Minggu, 30 Desember 2012

"DILEMA POLITIK DAN HUKUM DI TAHUN 2003


“DILEMA POLITIK DAN HUKUM DI TAHUN 2013”
*Yoyarib Mau

            Wajah politik dan hukum dalam perjalanan bangsa Indonesia selalu dijalankan dengan spirit demokrasi, Soekarno dengan demokrasi terpimpin yang lebih menekankan kepemimpinan yang kuat tetapi mengabaikan pembangunan ekonomi. Soeharto menjalankan Demokrasi Pancasila dengan dalih meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh Orde Lama, namun dalam perjalanan kepemimpinan Soeharto, demokrasi Pancasila mengalami distorsi dimana peranan presiden yang semakin  besar akibat dan lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan yang berlebihan ditangan presiden yang pada dasarnya mampu menciptakan pembangunan ekonomi yang baik hingga Indonesia mampu mencapai swasembada beras, akan tetapi di bidang politik Soeharto membentuk diri menjadi penguasa mutlak dan tidak ada kekuatan lembaga atau institusi apapun yang mampu mencegahnya sehingga melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power).

            Akibat penyelewengan kekuasaan maka kekuatan rakyat menyatu dan menggulingkan rezim Soeharto untuk sebuah tujuan yakni reformasi sistem pemerintahan, yang dijalankan dengan demokrasi. Akan tetapi tidak mampu memberikan proses demokratisasi yang ideal. Demokratisasi yang diharapkan memberikan kebebasan politik bagi rakyat untuk berperan aktif dengan tujuan menghadirkan sistem pemerintahan yang mensejahterakan rakyat. Kondisi reformasi hari ini memberikan signal bahwa kinerja demokrasi dalam peranannya menegakan hukum dan politik  belum mencapai yang diharapkan.

            Atas nama demokrasi maka hadirlah partai politik dan memainkan perannya dalam setiap proses demokratisasi yakni pemilu presiden, pemilu legislatif, akan tetapi ketika terselamatkan menjadi wakil rakyat yang terhormat mengkhianati rakyat, partai politik melakukan koalisi kepartaian dengan partai politik yang tidak sejalan dengan ideologi atau platform partai di saat melakukan kampanye kepada rakyat. Wakil Rakyat ketika sudah terpilih merasa memiliki kekuasaan yang kuat sehingga membangun dinasti politik keluarga (trah politik). Pemerintahan yang kong-kalikong antara legislatif dan eksekutif serta melibatkan swasta dalam menggerogoti APBN dan APBD dengan motif bahwa demi membiayai partai politik dalam demokrasi yang didalamnya pemilihan langsung berbiaya tinggi.    

            Kondisi ini menghadirkan pertanyaan bagaimana demorkasi dipraktikan dan bagaimana rakyat memberikan penilaian ? Kinerja Demokrasi yang dijalankan pasca reformasi mengalami sebuah proses yang belum menjawab kebutuhan demokrasi. kondisi demokrasi yang dijalankan saat ini pada tataran menjalankan kedaulatan rakyat yang di terjemahkan dengan perolehan suara terbanyak atau suara mayoritas. 

            Hendra Nurtjahjo memberikan sebuah kesimpulan atas berbagai teori demokrasi mengandung tiga fenomena yakni fenomena politik (kekuasaan), fenomena etika (ajaran moral) dan fenomena hukum (Hendra Nurtjahjo – 2006). Ketiga hal ini seharusnya menjadi tiga alat ukur dalam mengevaluasi bahkan kontrol dalam menjalankan demokrasi. Proses politik berjalan tidak harus mengabaikan etika, dan ketika etika memberikan penilaian terhadap proses politik yang salah maka hukum harus tegas dijalankan.

Dilema Politik

            Kondisi Politik Indonesia saat ini dapat dikatakan bahwa semua dapat diselesaikan dengan upaya transaksional, sejujurnya semua proses aktifitas atau proses politik semua mengandung unsur transaksional, saya beri contohnya : diplomasi juga adalah transaksi anda ngasih apa saya kasih apa, termasuk juga di dalam DPR kita terjadi juga transaksi-transaksi politik. Salah satu keberhasilan transaksional Politik dalam perpolitikan di Indonesia adalah kasus Bank Century. 

            Pada prinsipnya tidak ada yang salah pada proses transaksional yang dilakukan akan tetapi aksi transasksional itu harus memenuhi asas-asas etika yakni apa yang baik dan buruk melalui nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku umum. transaksi  akan menjadi benar jika azas kebaikan dijunjung tinggi. Dalam proses politik yang dijalankan melalui kinerja demokrasi maka kebaikan yang diharapkan adalah keberpihakan pada rakyat, akan menjawab kebutuhan dan mengakomodir aspirasi yang berkembang di tengah-tengah rakyat.

            Proses politik harus dilakukan secara terbuka dan diamati secara langsung oleh masyarakat, akan tetapi dalam perjalanan politik Indonesia hingga akhir tahun semua kebijakan politik banyak dilakukan di “bawah tangan” dan mengabaikan nilai dan norma yang diharapkan sebagai alat kontrol. Politik Indonesai mengarah pada nilai angka yang disepakati untuk semua proses kesepakatan.  
       
            Proses transaksional yang diharapkan mendatangkan kebaikan bagi keseluruhan rakyat dibajak oleh partai politik, kedaulatan rakyat yang ada dalam prinsip demokrasi diterjemahkan bahwa telah diserahkan kepada partai politik melalui wakil rakyat yang diusung, sehingga rakyat telah kehilangan kedaulatan, kesejahteraan yang dimaksudkan bagi rakyatpun, diterjemahkan menjadi kesejahteraan partai politik dimana uang rakyat digerogoti dari APBN/APBD, melalui proses tender proyek yang di mark up sebelumnya. Pundi-pundi partai politik ini dianggap sebagai titipan bagi rakyat yang akan di cairkan pada musim pemilu nanti.

Dilema Hukum

            Etika sudah dilanggar dalam proses politik, namun salah satu pintu terakhir agar demokrasi menjadi awet dan dapat dinikmati oleh rakyat, seandainya hukum menjadi pintu terakhir bagi penegakan politik, yang dijalankan dengan sistem demokrasi. Etika sudah memberikan signal bahwa pelanggaran nilai dan norma dalam menjalankan demokrasi. Sehingga hukum harus tegas dalam menegakan keputusan  demi menjamin kualitas bagi demokrasi.

            Pesimistis akan menjadi watak khas rakyat Indonesia seperti ketidakpercayaan, skeptis dan sangsi akan keberadaan demokrasi, apabila hukum tidak ditegakan. Hukum pada dirinya hadir untuk mengawal proses politik yang menjalankannya dengan alat yang namanya demokrasi. tetapi proses pengawalanpun memihak dan berat sebelah. Hukum memihak kepada kekuatan politik atau penguasa yang menginginkan hukum itu berpihak kepada mereka.    

