“GMIT TERSERET DALAM PUSARAN
POLITIK PRAKTIS”
*Yoyarib Mau
Majelis
Sinode Periode 2011 -2015, kepemimpinan Pdt. Robert Litelnoni ada beberapa
pernyataan politis yang dianggap kontroversial dan menuai perdebatan. Pernyataan
pertama, dilakukan pada saat putaran ke - 2 (dua) Pilkada Kota Kupang 27 Juni
2012 , pernyataan dilakukan pada tanggal 25 Mei 2012 usai mengadakan pertemuan
dengan paket Salam (Jonas Saelan dan Herman Man) di kantor Sinode GMIT dirinya
menyatakan dukungannya dan mendoakan paket Salam. Pernyataan kedua, dilakukan
pada 05 Agustus 2013 di halaman gedung Sinode GMIT yang memberikan apresiasi
atas perjuangan para wakil rakyat asal NTT di Senayan terutama Setya Novanto,
Charles Mesang dan Herman Hery, juga Paul Liyanto. Apresiasi ini diberikan oleh
Pdt. Robert Litelnoni lantaran para
wakil rakyat itu telah berjuang di DPR RI sehingga ada DIPA Kementerian Agama
yang dialokasikan dana sebesar Rp. 3.5 miliar untuk pembangunan GMIT Center.
Dua
sikap politik yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi GMIT, sebagai salah satu
Gereja terbesar jumlah jemaatnya di daratan Timor, Rote, Sabu, Alor, dan
sebagian Jemaatnya di Flores dan Sumbawa. Sikap politiknya melakukan dukungan
dan memberikan apresiasi terhadap paket calon tertentu, juga memberikan
apresiasi kepada individu tertentu. Dukungan dan apresiasi ini jelas mengarah
kepada pribadi tertentu tanpa memberikan dukungan atau apresiasi secara
menyeluruh kepada semua calon atau semua politisi yang jugaturut serta dan
memiliki andil dalam proses politik yang ada. Pernyataan Politik yang dilakukan
oleh Ketua Sinode dilakukan dalam kapasitas sebagai pemimpin gereja dan bukan
secara pribadi karena dilakukan dalam kapasitas sebagai pemimpin gereja dan
dalam lingkungan gereja.
Proses
dukungan dan apresiasi dengan penyebutan nama atau dukungan kepada paket
tertentu, pemimpin gereja telah melakukan sosialisasi politik atau isyarat
politik bagi warga gereja mengenai paket atau nama-nama yang disebutkan diatas.
Gerakan politik dukung mendukung dan
memberikan apresiasi terhadap politisi dalam tubuh GMIT dalam perjalanan
sejarah GMIT kemungkinan dilakukan oleh Majelis Sinode Periode 2011 – 2015,
keberanian ini dilatarbelakangi oleh adanya bidang politik dalam struktur
kepengurusan Sinode GMIT, dan juga adanya beberapa politisi yang ada dalam
struktur kepengurusan seperti Ayub Titueki , Ince Sayuna, Sofia Malelak de
Haan, dan Paul Liyanto.
Kondisi
ini kemudian menghadirkan pertanyaan bahwa apakah
gereja sudah seharusnya berada dalam tataran politik praktis ? keberadaan gereja dalam era demokrasi dimana
mereka yang adalah politisi dilibatkan dalam struktur majelis sinode GMIT tentu
memiliki tujuan, yakni para politisi dapat mengakses uang (kebijakan APBN/APBN bagi
GMIT karena mereka sebagai pejabat pemerintah.
