”REUNI SEBUAH NOSTALGIA ATAU KONSOLIDASI”
*Yoyarib Mau
Jelang usianya ke 56 tahun Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Kupang – SMK N. 1 Kupang (Kelompok Bisnis dan Manajemen) atau yang dulu dikenal dengan nama Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) melakukan sebuah awal reuni bagi tamatan-tamatannya. Dulunya tamatan SMEA lebih dikenal sebagai juru ketik,steno dan pembukuan.
Dalam sejarahnya tamatan SMEA sebagai penyumbang terbesar tenaga kerja bagi birokrasi di NTT bagaimana tidak untuk urusan ketik mengetik, steno serta pembukuan maka tamatan SMEA tidak diragukan kemampuannya, konon setiap orang tua menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan ini dengan harapan setelah menamatkan sekolahnya dengan mudah dapat bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta guna meringankan beban keluarga.
Seiring perjalanan Pendidikan di NTT, SMEA N. KUPANG berganti nama menjadi SMK N. 1 Kupang yang didirikan pada tanggal 1 Agustus 1954, berarti ada setelah 10 (sepuluh) tahun pasca kemerdekaan NKRI, dan kini telah meraih sertifikat ISO 9001: 2000 pada tanggal 19 Desember 2001, dengan visi : menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan bisnis manajemen, pariwisata dan tekhnik informatika berstandar Nasional dan Internasional serta menghasilkan tamatan yang berdaya saing di era – global (sumber : http//smkn1_kupang.co.cc).
Sebuah target yang cukup optimis karena fasilitas pendidikan yang memadai serta berbagai jurusan pendidikan yang ada antara lain : Administrasi Perkantoran, Akuntansi, Penjualan, Tekhnik Komputer dan Jaringan, serta Usaha Jasa dan Pariwisata. Keberadaan lembaga pendidikan kejuruan yang memiliki potensi untuk membentuk serta menghasilkan tenaga kerja yang handal guna memajukan pertumbuhan ekonomi bangsa, namun optimisme yang ingin di capai dalam visi serta salah satu misinya yakni menumbuhkan semangat keunggulan dan komperatif secara intensif kepada warga sekolah (sumber : http//smkn1_kupang.co.cc).
Harapan dari visi dan misi pendidikan tidak sesuai dengan kenyataan atau realitas yang ada, sangat memilukan karena Nusa Tenggara Timur adalah propinsi yang memiliki persoalan kemiskinan, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan selain provinsi Papua dan NTB (Nusa Tenggara Barat) mereka pun memiliki persoalan serupa. Indikator yang dapat di jadikan penilaian terhadap persoalan kemiskinan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia) pada tahun 2005 hanya 62,1 sementara IPM NTT 63,6 dan NTB 62,4 yang tergolong kategori menengah ke bawah, pada tahun 2007 IPM Papua meningkat 63,41 tetapi Papua masih menempati peringkat – 33 dari 33 provinsi di Indonesia (Kompas 16/12/2009) berarti tahun ini IPM NTT kemungkinan meningkat tidak terlampau jauh dari Papua dan tetap menempati urutan peringkat di atas Papua.
Persoalan lain adalah tingkat kelulusan pada Ujian Nasional yang baru saja berlalu, tingkat kelulusan juga mengalami kemerosotan yang sangat drastis. Dengan melihat kondisi demikian maka timbul pertanyaan, Apakah dengan adanya reuni SMK N. 1 Kupang yang bertepatan dengan ulang tahunya yang ke – 56, bermaksud mengoptimalkan peran pendidikan bagi permasalahan bangsa ini atau ada tujuan lain yang ingin dicapai ?
Provinsi NTT sebagai salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan dua negara tetangga yakni Timor Leste dan Austalia, kemajuan NTT merupakan indikator bagi mereka tentang kemajuan Indonesia karena sebelum melihat lebih jauh tentang Indonesia maka yang terlebih dahulu ditatap adalah NTT, oleh karena itu salah satu penentu peradaban bangsa adalah pendidikan karena itu SMK N. 1 Kupang sebagai salah satu lembaga pendidikan yang memberikan kontribusi bagi pengembangan ekonomi di NTT karena spesialisasi ilmu kejuruan yakni kelompok bisnis dan manajemen.
