“KEINDONESIAAN GMIT”
*Yoyarib Mau
Sidang Sinode Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) ke 33 di Baa
Kabupaten Rote Ndao, Provinsi NTT, sejak persiapanya hampir seluruh stakeholder
GMIT menaruh ekspektasi yang cukup besar agar acara pembukaan sidang sinode dibuka
secara resmi oleh Presiden Joko Widodo. Harapan ini tidak terwujud karena
kenyataannnya yang membuka acara sidang sinode dilakukan oleh Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan.
Dalam acara pembukaan ini diperkirakan kurang lebih 400 orang peserta Sidang Sinode
GMIT dari 44 klasis. Keberadaan GMIT dengan memiliki kurang lebih 2.000 jumlah
mata jemaat, dengan jumlah anggota
jemaat kurang lebih 1.000.000 jiwa.
Cikal bakal GMIT ada sejak kehadiran VOC pada
tahun 1614 ketika para pelayan rohani yang didatangkan VOC untuk para pegawai
VOC di Kupang, sekian tahun kemudian barulah GMIT berdiri sebagai organisasi mandiri pada 31
Oktober 1947, bergabung menjadi anggota PGI sejak 25 Mei 1950. Sejarah panjang keberadaan
GMIT hampir berimbang dengan usia kemerdekaan NKRI. Jalan panjang GMIT dalam
bingkai NKRI menghadirkan pertanyaan kritis, apakah keberadaan GMIT untuk Indonesia, atau sebaliknya apakah
keberadaan Indonesia untuk GMIT ?
pertanyaan diatas sepertinya didorong oleh ungkapan yang pernah dinyatakan
mantan Presiden AS John F. Kennedy yakni
“Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu
tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.”
Pernyataan Jhon F. Kennedy ini menarik untuk
menjadi bahan panduan dalam tulisan ini, harapan awal agar Jokowi membuka acara
Sidang Sinode GMIT tentu dengan berbagai pertimbangan karena kegiatan ini
dilakukan di daerah perbatasan dimana Rote sebagai salah satu pulau terluar
yang berbatasan dengan Australia, mungkin saja pertimbangan kedua adalah konon
GMIT sebagai organisasi gereja yang memiliki anggota jemaat terbanyak kedua
setelah HKBP, alasan-alasaan ini kemudian menguatkan dugaaan bahwa Jokowi akan
membuka Sidang Raya Sinode GMIT. Kenyataannya Luhut Binsar Panjaitan
Menkopolkam yang hadir dan membuka acara yang
dalam kata sambutannya mengingatkan para pimpinan Gereja untuk tidak boleh ada
ambisi-ambisi politik yang dimasukan dalam Gereja. Gereja itu perannya bukan untuk berpolitik,
gereja adalah perpanjangan tangan Tuhan, dan harus membawa persatuan yang lurus
dan utuh untuk umatnya sehingga jemaatnya menjadi lentera pembangunan dimana
saja di seluruh pelosok Indonesia.
Kata sambutan menkopolkam ini tentu menghadirkan
perdebatan-perdebatan ringan bagi peserta sidang raya dan warga GMIT soal
keterlibatan GMIT yang adalah organisasi gereja dalam politik, tentu ada
kelompok yang sepakat dan juga ada kelompok yang tidak sepakat soal keterlibatan
gereja dalam politik. Kenyataan yang terjadi GMIT tidak dapat menghindar dari
politik bahkan kadang terseret dalam pusaran politik, ketua panitia sidang
sinode GMIT XXXIII adalah Ibrahim Agustinus Medah yang nota bene adalah seorang
politisi karena jabatan yang melekat pada diri yakni sebagai Ketua DPD I Partai
Golkar NTT, juga politisi senayan sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD
– RI). Dapat juga dilihat dari daftar penyumbang kegiatan ini, tentu jika di
publis oleh panitia pasti terlihat dari sejumlah politisi baik di pusat dan
daerah, tidak saja itu tetapi sejumlah politisi hadir dalam acara pembukaan ini
menunjukan bahwa gereja tidak bisa mengelak dari politik.
Kepemimpinan GMIT
Untuk Bangsa
Problematika gereja dan politik dalam menangggapi pernyataan
Luhut Binsar Panjaitan dalam konteks keberadaan GMIT saat ini, maka hipotesis
sementarannya adalah GMIT berada dalam pusaran politik, Luhut menohok pada
pimpinan gereja, karena cawan anggur itu berada dalam tangan pemimpin gereja,
apakah pemimpin gereja hendak meminum cawan yang berisi anggur itu kemudian
berkata “janganlah cawan ini lalu daripada ku”, atau membagikan cawan anggur itu ke seloki-seloki
jemaat untuk kemudian mengajak jemaat untuk meminum bersama.