            Tak asing bagi kita ketika vonis hukum bagi para koruptor lebih ringan dibandingkan dengan seorang maling, para koruptor mendapatkan fasilitas mewah di penjara. Proses hukum mengabaikan etika dan memihak kepada politik kotor yang di mainkan oleh wakil rakyat. Dominasi Hukum seharusnya kuat untuk membelah dan menentukan sikap yang tegas, tetapi kenyataannya hukum ditunggangi oleh kepentingan politik untuk mengamankan kepentingan kekuasaan menjadi alat pembenaran bagi korupsi dan kekerasan (memakai terorisme dan penutupan gereja sebagai alat pengalihan isu korupsi).

            Harapan politik masa depan kedepan terletak pada bagaimana etika dijadikan alat kontrol bagi politik, politik masih bermartabat apabila etika harus dijadikan alat kontrol utama. Keberadaan etika membuat politik itu otonom dengan kekuatan kekuasaan yang beraliran ekonomi materialis (dimana kekuasaan hanya berorientasi pada pengumpulan keuntungan), akan tetapi ketika etika tidak lagi dijadikan sebagai alat kontrol maka kecenderungan politik untuk berkompromi dengan hukum sangat terbuka lebar.

            Tahun 2013 adalah tolak ukur bagi arah politik Indonesia dalam pemilu 2014 nanti. Politik Indonesia dengan memilih alatnya demokrasi bertujuan mensejahterakan rakyat. Wajah demokrasi yang bertujuan serbagai alat untuk mensejahterakan rakyat, akan tercermin dari keberadaan partai politik yang memiliki wakilnya ada di parlemen. Perilaku mereka harus mampu menjamin etika dan tidak memanfaatkan keberadaannya sebagai wakil rakyat bukti representatif kedaulatan rakyat dalam mengendalikan kedaulatan hukum.

            Suram dan cerahnya politik Indonesia terletak pada patuh perilaku politik pada etika dan hukum. Etika dan hukum menjadi alat penjamin bagi arah politik yang cerah. Rakyat menjadikan etika dalam menilai politik, sehingga rekomendasi rakyat harus ditanggapi ketika aktifitas politik melanggar etika maka proses hukum harus segera dilakukan. Suramnya Politik Indonesia apabila rakyat dan politisi, sama-sama mengabaikan etika, dengan lebih memilih berapa jumlah angka yang disepakati dalam setiap proses politik. Maka mimpi bangsa Indonesia akan kehadiran demokrasi yang mensejahterakan hanyalah pepesan kosong, sehingga tidak dapat disalahkan ketika sekelompok kekuatan bangkit dan mendorong adanya revolusi yang radikal melampaui reformasi yang belum tuntas.

*Pengamat Politik Muda  NTT 

Senin, 30 Juli 2012

“BANGKRUTNYA PARTAI POLITIK DI INDONESIA - 1”

“BANGKRUTNYA PARTAI POLITIK DI INDONESIA  - 1”
*Yoyarib Mau

            Keberadaan partai politik dari kemerdekaan NKRI hingga  pasca reformasi 1998 diharapkan keberadaannya untuk mensejahterahkan rakyat Indonesia namun kenyataannya keberadaan parpol di Indonesia memiliki kecenderungan berperilaku oligarkis yang kemudian perilaku ini  menjadi persoalan bagi kehidupan demokrasi yang baru . 

            Persoalan yang dialami partai politik yang sepertinya mengalami kemunduran yang sangat besar menuju kebangkrutan, bukan persoalan tidak memiliki keuangan yang cukup untuk menghidupi atau membiayai roda organisasi partai politik dari pusat hingga daerah tetapi partai politik terancam di tinggalkan oleh konstituen karena tergerusnya spirit dan nilai kehadiran partai politik itu sendiri.

Semaian Partai Politik di Tanah Air 

            Keberadaan partai politik di Indonesia pada masa ke masa untuk mengisi parlemen, memiliki corak dan ciri tersendiri. Penulisan ini akan mencoba melihat sejauhmana kekuatan – kekuatan politik ini dalam tubuh partai politik mempengaruh warga negara  yang mampu mendorong, memobilisasi dan mendorong warga negara untuk memilih partai politik tertentu?. 

            Sejak Republik Indonesia masih berbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat) dimana Parlemen pasca kemerdekaan 1945 berbentuk bicameral dimana ada DPR dan Senat yang masih bersifat kedaerahan dan kesukuan dimana  dari 16 negara yang berfederasi ke dalam RIS dari masing-masing federasi tersebut memiliki wakil 2 orang senat disamping partai politik yang masih bersifat kedaerahan kebudayaan dan keagamaan seperti Serikat Islam (SI), PNI (Partai Nasional Indonesia). .

            Dalam perkembangan partai politik  1954 di tanah air, warna politik dalam parpol mencerminkan ideology apa yang diperjuangkan dan representative dari yang diwakilkan sebagaimana  terlihat pada masa orde lama (pemerintahan Soekarno – Hatta) yakni pertarungan ideologi nasionalisme dimana negara Republik Indonesia (RI) yang berdaulat, adil dan makmur, berdasarkan kedaulatan rakyat, yang direpresentatifkan dengan kehadiran PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan berusaha mempersatukan bangsa dan negara serta memperbesar rasa cinta, setia dan bhakti kepada tanah air. Sedangkan ada tiga partai besar lainnya disamping partai-partai kecil lainnya. 

             Seperti Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia), yang memiliki basis pada kelompok agama beragama Islam dengan perjuangan pembentukan negara Islam, ada partai berideologi komunis yakni PKI (Partai Komunisme Indonesia) tiga kekuatan besar aliran ideologi ini yang  mewarnai perpolitikan awal berdiri negara ini, ditambah dengan sejumlah partai yang ada tetapi memiliki kecenderungan untuk memihak pada ketiga aliran besar ideologi yang diwakilkan oleh PNI, Masyumi, dan PKI. Keberadaan tiga ideologi besar ini namun kemudian Masyumi dibubarkan karena dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI, sehingga secara otomatis basis masa Masyumi bergabung dengan NU (Nadhatul Ulama)  kekuatan-kekuatan ideologi politik ini kemudian Soekarno menyebutnya dengan sebutan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) sebagai unsur mutlak daripada pembangunan bangsa.

Pertarungan Ideologi 

            Pada tahun 1960 politik tanah air dalam perkembangan partai politik di tanah air yang lebih pada perjuangan golongan menyebabkan adanya  keberadaan golongan dalam parlement yang melakukan aktititas dan perilaku politik tetapi menamakan diri golongan dan bukan partai politik yakni Golongan Karya.  Golongan Karya (Golkar) membangun sebuah strategi baru yakni didalam tubuh  tubuh Golongan Karya ada berbagai sub golongan yakni golongan ABRI dan Veteran, sub golongan alim-ulama (Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu-Budha), sub golongan pembangunan materil dan sub golongan pembangunan sprituil yang merupakan wakil dari pemuda, cendikiawan, angkatan 45 dan seniman dan wartawan (Parlemen Indonesia – Efriza dan Syafuan Rozi – 2010).

