Senin, 24 Mei 2010

"OUTSOURCING MODEL KOLONIALISME BARU"

“OUTSOURCING MODEL KOLONIALISME BARU”
*Yoyarib Mau
Outsourcing merupakan hits perjuangan para buruh yang terus dinyanyikan dalam berbagai kesempatan di negeri ini. Sejak Indonesia menyatakan diri menjadi bagian dari pasar bebas (free market), nyanyian ini menjadi nyanyian paduan suara dari setiap pekerja yang bergabung dalam serikat-serikat pekerja, atau organisasi buruh dari setiap perusahan di Indonesia.

Pada perayaan hari buruh 1 Mey 2010 (May Day) dalam pengamatan dan wawancara yang dilakukan di Bundaran Hotel Indonesia, salah satu tuntutan yang digemakan dalam aksi ini adalah outsourcing. Sejumlah organisasi yang terlibat dalam aksi May Day 2010 antara lain FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia), Serikat Pekerja Carefour, GESBUKI (Gerakan Serikat Buruh Inddonesia), FPBJ (Federasi Perjuangan Buruh Jakarta), KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) dan sejumlah organisasi mahasiswa, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok lainnya.

Dalam wawancara yang dilakukan dengan buruh dan pekerja lainya, topik yang menjadi tuntutan buruh yakni jaminan kesehatan, outsourcing dan revisi atas UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sony salah satu buruh yang tergabung dalam FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) sebagai buruh di PT. Alu Mas salah satu pabrik yang beoperasi di Tangerang berpendapat bahwa, “Outsourcing sangat merugikan pekerja pabrik sebab pekerja pabrik adalah pekerja jangka panjang” (Sony - PT. Alu Mas – Tangerang , Bundaran HI - 01 Mey 2010). Sedangkan salah satu pekerja Media yang turut di minta pendapatnya untuk keseimbangan pendapat pada aksi tersebut, mengatakan bahwa outsourcing dibutuhkan pada awal pertama seseorang bekerja tetapi kemudian hari seorang pekerja harus berkembang statusnya menjadi pegawai tetap (Dindi - TV One, Bundaran HI – Jakarta - 01 Mey 2010).

Pemikiran yang sama juga dilontarkan oleh sejumlah pekerja saat kunjungan observasi lapangan di PT. Bir Bintang – Indonesia, perusahaan yang berada di Indonesia sejak tahun 1929 dengan nama NV. Nederlanddashe Estabilished, dan pada tahun 1981 berubah nama menjadi PT.Multi Bintang Indonesia Tbk (go public) sebenarnya para pekerja di pabrik ini mendapatkan fasilitas, jaminan kesehatan yang memadai menurut, Eko yang sudah bekerja selama 10 tahun mengawali karier di perusahaan ini dengan mas kontrak selama 1 tahun kemudian di angkat menjadi pegawai tetap, dirinya menambahkan bahwa yang dikontrak atau para pekerja outsourcing di perusahaannya hanyalah mereka yang bekerja di pengepakan, dan para pengangkut barang (transportasi), (Eko - PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, Cengkareng - Tangerang 13 – April – 2010).

Salah satu pekerja di perusahaan Bir tersebut memberikan pendapat yang berbeda pula, lelaki yang bernama Ahmad ini sudah 15 tahun bekerja yang mengawali kariernya dengan sistim kontrak selama 6 bulan dan dua kali berturut-turut di kontrak, kemudian baru diangkat menjadi pekerja tetap. Menurutnya walau dirinya telah menjadi pekerja tetap, namun masih mempedulikan orang lain, Ahmad mengungkapkan, bagaimana dengan teman-temannya yang bekerja sebagai pekerja dengan sistem outsourcing/kontrak ? permasalahan masa depan menjadi taruhannya, jika hanya Rp. 20.000/per hari bagaimana untuk memenuhi kebutuhan hidup? Dan juga jaminan kesehatan serta hari tua atau pensiunannya? (Ahmad – PT. Multi Bintang Tbk, Cengkareng – Tangerang - 13 – April – 2010).

Sekelumit tuntutan dan harapan dari para pekerja namun permasalahan outsourcing yang dipaparkan diatas tidak hanya di alami oleh mereka, tetapi sejumlah pekerja yang mengalami persoalan ini dan mereka yang mengalami persoalan outsourcing adalah mereka yang masuk dalam kelompok pekerja berat seperti; satpam (satuan pengamanan), cleaning service.

