indonesia, kontestasi Pilkada ini membuat figur yang akan bertarung dalam Pilkada memoles diri dengan baik untuk dapat memenuhi syarat sebagai bakal calon serta mempengaruhi hati rakyat untuk menjatuhkan pilihannya dalam pilkada nanti. Segala bentuk perilaku, kata-kata dijaga untuk mencerminkan kebaikan, bahkan jika dimungkinkan dapat mengucapkan selamat ulang tahun bagi mereka yang berulang tahun, mengirimkan krans bunga ucapan berdukacita saat warga sedang berduka. 

            Mendadak menjadi orang baik jelang Pilkada tidak dapat disalahkan, karena media sosial dan alat komunikasi dimanfaatkan dengan kebaikan sebagai perbuatan moral. Perilaku kebaikan dilakukan seperti setiap hari minggu masyarakat disuguhi dengan ucapan selamat beribadah dengan dibubuhi ayat-ayat suci. Saat hari raya keagaamaan banyak ucapan selamat bagi mereka yang merayakan, atau bahkan di stasiun tv atau radio dengan memanfaatkan jam siaran tertentu (air time), untuk berkhobah menyampaikan perilaku etika atau moral bagi masyarakat. 

            Fenomena ini akan kita jumpai jelasng pilkada modal moral, berbicara moral (baik atau tidak baik, sedangkan etika (menyangkut soal sistem kerja, atau efisiensi). Sehingga moral itu selalu diedentikan sebagai modal kepemimpinan, dasar kepemimpinan ini membuat para konstestan menciptakan sebuah harapan bahwa perubahan hanya akan dicapai oleh orang baik. Masyarakat kemudian tergiring dalam pemahaman bahwa pemimpin itu harus orang baik yang ditunjukan dengan hidup jujur, taat beribadah, suka memberikan sumbangan bagi setiap proposal kegiatan masyarakat, dan mulut penuh dengan ucapanayat-ayat suci. Kenyataan diatas menghadirkan pertanyaan yang mengusik bathin, apakah moral hanya dipahami sebatas berlaku baik dengan kata dan perbuatan yang bersentral pada sang kontestan pilkada

Teori etika menurut Aristoteles, etika menurutnya adalah ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia. Objek etika adalah alam yang berubah terutama alam manusia, oleh karena itu etika bukan merupakan episteme atau bukan ilmu pengetahuan. Tujuan etika bukanlah dispisisifikan kepada pengetahuan, melainkan praxis, bukan mengetahui apa itu hidup yang baik, melainkan membuat orang untuk hidup yang lebih baik. Pendapat ini berbeda dengan Franz Magnis yang melihat etika dibedakan antara; etika deontologis dan teleologis. Etika deontologis menekankan kualitas etis suatu tindakan bukan tergantung pada akibat tindakan itu melainkan tindakan itu sendiri betul atau salah dalam arti moral, tanpa melihat pada akibatnya. Sebaliknya, menurut etika teleologis tindakan itu sendiri bersifat netral. Tindakan menjadi betul dalam arti moral apabila akibatnya baik, salah apabila akibatnya salah (Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad XIX - Kanisius, 1998).

            Aristoteles hendak menganjurkan bahwa kepemimpinan bukan hanya sekedar ada pada pertimbangan moral, yakni berbuat baik atau menjadi orang baik akan tetapi membuat manusianya berubah dan berada dalam lingkaran sejahtera, moral hanya sekedar himbauan kepada orang lain tetapi harus mampu ditegaskan dalam bentuk etika yakni sistem kerja yang memanusiakan manusia atau konstituen. Moral bukan hanya sekedar himbauan serupa dengan pengetahuan tetapi dalam bentuk praksis kenyataan hidup rakyat. Frans Magnis Suseno juga lebih menekankan dalam bentuk etika teleologis yakni adanya akibat baik bagi orang lain.