            Keberadaan Golongan Karya pada tahun 1960 dalam DPRGR menjadi kekuatan mayoritas karena memiliki kemampuan membelah diri dalam sub-sub golongan sehingga mampu mendapatkan kursi mayoritas. Keberadaan Golongan Karya menyebabkan hubungan antara partai politik mulai menunjukan ketidakharmonisan, dimana hubungan militer yang berafiliasi ke golongan karya memimiliki hubungan yang renggang dan tercipta ketegangan politik antara militer dan PKI. 

              Karena memiliki kekuatan mayoritas di parlemen maka Golongan Karya dan dukungan dari beberapa partai politik  serta kekuatan Militer melakukan tekanan politik bagi berbagai kegiatan politik PKI dan Ormasnya. Mungkin saja akibat pertarungan politik antara militer dan PKI yang kemudian memuncak dengan adanya  pemberontakan G 30 S/PKI. 

               Pertarungan ideologi yang berakhir dengan pertumpahan darah dan pembantaian dalam peristiwa G 30 S/PKI inilah, akhirnya dengan kekuatan politik DPR mulai berseberangan dengan Presiden dimana pada tahun 1965 DPRGR dalam rapat-rapatnya mulai mengabaikan keberadaan PKI, karena posisi Presiden terjepit menghadapi militer dan rakyat  yang menuntut pembubaran PKI.

            Kekuatan militer dan rakyat yang melakukan tekanan politik terhadap presiden adalah juga memiliki perwakilan dalm sub golongan di bawah Golongan Karya. Tuntutan militer dan rakyat mulai gencar dilakukan pada tahun 1966 dengan melakukan demonstrasi ke DPR dengan nama tuntutan TRITURA  (Tiga Tuntutan Rakyat) yakni : Bersihkan Kabinet dan Pemerintahan dari oknum G 30 S/PKI, Bubarkan PKI dan Ormas-Ormasnya, Turunkan Harga.

             Akibat tuntutan dan tekanan yang masif  kekuatan militer  maka pembubaran PKI dilakukan dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). PKI dijadikan oraganisasi terlarang di seluruh NKRI atau diharamkan, sehingga PKI menjadi bangkrut karena pengikutnya diciduk hingga ke akar-akarnya. Pada masa orde baru melalui stigma bagi para anak cucu anggota PKI dan tidak diberikan kesempatan serta di pasung hak-haknya sebagai WNI terutama dalam perekrutan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).

            Kekuatan Golongan Karya semakin kuat karena sudah teruji dengan mematahkan keberadaan PKI hingga ke akar-akarnya. Pengalaman empiris yang ada sepertinya memberikan legitimasi bagi Golkar untuk mengendalikan politik dalam negara, Golkar menyadari bahwa ancaman-ancaman masih akan ada dengan keberadaan banyaknya partai-partai politik, Golkar memiliki pandangan yang berbeda bahwa selagi masih ada gerakan politik tentunya ideologi tidak akan pernah berakhir. 

               Sebagaimana pemikiran Aiken (1964), ide dan gagasan tentang akhir atau matinya ideologi adalah hal yang mustahil, karena ideologi melekat dalam aktivitas politik (Firmanzah – Mengelola Partai Politik – 2011). Pemikiran Aiken ini menjadi pertimbangan Golkar dengan sikap antisipatif, karena dalam dinamika partai politik ada perlawanan baru dari lawan politik. Sehingga partai berkuasa perlu melakukan penyerderhanaan Partai Politik agar dapat dengan mudah mengendalikan dan menaklukan lawan politik karena selagi masih berjubelnya partai politik tentu akan tercipta interaksi dan dinamika politik yang akan menguras energy dan korban.

            Kekuatan Orde Baru yang dikendalikan oleh kekuatan Golkar dengan dinakhodai oleh Soeharto  menganggap partai politik sebagai sumber pertikaian yang mengganggu stabilitas kehidupan bernegara maka perlu penyerderhaan terhadap partai – partai politik yang ada sehingga pada pemilu 1971 partai perserta pemilu terdiri dari; PNI 20 kursi, NU 58 kursi, Parmusi (Masyumi baru) 24 kursi, Golkar 236 kursi, Partai Katolik 3 kursi, PSII 10 kursi, Murba 0 kursi, Partai Kristen Indonesia 7 kursi, Perti 2 kursi, dan IPKI 0 kursi, (Efriza – Syafuan Rozi – Alfabeta – 2010).  

          Hasil perolehan suara ini tetap memberikan legitimasi yang kuat bagi Golkar karena memiliki suara mayoritas yang merupakan kumpulan golongan kekaryaan memberikan rekomendasi bagi pemerintahan orde baru untuk membangun kekuatan hegemoniknya di parlement untuk  mengendalikan pemerintahan melalui kebijakan-kebijakan maka ada kebijakan khusus bagi ABRI (militer) yang mendapatkan 75 kursi tanpa melalui pemilu serta tambahan 25 kursi untuk Golkar…… Bersambung…….

*Mahasiswa Ilmu Politik  Kekhususan Politik Indonesia – FISIP UI





               
           

Senin, 28 Mei 2012

"MANUSIA YANG BERWAJAH GANDA"

“MANUSIA YANG BERWAJAH GANDA”
*Yoyarib Mau

Wajah selalu beradu tatap tatkala bersua /
Tatapan selalu dibubuhi bumbu rasa /
Entah tatapan itu teraliri nafsu dengan kutub negative /
Tatapan pengharapan kasih yang menyelonong dan menikung /
Dengan tarikan positif demi sebuah keseimbangan //

Ciptaan dihadirkan untuk menatap sekelilingnya /
Reduksi kutub negative selalu dirasionalisasi /
Rasionalisasi selalu subyektif /
Terasa berat sebelah dan berpihak /
Padahal tatapan seharusnya memberi win-win solution //

Makna positif dari tatapan, memang bermakna ganda /
Signal akan terpancar saat adu pandang itu beradu /
Gayung pun bersambut karena momentum /
Tak akan terulang untuk kedua kalinya /
Maka eskalasi memacu hasrat untuk bermanuver //

Dari anjangsana layar elektronik pun dihalalkan /
Kolaborasi jari dan mata beradu cepat /
Miscal-sms, colekan-inbox, ping-bbm silih berganti tak henti /
Tertegun melihat manusia yang tersenyum tanpa sebab /
Akhirnya hanya bisa menarif nafas dan berkata “kecewa aku” //

*Puisi dibuat dan dibacakan pada Penutupan acara Konsultasi Nasional GMKI tanggal 28 Mey 2012 di Palu Sulawesi Tengah (Sekretaris Fungsional Bidang Aksi dan Pelayanan Pengurus Pusat GMKI Masa Bhakti 2010 – 2012)

"BERAWAL DARI EDEN BERAKHIR DENGAN EDEN"

“BERAWAL DARI EDEN BERAKHIR DENGAN EDAN ”
*Yoyarib Mau

 Taman Eden impian bagi Insan Pertiwi /
 Hangat dalam balutan fasilitas Spa dan Sauna /
kehangatan membuat Nazar dan Angelica mabuk kepayangan /
Deal antara ciptaan berbeda naluri pun terjadi /
Transaksi di bawah tangan menjadi Halal //