Kondisi saat ini tidak terbatas pada pekerja berat tetapi mulai merambah pada pekerja intelektual dimana ada guru kontrak karena menumpuknya tenaga kerja Indonesia dan lapangan kerja yang terbatas. Kondisi ini sepertinya memaksa orang untuk menerima outsourcing, jika dibandingkan dengan negara maju para pengangguran atau mereka yang belum memiliki pekerjaan tetap mendapatkan jaminan sosial dan memiliki tabungan yang cukup hingga mendapatkan pekerjaan yang layak. Sedangkn di Indonesia pekerja tidak bisa tidak untuk bekerja, sebab jika tidak bekerja maka tidak dapat makan. Penolakan terhadap outsourcing menuai pro dan kontra sehingga perlu ada jalan keluar terbaik.

Menjadi persoalan krusial bagi penolakan outsourcing adalah dimasukannya sistem kontrak ini dalam Undang-Undang, sehingga secara hukum pelaksanaan outsorcing menjadi legal penerapannya. Undang-Undang yang mengatur tentang Outsourcing sudah dimulai dalam UU No. 13 Tahun 2001 tentang Tenaga Kerja namun istilah outsourcing tidk dijelaskan secara eksplisit namun istilah yang digunakan adalah “pekerjaan untuk waktu tertentu” sebagaimana dalam pasal 59 dikatakan :

1). Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.
c. pekerjaan yang bersifat musiman, atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
2). Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
3). Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui
4). Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun (http://korananakindonesia.wordpress.com).

Isi Undang-Undang (UU) diatas ini kemudian di revisi dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada pasal 64, secara tersurat memang disebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Pasal inilah yang kemudian secara tersirat ditafsirkan oleh sejumlah pengusaha sebagai lampu hijau untuk menjalankan sistem alih daya atau kontrak kerja secara outsourcing. Padahal dalam pasal 65 ayat 2 (dua) diatur bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan laint itu harus memenuhi syarat-syarat, yakni pekerjaan dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Pada pasal 66 ayat 1 (satu) juga diatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi (Koran Sinar Harapan, Selasa 02 Februari 2010).

Praktek pelaksanaan outsourcing tetap saja berjalan dengan penafsiran pengusaha dan tidak sesuai dengan harapan para pekerja/ buruh merasa dirugikan dan pengawasan pemerintah terhadap pengamalan UU ini teras rendah sekali. Pekerja hanya karena membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat melakukan protes karena takut di pecat dan kehilangan pekerjaan. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pemerintah masih mempertahankan pasal karet ini sehingga outsourcing masil di laku

Kemanusian yang beradil dan beradab

Masalah perbedaan kepentingan antara pekerja dan buruh sudah terjadi sejak sejak lama sehingga ada pemikiran bahwa pertarungan antar kelas akan terjadi sepanjang masa tak akan usai. Mengenai hak hidup layak dan mendapatkan upah diatur dalam ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) lembaga ini merupakan penjelasan dari UDHR atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusi) lembaga ini ada untuk menjelaskan hal-hal yang tidak ada dalam UDHR seperti; hak mendapatkan pekerjaan (pasal 6), hak mendapatkan lingkungan kerja yang nyaman (pasal 7), hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja (pasal 8), hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi (pasal 9), perlindungan atas keluarga, ibu, anak dan orang muda (pasal 10), hak atas standard hidup yang layak (pasal 11) dan hak atas standard kesehatan yang layak (pasal 12), (Andang L. Binawan , Hand Out Untuk Mahasiswa - Ektension Course Filsafat STF Driyakara, 04 Oktober 2004).

Penolakan atas outsourcing merupakan tuntutan atas pengabaian hak-hak yang diatur dalam perjanjian ekonomi yang merupakan hak azasi manusia. Sepertinya negara telah dikuasai oleh kapitalisme yang menurut Thomas Meyer bahwa, untuk mengubah masyarakat kapitalis menjadi sebuah masyarakat baru tahap demi tahap. Negara demokrasi dapat menghapuskan asas-asas kapitalis di tiap-tiap sektor dan menggantikannya dengan kondisi yang sesuai dengan standar sosialis. Unsur transformasi sosialis yang disebut-sebut oleh marxis itu adalah perundang-undangan untuk melindungi kaum buruh. Revolusi di dalam konteks ini berarti pembaharuan radikal masyarakat tetapi berlangsung secara damai diatas landasan demokratis dalam tahapan konstruktif yang dipertimbangkan masak-masak (Thomas Meyer, Sosialisme Demokratis dalam 36 Tesis, Friedrich Ebert Stiftung Jakarta – 1981).

Pergerakan buruh dalam aksi 01 Mey 2010 yang menuntut ditidakannya outsourcing merupakan tuntutan yang wajar karena sesuai dengan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Kondisi ketidaknyaman dalam bekerja, hak atas jaminan sosial, dan kesehatan dan bahkan standar hidup yang layak jika tidak didapatkan maka hal ini mengusik rasa keadilan.

Rawls berpandangan bahwa hak harus menjadi bagian dari teori keadilan sehingga Rawls merumuskan dua prinsip yakni; Pertama : setiap orang memiliki hak yang sama untuk menikmati seluas-luasnya sistem menyeluruh dari kebebasan dasar yang sama, yang sesuai dengan sistem kebebasan bagi semua. Kedua : Kesenjangan sosial dan ekonomi harus diatur dalam sedemikian rupa sehingga : (a). Menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kelompok termiskin dan (b). Melekat pada jabatan dan posisi pemerintahan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan prinsip kesempatan yang sama dan adil (Ian Shapiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, Freedom Institute – Yayasan Obor Indonesia).

Ian Saphiro menambahkan bahwa Rawls berpendapat bahwa pasar dikelola oleh negara untuk mencegah kesenjangan yang paling buruk, andaikan hukum dan pemerintah menjaga persaingan di pasar dengan efektif,sumber daya digunakan sebaik-baiknya, hak milik dan kekayaan tersebar luas melalui bentuk-bentuk pajak yang tepat, menyediakan tunjangan sosial minimum yang masuk akal. Andaikan juga ada kesempatan yang sama bagi semua orang untuk untuk mendapatkan berbagai kebebasan juga terjamin (Ian Shapir, Freedom Institute – Yayasan Obor Indonesia).

UUD - 1945

Peran negara di harapkan untuk membangun masyarakat adil sejahtera merupakan semangat dari pembukaan UUD 1945 yang kemudian di rumuskan dalam tujuan pembangunan nasional, kesejahteraan buruh merupakan tanggung jawab negara sehingga adanya istilah ”tripartit” yang melibatkan tiga aktor atau pelaku yakni pemerintah, manajemen dan buruh sebagaimana pemikiran Dunlop bahwa sistem hubungan industrial yang interdependen terdapat tiga pelaku utama, yaituh buruh, para manajer dan organisasi perwakilan mereka, bersama-sama dengan badan pemerintah tertentu, semuannya saling berinteraksi untuk menciptakan jaringan tertentu yang mengatur hubungan mereka di temapt kerja ketentun tersebut merupakan keluaran dari sistem itu sendiri (Cosmas Batubara, Hubungan Industrial, Sekolah Tinggi Manajemen PPM).

Kenyataannya yang terjadi hubungan tripartit ini hanya menguntungkan bagi pihak pemerintah dan pengusaha dan buruh tetap dirugikan hal ini di buktikan dengan adanya UU No. 13 Tahun 2003 Tentang ”Ketenagakerjaan” dimana sejumlah aksi demo dilakukan agar penghapusan sistem outsourcing yang diatur dalam pasal 56 hingga pasal 59 direvisi karena dalam prakteknya pekerjaan yang bersifat tetap bukan musiman atau pekerjaan yang merupakan pekerjaan inti dimasukan ke dalam perjanjian kerja waktu tertentu (oursource).

Pemerintah tidak memiliki sikap tegas dalam UU ini, karena pemerintah lebih memilih untuk memihak kepada kepentingan mempertahankan para investor dalam menanamkan modalnya guna pertumbuhan ekonomi bangsa. sedangkan para pengusah atau perusahaan ingin menekan biaya sekecil mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebesarnya atau sebisa mungkin perusahaan memberikan imbalan sekecil-kecilnya untuk menekan biaya produksi, namun yang dirugikan adalah pekerja/buruh. Pertentangan yang akan timbul yakni antara buruh dan pengusaha akibat dari perbedaan kepentingan tersebut mengakibatkan perusahaan kehabisan energi dan biaya untuk menyelesaikan masalah ini sehingga jalan keluarnya adalah dibutuhkan pihak ketiga untuk menyalurkan tenaga kerja. Pihak ketiga sejak awal telah melakukan tanda tangan kontrak dengan pekerja, sehingga ketika pekerja di perusahaan pekerja tidak memiliki raung untuk berdebat. Padahal Thomas Meyer dan Rawls menekankan bagaimana Pemerintah dalam menetapkan UU atau hukum seharusnya melindungi buruh dan juga memberikan rasa keadilan sehingga tidak tercipta kesenjangan.

Proses produk hukum yang dihasilkan oleh para legislatorpun sepertinya terjadi negosiasi antara legislatif dan perusahaan/pengusaha sehingga UU No. 13 Tahun 2003 tersebut terkesan ambigu, memberikan ruang bagi penafsiran yang berbeda. Setiap orang yang bekerja berhak untuk mendapatkan masa depan dari pekerjaan yang dijalaninya tidak didapatkan. Tidak saja itu tetapi setiap pekerja tidak ada pegangan hukum yang kuat untuk bekerja sebab sewaktu-waktu seseorang dapat di berhentikan berdasarkan rasa suka dan tidak suka.

Buruh/pekerja hanyalah komoditas yang dapat di eksploitasi untuk keuntungan sebesarnya hanya karena keterbatasan yang dimiliki buruh yakni takut kehilangan pekerjaan, buruh tidak bekutik hanya menjalaninya. Pemerintah yang diharapkan menciptakan stabilitas untuk menolong para buruh ternyata berkolusi dengan pihak perusahaan.

Penjajahan harus dihapuskan

Kehidupan buruh sepertinya sulit untuk mendapatkan kehidupan yang layak jika pemerintah tidak memiliki niat baik untuk memberikan jaminan keadilan bagi para pekerja/buruh karena status tidak jelas. Jika status pekerjaan tidak jelas bagaimana sesorang hendak mendapatkan jaminan masa depan. Apabila seorang pekerja hendak mengajukan kredit/pinjaman ke bank apa yang dapat di pakai sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman.

Perjuangan untuk mendapatkan hidup yang layak bagaikan perjuangan melawan koloni penjajah yang sedang menindas, ironisnya perjuangan ini bukan melawan musuh tetapi melawan pemerintah sendiri yang seharusnya bertanggung jawab dan memberikan jaminan masa depan bagi rakyatnya

Memanusiakan pekerja Indonesia sesuai dengan nilai-nilai keindonesian sudah seharusnya pemerintah melakukan pembenahan atas UU No. 13 Tahun 2003. jika pemerintah dalam negara sendiri tidak memiliki niat baik guna memperlakukan pekerja/buruh dalam negeri secara manusiawi dengan sejumlah jaminan sosial seperti masa tua, kesehatan, tunjangan hari raya dan lainnya. Jangan salahkan jika di luar negeri TKI/TKW tidah dihargai bahkan diperlakukan tidak manusiawi.

Padahal sebagai negara yang masuk dalam anggota PBB yang menjalankan sistem demokrasi sudah seharusnya menjalankan kovenan internasional yakni ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) seperti; hak mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan lingkungan kerja yang nyaman, hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja, hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi, perlindungan atas keluarga, ibu, anak dan orang muda, hak atas standard hidup yang layak dan hak atas standard kesehatan yang layak.

Walaupun tiap negara memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri dengan bebas mengejar kemajuan ekonomi tetapi tidak dengan menekan hak orang lain untuk mendapatkan keuntungan sebesarnya. dengan demikian maka dengan sendirinya outsourcing harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan apa yang apa dalam pembukaan UUD 1945 bahwa segala bentuk penjajahan diatas bumi harus dihapuskan karena tidak seseuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

5 komentar:

  1. Bagaimana denga outsourcing sistem informasi yang semakin marak akhir-akhir ini apakah hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kolonialisme baru seperti yang anda kemukakan?
    terima kasih

    BalasHapus
  2. Bagaimana denga outsourcing sistem informasi yang semakin marak akhir-akhir ini apakah hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kolonialisme baru seperti yang anda kemukakan?
    terima kasih

    BalasHapus
  3. Penyalahgunaan outsource tidak hanya terjadi di Indonesia. Di AS bahkan orang menganggur karena pekerjaannya di-offshoring-kan (terutama TI dan SI). kalau kita bisa membuat industri outsource kiat seperti India (yang dicari perusahaan AS dan Eropa), mungkin tenaga outsource lebih terjamin masa depannya... Maybe yes..maybe not...

    BalasHapus
  4. trimaksih buat kedua teman yang telah memberikan kontribusi pertanyaan bahkan pendapat mengenai outsourcing ini, outsourcing dapat dilakukan tapi dalam jangka waktu tertentu minimmal tiga bulan tetapi setelah perlu ada pengangkatan sebagai tenaga tetap, tetapi pola untuk mengantisipasi hal tersebut para pengusaha memakai pola baru jelang akhir tiga bulan mengakhiri masa kontrak kemudian melakukan kontrak dgn orang baru, ini hanya siasat untuk tidak menambah beban operasional saja... semua sistem kerja dengan outsorcing tidak dpat disalahkan krn di jamin dalam uu namun yang perlu disalahkan adalah outsorcing yang di lakukan dalam waktu yang cukup lama dan tak menentu...

    BalasHapus
  5. Tanya KK....
    Perusahaan tempat aku bekerja memberlakukan sistem masa percobaan 1 tahun. Apa ada UU yang mengatur masalah ini? Atau ini termasuk salah satu pelanggaran UU?

    Terima kasih...

    BalasHapus