            Dampak dari kepemimpinan adalah kesejahteraan dalam konteks pemerintahan adalah kesejahteraan yakni ekonomi (terpenuhinya sandang, pangan, dan papan), menikmati pelayanan kemasyarakatan yang manusiawi, menikmati fasilitas umum dan sosial yang memadai. Kebaikan yang dilihat dalam perilaku moral-etis tidak sekedar dalam berbicara dan berperilaku menyenangkan diri serta mendapatkan pengakuan sebagai orang baik, akan tetapi kebaikan moral itu harus dinikmati oleh orang lain.

            Kemanusiaan itu memiliki implikasi positif yakni karya nyata yang dihasilkan atau diperjuangkan dalam sejarah hidup sang konstestan pilkada yang terlihat dari ”track record” selama perjalanan menuju perebutan kursi kekuasaan. Kepemimpinan selalu saja berjalan lurus dengan pembangunan yang direalisasiskan dengan program-program kerja yang selama ini digalang di tengah-tengah masyarakat yang menjawab kebutuhan dasar mayarakat. Indikator sejahtera sebagai hasil kepemimpinan sebagaiman yang diungkapkan oleh tokoh besar pendiri negara Singapura Lee Kuan Yew bahwa berbicara demokrasi di Singapura selalu mengerucut pada pemenuhan kebutuhan pendidikan, pelayanan kesehatan yang memadai, kepemilikan rumah, serta cukup makan. 

Moral bukan hanya sekedar modal pencitraan yang dapat di lakukan oleh tim kampanye untuk mengelabui rakyat dengan design bahasa audio dan visual yang menarik. Bahkan moral tidak cukup dengan hanya menjalankan fungsi administratif yakni berlaku jujur tidak melakukan korupsi, menanti untuk menjalankan jatah APBN yang dialokasikan oleh pusat. Kontestan sebagai pemimpin apabila berperilaku kreatif dengan menciptakan karya-karya nyata. Kontestan harus mampu membangun keyakinan pemilih dengan menjalankan daya kreatifitas dalam membangun ke arah mana daerah ini akan di bangun, bagaimana membiayai pembangunan yang direncanakan, siapa dan darimana sumber dana  yang akan membiayai pembangunan tersebut. 

Penjelasan secara mendetail ini yang kemudian dapat dilihat secara etika kemudia para pemilih menentukan sikap dalam memberikan penilain kepada yang konstestan bermoral atau tidak.  Penilaian sederhana dapat dilihat sebagai moral dari sang konstestan soal keberadaan masyarakat kota soal “pedestrian” abad ke-18 dan 19, pembuatan pedestrian sangat populer. Perkembangan selanjutnya pada abad ke-19, ketertarikan pada pedestrian menurun, namun pedestrian tetap menjadi sarana utama bagi fasilitas pejalan kaki. Kini, pada abad ke-21 yang merupakan simbol dari abad informasi, pedestrian masih menjadi sarana bagi pejalan kaki dengan berbagai maksud dan tujuannya. Bahkan di beberapa negara, fungsi dan keberadaan pedestrian melahirkan fasilitas baru yang dikenal dengan sebutan sidewalk, foothpath, atau pavement.  

Pedestrian hal ini adalah satu hal soal, belum berbicara soal keberadaan pantai dan peruntukannya apakah untuk rakyat atau pengusaha, dan bagaimana peran pengusaha di libatkan. Pada daerah yang adalah pedeseaan bagaimana pemikirannya soal jalan bagi warga desa menuju ke sawah dan ladang untuk dengan mudah dapat mengakses transportasi. Bagaimana menciptakan daerah pedesaan sebagai daerah agrowisata. Semua ini adalah bukti pemimpin yang bermoral dan beretika, bukan mengambil alih tugas tokoh agama untuk berkhotbah. Model kepemimpinan seperti ini yang kemudian menurut Nusron Wahid saat tampil di Indonesian Lawyer Club yang mengatakan bahwa “At-tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al maslahan” artinya keabsahan seorang pemimpin itu diukur dari kemampuan dia mensejahterahkan rakyatnya, bukan dilihat dari agama, suku, atau etniesnya.   