Bungkusan yang menarik, Ular pun disangka manusia /
Buntut barang haram membuat manusia berhadapan dengan Norma /
Sang Norma menuntut, Manusia berlari dan berkelik /
Tuduh menuduh pun tak terhindarkan /
Namun tetaplah upah dosa adalah maut //

Grafitasi Norma sangat kuat, menarik para buron yang berkelik /
Karena barang haram selalu memiliki kutub magnet yang berlawanan /
Gratifikasi haram tidak akan pernah luput dari krangkeng yang gratis /
Padahal krangkeng hanyalah untuk kurungan binatang /
Akibat vonis Norma menurunkan derajat kemanusiaan //

Taman Eden katanya pusat pancaran damai sejahtera /
Tapi kenyataannya sumber malapetaka /
Eden telah di hidupi endemik-endemik baru /
Spesies endemic dari golongan parasit yang disebut "wong edan" //

*Sekertaris Fungsional Bidang Aksi dan Pelayanan PP. GMKI 2010 – 2012 (Puisi = dibacakan pada pembukaan acara Konsultasi Nasional GMKI di Palu – Sulawesi Tengah pada tanggal 24 Mey 2012)

Sabtu, 10 Maret 2012

"INDONESIA ITU BUKAN SATU JENIS"

“INDONESIA BUKAN SATU JENIS”
(REFLEKSI UNTUK GKI YASMIN BOGOR & HKBP FILADELPHIA BEKASI)
*Yoyarib Mau

Indonesia bukan hasil sulapan versi Dedy Corbuzer…..
Indonesia bukan pula hasil magic ilmu hitam ala Sinetron TV…..
Indonesia bukan juga rekayasa mainan bongkar pasang…..
Indonesia asli Produk Karya Anak bangsa dalam balutan sejarah……

Terbentuk dengan nama Indonesia bukan karena satu jenis….
Nama Indonesia bukanlah dominasi mereka yang berkulit putih….
Tidaklah lengkap menjadi Indonesia jika tanpa mereka yang coklat dan hitam….
Proses menjadi Indonesia adalah karena putih, coklat dan hitam…..

Ibu pertiwi menjadi karena berbagai jenis…..
Ibu pertiwi hadir bukan karena sekedar banyak orang….
Berbagai jenis oranglah yang buat Ibu Pertiwi tersenyum semringah…..
aka Ibu Pertiwi bangga menjadi Indonesia…..

Fase kini… Keindonesiaan telah di bajak oleh yang berbaju warna putih…
Sedangkan mereka yang berbaju warna hitam dianggap keji dan najis……
Mereka lupa bahwa hidup itu hitam dan putih…….
Sang Fenomenal didaulat, Untuk mendudukan hitam dan putih dalam kesetaraan….
Dirinya terdiam dan membisu, namun bukan gayung bersambut menuju kebekuan dalam raga……

(*Sekretaris Bidang Aksi dan Pelayanan Pengurus Pusat GMKI)

Senin, 13 Februari 2012

"PARTAI POLITIK PENGHASIL SWING LEADER"

“PARTAI POLITIK PENGHASIL SWING LEADER”
*Yoyarib Mau

Peranan partai politik dalam penentuan kandidat calon kepala daerah sangatlah menentukan, sebagaimana dalam penentuan calon walikota dan wakil walikota Kota Kupang untuk berkompetisi dalam pilkada pada awal Mei 2012. Sejumlah paket yang sudah dipastikan akan ikut dalam pilkada adalah paket Jefri Riwu Kore – Kristo Blasin yang diusung oleh beberapa partai politik yang saat deklarasi yakni PDIP, Gerindra, PAN, dan PPD, sehari setelah deklarasi baru Partai Demokrat menyatakan dukungan ke paket Jeriko, paket berikut adalah Daniel Adoe – Daniel Hurek yang diusung oleh Partai Golkar yang kemungkinan didukung oleh PPP dan PDS, Yovita Mitak - Anton Natun diusung oleh Partai Hanura dengan didukung oleh PPRN dan PDP. Sedangkan Veki Lerik – Muhamad Wongso di dukung oleh Partai-partai non sheet. Sedangkan paket Salam (Jonas Salean – Herman Man) telah menyerahkan dokumen dukungan KTP untuk maju dari jalur independen serta calon lainnya yang berupaya untuk turut serta dalam pesta pemilihan kepala daerah di Kota Kupang.

Proses penentuan partai politik untuk mengusung para kandidat sepertinya terjadi sebuah konspirasi besar dalam penentuan paket calon walikota dan wakil walikota di Kota Kupang, peta politik terlihat dengan jelas kehadiran dan peran partai politik di NTT terbangun dalam konteks primordialisme kedaerahan serta kelompok. Pemikiran ini kemudian tercermin dalam kepemimpinan yang telah terkonstruksi dalam sejumlah tubuh partai politik di NTT, membedah PDIP dengan dikendalikan oleh kelompok Flores dimana Frans Leburaya sebagai Ketua DPD I PDIP NTT, sehingga terlihat bahwa kekuatan DPD I PDIP mengendalikan DPD II Kota Kupang dengan memberikan kesempatan bagi siapa untuk boleh mendaftar melalui pintu PDIP tetapi Calon Wakil Walikota telah di patok mati yakni Kristo Blasin yang adalah orang kepercayaan Frans Leburaya.

Di tubuh Partai Gerindra sepertinya partainya orang Timor, pasca kematian Ketua DPD I Partai Gerindra Libret Foenay yang kemudian di gantikan oleh Esthon Foenay terlihat bahwa kekuatan partai ini sepertinya ingin meraup suara dari komunitas orang Timor bahkan ketua DPD II Kota Kupang adalah orang Timor yakni Hengki Benu, di partai lain yakni PAN NTT sendiri ada sebuah kecenderungan bahwa partai ini membangun basis politiknya pada warga Indonesia keturunan Timor Leste hal ini dikarenakan Ketua dan Sekretaris DPW PAN NTT adalah keturunan Timor Leste.

Partai Golkar NTT memiliki kecenderungan dikendalikan oleh orang Rote, dimana pimpinan DPD I adalah Ibrahim Medah dan Ketua DPD II Kota Kupang adalah Walikota Incumbent Daniel Adoe yang nota bene adalah orang Rote. Sedangkan Partai Demokrat NTT yang dalam sejarah pembentukannya jelang tahun 2004 di NTT di lakukan oleh salah seorang tokoh Sabu sehingga menghasilkan dua anggota DPR RI yang nota bene orang Sabu sehingga memberikan indikasi bahwa partai ini masih dikendalaikan oleh orang Sabu tidak saja itu tetapi walau Ketua DPD I Partai Demokrat NTT aalah Johni Kaunang tetapi Sekjend DPD I Partai Demokrat tetap orang sabu Jonatan Kana.

Pemaparan anatomi kekuatan partai politik di NTT diatas seyogianya ingin menggambarkan bahwa kondisi politik di Kota Kupang menjelang Pilkada ini sedang terjebak dengan tarik – menarik kepentingan politik berada di level Gubernur dan sehingga struktur pimpinan partai di tingkat DPD I yang nota bene memiliki kekuatan politik diatas DPD II Kota/Kabupaten.

