“BANGKRUTNYA PARTAI POLITIK DI INDONESIA - 1”
*Yoyarib
Mau
Keberadaan partai politik dari
kemerdekaan NKRI hingga pasca reformasi
1998 diharapkan keberadaannya untuk mensejahterahkan rakyat Indonesia namun
kenyataannya keberadaan parpol di Indonesia memiliki kecenderungan berperilaku oligarkis
yang kemudian perilaku ini menjadi persoalan
bagi kehidupan demokrasi yang baru .
Persoalan yang dialami partai
politik yang sepertinya mengalami kemunduran yang sangat besar menuju
kebangkrutan, bukan persoalan tidak memiliki keuangan yang cukup untuk
menghidupi atau membiayai roda organisasi partai politik dari pusat hingga
daerah tetapi partai politik terancam di tinggalkan oleh konstituen karena
tergerusnya spirit dan nilai kehadiran partai politik itu sendiri.
Semaian Partai Politik di Tanah Air
Keberadaan partai politik di
Indonesia pada masa ke masa untuk mengisi parlemen, memiliki corak dan ciri
tersendiri. Penulisan ini akan mencoba melihat sejauhmana kekuatan – kekuatan
politik ini dalam tubuh partai politik mempengaruh warga negara yang mampu mendorong, memobilisasi dan
mendorong warga negara untuk memilih partai politik tertentu?.
Sejak Republik Indonesia masih
berbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat) dimana Parlemen pasca kemerdekaan
1945 berbentuk bicameral dimana ada DPR dan Senat yang masih bersifat
kedaerahan dan kesukuan dimana dari 16
negara yang berfederasi ke dalam RIS dari masing-masing federasi tersebut
memiliki wakil 2 orang senat disamping partai politik yang masih bersifat
kedaerahan kebudayaan dan keagamaan seperti Serikat Islam (SI), PNI (Partai
Nasional Indonesia). .
Dalam perkembangan partai
politik 1954 di tanah air, warna politik
dalam parpol mencerminkan ideology apa yang diperjuangkan dan representative
dari yang diwakilkan sebagaimana terlihat
pada masa orde lama (pemerintahan Soekarno – Hatta) yakni pertarungan ideologi
nasionalisme dimana negara Republik Indonesia (RI) yang berdaulat, adil dan
makmur, berdasarkan kedaulatan rakyat, yang direpresentatifkan dengan kehadiran
PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan berusaha mempersatukan bangsa dan negara
serta memperbesar rasa cinta, setia dan bhakti kepada tanah air. Sedangkan ada
tiga partai besar lainnya disamping partai-partai kecil lainnya.
Seperti Masyumi
(Majelis Syuro Muslim Indonesia), yang memiliki basis pada kelompok agama
beragama Islam dengan perjuangan pembentukan negara Islam, ada partai
berideologi komunis yakni PKI (Partai Komunisme Indonesia) tiga kekuatan besar
aliran ideologi ini yang mewarnai
perpolitikan awal berdiri negara ini, ditambah dengan sejumlah partai yang ada
tetapi memiliki kecenderungan untuk memihak pada ketiga aliran besar ideologi
yang diwakilkan oleh PNI, Masyumi, dan PKI. Keberadaan tiga ideologi besar ini
namun kemudian Masyumi dibubarkan karena dianggap terlibat dalam pemberontakan
PRRI, sehingga secara otomatis basis masa Masyumi bergabung dengan NU (Nadhatul
Ulama) kekuatan-kekuatan ideologi
politik ini kemudian Soekarno menyebutnya dengan sebutan Nasakom (Nasionalis,
Agama dan Komunis) sebagai unsur mutlak daripada pembangunan bangsa.
Pertarungan Ideologi
Pada tahun 1960 politik tanah air
dalam perkembangan partai politik di tanah air yang lebih pada perjuangan
golongan menyebabkan adanya keberadaan
golongan dalam parlement yang melakukan aktititas dan perilaku politik tetapi
menamakan diri golongan dan bukan partai politik yakni Golongan Karya. Golongan Karya (Golkar) membangun sebuah
strategi baru yakni didalam tubuh tubuh
Golongan Karya ada berbagai sub golongan yakni golongan ABRI dan Veteran, sub
golongan alim-ulama (Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu-Budha), sub golongan
pembangunan materil dan sub golongan pembangunan sprituil yang merupakan wakil
dari pemuda, cendikiawan, angkatan 45 dan seniman dan wartawan (Parlemen Indonesia
– Efriza dan Syafuan Rozi – 2010).
Keberadaan Golongan Karya pada tahun
1960 dalam DPRGR menjadi kekuatan mayoritas karena memiliki kemampuan membelah
diri dalam sub-sub golongan sehingga mampu mendapatkan kursi mayoritas.