*Pemerhati Sosial - Politik 




Jumat, 20 Maret 2015

"DEVOSI INDONESIA DALAM NYEPI"



“DEVOSI INDONESIA DALAM NYEPI”
*Yoyarib Mau

Semua agama yang dianut oleh penghuni Nusantara dapat bertemu dalam momentum tertentu, bukan karena tekanan atau dengan kekerasan yang dilakukan oleh para militer (lembaga/organisasi yang dibentuk untuk membela agama), guna mengancam individu atau komunitas tertentu untuk dapat bertemu dalam momentum bersama. Pertemuan tercipta dan tersirat dalam ayat-ayat suci keagaamaan dan doktrin, padahal dilain pihak doktrin agama-agama nusantara tidak dapat dipersatukan karena prinsipil yang tidak dapat diganggu gugat. Namun tidak dapat dipungkiri dalam kekayaan doktrin keagamaan kita justru tersirat pesan yang dapat menyatukan dan mempertemukan agama-agama di Nusantara bahkan dunia.

Nyepi merupakan sebuah momentum keagaaman yang dalam Agama Hindu adalah doktrin terpenting yang wajib dirayakan oleh umat Hindu. Umat Hindu berkewajiban melaksanakan “Catur Brata”. Catur Brata atau empat pantangan selama sehari, amati geni (tak menyalakan api atau penerangan), amati karya (tak melakukan aktivitas atau rutinitas kerja), amati lelungan (tak bepergian) dan amati lelangguan (tak bersenang-senang atau menikmati hiburan).

Pelaksanaan Catur Brata dimana manusia diberi kesempatan untuk melakukan kontemplasi atau perenungan dalam suasana sepi, tanpa aktifitas yang mengundang keramaian.  Hal ini berbeda dengan perayaan hari raya lainnya yang sering kita rayakan dalam umat beragama, yang selalu diwarnai dengan perayaan, kemegahan, bunyi-bunyian dan bentuk aktifitas lainnya yang dilakukan dengan membentuk kepanitiaan dan menghabiskan sejumlah uang untuk menciptakan kemeriahaan acara perayaan, bahkan harus mengorbankan alam dalam hal ini tumbuhan-tumbuhan untuk menghiasi perayaan tersebut. 

Nyepi mendapatkan tempat yang berbeda dengan perayaan hari raya keagamaan lainnya, dimana hadir perdebatan soal halal atau haram jika kita mengucapkan selamat kepada saudara kita yang merayakan, atau berdepat soal penentuan waktu atau tanggal yang tepat untuk menetapkan perayaan hari raya. Perayaan Nyepi berbeda dengan perayaan hari raya keagamaan lainnya karena  dilakukan dalam nuansa sepi. Perayaan Nyepi mendorong pertanyaan bagi kita semua bahwa, mengapa hari raya Nyepi bisa menyatukan kebersamaan agama-agama di nusantara bahkan dunia

Sejarah keagamaan dunia dengan para tokoh agama dunia dengan kisah dan perilaku keimanan dan kerohaniannnya selalu diwarnai dengan Nyepi atau dalam keadaan sepi. Husein Ja’far Al Hadar dalam opini di Tempo 20 Maret 2015, mengutip apa yang dikatakan oleh  Mother Theresa bahwa, Tuhan bersemayam dalam sepi. Bahkan Husein Ja’far Al Hadar juga melukiskan tentang Nabi Musa dalam sejarah perjalanan bangsa Israel (Alkitab),  dalam perjumpaan dengan Tuhan untuk kemudian membawa 10 perintah (the Ten Commandments) dilakukan di tempat sepi dimana Musa harus berjumpa dengan Sang Pencipta Semesta di tempat sepi yakni di Gunung Torsina.  Bahkan  Yesus pun dalam catatan-catatan Injil menyebutkan bahwa Yesus juga memilih tempat sepi untuk menyepi, Di Taman Getsemani sebelum Yesus diperhadapkan dengan Tiang Salib di Golgota, Yesus memilih Taman Getsemani untuk melakukan aktifitas perenungan dalam keadaan sepi. Selanjutnya Husein juga mengatakan bahwa begitupula dengan Nabi Muhamad saat menerima wahyu pertama dalam keadaan sepi di Gua Hira. (Koran Tempo Jumat 20 Maret 2015).