Sehingga logika yang ingin dimunculkan oleh kekuatan DPD I yang nota bene secara structural ada diatas DPD II, maka DPD II harus tunduk atas kebijakan pimpinan partai secara structural lebih tinggi. Jika kekuatan structural yang dikuasai secara etnies dan kelompok ini yang menentukan kepemimpinan dalam pesta dermokrasi di level lokal atau daerah, bagaiman peran partai politik dalam era demokratis memainkan perannya ?

Firmanzah menegasakan bahwa ideology dan program partai-partai peserta pemilu sehingga betapa pentingnya peran dan kedudukan ideology dalam sistem piolitik di Indonesia, sehingga masing-masing partai politik perlu memikirkan strategi untuk memperkuat identitas mereka. Identitas ini berperan penting sekali dalam era kompetisi. Adanya identitas politik yang tegas akan semakin memudahkan para pemilih untuk mengidentifikasi keberpihakan dalam isu politik suatu partai dan kebijakan publik yang akan dibuatnya (Firmanzah – 2011 – Obor)

Kesalahan terbesar yang di bangun atau dikonstruksi oleh politik lokal di NTT adalah membangun identias politik berdasarkan suku atau komunitas, hal inilah yang menjadi persoalan dalam politik di NTT. padahal identitas yang di maksud adalah semisal metode atau tujuan akhir yang ingin di capai atau diperjuangkan oleh partai politik yakni dalam sejarah bahwa dua ideology besar yang menjadi identitas partai-partai politik yakni ideology sosialis yakni masyarakat dengan kesejahteraan yang merata, sedangkan ideology kapitalis yakni ingin menciptakan kemakmuran dan kekayaan yang sebesar-besarnya atau ingin meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara itu ada juga ideology agama yang ingin memperjuangkan nilai-nilai agama tertentu dalam konstitusi bernegara.

Kenyataan dalam mengusung kandidat dalam kompetisi pesta demokrasi di tingkat Kota Kupang, partai-partai politik di level nasional memngempanyekan program mereka berdasarkan pemetaan ideology yakni sosialis-kerakyatan, kapitalis, dan juga agamais tetapi di tingkat lokal, ideology – ideology tersebut hanyalah aksesoris demokrasi untuk menghiasi buku-buku panduan kaderisasi partai politik. Bagaimana mungkin keberadaan Partai Democrat yang memiliki kecenderungan kapitalis dimana kebijakan negara dalam pemerintahan SBY melakukan import berbagai bahan pangan semisal Ikan, Kentang, Garam dan bahan pangan lainnya, dapat berkoalisi dengan PDIP dan Gerindra yang berkoar-koar dengan ekonomi kerakyatan yakni menolak import pangan dan mendorong konsumsi pangan lokal. Pada paket lain dimana PDS dapat berkoalisi bersama PPP untuk mengusung Daniel Adoe padahal kedua partai ini memiliki kutub politik yang sangat berbeda.

Penerapan ideologi politik sebagai identitas politik pada tingkatan lokal di NTT khususnya dalam Pilkada Kota Kupang membangun sebuah identitas politik yang tidak sesuai dengan ideologi politik pada tingkatan partai level nasional tetapi lebih cenderung membangun sebuah identitas poltik yang primordial sehingga dalam penetapan pasangan calon kandidat pun melakukan pertimbangan suku atau identitas primordial, seperti yang terlihat dalam paket-paket yang akan bertarung ada paket Rote-Flores, Sabu – Flores, Flores – Timor dan sebaginya. Sehingga dalam penetapan calon dan Gerindra mengurung niatnya mencalonkan calon walikota yang seyogianya sudah menjadi hak Ketua DPD II Gerindra Kota Kupang Hengki Benu, hal inilah yang menjadi pemicu bagi ormas Persehatian Orang Timor untuk menarik dukungan politiknya dari kempimpinan Frans Leburaya dan Esthon Foenay, karena Atoin Meto (Orang Timor) merasa di abaikan oleh kedua petinggi pimpinan partai di NTT ini.

Penggunaan identitas politik yang primordial seperti ini akan menghasilkan kualitas demokrasi serta kepemimpinan yang mengambang (Swing Leader) karena pertimbangan etnies, kelompok dan kepentingan komunitas yang menjadi pertimbangan, partai politik hanya berorientasi pada kerja-kerja jangka pendek, tidak menjalankan program kerja yang merupakan perjuangan dari ideologi partai politik yang ada. Model identitas politik sebagai ideologi politik di NTT ini membuat kepemimpinan di NTT dapat diukur dari berapa besar material dan harta yang dimiliki oleh sesorang yang berasal dari komunitas petinggi pengurus partai tersebut, untuk dapat diajukan sebagai kandidat calon kepala daerah.

Model kepemimpinan seperti ini yang dikembangkan dalam setiap Pilkada di NTT maka dukungan politik yang diberikan berdasarkan oleh komunitas akan terbangun sebuah consensus “balas jasa” yakni sejumlah jabatan dan alokasi penerimaan PNS harus di berikan kepada komunitas dan suku tertentu, sehingga kepemimpinan dalam masa tertentu hanya akan dikendalikan oleh suku dan komunitas tertentu, Modus kepemimpinan ini akan menjadi sebuah trend balas dendam dalam kepemimpinan berikutnya.

Idealnya partai politik menjadi aset terpenting dalam mewujudkan demokratisasi untuk melahirkan perbaikan kepemimpinan di level lokal maupun di level nasional namun jika sudah di bangun di level paling bawah dengan model kepemimpinan yang primordial maka kepemimpinan akan mengambang dan menjadi liabilitas bagi kemajuan bangsa.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
.

Rabu, 08 Februari 2012

"USUR TAK BERARTI HARUS MATI"

“USUR TAK BERARTI HARUS MATI”
(DIES NATALIS GMKI KE 62)
*Yoyarib Mau

Sudah Tua……. Tua sudah….. Renta raga kami /
Namun Tegap langkah kaki kami /
Tangan kami memegang pemantik /
Memantulkan percikan cahaya /
Menerangi lorong bagi sang Nasionalisme//

Tertatih menyusuri alur gelombang /
Gelombang ganas yang namanya kolonialisme /
Dengan jurus Christelijke Studenten Vereeniging /
Hempasan Gelombang dapat ditaklukan /
Menghentar bahtera Oikoumenisme //

Ujung lorong bagi tahta Nasionalisme /
Di persempit oleh para exstrimis berbaju warna putih /
Menyulitkan bahtera Oikoumenisme /
Membuang Jangkar, menautkan saung /
Menabur benih “Syallom” di Pantai Persada Nusantara //

Semilir angin yang meniup layar Bahtera, menuju pelabuhan NKRI /
Kami pun bangkit berjibaku mendayung bahtera /
Tanpa nutrisi salmon, teri piranha, bukan sari pati apel Malang dan apel Wasington /
Bukan pula senyuman maut malaikat betina yang terkutuk itu /
Tetapi Gelora yang tak pernah usang walau telah usur terus membakar /
Dalam panji : UT OMNES UNUM SINT //