Salah satu agenda penting dalam Sidang Raya GMIT adalah suksesi
kepemimpinan, yakni pemilihan Ketua Umum Sinode GMIT sebagai pengambil
kebijakan tertinggi dalam struktur organisasi GMIT. Keberadaan negara dalam hal ini pemerintahan
Jokowi memiliki peranan untuk menciptakan kenyamanan dan kepastian yang
kemudian berujung pada kesejahteraan rakyat. Keberadaan pemimpin gereja dalam
hal ini Ketua Sinode pun demikian yakni
bagaimana menghadirkan Syallom Allah atau damai sejahtera Allah kepada
jemaat GMIT melalui pelayanan marturia, diakonia, koinonia sehingga jemaat GMIT
menikmati sejatinya damai sejahtera Allah di bumi.
Peran gereja dan negara tentu bersinggungan dalam politik,
karena sama-sama hendak mendatangkan “damai sejahtera”. Kepemimpinan GMIT dalam
politik tentu bukan untuk memberikan dukungan politik secara pragmatis dimana
memberikan balas jasa dukungan kepada para penyumbang atau mereka yang berperan
aktif dalam suksesnya acara, bahkan balas budi politik dukungan atas pemimpin
GMIT terpilih dalam setiap event politik (pilpres, pileg, dan pilkada). Namun pergumulan kepemimpinan GMIT adalah
bagaimana menghadirkan pemimpin GMIT yang mampu mendatangkan kesejahteraan bagi
warga GMIT secara khusus dalam pelayanan gerejawi (marturia, diakonia dan
koinonia), bahkan juga sumbangsi GMIT bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,
sebagai bentuk nyata keindonesiaan GMIT.
Dalam rentang waktu sejarah GMIT di bumi pertiwi, diharapkan
GMIT mampu menghadirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki pemikiran-pemikiran
teologis yang dapat dijadikan sumbangsi bagi keindonesiaan. Dalam catatan
gereja-gereja di Indonesia salah satu tokoh GMIT yang pemikirannya masih
menjadi rekomendasi dalam bidang pastoral, Gereja-gereja di tanah air selalu
saja merujuk pada pemikiran Dr. J. L. Ch. Abineno yang adalah mantan Ketua Umum
Sinode GMIT empat periode yakni 1950 – 1952, 1952 – 1953, 1956 – 1958, 1958 –
1960, dan tahun 1960-1980 Ketua Umum
Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang kini kita kenal dengan sebutan Persekutuan
Gereja-gereje di Indonesia (PGI).
Pasca kepemimpinan Abineno, GMIT sepertinya
tidak lagi mempersiapkan diri untuk menghadirkan tokoh-tokoh yang dapat
memberikan sumbangsi pemikiran dan kepemimpinan bagi Indonesia, sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh Abineno. Kepemimpinan dalam struktur gereja GMIT
adalah sebuah sarana untuk menyiapkan dan mendorong pemimpin gereja yang dapat
berperan dalam pentas nasional. Karena keberadaan sebagai pucuk pimpinan gereja
akan diukur keberhasilannya dalam memimpin organisasi gerejawi. Sehingga
sumbangsi GMIT jelas guna menjawab pertanyaan, apakah keberadaan GMIT untuk Indonesia, atau sebaliknya
apakah keberadaan Indonesia untuk GMIT, terjawab dari sukses kepemimpinan yang
di hasilkan dari sidang sinode ini, sehingga terlihat sumbangsi GMIT bagi Indonesia
adalah menghadirkan pemimpin gereja yang memiliki kemampuan berpikir serta
mampu menghadirkan pemikiran teologis yang dapat dijadikan etika moral dan
spritualisme masyarakat diantara anak bangsa dalam satu tujuan bersama yakni
menciptakan kesejahteraan manusia dan alam ciptaan.
Kemampuan inilah yang kemudian membuat negara
Indonesia dalam hal ini pemerintah merasa utang budi atas GMIT, karena mampu
menghadirkan pemimpin agama yang membawa kedamaian bagi semua insan melalui
alam berpikirnya, maka harapan kehadiran
Presiden dalam membuka acara sidang sinode GMIT dapat terwujud dengan
sendirinya.
*Pemerhati Sosial – Politik (tulisan ini akan dipublis pada koran harian Timor Express - Group Jawa Pos di Kupang -NTT