Gambaran soal para tokoh agung yang melakukan aktivitas dalam keadaan sepi, bukanlah soal doktrin tetapi sebagai bentuk aktivitas keimanan yang diharapkan dalam keadaan demikian ada peristiwa iman yang menolong para tokoh agung untuk mendapatkan kekuatan spiritual dalam perjumpaan keimanannya. Kebutuhan akan keadaaan sepi adalah suasana penting untuk menjalankan ritual keagamaan, guna mendapatkan kekuatan spritual dalam mengambil keputusan untuk menghadapi keadaan genting. Dalam ritual keagamaan hampir seluruh agama dunia menjalankannya dalam keadaan tenang, hening untuk dapat berkonsentrasi menjalankan ritual. Seniman kadang dalam menghasilkan karya lukisan atau narasi dapat dicapai melalui keadaan tenang melalui kotemplasi, perenungan dalam suasana sepi atau tenang. Keadaan ini adalah faktor pendorong untuk menciptakan hasil karya yang memenuhi kebutuhan keindahan, dan kedamaian bathin.

 Hari Raya Nyepi dapat menjadi rekomendasi kebangsaan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam mengambil kesempatan untuk melakukan devosi, devosi bukan sebuah doktrin baku dalam bentuk liturgi/tata cara yang baku bahkan tidak perlu dilegalkan dalam bentuk UU, Perppu,  bahkan Perda syariah. Pemahaman devosi Nyepi dapat dijadikan budaya yang mengakar dalam keindonesiaan, yang dibangun bagi kebersamaan bernegara , sikap bakti bagi negeri, alam, dan hubungan sosial dengan sesama manusia. Devosi dilakukan dalam keadaan sepi (kontemplasi) yang dapat dilakukan dalam kesadaran keimanan dalam ritual doa/sholat, keadaan sepi ini dilakukan sebagi bentuk penyerahan diri, bagaimana pribadi/diri berperan untuk perwujudan cinta kasih dan kemaslahatan bangsa. Kemaslahatan umat dapat dilakukan dengan melakukan penghematan energi dengan tidak melakukan aktivitas yang menghabiskan bahan bakar ataupun arus listrik. Seandainya perayaan Nyepi dapat dilakukan di seluruh nusantara maka dampaknya dapat memberikan penghematan bagi negara.   

Apabila Nyepi menjadi bermakna dalam insan persada, maka tentunya menjadi lazim momentum Nyepi dapat dilihat sebagai devosi sepi dalam bentuk kebaktian khusus warga negara (perenungan/kontemplasi) untuk mendapatkan misteri iman, dengan melakukan ibadah kebaikan guna menyelesaikan soal kisruh kenegaraan. Jika dikaitkan dengan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agung keagamaan dengan melakukan devosi nyepi untuk mendapatkan misteri keimanan seperti yang dilakukan Musa di Gunung Torsina, Yesus di Taman Getsemani dan Muhamad di Gua Hira. 

Hiruk-pikuk persoalan kebangsaan kita, seperti korupsi dan jegal menjegal dalam perebutan pimpinan partai politik, yang pada akhirnya membuat masyarakat merasa bukan tanggung jawabnya, tetapi kekisruhan hanya menjadi tanggung jawab mereka yang terlibat. Dengan demikian warga negara telah lari dari kenyataan, maka perlu memilih jalan untuk melakukan devosi nyepi. Umat Hindu di Bali merayakan Nyepi dan keadaan sepi terasa, namun banyak warga negara yang tidak melihat perayaan Nyepi dalam perspektif agama, merasa bahwa hari Nyepi adalah hari untuk lari dari kenyataan untuk mencari keramian dan hiburan. Justru melarikan diri dari Nyepi adalah bentuk pengkhianatan terhadap devosi nyepi yang menjadi wajah keagamaan Indonesia.