*Sekretaris Fungsional Aksi dan Pelayanan
Pengurus Pusat GMKI Masa Bhakti 2010 - 2012

Jumat, 03 Februari 2012

“KETIKA JAKARTA BERUJAR”

“KETIKA JAKARTA BERUJAR”
*Yoyarib Mau

Indonesia tana air gue…. kata orang Jakarte /
Indonesia tana air eloe…. apa kata dunia nanti /
Indonesia tana Jawa… (terkekeh) he..he…...
kan aturan tidak tertulis harus orang Jawa /
Mungkin Indonesia hanyalah dari Jl. Sabang sampai Jl. Merauke //

Indonesia hanyalah mimpi bagi mereka yang ada di Ujung Kulon /
Indonesia telah berubah bukan lagi Ujung Pandang, yah….telah berubah /
Indonesia tak di pahami di Ujung Perbatasan Malaysia /
Indonesia akan mutlak di Ujung Pucuk senjata
ampuh dengan peluru “NKRI harga mati” //

Akulah Indonesia ketika Apel Malang jadi makanan ku /
Akulah Indonesia andai bisa bermimpi menyantap Apel Washington /
Indonesia banget… disaat dapat menjinjing laptop Apple /
Indonesia jugakah ? jika terpaksa mencuri sandal untuk makan….
Jawab Jakarta : itu DL (derita loe) //

Jakarta berkata “ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang” /
Jakarta semua ada uang, hukum rimba pun berlaku /
Wanita Terbaik Negeri bernama Malaikat-pun kemalaikatannya di jual karena uang /
Jika demikian Apa nasib anak negeri yang bernama Injil //

Sekretaris Fungsional Bidang Aksi dan Pelayanan
Pengurus Pusat GMKI Masa Bhakti 2010 - 2012

“SMD3T KERDILKAN OTONOMI DAERAH”

“SMD3T KERDILKAN OTONOMI DAERAH”
*Yoyarib Mau

Program SMD3T (Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang ditelurkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional adalah sebuah ide untuk menjawab apa yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa namun tidak serta merta ide tersebut harus di sepakati secara mutlak karena ini kebijakan menteri.

Kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan (Kemendiknasbud) mengirim 2.700 sarjana pendidikan untuk mengajar di pulau tertinggal dan terluar. 339 di antaranya merupakan sarjana pendidikan asal Sulsel (beta.fajar.co.id). pemerintah pusat dalam hal ini Kemendiknasbud berencana menempatkan 703 guru kontrak di Nusa Tenggara Timur, kebijakan penempatan guru kontrak dari luar NTT inilah yang membuat hampir seluruh mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Kota Kupang gerah dengan kebijakan ini dan melakukan aksi protes.

Dari jumlah 703 guru kontrak untuk Nusa Tenggara Timur hampir semuanya berasal dari luar NTT, tarik menarik antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah mengenai program ini membuktikan ada kesalahan manajemen pemerintahan, anggota Komisi D yang membidangi masalah pendidikan, Antonius Timo menjelaskan, pihak kementerian terkesan tertutup dengan program ini. Pasalnya, terdapat dua versi penjelasan, yakni berbeda antara Mendikbud Moh. Nuh dan Wamendikbud Musliar Kasim. Menurut Mendikbud, kata Anton-sapaan Antonius Timo anggota Komisi DPRD NTT yang membidangi masalah pendidikan, anak-anak NTT juga mengikuti tes namun tidak lulus, padahal IPK minimal 2,75. Selain itu, Universitas Nusa Cendana (Undana) juga terlibat dalam tes tersebut. Sementara itu, menurut penjelasan Musliar, yang mengikuti tes tersebut hanya dari IKIP, bukan FKIP (Timor Exprees Jumat, 03 Feb 2012).

Pendapat petinggi negara patut di pertanyakan mengenai kebijakan negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, dilain pihak Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App, Sc, Ph.D mengakui tidak mengetahui proses perekrutan tenaga pendidik untuk program SMD3T, Ia mengatakan, Undana tidak diikutkan sebagai salah satu universitas dalam proses tersebut. Rektor Undana akan menyurati Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud agar Undana bisa menjadi salah satu universitas yang bisa melakukan perekrutan tenaga SM3T jika program itu masih ada.

Komunikasi antara lembaga dibawah kementrian saja tidak berjalan dengan baik apa lagi dengan pemerintahan daerah lebih tidak dihiraukan lagi, kondisi ini menyebabkan lahirnya pertanyaan, ada kepentingan apa dibalik program SMD3T, sehingga terkesan tidak transparan dan tertutup ?

Otonomi daerah hadir karena masa orde baru kekuasaan terpusat di Jakarta, pemda dan rakyat di daerah tidak punya ruang gerak karena semua serba ditentukan dari atas. Program SMD3T bagi NTT ini menunjukan bahwa kekuasaan kembali terpusat di Jakarta. UU Otonomi Daerah yakni UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5 ; Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ayat 6 ; Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Urusan di daerah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan daerah menurut prakarsa sendirti berdasarkan aspirasi masyarakat hanya ada beberapa hal saja yang diatur secara langsung oleh pusat meliputi; politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama yang menjadi domain pemerintah pusat. Sedangkan persoalan pendidikan tetap menjadi domain pemerintahan daerah dan bukan urusan pusat, berangkat dari pemahaman ini maka Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan telah salah melangkah dalam urusan pengembangan pendidikan didaerah dengan mendatangkan tenaga guru honorer secara langsung ke daerah terpencil, sedangkan pemerintah daerah dalam hal ini Provinsi tidak mengetahui akan program Kemendiknasbud, bahkan institusi terkait Universitas Negeri terbesar di NTT yakni UNDANA tidak ada koordinasi menyangkut program SMD3T ini.

Demokrasi Partisipatoris

Spirit otonomi daerah dalam bingkai sistem pemerintahan demokratis adalah pemerintahan partisipatoris, tujuan dari penerapan otonomi daerah lebih dititikberatkan pada pemberdayaan masyarakat yang merupakan prasyarat utama dalam mengimplementasi desentralisasi dan otonomi daerah. dimana pembangunan harus melibatkan partisipasi masyarakat, namun kenyataan yang ada pemerintah dalam hal ini Kemendiknasbud berjalan sendiri seolah-olah menunjukan dominasi pusat terhadap daerah dengan mematikan peran serta daerah dalam pembangunan bangsa.

Jika Kemendiknasbud menyadari akan penerapan otonomi daerah maka APBN untuk pengadaan guru honorer atau guru kontrak untuk daerah tertinggal yang dialokasikan dari APBN tidak serta merta di lakukan sendiri tetapi dapat di sinergikan dengan pemerintah daerah sebagai representasi masyarakat, bisa saja kurikulum dan kemajuan terknologi pendidikan yang tidak di kuasai oleh guru-guru lokal terutama guru-guru honorer di daerah dapat dilatih untuk memeliki kemampuan dana penguasaan teknologi pendidikan tersebut.