Menyinggung bisnis dan manajemen selalu mengarah pada pengembangan wira usaha, karena itu untuk menghasilkan wirausahawan muda maka salah satu peran dari lembaga pendidikan dalam hal ini SMK N. 1 Kupang memiliki peran yang sangat penting. Mengingat salah satu pendapat sosiolog David Mc Clelland yang mengungkapkan bahwa suatu negara bisa makmur bila terdapat entrepeneur (wirausahawan) setidaknya 2 % (dua – persen) dari jumlah penduduk (Majalah Tempo, 19-25 April 2010).
Keberadaan sekolah ini hampir ½ (setengah) abad, namun sudahkah menghasilkan 2% (dua – persen) wirausahawan ? atau sebagaimana tamatannya yang dikenal sebagai juru tik, steno dan pembukuan sehingga orientasi tamatan hanya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), dan mengabaikan peran utamanya sebagai pembentuk karakter serta stimulus jiwa kewirausahawan.
Orientasi serta substansi keberadaan SMK Kelompok Bisnis dan Manajemen perlu dikaji kembali dengan baik serta mengarahkannya sesuai keadaan lokal dalam hal ini kebudayaan dan kultur lokal, apakah proses pendidikan kita telah menjawab kebutuhan tersebut atau tidak. Jika belum terjawab maka perlu peletakan dasar pendidikan kejuruan yakni meletakan etos dan karakter kewirausahawan bagi anak didik.
Sejak UU Sisdiknas Nomor 20 Thn 2003 di sahkan, dalam Pasal 50 yang terkesan memberikan ruang bagi semua jenjang pendidikan untuk penerapan standar nasional pendidikan dan peningkatan mutu bertaraf Internasional, hal ini disebabkan karena dalih menyiapkan anak dalam kultur global sehingga mengabaikan substansi kehadiran SMK N 1 Kupang dalam memenuhi kebutuhan lokal yakni penanaman karakter dan etos kewirausahawan bagi anak didik.
Nostalgia
Pertemuan alumni terbesar dalam sejarah SMK N. 1 Kupang merupakan bagian yang tak terpisahkan karena merupakan salah satu stakeholder, seperti biasanya pengertian reuni merupakan ajang atau momentum berkumpul kembali para alumunus untuk bersilahturahmi dengan teman – teman lama dan para guru yang telah mendidiknya, untuk mengenang atau bernostalgia bersama mengenai keadaan yang telah berlalu. Namun juga ada kesan lain dari reuni sebagai ajang pamer kesuksesan karena telah menjadi pejabat atau pengusaha sukses atau telah menikah dengan pria tampan atau wanita cantik. Jika reuni di pahami sebatas apa yang di paparkan pada alinea ini maka tidak ada ada kontribusi nyata dari alumni sebagai stakeholder lembaga pendidikan ini untuk menjawab sekelumit permasalahan yang telah diutarakan diatas.
Konsolidasi
Menjadi sebuah fenomena baru pasca reformasi dan era otonomi daerah ada ruang dimana dapat menduduki jabatan strategis tertentu seperti camat, atau kepala dinas dan jabatan lainnya tanpa harus mengawali karier di dinas atau latar belakang pendidikan yang berhubungan dengan dinas tersebut. Hal ini membuat semua orang berlomba membangun jejaring guna memiliki basis masa yang kuat sebagai bergaining position. Salah satu jejaring tersebut adalah melakukan reuni alumni sebagai sebuah jejaring baru, sebagai satu kekutan yang melembaga karena dibentuk menjadi sebuah organisasi resmi dan memiliki struktur serta memiliki wewenang berdasarkan anggota kelompok tersebut.
Wewenang selalu memiliki padanan kata dengan keabsahan, Menurut David Easton keabsahan adalah keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu (Miriam Budiardjo – Gramedia – 2008) kemungkinan-kemungkinan keabasahan dari keputusan organisasi selalu menjadi tuntutan yang perlu di lakukan, seandainya dalam perhelatan reuni alumni SMK N. 1 Kupang, menurut informasi bahwa reuni ini akan dihadiri oleh alumni tahun 1970 hingga alumni tahun 2009 hal ini merupakan pesta alumni terbesar.