*Pemerhati Sosial – Politik

Kamis, 12 Maret 2015

"JANGAN POLITISASI GEREJA !



               
Jangan Politisasi Gereja !
*Yoyarib Mau

Kisruh pernyataan Setya Novanto (SN) saat tampil sebagai keynote speaker dalam seminar nasional bertema "Apakah NTT Jadi Gerbang Selatan Indonesia" yang dilakukan untuk memperingati perayaan Ulang Tahun Gereja Protestan di Indonesia (GPI) tahun 2015 ke-410, pada tanggal 26 Februari 2015 yang bertempat di GMIT Jemaat Koinonia. Dalam kesempatan tersebut SN diduga menyampaikan statement bahwa, Gereja di NTT  menjadi penghambat pembangunan karena menghadang masuknya investor tambang. Pernyataan yang disampaikan oleh SN, “Daerah ini kaya mangan, marmer, emas dan pasir besi. 

Namun, saat investor hendak mengelola potensi sumber daya alam selalu ada penolakan dari LSM yang berlindung di bawah Gereja”, begitu pernyataannya di Kupang,  pada seminar tersebut. Lebih lanjut dalam kesempatan yang sama SN, kembali menegaskan bahwa, “Karena itu, Gereja sebagai elemen penting dalam pembangunan di NTT, harus memberi pencerahan kepada masyarakat termasuk LSM, agar menerima investor yang memiliki niat baik membangun daerah ini.  Ungkapkan-ungkapan ini dari luar konteks makalah yang sudah disiapkan sebelumnya. Pernyataan ini kemudian berkembang dikalangan masyarakat luas maupun di NTT, sepertinya SN melukai gereja-gereja di NTT.  

Menelisik pernyataan SN ini dapat diinterpretasikan  seolah-olah gereja sedang terlibat dalam politik praktis, karena gereja dikatakan memanfaatkan LSM untuk menolak investor. Dilain kesempatan  sekelompok orang yang menamakan dirinya Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Tambang NTT (Koalisi), yang berjibaku menentang pernyataan SN, Koalisi menuntut agar SN meminta maaf kepada Gereja-gereja di NTT  dan masyarakat NTT serta mencabut pernyataannya sebagai bentuk permohonan maaf. 

Melihat gerakan masyarakat yang tergabung dalam koalisi yang melakukan tuntutan, menghadirkan pertanyaan, apa efek pernyataan dan permintaan maaf SN terhadap gereja-gereja di NTT ? Meminjam kalimat  Romo Y.B. Mangunwijaya,  beliau mengatakan bahwa, Keterlibatan gereja dalam politik itu mengarah kepada tindakan universal. Point pentingnya adalah tindakan gereja yang partisipatif dalam persoalan universal, (Y.B. Priyanahadi, dkk (ed). Y.B. Mangunwijaya Pejuang Kemanusiaan, Yogyakarta: kanisisus, 1999). Hal ini hendak menjelaskan bahwa Jika politik hanya dipagari pada politik praktis, yaitu arena politik yang selama ini hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu (partai dan kelompok) dan menggunakan kekuasaan yang diperoleh sebagai alat untuk itu,  maka yang ditakutkan adalah adanya pemahaman bahwa, benar bahwa politik itu kotor dan kejam.

Tulisan ini sekedar kajian logis dari persoalan di atas. Intensinya adalah untuk menempatkan dengan baik penekatan-pendekatan yang dipakai dalam melihat masalah ini. SN diperhadapkan dengan Institusi gereja, sedangkan dua pendekatan yang dipakai oleh SN dan juga oleh Koalisi masyarakat ini berbeda dengan penekatan dan fungsi gereja. Pendekatan gereja seyogiannya adalah pendekatan moral-etis, sedangkan  antara SN dan Koalisi Masyarakat lebih pada pendekatan politis. Mengapa dikatakan politis, jelas karena SN menyampaikannya dalam di forum seminar yang dihadiri publik dalam tugas sebagai wakil rakyat yang bersamaan dengan jadwal reses. 