Selama ini persoalan tenaga pendidik yang tidak melakukan tugas di daerah tertinggal atau terluar karena faktor biaya hidup yang tidak memadai, apabila Kemendiknasbud memiliki niat baik dan tulus untuk kemajuan pembangunan pendidikan yang merata bagi seluruh insan di Republik Indonesia maka proses dalam pengejewantahan program kerja pun perlu mengikut sertakan masyarakat lokal. Realitas yang ada Kemendiknas menciptakan kesenjangan baru bahwa tenaga guru dari pulau Jawa dan kota besar lainnya lebih berkompeten.

Jika konsep berpikir dengan menciptakan disparitas kemampuan guru lokal dan guru yang didatangkan dari kota besar, hal ini menunjukan bahwa pemerintah tetap menginginkan kebodohan dan ketertinggalan menjadi bagian dari daerah tertinggal atau terluar sehingga tidak memberikan kesempatan bagi orang lokal untuk berperan keluar dari keadaan tersebut dan tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam semangat otonomi daerah.

Program SMD3T Abaikan Kearifan Lokal

Pendidikan di Indonesia di bentuk untuk menciptakan sebuah pemahaman yang terkensan sentralistik sebagaimana yang terjadi dengan standar kelulusan yang didasarkan pada hasil Ujian Nasional, dimana penyususan soal dilakukan di Pusat dan daerah hanya menjalankan saja. Keadaan ini menyebabkan banyak ketidaklulusan ada di daerah, kondisi ini yang kemudian mendorong Kemendiknasbud melahirkan ide SMD3T untuk sebuah penyeragaman.

Proses penyeragaman seperti ini terkesan didominasi oleh sebuah kultur dominan dari budaya tertentu yang dikenal dengan sebutan Triple-S (Selaras, Serasi, Seimbang) proses ideologisasi seperti ini mematikan kearifan lokal yang ada di daerah tersebut. Padahal UU 32 tahun 2004 pasal 22 memberikan ruang bagi pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah dengan melestarikan nilai sosial budaya.

Proses pelestarian nilai sosial budaya dapat dilakukan oleh institusi pendidikan tentunya yang mengoperasikannya adalah seorang guru, karena itu seorang guru perlu memahamai dan mengerti akan budaya dan karakter sosial masyarakat setempat sehingga proses implementasi kurikulum pendidikan harus diadaptasikan dengan kultur setempat. Pemahaman akaln kultur atau kearifan lokal yang merupakan tatanan nilai dan menjadi pedoman hidup yang dimiliki masing-masing kelompok masyarakat. Keberadaan kerarifan lokal ini dapat beguna untuk menjaga keseimbangan lingkungan sehingga pendidikan yang diajarkan pun harus mendukung atau disesuaikan dengan kearifan lokal, bagaimana mungkin seorang guru honorer yang didatangkan dari luar NTT dapat memahami kearifan lokal NTT.

Kebijakan kemendiknasbud merupakan sebuah kebijakan yang mengkerdilkan Otonomi Daerah sehingga menghadirkan apriori baru yang terkesan “top down” dan merupakan pesanan sponsor untuk mengecilkan nilai-nilai lokal dan sepertinya adanya muatan zat “nitron” yang lain yang dapat berkembang sebagai sebuah proses ideologisasi baru yang mengacu pada Triple – S (Selaras, Serasi, Seimbang) yang berlaku secara nasional.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Minggu, 22 Januari 2012

“MENAKAR JANJI PARPOL PADA NATAL PARTAI POLITIK DI KUPANG”

“MENAKAR JANJI PARPOL PADA NATAL PARTAI POLITIK DI KUPANG”
*Yoyarib Mau

Perayaan ini juga di lakukan mobilisasi masa sebanyak mungkin untuk menghadiri perayaan natal kedua partai ini, perayaan ini juga di hadiri oleh sejumlah petinggi partai dan menteri dari partai masing-masing. Pimpinan Nasional yakni Ketua Umum dari kedua partai Aburizal Bakrie dan Anas Urbaningrum juga hadir namun yang membedakan antara petinggi partai golkar yang hadir yakni jika para petinggi partai demokrat mengenakan pakaian dengan motif tenunan NTT sedangkan petinggi Golkar mengenakan pakian bebas yang kebanyakan nuansa kuningnya, dalam ibadah perayaan Anas Urbaningrum bersedia hadir dari permulaan ibadah natal hingga perayaan natal sedangkan Aburizal Bakrie hanya hadir pada saat perayaan sedangkan tidak mengikuti ibadah natalnya. Kedua pimpinan parpol nasional ini masing-masing memberi kata sambutan dalam perayaan tersebut.

Kata sambutan sekaligus pidato yang disampaikan oleh kedua petinggi partai politik ini dalam sambutannya Aburizal Bakrie menekankan “Berbahagialah kita bangsa Indonesia karena dikaruniakan oleh Tuhan sebagai bangsa yang mejemuk. Realitas tersebut harus kita syukuri, bukan kita pungkiri. Karenanya, sejak awal Partai GOLKAR menegaskan komitmen nyata dalam mewadahi realitas Keindonesiaan kita yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. The Founding Fathers kita sepakat, Indonesia bukan negara agama, melaikan Negara Pancasila.

Dalam Negara Pancasila, agama memiliki posisi dan kedudukan yang sangat penting, mendasar, dan istimewa. Pasal 29 UUD 1945 disebutkan : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Bahkan Dalam kesempatan tersebut Ical mengimbau agar sesama anak bangsa menjaga kedamaian dan hidup harmonis serta meminta semangat Natal yang mengajarkan damai dan cinta kasih diaktualisasikan dalam kehidupan.

Dilain kesempatan pada natal nasional Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengungkapkan dalam sambutan sekaligus pidatonya : Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum tidak henti-hentinya mengulangi pernyataan agar bangsa Indonesia bersungguh-sungguh membangun budaya pluralisme. Pernyataan tegas tentang pentingnya menegakkan pilar Bhineka Tunggal Ika kembali disampaikan Anas dalam Perayaan Natal Nasional Partai Demokrat di Kupang, Kamis 19 Januari 2012 malam. “Saya tegaskan pentingnya membangun budaya pluralisme di Indonesia. Kita majemuk, beragam tapi satu kesamaan dan cita-cita. Pluralitas harus diolah. Perbedaan adalah rahmad dan potensi membangun rasa kebangsaan yang kuat,” kata Anas. Anas kemudian menekankan tentang pentingnya bangsa Indonesia menghormati keragaman dan kemajemukan yang ada. Salah satu bentuk penghormatan pada keberagaman itu adalah kebebasan beragama.

Pernyataan tegas Anas ini mengundang aplaus meriah dari hadirin. “Kebebasan beragama bukan hanya dijamin konstitusi tapi harus diikhtiarkan agar ini (kebebasan beragama) terjadi di Indonesia. Tidak boleh ada ancaman kekerasan terhadap penjalan ibadah agama apa pun di Indonesia. Itu komitmen bangsa dan itu harus diikhtiarkan bersama. Kalau itu terwujud maka bangsa Indonesia punya landasan untuk bergerak lebih besar menjadi bangsa yang bermartabat. Komitmen itu hendaknya bisa ditunaikan dengan baik.