Apabila pesta alumni terbesar maka membutuhkan biaya yang cukup besar, apalagi ada serangkaian acara yang dilakukan yakni pameran, aksi donor darah, jalan santai dan acara puncak, sehingga membutuhkan sejumlah dana. Panitia pelaksana sudah tentu berupaya maksimal untuk mendapatkan dana. Sehubungan dengan pencaharian dana, maka yang ditakutkan dan perlu diantisipasi adalah para pemangku kepentingan dalam Pilkada berkontribusi dalam acara reuni ini. Jika yang berkepentingan berkontribusi maka apa yang di ungkapkan oleh Easton tentang keabsahan dengan sendirinya terjadi, karena para alumni secara moril sudah terikat secara emosional, telah ada tarik-menarik untuk menerima baik dan memberikan pilihannya bagi kandidat yang menyumbang.
Jika reuni dilakukan hanya untuk sebuah konsolidasi politik maka akan mencederai praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, karena penyelenggaraan persekolahan yang bertujuan untuk mewujudkan sosok manusia Indonesia yang susila, cakap, demokratis, dan dapat bertanggung jawab. Dimana bertanggung jawab guna terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Bertanggung jawab dalam memakmurkan Indonesia, dan Sekolah Kejuruan - Kelompok Bisnis dan Manajemen bertanggung jawab yakni adanya wirausahawan muda. Tanggung jawab ini seyogianya juga merupakan tanggung jawab alumni untuk menghasilkan wirausahawan dengan sumbangsi pemikiran dan ide serta program nyata untuk menjawab kebutuhan 2 % (dua – persen) wirusahawan.
Kontribusi alumni sangat dibutuhkan guna memacu pertumbuhan ekonomi di Nusa Tenggara Timur sesuai dengan manajemen pendidikan di era otonomi daerah yakni desentralisasi. Reuni sebaiknya bukan hanya sebatas nostalgia tetapi juga bukan dimanfaatkan untuk konsolidasi politik namun sebaiknya reuni dijadikan momentum yang baik dan sumbangsi pemikiran dan program yang berarti, sehingga adik-adik atau anak didik dikemudian dapat berpikir global tetapi aktualisasinya sesuai dengan kebutuhan lokal.
* Penulis : Alumni – 1997 SMK N 1 Kupang – Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Selasa, 27 Juli 2010
Selasa, 20 Juli 2010
"SUPERSEMAR ALAT ALIH KEKUASAAN"
"SUPERSEMAR ALAT ALIH KEKUASAAN”
*Yoyarib Mau
Salah satu permasalahan yang belum tuntas dalam sejarah bangsa Indonesia adalah masalah Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar) dari kepemimpinan Soeharto, BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono. Surat ini hingga hari ini masih menjadi perdebatan yang hangat, para sejarawan terbagi dalam dua faksi yang masing-masing memiliki argument yang kuat guna menegaskan kebenaran bahwa surat ini memiliki kekuatan validitas yang dapat di percaya.
Perdebatan ini mengalami kebuntuan karena Surat Supersemar yang asli hingga hari ini belum ditemukan sehingga tercipta dualisme pemikiran dalam masyarakat, padahal supersemar merupakan catatan sejarah dalam perjalanan bangsa namun tak di temukannya keaslian dari surat ini dapat berimplikasi bagi pendidikan sejarah, dapat terjadi distorsi pemahaman karena ada benang kusut yang belum terurai sehingga menimbulkan kekaburan pemahaman.
Kekaburan sejarah dapat menimbulkan pemahaman sejarah yang tidak sempurna bahkan dapat mengarah kepada penafsiran yang mengalami bias sehingga menghadirkan kebingungan yang kemudian membentuk karakter bangsa yang mudah tidak percaya terhadap sejarah, apalagi topic ini merupakan tonggak sejarah yang masuk dalam kurikulum pendidikan dasar.
Pendidikan dasar merupakan foundasi awal membangun karakter serta jiwa nasionalisme anak bangsa jika diawali dengan ketidakpastian dan kejelasan pemahaman maka akan berdampak secara sistemik dalam keberlanjutan berpikir sebagai bangsa peragu, karena dari awal saja sudah terbangun pemahaman yang membingungkan.
