Senin, 01 Juni 2015

"INVISIBLE HAND DALAM APBD NTT 2015"



“INVISIBLE HAND DALAM APBD NTT”
*Yoyarib Mau

            Merujuk pada dua (2) aturan hukum ini yakni Permendagri No. 37 Tahun 2014 dan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, tentunya berbagai pihak terlibat aktif dalam penyusunan bahkan adannya kesepakatan bersama antara eksekutif  dan legislatif hingga penetapan APBD Prov. NTT 2015. Sehingga Fraksi Nasdem Prov. NTT mendorong perlunya dilakukan hak angket agar memberikan penjelasan serta mempertanggung jawabkan uang rakyat.

            Terkuaknnya anggaran Siluman dalam APBD 2015, membuat masyarakat membedakan antara Prov. DKI Jakarta dan Provinsi NTT. Jakarta diduga melakukan upaya siluman sebelum APBD ditandatangani oleh Kemendagri sedangkan di NTT melakukan upaya APBD Siluman setalah adanya, setelah hasil asistensi RAPBD NTT 2015 di Kementerian Dalam Negeri. Informasi berkembang bahwa proyek siluman “diakomodir” atas kesepakatan para pimpinan di DPRD NTT dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Fraksi Nasdem memberikan apresiasi yang cukup bagi saudara  Anggota DPRD NTT Veki Lerik dari Fraksi Gerindra yang telah melakukan upaya hukum dengan melaporkan hal ini kepada penyidik khusus Kajati NTT, akan tetapi Fraksi  NasDem perlu menegakan DPRD dalam kapasitas serta tugas dan fungsi legislatif, dalam persoalan dugaan penyelewengan APBD 2015 melalui “hak angket” di lembaga terhormat ini.

            Dugaan awal bahwa adanya 14 proyek "siluman" yang dimasukkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) ke dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) setempat dengan total nilai mencapai Rp 147,2 miliar lebih. Namun kemudian dugaan ini dibantah DPRD dan pemerintah setempat. Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) NTT Andre Koreh dalam sebuah kesempatan mengatakan ada 14 proyek yang terdapat dalam APBD yang tidak masuk dalam perencanaan. Sehingga Andre Koreh harus membuat perencanaan karena sudah termuat dalam APBD NTT 2015 yang telah ditetapkan. Andre Koreh akan membuat perencanaan terhadap 14 proyek yang masuk dalam APBD itu. Walaupun belum ada perencanaan untuk proyek-proyek ini, Akan tetapi Andre Koreh ketika memberikan keterangan pers kepada wartawan, Senin, 13 April 2015.

Sedangkan Sekretaris Daerah (Sekda) NTT Frans Salem mengatakan pihaknya mengalokasikan anggaran ke DPRD untuk dibahas sebesar Rp 330 miliar lebih, belum termasuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam pembahasan dengan DPRD, Komisi IV DPRD NTT mengajukan tambahan sebanyak 14 proyek dengan nilai Rp 147,2 miliar lebih, sehingga saat pembahasan di Badan Anggaran, Dinas PU mendapat tambahan anggaran sebesar lebih dari Rp 21,7 miliar sehingga total APBD NTT sebesar Rp 351,8 miliar lebih. Ini nilai yang kami konsultasikan ke Mendagri. Sesuai arahan Mendagri, belanja kesehatan harus dinaikkan mencapai 10 persen dan dana untuk peningkatan pelayanan publik, sehingga dinaikkan lagi sebesar Rp 47 miliar lebih. "Dana inilah yang ditetapkan dalam APBD.

Pernyataan Kepala Dinas PU yang menyatakan bahwa ada 14 paket proyek di Komisi IV yang tidak melalui perencanaan namun tiba-tiba muncul di DPA, di tanggapi oleh Wakil Ketua DPRD Prov. NTT sudara Nelson Matara mengatakan, untuk proyek jalan tidak perlu direncanakan. “Mana orang kerja jalan pake perencanaan? Kan tidak mungkin,”Nelson yang mengatakan penggunaan anggaran itu untuk tanggap bencana. Ini kan uang ini ada. Bagaimana dewan (DPRD) ini urus hal-hal teknis. Kan tidak mungkin. Dewan itu, urusannya menyangkut kebijakan anggaran. Setelah uang itu ada, kan urusannya pemerintah dalam hal ini SKPD. Wakil Ketua DPRD NTT juga membantah jika ada bagi-bagi jatah antara pimpinan DPRD dalam beberapa paket proyek tersebut. “Kalau bagi-bagi pimpinan itu salah. Misalnya di Dapil II Kabupaten Kupang, di Noelbaki ada bencana. Maka kita alokasikan anggaran Rp 2,8 miliar. Dan itu salah satu contoh dari uang yang Rp 7 miliar itu. apakah ada perencanaan ?.