Penulisan
opini ini tentunya memiliki perspektif yang berbeda sebagai warga gereja
sebagaimana yang diungkapkan oleh Kenneth D. Wald bahwa anggota-anggota gereja
memperoleh lima keterampilan esensial dari kewarganegaraan aktif: (1). Keterampilan
sosial dalam mendengarkan, memediasi, dan memimpin (2). Kesadaran akan isu-isu
publik dari perspektif moral (3). Dorongan untuk bergabung dengan
kegiatan-kegiatan lain untuk perbaikan sipil dan masyarakat. (4). Sebuah
keyakinan bahwa ada sifat sakral kewajiban-kewajiban sosial yang melampaui kepentingan
diri-sendiri; dan (5). Penghargaan diri yang berasal dari tugas-tugas publik
(David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt – 1993)
Pemikiran
diatas jelas memberikan arahan bahwa apa yang dilakukan oleh Sinode GMIT perlu
diteropong baik sebagai warga gereja maupun sebagai kewarganegaraan aktif. Berdasarkan
keterampilan esensial kami apakah layakkah apresiasi itu di berikan kepada;
Setya Novanto, Herman Herry dan Charles Jonas Mesang. Ketiga nama ini dalam
isu-isu publik sangatlah fenomenal dalam track record mereka sebagaimana yang
dirilis oleh Indonesian Corruption Watch (ICW),
mereka diragukan komitmentnya terhadap pemberantasan korupsi, indikator
penilaian ICW adalah jika politisi pernah disebut dalam persidangan kasus
korupsi. Setya Novanto diduga terlibat dalam kasus korupsi PON Riau bahkan KPK
telah menyita sejumlah dokumen yang diduga terkait suap menyuap terkait
pelaksanaan PON Riau dari ruang kerja Setya Novanto di gedung DPR RI. Setya
Novanto disebut dalam pengakuan Muhamad Nazarudin yang terlibat dalam dugaan
korupsi e-KTP.
Herman
Hery adalah anggota komisi III DPR disebut oleh Muhamad Nazarudin terlibat
dalam pusaran kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korps Lalu Lintas Polri dan
telah diperiksa sebagai saksi simulator SIM di Korlantas Mabes Polri dan
dihadapan penyidik KPK. Charles J. Mesang pernah disebut sebagai salah satu
dari enam anggota DPR RI yang menerima uang dari Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigarasi oleh Kepala Biro Keuangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kasus proyek pengadaan alat
latihan kerja.
Isu-isu
publik ini dalam perspektif moral dikategorikan sebagai hal-hal yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang didengungkan oleh gereja, kehadiran
gereja dalam menyiapkan warga gereja untuk terlibat dalam penegakan moral serta
perlawanan terhadap korupsi demi perbaikan moral dan perilaku sipil.
Seyogiannya sifat sakral gereja tidak digadaikan dengan memberikan apresiasi
kepada politisi. Gereja harus berani menegakan nilai-nilai spiritual tanpa
dikompromikan.
Berdasarkan
pengamatan atas keterlibatan sejumlah politisi di DPR RI dalam berbagai kasus
korupsi, mereka yang melakukan korupsi adalah mereka yang bertanggung jawab
atas APBN karena posisi mereka yang berada dalam Badan Anggaran (banggar) dan Bendahara Partai politik.
Seperti Anggelina Sondakh, Muhamad Nazarudin, Zulkarnain Djabar, dan lainnya.
Sehingga ketiga nama yang disebutkan diatas dalam berbagai dugaan korupsi
mereka adalah juga anggota Banggar dan Bendahara partai politik yang memiliki
kuasa untuk menetapkan alokasi anggaran.
Ketika
GMIT mendapatkan alokasi dana dari pos DIPA kementerian Agama dimana menurut
Ketua Sinode GMIT bahwa ketiga orang ini yang berjuang untuk adanya dana ini,
kecenderungan pernyataan ini sangatlah politis dan mengabaikan unsur moral dan
nilai-nilai spritual, sebab masih ada anggota DPR RI asal NTT lainnya yang juga
ada dalam Banggar yakni Fary Djemy Francis, dan perlu diingat bahwa alokasi
DIPA Kementerian Agama ini tidak saja diberikan kepada GMIT semata tetapi
sejumlah lembaga keumatan dan agama lainnya semisal PGI (Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia) serta sinode gereja lainnya seperti GMIM, GPM dan
HKBP juga.
Pernyataan
politis dengan menyebut tiga nama ini, semoga bukan karena pernyataaan
terimaksih Ketua Sinode yang melampaui kepentingan sakral gereja dengan memanfaatkan
gereja untuk kepentingan diri sendiri karena melihat penyebutan ketiga nama
ini, berasal dari partai politik PDIP
dan Golkar yang adalah pendukung pasangan pemenang Pilkada Gubernur NTT. Gereja
harus meroposisi diri bahwa gereja ada dan hidup dalam negara (baca: politik)
tetapi tidak mengorbankan nilai-nilai moral dan spritualnya untuk mendapatkan
keuntungan, atau berkompromi dengan mengatakan “ambil uangnya jangn pilih
orangnya”. Gereja haruslah tegas dan memilih ya atau tidak.
*Mahasiswa Ilmu Politik –
FISIP - UI