Keberadaan Golongan Karya menyebabkan hubungan antara partai politik mulai
menunjukan ketidakharmonisan, dimana hubungan militer yang berafiliasi ke
golongan karya memimiliki hubungan yang renggang dan tercipta ketegangan
politik antara militer dan PKI.
Karena memiliki kekuatan mayoritas
di parlemen maka Golongan Karya dan dukungan dari beberapa partai politik serta kekuatan Militer melakukan tekanan
politik bagi berbagai kegiatan politik PKI dan Ormasnya. Mungkin saja akibat
pertarungan politik antara militer dan PKI yang kemudian memuncak dengan
adanya pemberontakan G 30 S/PKI.
Pertarungan ideologi yang berakhir dengan pertumpahan darah dan pembantaian
dalam peristiwa G 30 S/PKI inilah, akhirnya dengan kekuatan politik DPR mulai
berseberangan dengan Presiden dimana pada tahun 1965 DPRGR dalam rapat-rapatnya
mulai mengabaikan keberadaan PKI, karena posisi Presiden terjepit menghadapi
militer dan rakyat yang menuntut
pembubaran PKI.
Kekuatan militer dan rakyat yang
melakukan tekanan politik terhadap presiden adalah juga memiliki perwakilan
dalm sub golongan di bawah Golongan Karya. Tuntutan militer dan rakyat mulai
gencar dilakukan pada tahun 1966 dengan melakukan demonstrasi ke DPR dengan
nama tuntutan TRITURA (Tiga Tuntutan
Rakyat) yakni : Bersihkan Kabinet dan Pemerintahan dari oknum G 30 S/PKI,
Bubarkan PKI dan Ormas-Ormasnya, Turunkan Harga.
Akibat tuntutan dan tekanan yang masif kekuatan militer maka pembubaran PKI dilakukan dengan Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). PKI dijadikan oraganisasi terlarang di
seluruh NKRI atau diharamkan, sehingga PKI menjadi bangkrut karena pengikutnya
diciduk hingga ke akar-akarnya. Pada masa orde baru melalui stigma bagi para
anak cucu anggota PKI dan tidak diberikan kesempatan serta di pasung hak-haknya
sebagai WNI terutama dalam perekrutan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).
Kekuatan Golongan Karya semakin kuat
karena sudah teruji dengan mematahkan keberadaan PKI hingga ke akar-akarnya. Pengalaman
empiris yang ada sepertinya memberikan legitimasi bagi Golkar untuk
mengendalikan politik dalam negara, Golkar menyadari bahwa ancaman-ancaman masih
akan ada dengan keberadaan banyaknya partai-partai politik, Golkar memiliki
pandangan yang berbeda bahwa selagi masih ada gerakan politik tentunya ideologi
tidak akan pernah berakhir.
Sebagaimana pemikiran Aiken (1964), ide dan gagasan
tentang akhir atau matinya ideologi adalah hal yang mustahil, karena ideologi
melekat dalam aktivitas politik (Firmanzah – Mengelola Partai Politik – 2011).
Pemikiran Aiken ini menjadi pertimbangan Golkar dengan sikap antisipatif,
karena dalam dinamika partai politik ada perlawanan baru dari lawan politik. Sehingga
partai berkuasa perlu melakukan penyerderhanaan Partai Politik agar dapat
dengan mudah mengendalikan dan menaklukan lawan politik karena selagi masih
berjubelnya partai politik tentu akan tercipta interaksi dan dinamika politik
yang akan menguras energy dan korban.
Kekuatan Orde Baru yang dikendalikan
oleh kekuatan Golkar dengan dinakhodai oleh Soeharto menganggap partai politik sebagai sumber
pertikaian yang mengganggu stabilitas kehidupan bernegara maka perlu
penyerderhaan terhadap partai – partai politik yang ada sehingga pada pemilu 1971
partai perserta pemilu terdiri dari; PNI 20 kursi, NU 58 kursi, Parmusi
(Masyumi baru) 24 kursi, Golkar 236 kursi, Partai Katolik 3 kursi, PSII 10
kursi, Murba 0 kursi, Partai Kristen Indonesia 7 kursi, Perti 2 kursi, dan IPKI
0 kursi, (Efriza – Syafuan Rozi – Alfabeta – 2010).
Hasil perolehan suara ini tetap memberikan
legitimasi yang kuat bagi Golkar karena memiliki suara mayoritas yang merupakan
kumpulan golongan kekaryaan memberikan rekomendasi bagi pemerintahan orde baru
untuk membangun kekuatan hegemoniknya di parlement untuk mengendalikan pemerintahan melalui
kebijakan-kebijakan maka ada kebijakan khusus bagi ABRI (militer) yang
mendapatkan 75 kursi tanpa melalui pemilu serta tambahan 25 kursi untuk Golkar……
Bersambung…….
*Mahasiswa
Ilmu Politik Kekhususan Politik
Indonesia – FISIP UI”