Rabu, 06 Maret 2013

POLITIK ENKLAVE DALAM PILKADA GUBERNUR NTT


“POLITIK ENKLAVE DALAM PILKADA GUBERNUR NTT”
*Yoyarib Mau

            Masa Kampanye untuk 5 (lima) pasangan calon gubernur NTT hampir usai, berbagai strategi dan pola kampanye dilakukan, baik itu dilakukan oleh partai politik maupun oleh relawan yang dibentuk independent, tim keluarga dan juga simpatisan. Pola kampanye yang dilakukan dilakukan melalui tatap muka, mobilisasi masa, bahkan melalui media elektronik (dunia maya) atau media cetak gencar dilakukan.  

            Isu sentimental yang dapat dijadikan isu kampanye yang dilakukan dengan klaim kesukuan, dan agama menjadi barang yang laku dijual di musim kampanye, suku dan agama dimana asal para kandidat dijadikan alat propaganda untuk mendapatkan dukungan dari basis suku yang ada.  

            Propaganda-propaganda ini, diyakini sebagai senjata ampuh untuk mendapatkan dukungan, sehingga para kandidat yang bertarung memperebutkan kursi panas berlomba-lomba menyambangi para turunan raja dan juga tokoh agama di kediaman mereka atau mengundang mereka untuk hadir dalam setiap acara terbuka agar terkesan bahwa dukungan sang tokoh dari turunana raja tersebut menjadi alat perekat bagi masyarakat yang dulunya adalah bagian dari kerajaan tersebut.  Sedangkan tokoh kharismatis dari unsure agama tertentu dapat menjadi alat untuk menarik umat untuk mendukung pasangan tertentu.

            Model, pola atau strategi yang dimainkan oleh para pasangan yang bertarung dalam pilgub ini merupakan perspektif politik praktis yang sektarian karena membangun segregasi dalam masyarakat. Perspektif politik ini memiliki kecenderungan untuk menciptakan kegaduhan politik yang membawa NTT berada dalam masa lampau yakni NTT dalam masa keresidenan.

            Kondisi ini menghadirkan pertanyaan, Mengapa politik sektarian masih dipelihara dalam era modern, dimana partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi ada untuk memainkan fungsi parpol dalam rekrutmen cawagub dan cawagub diragukan ?

            Modal warisan sisitem pemerintahan kolonial dengan bentuk keresidenan NTT menjadi sebuah kekuatan politik lokal yang dipelihara hingga saat ini, keresidenan itu meliputi keresidenan Timor, Flores dan Sumba, dan daerah kepulauan lainnya. Dalam setiap keresidenan dibagi lagi dalam kekuasaan raja-raja (Kepala Swapraja), kumpulan raja-raja ini disetiap keresidenan  membentuk kesatuan yang disebut kerajaan afdeling di Timor, Flores dan Sumba.     Raja di sebuah wilayah kekuasaannya membagi diri dalam kefetoran untuk membantu raja dalam wilayah kekuasaannya, kefetoran pun untuk menjalankan kekuasaannya maka kefetoran pun menghimpun wakil-wakilnya dari kelompok-kelompok marga yang ada di wilayah kefetorannya. Sistim penguasa tradisional ini tidak dengan mudah di abaikan oleh kehadiran partai politik dalam sistem pemerintahan yang dijalankan dengan demokrasi seperti saat ini. 
 
            Partai politik membutuhkan waktu dan pola yang tepat untuk menjalankan tujuan partai politiknya dengan tidak mengabaikan warisan kekuasaan tradisional yang begitu mengakar. Tujuan partai politik  diantaranya; Pertama, meningkatkan partisipasi politik dari anggota dan seluruh masyarakat untuk kegiatan politik dan pemerintahan. Tujuan ini bermaksud, partai politik tidak lagi menjadi partai masa tetapi sudah bergeser menjadi partai kader. Kedua, memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tujuan ini hendak membentuk kader partai yang memiliki ideologi serta menyalurkan aspirasinya berdasarkan kehendak hatinya dan kenyamanan serta kesejahteraan yang diperjuangkan partai politiknya. Ketiga, membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tujuan ini bertujuan agar rakyat tidak membeo atau menurut apa saja yang diarahkan oleh pimpinan struktural tradisional yakni raja atau kefetoran.

Strategi Politik Enclave

            Pendekatan yang dilakukan oleh para pasangan kandidat dengan melakukan pendekatan terhadap sejumlah turunan raja untuk mendapatkan dukungan suara dari wilayah swapraja atau kefetoran tertentu dapat di patahkan dengan melakukan “strategi politik enklave”. Enklave atau die enklave berasal dari bahasa Prancis yang berarti  yakni melakukan pendekatan terhadap “daerah kantong”  atau kampong kantong. Di daerah NTT kebanyakan hidup dengan model kampung kantong, di sebut kampong kantong karena di wilayah tersebut berdiam masyarakat dengan marga atau fam tertentu di kantong tersebut. 