Kedua partai nasional ini dalam sambutannya seolah-olah menjamin akan kebebasan beragama harus di perjuangkan dan untuk mempertahankan Pancila dan UUD 1945 yang menjamin akan kebebasan beragama di tanah air Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah pidato setelah perayaan natal di Kupang hanyalah bualan belaka untuk membuai para tokoh agama dan hampir 6.000 warga (Golkar) dan 4.000 orang (Demokrat) yang hadir pada saat perayaan kedua partai besar tersebut ? sedangkan ketika partai-partai politik kembali ke Jakarta dan melihat apa yang di alami oleh GKI Yasmin apakah hanya cukup disampaikan di perayaan natal saja dan tidak membuktikannya secara konkrit ?

Menurut Firmanzah bahwa partai politik adalah dimensi yang kompleks. Untuk menganalisis ideologi politik dibutuhkan pendekatan yang komprehensif, dari isi orasi, figure yang ditonjolkan, misi dan dan visi partai, dan isu-isu politik yang ditawarkan kepada publik. Bahkan bukan hanya itu, ideologi partai politik pun dapat dicermati melalui hal-hal yang bersifat non-organisasional alias individual seperti cara berpakian, bahasa tubuh, dan karakter fungsionaris partai. Ideologi partai politik membutuhkan konsistensi diantara elemen-elemen penyusunannya. Ideologi partai menjadi baik dan kuat kalau ada konsistensi yang tinggi antara satu elemen dengan elemen lainnya (Firmanzah – Mengelola Partai Politik – Obor – 2011).

Dari orasi atau kata sambutan yang disampaikan dalam perayaan natal yang telah lalu, kedua pimpinan partai menekankan tentang kebangsaan yang menghargai kemajemukan dan pluralism, dan menekankan bahwa kebebasan beragama di jamin dalam konstitusi sehingga harus diwujudkan. Apa yang disampaikan oleh kedua petinggi partai yang sama-sama mengendalikan kekuasaan pemerintahan (koalisi) ini sepertinya ideal dan membuat hanyut seluruh hadirin yang hadir dalam perayaan tersebut mengenai euphoria keindonesiaan yang kita cita-citakan.

Selang beberapa hari perayaan ketika pimpinan dan seluruh pengurus pusat partai-partai ini kembali di Jakarta, pada minggu 22 Januari 2012 ketika warga GKI Yasmin yang melakukan ibadah minggunya, mereka kembali diusik untuk kesekian kalinya walau sudah ada kepututsan hukum tetap untuk beribadah di tempat ibadah mereka, kali ini kejadian bermula pada pukul 08.00, Minggu (22/1/2012), sekitar 100 warga melakukan aksi di Pertigaan Giant Yasmin. Setelah orasi, mereka bergerak ke salah satu rumah warga di Jalan Cemara Raya, Taman Yasmin. Mereka hendak membubarkan jemaat yang tengah beribadah di sana.

Kondisi yang terjadi ini seharusnya pasca orasi atau kata sambutan petinggi-petinggi partai dalam perayaan natal nasional di Kupang, seharusnya ditindak lanjuti dengan jaminan bagi warga gereja untuk beribadah dengan tenang, atau bahkan mendesak aparat pemerintah yang ada untuk memberikan jaminan bagi kebebasan beribadah atau membuktikan konsistensi partai politik yang tidak hanya berbicara tetapi hadir dan memberikan dukungan bagi GKI Yasmin. Di lapangan yang membuktikan diri untuk memperjuangkan kebebasan beribadah adalah Lily Wahid, anggota Komisi I DPR yang berasal dari PKB yang tidak merayakan natal secara nasional tetapi memiliki komitment kebangsaan.

Bukan hanya persoalan tersebut mengagendakan rapat gabungan dengan pemerintah.Namun, tiga kali jadwal rapat yang diatur DPR gagal lantaran pemerintah tak bisa hadir dengan berbagai alasan. Padahal pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintahan yang dijalankan oleh kedua partai besar ini. Dua partai politik ini menamakan diri mereka sebagai partai politik dengan ideology nasionalis – religious, tetapi mungkinkah ideologi ini hanyalah wacana belaka untuk membuai warga gereja di Kupang, yang memang hanya memahami persoalan kebangsaan sebatas bantuan berupa materi bagi daerah NTT saja dengan tanpa perlu memikirkan persoalan kebangsaan lain yakni kebebsan beribadah yang di pasung oleh negara sendiri (partai politik koalisi yang berkuasa).

Jika partai politik merasa bahwa nasionalisme menjadi perjuangan utama sebagaimana yang disampaikan pada kata sambutan atau pidato dalam perayaan tersebut maka konsistensi ideologi partai harus dibuktikan secara nyata bagi kehidupan beragama bukan hanya sekedar berwacana atau membual.

Kondisi ini membuktikan bahwa banyaknya pertanyaan warga NTT yang bertanya mengapa NTT menjadi pilihan bagi partai-partai nasional untuk melakukan natal, apakah karena mudah di buai ? sebagaimana pengalaman yang sama ketika janji Presiden SBY untuk menambah dana percepatan pembangunan NTT senilai Rp. 5,3 triliun saat peringatan Hari Pers Nasional pada 09-02-2011 yang lalu hingga kini tak jelas nasibnya.

Janji dari partai-partai politik ini tidak disadari oleh warga masyarakat karena mendapatkan pengaminan dari para tokoh gereja bahkan di pertegas dalam suara gembala, sebagaimana yang disampaikan oleh ketua Sinode Pdt. Robert Litelnoni bahwa: Golkar harus menjadi bintang yang terang bercahaya menerangi bangsa ini menuju kehidupan yang makmur dan sejahtera. Dia mengakui, Golkar telah berbuat banyak untuk NTT dalam segala bidang.

Namun, Golkar, kata Robert, juga harus konsentrasi untuk membantu mereka yang menjerit dan berteriak karena ketidakadilan. "Korupsi masih menggurita, hukum tidak lagi berpihak pada yang lemah dan masih adanya kesenjangan pembangunan Indonesia timur dan barat. Ini harus menjadi perjuangan Partai Golkar,"

Pengaminan yang telah di lakukan oleh tokoh gereja dengan suara gembalanya sepertinya dianggap angin lalu, suara itu ibarat menabur angin tidak memiliki makna magic dan tekanan yang diharapkan, mampu mengingatkan petinggi parpol untuk melakukan perwujudan ideologi partai yang sesungguhnya. Kenyataannya semua melakukan janji palsu dengan sejumlah seremoni yang menodai hari suci keagamaan, tak bisa di salahkan karena perayaan ini mendapat restu berupa suara gembala. Ataukah warga pasrah menerima semua bualan ini karena apa yang dilakukan oleh parpol maupun tokoh agama dengan suara gembala tidak pada tempatnya.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI