“DILEMA
POLITIK DAN HUKUM DI TAHUN 2013”
*Yoyarib
Mau
Wajah politik dan hukum dalam
perjalanan bangsa Indonesia selalu dijalankan dengan spirit demokrasi, Soekarno
dengan demokrasi terpimpin yang lebih menekankan kepemimpinan yang kuat tetapi mengabaikan
pembangunan ekonomi. Soeharto menjalankan Demokrasi Pancasila dengan dalih
meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh Orde
Lama, namun dalam perjalanan kepemimpinan Soeharto, demokrasi Pancasila
mengalami distorsi dimana peranan presiden yang semakin besar akibat dan lambat laun tercipta pemusatan
kekuasaan yang berlebihan ditangan presiden yang pada dasarnya mampu
menciptakan pembangunan ekonomi yang baik hingga Indonesia mampu mencapai
swasembada beras, akan tetapi di bidang politik Soeharto membentuk diri menjadi
penguasa mutlak dan tidak ada kekuatan lembaga atau institusi apapun yang mampu
mencegahnya sehingga melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power).
Akibat penyelewengan kekuasaan maka
kekuatan rakyat menyatu dan menggulingkan rezim Soeharto untuk sebuah tujuan
yakni reformasi sistem pemerintahan, yang dijalankan dengan demokrasi. Akan
tetapi tidak mampu memberikan proses demokratisasi yang ideal. Demokratisasi
yang diharapkan memberikan kebebasan politik bagi rakyat untuk berperan aktif
dengan tujuan menghadirkan sistem pemerintahan yang mensejahterakan rakyat.
Kondisi reformasi hari ini memberikan signal bahwa kinerja demokrasi dalam
peranannya menegakan hukum dan politik
belum mencapai yang diharapkan.
Atas nama demokrasi maka hadirlah
partai politik dan memainkan perannya dalam setiap proses demokratisasi yakni
pemilu presiden, pemilu legislatif, akan tetapi ketika terselamatkan menjadi
wakil rakyat yang terhormat mengkhianati rakyat, partai politik melakukan
koalisi kepartaian dengan partai politik yang tidak sejalan dengan ideologi
atau platform partai di saat melakukan kampanye kepada rakyat. Wakil Rakyat ketika
sudah terpilih merasa memiliki kekuasaan yang kuat sehingga membangun dinasti
politik keluarga (trah politik). Pemerintahan yang kong-kalikong antara
legislatif dan eksekutif serta melibatkan swasta dalam menggerogoti APBN dan
APBD dengan motif bahwa demi membiayai partai politik dalam demokrasi yang
didalamnya pemilihan langsung berbiaya tinggi.
Kondisi ini menghadirkan pertanyaan bagaimana demorkasi dipraktikan dan
bagaimana rakyat memberikan penilaian ? Kinerja Demokrasi yang dijalankan
pasca reformasi mengalami sebuah proses yang belum menjawab kebutuhan
demokrasi. kondisi demokrasi yang dijalankan saat ini pada tataran menjalankan
kedaulatan rakyat yang di terjemahkan dengan perolehan suara terbanyak atau
suara mayoritas.
Hendra Nurtjahjo memberikan sebuah
kesimpulan atas berbagai teori demokrasi mengandung tiga fenomena yakni
fenomena politik (kekuasaan), fenomena etika (ajaran moral) dan fenomena hukum
(Hendra Nurtjahjo – 2006). Ketiga hal ini seharusnya menjadi tiga alat ukur
dalam mengevaluasi bahkan kontrol dalam menjalankan demokrasi. Proses politik
berjalan tidak harus mengabaikan etika, dan ketika etika memberikan penilaian
terhadap proses politik yang salah maka hukum harus tegas dijalankan.
Dilema Politik
Kondisi Politik Indonesia saat ini
dapat dikatakan bahwa semua dapat diselesaikan dengan upaya transaksional,
sejujurnya semua proses aktifitas atau proses politik semua mengandung unsur
transaksional, saya beri contohnya : diplomasi juga adalah transaksi anda
ngasih apa saya kasih apa, termasuk juga di dalam DPR kita terjadi juga
transaksi-transaksi politik. Salah satu keberhasilan transaksional Politik
dalam perpolitikan di Indonesia adalah kasus Bank Century.
Pada prinsipnya tidak ada yang salah
pada proses transaksional yang dilakukan akan tetapi aksi transasksional itu
harus memenuhi asas-asas etika yakni apa yang baik dan buruk melalui
nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku umum. transaksi akan menjadi benar jika azas kebaikan
dijunjung tinggi. Dalam proses politik yang dijalankan melalui kinerja
demokrasi maka kebaikan yang diharapkan adalah keberpihakan pada rakyat, akan menjawab
kebutuhan dan mengakomodir aspirasi yang berkembang di tengah-tengah rakyat.