Gerakan sipil dalam gabungan koalisi, yang menuntut permintaan maaf SN kepada Gereja dan masyarakat NTT di sejumlah media  ini juga jelas sangat politis. Sementara institusi gereja selalu memilih untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Setiap tindakan gereja selalu didasari oleh tiga tugas mendasar gereja yakni; Gereja sebagai Nabi, Gereja sebagai Raja dan Gereja sebagai Imam. Tudingan SN kepada gereja yang memanfaatkan LSM, untuk menolak investor dapat diartikan SN menunjuk  gereja sedang melakukan politik praktis. Sedangkan peran gereja dalam konteks persoalan ini, setiap tindakan dan usaha yang tidak memikirkan keselamatan manusia dan kelestarian alam, tentu akan gereja tolak. Ini adalah tugas kenabian gereja murni penilaiannya sekali lagi dengan moral-etis Kristiania.

Salah seorang tokoh Nusa Tenggara Timur (NTT) Petrus Selestinus  yang juga Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak masyarakat, gereja, dan Pemerintah Daerah NTT memberikan sanksi sosial terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto atas pernyataannya yang menghujat Gereja di sana. Sanksi sosial tersebut, katanya dapat dilakukan dalam bentuk ekskomunikasi atau pengucilan dalam segala bentuk hubungan sosial. (http://www.beritasatu.com/nasional/254730-hujat-gereja-tokoh-ntt-minta-setya-novanto-diberi-sanksi-sosial.html).

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Tambang dan Petrus Selestinus bertindak sekali lagi dalam pernyataan mereka dapat dilihat bahwa mereka memperhadapkan SN dengan Institusi gereja, padahal siapa SN sehingga dirinya harus diperhadapkan dengan  Institusi gereja ? Jika SN diperhadapkan dengan konstituennya  maka wajar bagi Koalisi Masyarakat untuk meminta SN untuk meminta maaf, karena tudingan yang disampaikan SN dianggap pemilihnya tindakan yang tidak bijak. Penempatan posisi Koalisi Masyarakat yang benar adalah menyampaikan tuntutan dan ketidakpuasannya atas nama dan untuk rakyat NTT dan bukan atas nama gereja.  

Apabila Institusi gereja “dipaksa” untuk menekan SN, agar meminta maaf atau melakukan tekanan secara politis, agar  diganti atau dicopot dari Ketua DPR RI, maka Institusi gereja sedang digiring untuk terlibat dalam pertarungan politik praktis, dan tidak secara langsung gereja didorong untuk tercebur dan berenang secara nyaman di dalamnya, ketika Institusi gereja dipaksa melakukan tekanan maka tidak secara langsung hierarki Gereja terlibat dalam politik praktis. 

Hakikat Gereja harus terhindarkan dari Politik praktis, karena politik praktis pada dirinya hanya bergerak sesuai dengan tuntutan politik untuk kekuasaan (politik kekuasaan). Politik kekuasaan berurusan dengan teknik dan organisasi untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Posisi Gereja dalam mengambil bagian dalam polemik ini sejatinya tanpa rasa takut bahkan bukan dibawah tekanan sedikitpun. Gereja harus berperan tegas dalam perang terhadap kemiskinan, pelecehan hak asasi manusia, ketidakadilan social, penindasan terhadap mereka yang lemah. Sehingga dalam konteks persoalan ini, Institusi gereja dalam melakukan sikap kritisnya, harus dapat dipastikan bahwa bukan semata-mata atas tekanan atau tuntutan koalisi masyarakat atau pribadi tertentu.

*Pemerhati Sosial-Politik