Sekelumit Masalah
Kondisi hadirnya surat perintah sebelas maret ini dilator belakangi oleh kondisi negara yang sangat tidak stabil pasca peristiwa G30S/PKI - Gestapu (Gerakan Tiga puluh September) dimana tekanan rakyat untuk membubarkan PKI yang dianggab sebagai biang pembantaian melalui bukti-bukti pada waktu itu (Sulastomo – Transisi Orde Lama ke Orde Baru – Kompas – 2008), namun menurut Baskara T. Wardaya bahwa pihak Angkatan Darat melemparkan tuduhan bahwa PKI-lah yang secara penuh bertanggung jawab atas peristiwa berdarah itu, terhadap sejumlah petinggi perwira ABRI, Sehingga salah satu perwira yang waktu itu memiliki posisi yang strategis yakni Mayjen Soeharto melakukan konsolidasi di internal ABRI khususnya AD (Angkatan Darat) melakukan berbagai bentuk kampanye media untuk memperkuat kesimpulan keterlibatan PKI dan kemudian dilanjutkan dengan pembantaian masal terhadap mereka yang diduga terlibat dalam PKI (Baskara T. Wardaya - Membongkar Supersemar - Galangpress – 2009) untuk melakukan pembubaran terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia), kondisi ini bergeser dimana isu pembubaran PKI tidak lagi menjadi agenda utama tetapi beralih kepada isu yang mempersoalkan kebijakan pemerintah mengapa Bung Karno tidak bersedia membubarkan PKI (Sulastomo – Kompas – 2008).
Apabila kebijakan pemerintah yang dipersoalkan maka yang memiliki legitimasi untuk menentukan kebijakan adalah President, suatu sisi ada korban yang telah tewas yakni 7 petinggi AD dan Mayjen Soeharto telah mengkonsolidasikan internal AD untuk melakukan penanganan dan pembantaian terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI.
Peristiwa G30S/PKI dan proses penanganannya yang dilakukan oleh TNI-AD telah terbangun image dalam masyarakat bahwa terjadi dualisme kepemimpinan yakni, Mayjen Soeharto yang pada waktu itu sebagai Panglima Kostrad yang mencanangkan tema melaksanakan Pancasila dan dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen seperti berada di atas angin karena momentum dan sepertinya mengambil alih dalam melakukan pembantaian terhadap PKI, karena PKI yang di tuduh merongrong Pancasila harus dilawan. Di lain kesempatan ada President Soekarno sebagai pemimpin negara yang legitimate yang seharusnya diminta pendapat tidak dilibatkan.
Permasalahan ini membutuhkan pertanyaan pengarah guna memahami pendalaman pembahasan makalah ini maka pertanyaannya, ”apakah supersemar sebagai bukti legitimasi pengalihan kekuasaan atau sebuah penafsiran”?
Kepentingan Rezim
Pemahaman terhadap adanya Supersemar membutuhkan pemahaman dan kajian yang matang sehingga dapat menemukan pemahaman yang benar dan proporsional, oleh karena itu pemikiran yang tepat untuk menganalisa makalah ini maka, Dwight J. King mengusulkan sebuah teori yakni, ”bureaucratic – authoritarian regime” di sana kekuasaan berada dalam suatu oligarki, sekumpulan orang, lembaga dalam hal ini militer sebagai suatu institusi, dan bukan berada pada seseorang sebagai penguasa individu (Daniel Dhakidae - Cendekiawan dan Kekuasaan - Gramedia – 2003)
Setiap keputusan yang dikeluarkan atau diterbitkan harus berdasarkan kajian dan pertimbangan yang matang sehingga tidak menimbulkan polemik atau kontra-produktif serta bersifat petunjuk teknis untuk melaksanakan sebuah keputusan.
Meningkatnya eskalasi politik di mana PKI memiliki kekuatan yang kuat di tengah masyarakat menimbulkan resistensi di tengah kekuatan politik lain hal ini menimbulkan kegelisahan dalam kelompok lain. Sehingga sesuailah apa yang di katakan Laswell dalam buku “Who Gets What, When, How” mengatakan, politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik -Gramedia – 2008). Ditambahkan dengan kecenderungan Soekarno dengan ideologi ”NASAKOM” pertarungan ini menimbulkan ketegangan yang menurut Achmad Suhawi, menimbulkan segitiga kekuatan antara PKI - Bung Karno - TNI (Angkatan Darat), (Achamad Suhawi - Gymnastik Politik Nasionalis Radikal - Rajawali Pers – 2009) pertarungan kekuatan ini lah yang menjadi embrio lahirnya supersemar.
Padahal konsep Nasakom Bung Karno merupakan sebuah strategi politik untuk merangkul kekuatan Nasionalis, Agamais, dan Komunis dalam kabinetnya. Kekuatan Nasional di sokong oleh PNI (Partai Nasional Indonesia) partai yang mendukung Bung Karno, sedangkan kekuatan politik yang lain adalah kekuatan Agama dan yang ketiga adalah kekuatan Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai terbesar kedua pada masa itu.