Pernyataan ini tanggapi oleh Sekretaris Daerah NTT dilain kesempatan, Fransiskus Salem. Menurutnya, proses penetapan proyek-proyek yang masuk dalam dana hasil saving atau rasionalisasi sudah sesuai prosedur. Pasalnya, meski tidak dibahas di tingkat komisi, namun Banggar memiliki kewenangan untuk mengakomodir proyek-proyek tersebut sepanjang sesuai dengan saran Kemendagri. Ada usulan-usulan penambahan volume, jadi kita tidak bisa tambah di luar KUA-PPAS. Tapi waktu itu betul ada satu tambahan untuk bencana (Noelbaki, red). Kalau kita pakai tanggap darurat, itu tidak bisa menyelesaikan masalah. Karena mereka ada usulan, maka kita sepakat untuk alokasikan dan tidak di luar dari pembahasan,” jelas Frans Salem. Menyoal munculnya proyek-proyek tersebut tanpa perencanaan, Frans Salem mengungkapkan, dalam setiap pembahasan KUA-PPAS, setiap SKPD mengusulkan banyak sekali kegiatan. Sehingga proyek-proyek tersebut menurut dia diakomodir dari usulan-usulan dari KUA-PPAS yang belum disetujui saat dibahas di tingkat komisi. 

Persoalan ini menghadirkan pertanyaan, tarik menarik dalam APBD NTT ini, siapa yang bertanggung jawab atas dugaan adanya APBD siluman ini ? serta, bagaiman penegak hukum melakukan upaya penyelesaian persoalan ini ? Pemikiran Abdul Halim dalam kajian Politik Lokalnya mengatakan bahwa untuk membaca permainan di daerah cukuplah melihat teori modal, yang menggunakan bentuk-bentuk modal yang digunakan oleh elite, aktor politik dan birokrasi. Menurutnya, melalui modal material seorang elite ekonomi dapat menggendalikan jalannya pemerintahan daerah, terlebih jika elite ekonomi dimodali oleh elite ekonomi dalam meraih jabatan dan kekuasaan. Apalagi jika proses politik di daerah dibawah kendali “money politics” maka elite ekonomi sudah pasti menjadi kekuatan yang menentukan dalam roda pemerintahan (Abdul Halim, Politik Lokal, LP2B, Yogyakarta – 2014)

Demikian juga anggota DPRD terpilih, misalnya harus memenuhi tuntutan pihak yang memodali dirinya, bahkan juga elite pemerintah yang berhasil mengikat dan memperkuat aktor-aktor lokal, bahkan aktor-aktor politik yang sebelumnya berseberangan dengan penguasa juga berhasil dijinakan dengan strategi ini. Rekomendasi pemikiran diatas membantu kita untuk memahami bahwa jika politik balas budi yang dijalankan hendaknya bukan APBD yang dijadikan alat mainan untuk memenuhi politik balas budi tersebut. Pemikiran diatas juga memberikan arah bagi cakrawala berpikir kita bahwa jika ada penambahan agenda dan kebutuhan di luar kesepakatan maka ada terjadi kesepakatan transaksional antara beberapa pihak, yang menyebabkan adanya polemik APBD.

Dijalankannya hak angket dapat dijadikan “pisau bedah” untuk melakuakan pembedahan terhadap persoalan dengan melibatkan semua pihak yang berkompeten yakni aparat penegak hukum serta para para pakar ahli, pemanggilan saksi, dan analisa, untuk menemukan titik persoalan dan siapa yang bertanggung jawab penuh secara langsung tentang persoalan. Apabila tidak diwujudkan melalui hak angket akan menjerumuskan lembaga DPRD bahwa seolah-olah lembaga terhormat ini melakukan praktek siluman, padahal oknum yang melakukan, atau lembagan lain, atau pribadi lain yang tidak tampak tetapi memiliki kekuasaan untuk mengendalikan APBD (invisible hand). 

*Pemerhati Sosial-Politik