            Jika dalam kekuasaan tradisional perwakilan kepentingan hanya diwakilkan kepada fetor atau raja, maka kekuasaan hanya akan bertumpu pada lingkaran raja dan fetor dan merupakan struktur statis dan tidak bisa diganggu gugat sedangkan warga dengan marga tertentu yang berada dalam wilayah kekuasaan fetor atau swapraja tertentu hanya akan tunduk dan taat sepanjang masa.   

            Kebekuan struktural ini harus menjadi tanggung jawab partai politik untuk memainkan fungsi parpolnya yakni melakukan pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat agar sadar hak dan kewajibannya sebagai WNI, mengupayakan iklim kondisif bagi persatuan dan kesatuan demi terciptanya kesejahteran masyarakat yang merata, menyerap dan menghimpun serta menyalur aspirasi masyarakat secara langsung, melakukan rekruitmen untuk mengisi jabatan public melalui mekanisme demokrasi.

            Partai politik dapat melakukan fungsi parpolnya secara enclave dimana, disetiap kantong-kantong marga tertentu direkrut menjadi kader partai politik, tidak melakukan rekruitmen kader hanya pada raja atau fetor semata. Strategi enklavenya adalah merekrut kader dari marga-marga di kefeteroan yang menjadi bagian dari kefetoran tersebut. Contoh di wilayah Kerajaan Amarasi  yang terdiri dari 4 (empat) kefetoran yakni Merbaun, Soba, Buraen dan Oekabiti.

            Kefetoran Merbaun yang kemungkinan besar fetornya adalah marga Amtiran dan rumpun marga terkait di bawahnya adalah Naisanu, Bureni, Sayuna dan lain sebagainya. Maka kehadiran partai politik dapat melakukan rekrutmen kader dari marga-marga terkait dibawah rumpun Amtiran karena tentu marga-marga selain Amtiran bermukim secara enklave (kantong kampong) dimana marga Naisanu terkonsentrasi di desa atau dusun tertentu sedangkan marga Bureni juga terkonsentrasi di desa tertentu, untuk menjadi kader partai sehingga dapat mengurai model kepemimpinan tradisional menjadi modern dimana semua memiliki hak dan peluang yang sama untuk menjadi kader partai politik sehingga memiliki kemampuan berpolitik untuk menjadi wakil rakyat. 

            Mengapa pentingnya keberadaan partai politik dalam demokrasi, yakni rekruitmen mengusung kandidat pejabat publik seperti Gubernur dan Wakil Gubernur dalam pilkada perlu melakukan pendekatan enklave. Stategi ini dimaksudkan agar klaim bahwa pasangan cagub-cawagub telah melakukan pendekatan terhadap keturunan dari kerisedenan, kerajaan, atau kefetoran tertentu dengan acara seremonial. Dimaksudkan sebagai sebuah kesepakatan dukungan secara menyeluruh bagi seluruh warga masyarakat yang menjadi bagian dari kekuasan tradisional kepada pasangan dengan nomor tertentu dapat di mentahkan.

Pilkada Gubernur Sebagai Turbulensi Politik

            Pilkada Gubernur bukan kerja perorangan atau kerja pasangan yang bertarung sendiri dalam memenangkan pertarungan, tetapi kerja kolektif terutama peran partai politik. Momentum pilkada gubernur bertepatan dengan perekrutan bakal calon anggota legislatif dari semua partai politik dalam menyongsong Pemilu Legislatif 2014. Partai-partai politik pendukung kandidat pasangan tertentu seyogianya melakukan perekrutan kader secara enklave di seluruh wilayah NTT.  Perekrutan ini bertujuan untuk menguji keberadaan bakal calon legislatif dalam kerja politiknya untuk mendaptkan dukungan di wilayah enklavenya.

              Partai politik harus menjadikan Pilkada Gubernur ini sebagai momentum membesarkan partai politik dengan mendorong kader partai yang direkrut dari berbagai enklave agar bekerja membuktikan diri sebagai kader yang militant. Sehingga kerja bakal caleg memberikan bukti bahwa partai politik telah memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, dimana telah mampu menciptakan iklim politik yang konusif tidak memilih karena sentiment kedaerahan atau agama, tidak memilih karena mengekor pada apa yang diarahkan oleh tokoh tertentu tetapi memilih cagub atau cawagub karena ideologi politik yang akan diperjuangkan oleh partai pengusung yang terlihat dari visi, misi dan program kerja yang ditawarkan para kandidat.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia FISIP - UI