Proses politik harus dilakukan
secara terbuka dan diamati secara langsung oleh masyarakat, akan tetapi dalam
perjalanan politik Indonesia hingga akhir tahun semua kebijakan politik banyak
dilakukan di “bawah tangan” dan
mengabaikan nilai dan norma yang diharapkan sebagai alat kontrol. Politik
Indonesai mengarah pada nilai angka yang disepakati untuk semua proses
kesepakatan.
Proses transaksional yang diharapkan
mendatangkan kebaikan bagi keseluruhan rakyat dibajak oleh partai politik,
kedaulatan rakyat yang ada dalam prinsip demokrasi diterjemahkan bahwa telah diserahkan
kepada partai politik melalui wakil rakyat yang diusung, sehingga rakyat telah
kehilangan kedaulatan, kesejahteraan yang dimaksudkan bagi rakyatpun, diterjemahkan
menjadi kesejahteraan partai politik dimana uang rakyat digerogoti dari
APBN/APBD, melalui proses tender proyek yang di mark up sebelumnya. Pundi-pundi partai politik ini dianggap sebagai
titipan bagi rakyat yang akan di cairkan pada musim pemilu nanti.
Dilema Hukum
Etika sudah dilanggar dalam proses
politik, namun salah satu pintu terakhir agar demokrasi menjadi awet dan dapat
dinikmati oleh rakyat, seandainya hukum menjadi pintu terakhir bagi penegakan
politik, yang dijalankan dengan sistem demokrasi. Etika sudah memberikan signal
bahwa pelanggaran nilai dan norma dalam menjalankan demokrasi. Sehingga hukum
harus tegas dalam menegakan keputusan demi menjamin kualitas bagi demokrasi.
Pesimistis akan menjadi watak khas
rakyat Indonesia seperti ketidakpercayaan, skeptis dan sangsi akan keberadaan
demokrasi, apabila hukum tidak ditegakan. Hukum pada dirinya hadir untuk
mengawal proses politik yang menjalankannya dengan alat yang namanya demokrasi.
tetapi proses pengawalanpun memihak dan berat sebelah. Hukum memihak kepada
kekuatan politik atau penguasa yang menginginkan hukum itu berpihak kepada
mereka.
Tak asing bagi kita ketika vonis
hukum bagi para koruptor lebih ringan dibandingkan dengan seorang maling, para
koruptor mendapatkan fasilitas mewah di penjara. Proses hukum mengabaikan etika
dan memihak kepada politik kotor yang di mainkan oleh wakil rakyat. Dominasi
Hukum seharusnya kuat untuk membelah dan menentukan sikap yang tegas, tetapi
kenyataannya hukum ditunggangi oleh kepentingan politik untuk mengamankan
kepentingan kekuasaan menjadi alat pembenaran bagi korupsi dan kekerasan
(memakai terorisme dan penutupan gereja sebagai alat pengalihan isu korupsi).
Harapan politik masa depan kedepan
terletak pada bagaimana etika dijadikan alat kontrol bagi politik, politik
masih bermartabat apabila etika harus dijadikan alat kontrol utama. Keberadaan
etika membuat politik itu otonom dengan kekuatan kekuasaan yang beraliran
ekonomi materialis (dimana kekuasaan hanya berorientasi pada pengumpulan
keuntungan), akan tetapi ketika etika tidak lagi dijadikan sebagai alat kontrol
maka kecenderungan politik untuk berkompromi dengan hukum sangat terbuka lebar.
Tahun 2013 adalah tolak ukur bagi
arah politik Indonesia dalam pemilu 2014 nanti. Politik Indonesia dengan
memilih alatnya demokrasi bertujuan mensejahterakan rakyat. Wajah demokrasi
yang bertujuan serbagai alat untuk mensejahterakan rakyat, akan tercermin dari
keberadaan partai politik yang memiliki wakilnya ada di parlemen. Perilaku
mereka harus mampu menjamin etika dan tidak memanfaatkan keberadaannya sebagai wakil
rakyat bukti representatif kedaulatan rakyat dalam mengendalikan kedaulatan
hukum.
Suram dan cerahnya politik Indonesia
terletak pada patuh perilaku politik pada etika dan hukum. Etika dan hukum
menjadi alat penjamin bagi arah politik yang cerah. Rakyat menjadikan etika
dalam menilai politik, sehingga rekomendasi rakyat harus ditanggapi ketika
aktifitas politik melanggar etika maka proses hukum harus segera dilakukan.
Suramnya Politik Indonesia apabila rakyat dan politisi, sama-sama mengabaikan
etika, dengan lebih memilih berapa jumlah angka yang disepakati dalam setiap
proses politik. Maka mimpi bangsa Indonesia akan kehadiran demokrasi yang
mensejahterakan hanyalah pepesan kosong, sehingga tidak dapat disalahkan ketika
sekelompok kekuatan bangkit dan mendorong adanya revolusi yang radikal
melampaui reformasi yang belum tuntas.
*Pengamat
Politik Muda NTT