Selasa, 22 September 2015

"KEINDONESIAAN GMIT"

“KEINDONESIAAN GMIT”


*Yoyarib Mau


Sidang Sinode Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) ke 33 di Baa Kabupaten Rote Ndao, Provinsi NTT, sejak persiapanya hampir seluruh stakeholder GMIT menaruh ekspektasi yang cukup besar agar acara pembukaan sidang sinode dibuka secara resmi oleh Presiden Joko Widodo. Harapan ini tidak terwujud karena kenyataannnya yang membuka acara sidang sinode dilakukan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan.  Dalam acara pembukaan ini diperkirakan kurang lebih 400 orang peserta Sidang Sinode GMIT dari 44 klasis. Keberadaan GMIT dengan memiliki kurang lebih 2.000 jumlah mata jemaat, dengan  jumlah anggota jemaat kurang lebih 1.000.000 jiwa.

Cikal bakal GMIT ada sejak kehadiran VOC pada tahun 1614 ketika para pelayan rohani yang didatangkan VOC untuk para pegawai VOC di Kupang, sekian tahun kemudian barulah GMIT berdiri sebagai organisasi mandiri pada  31 Oktober 1947, bergabung menjadi anggota PGI sejak 25 Mei 1950. Sejarah panjang keberadaan GMIT hampir berimbang dengan usia kemerdekaan NKRI. Jalan panjang GMIT dalam bingkai NKRI menghadirkan pertanyaan kritis, apakah keberadaan GMIT untuk Indonesia, atau sebaliknya apakah keberadaan Indonesia untuk GMIT ?  pertanyaan diatas sepertinya didorong oleh ungkapan yang pernah dinyatakan mantan Presiden AS John F. Kennedy yakni   “Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.”

Pernyataan Jhon F. Kennedy ini menarik untuk menjadi bahan panduan dalam tulisan ini, harapan awal agar Jokowi membuka acara Sidang Sinode GMIT tentu dengan berbagai pertimbangan karena kegiatan ini dilakukan di daerah perbatasan dimana Rote sebagai salah satu pulau terluar yang berbatasan dengan Australia, mungkin saja pertimbangan kedua adalah konon GMIT sebagai organisasi gereja yang memiliki anggota jemaat terbanyak kedua setelah HKBP, alasan-alasaan ini kemudian menguatkan dugaaan bahwa Jokowi akan membuka Sidang Raya Sinode GMIT. Kenyataannya Luhut Binsar Panjaitan Menkopolkam yang hadir dan membuka acara yang dalam kata sambutannya mengingatkan para pimpinan Gereja untuk tidak boleh ada ambisi-ambisi politik yang dimasukan dalam Gereja.  Gereja itu perannya bukan untuk berpolitik, gereja adalah perpanjangan tangan Tuhan, dan harus membawa persatuan yang lurus dan utuh untuk umatnya sehingga jemaatnya menjadi lentera pembangunan dimana saja di seluruh pelosok Indonesia.

Kata sambutan menkopolkam ini tentu menghadirkan perdebatan-perdebatan ringan bagi peserta sidang raya dan warga GMIT soal keterlibatan GMIT yang adalah organisasi gereja dalam politik, tentu ada kelompok yang sepakat dan juga ada kelompok yang tidak sepakat soal keterlibatan gereja dalam politik. Kenyataan yang terjadi GMIT tidak dapat menghindar dari politik bahkan kadang terseret dalam pusaran politik, ketua panitia sidang sinode GMIT XXXIII adalah Ibrahim Agustinus Medah yang nota bene adalah seorang politisi karena jabatan yang melekat pada diri yakni sebagai Ketua DPD I Partai Golkar NTT, juga politisi senayan sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD – RI). Dapat juga dilihat dari daftar penyumbang kegiatan ini, tentu jika di publis oleh panitia pasti terlihat dari sejumlah politisi baik di pusat dan daerah, tidak saja itu tetapi sejumlah politisi hadir dalam acara pembukaan ini menunjukan bahwa gereja tidak bisa mengelak dari politik.
Kepemimpinan GMIT Untuk Bangsa

Problematika gereja dan politik dalam menangggapi pernyataan Luhut Binsar Panjaitan dalam konteks keberadaan GMIT saat ini, maka hipotesis sementarannya adalah GMIT berada dalam pusaran politik, Luhut menohok pada pimpinan gereja, karena cawan anggur itu berada dalam tangan pemimpin gereja, apakah pemimpin gereja hendak meminum cawan yang berisi anggur itu kemudian berkata “janganlah cawan ini lalu daripada ku”, atau  membagikan cawan anggur itu ke seloki-seloki jemaat untuk kemudian mengajak jemaat untuk meminum bersama.

Salah satu agenda penting dalam Sidang Raya GMIT adalah suksesi kepemimpinan, yakni pemilihan Ketua Umum Sinode GMIT sebagai pengambil kebijakan tertinggi dalam struktur organisasi GMIT.  Keberadaan negara dalam hal ini pemerintahan Jokowi memiliki peranan untuk menciptakan kenyamanan dan kepastian yang kemudian berujung pada kesejahteraan rakyat. Keberadaan pemimpin gereja dalam hal ini Ketua Sinode pun demikian yakni  bagaimana menghadirkan Syallom Allah atau damai sejahtera Allah kepada jemaat GMIT melalui pelayanan marturia, diakonia, koinonia sehingga jemaat GMIT menikmati sejatinya damai sejahtera Allah di bumi.

Peran gereja dan negara tentu bersinggungan dalam politik, karena sama-sama hendak mendatangkan “damai sejahtera”. Kepemimpinan GMIT dalam politik tentu bukan untuk memberikan dukungan politik secara pragmatis dimana memberikan balas jasa dukungan kepada para penyumbang atau mereka yang berperan aktif dalam suksesnya acara, bahkan balas budi politik dukungan atas pemimpin GMIT terpilih dalam setiap event politik (pilpres, pileg, dan pilkada).  Namun pergumulan kepemimpinan GMIT adalah bagaimana menghadirkan pemimpin GMIT yang mampu mendatangkan kesejahteraan bagi warga GMIT secara khusus dalam pelayanan gerejawi (marturia, diakonia dan koinonia), bahkan juga sumbangsi GMIT bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai bentuk nyata keindonesiaan GMIT.

Dalam rentang waktu sejarah GMIT di bumi pertiwi, diharapkan GMIT mampu menghadirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki pemikiran-pemikiran teologis yang dapat dijadikan sumbangsi bagi keindonesiaan. Dalam catatan gereja-gereja di Indonesia salah satu tokoh GMIT yang pemikirannya masih menjadi rekomendasi dalam bidang pastoral, Gereja-gereja di tanah air selalu saja merujuk pada pemikiran Dr. J. L. Ch. Abineno yang adalah mantan Ketua Umum Sinode GMIT empat periode yakni 1950 – 1952, 1952 – 1953, 1956 – 1958, 1958 – 1960, dan tahun 1960-1980 Ketua Umum Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang kini kita kenal dengan sebutan Persekutuan Gereja-gereje di Indonesia (PGI).

Pasca kepemimpinan Abineno, GMIT sepertinya tidak lagi mempersiapkan diri untuk menghadirkan tokoh-tokoh yang dapat memberikan sumbangsi pemikiran dan kepemimpinan bagi Indonesia, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Abineno. Kepemimpinan dalam struktur gereja GMIT adalah sebuah sarana untuk menyiapkan dan mendorong pemimpin gereja yang dapat berperan dalam pentas nasional. Karena keberadaan sebagai pucuk pimpinan gereja akan diukur keberhasilannya dalam memimpin organisasi gerejawi. Sehingga sumbangsi GMIT jelas guna menjawab pertanyaan, apakah keberadaan GMIT untuk Indonesia, atau sebaliknya apakah keberadaan Indonesia untuk GMIT, terjawab dari sukses kepemimpinan yang di hasilkan dari sidang sinode ini, sehingga terlihat sumbangsi GMIT bagi Indonesia adalah menghadirkan pemimpin gereja yang memiliki kemampuan berpikir serta mampu menghadirkan pemikiran teologis yang dapat dijadikan etika moral dan spritualisme masyarakat diantara anak bangsa dalam satu tujuan bersama yakni menciptakan kesejahteraan manusia dan alam ciptaan.

Kemampuan inilah yang kemudian membuat negara Indonesia dalam hal ini pemerintah merasa utang budi atas GMIT, karena mampu menghadirkan pemimpin agama yang membawa kedamaian bagi semua insan melalui alam berpikirnya, maka harapan  kehadiran Presiden dalam membuka acara sidang sinode GMIT dapat terwujud dengan sendirinya.

*Pemerhati Sosial – Politik (tulisan ini akan dipublis pada koran harian Timor Express  - Group Jawa Pos di Kupang -NTT