Berdasarkan pertimbangan aspek Historis maka menurut Boni Hargens, pemikiran Angkatan Darat yang hadir sebagai salah satu kekuatan karena dalam sejarah TNI bukanlah organisasi ketentaraan yang dibentuk oleh negara melainkan dibentuk secara sukarela oleh para tentara sendiri dari para bekas pejuang PETA dan KNIL, karena dibentuk secara otonom tanpa campur tangan negara, maka tentara Indonesia memiliki keyakinan bahwa tentaralah yang mendirikan republik ini, sehingga sudah semestinya dilibatkan dalam proses politik dan social (Saurip Kadi - Menata Ulang Sistem Demokrasi dan TNI Menuju Peradaban Baru - Parrhesia – 2006). pemikiran ini dapat dibenarkan karena TNI merasa bahwa adanya kemerdekaan Indonesia karena peran besar TNI sehingga menguatnya kekuatan politik PKI yang mendominasi panggung politik waktu itu sepertinya menggeser posisi TNI sehingga berbagai upaya politik pun dapat di lakukan untuk mendapatkan porsi dalam panggung politik.
Kondisi ini menjadi kesempatan bagi internal TNI untuk melakukan konsolidasi guna hadir dalam panggung politik, apalagi kondisi internal TNI terpecah antara AL (Angkatan Laut) dan AU (Angkatan Udara) lebih mendekat ke Soekarno atau dalam Barisan Soekarno (Baskara T. Wardaya - Galangpress – 2009). Sepertinya gejolak perlawanan ada dalam tubuh TNI – AD sehingga berbagai upaya dilakukan untuk menguasai pemerintaan. Karena PKI sudah dilumpuhkan dengan kekuatan militer penuh, PNI di mana pendiri partai atau simbol Partai ada pada Soekarno dikandangkan maka dua kekuatan ini telah lumpuh sehingga dengan sendirinya satu kekuatan yang tersisih yakni TNI (AD) memegang kekuasaan.
Ketika kemenangan sudah di kuasai maka ada upaya lebih konkrit lagi yakni mengusai dengan berperan aktif sebagai penentu kebijakan. Perebutan kekuasaan ini dilakukan secara terang-terangan dimana saat rapat kabinet sebagai bentuk konsolidasi pemerintahan pada waktu itu oleh Kabinet Gotong royong namun tak selang beberapa lama, rapat kabinet dihentikan oleh karena istana di kepung oleh sejumlah pasukan akibatnya, President Soekarno diamankan ke Istana Bogor dan selang beberapa lama tiga orang Jenderal TNI AD sebagai utusan Jenderal Soeharto yakni Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud, memeperingatkan Bung Karno akan adanya kekacauan di waktu mendatang sehingga perlu dikeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret ( Supersemar) insiden ini menggagalkan sejumlah agenda rapat yang hendak di lakukan oleh Bung Karno (Achamad Suhawi - Rajawali Pers – 2009).
Supersemar Alat Politik
Mengikuti persoalan diatas dapatlah disimpulkan bahwa hal ini terjadi melalui sebuah skenario besar (by design) dimana TNI-AD yang memiliki peran penting dan Soeharto sebagai tokoh sentral, yang menurut Baskara T. Wardaya bahwa, pasukan liar itu adalah pasukan AD yang berjumlah dua kompi atau 80 personil yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi. Sarwo Edhi mendpat perintah dari Kemal Idris, sedang Kemal Idris mendapat instruksi mengenai pengerahan pasukan tanpa atribut itu dari Letjen Soeharto (Baskara T. Wardaya - Galangpress – 2009).
Memang kebenaran sulit untuk di dapatkan bahwa TNI – AD berperan dalam scenario besar ini namun ada indikasi-indikasi sosial dan psikologis yang dapat mengarahkan tuduhan bahwa TNI-AD berperan dalam upaya adanya Supersemar. Karena seharusnya yang harus ke bogor adalah para kabinet yang tetap melanjutkan sidang kabinet dimana Soekarno sebelum meninggalkan Istana Jakarta menuju Ke Bogor menyerahkan palu pimpinan sidang kepada Waperdam II dr. Johanes Leimena (Baskara T. Wardaya - Galangpress – 2009), seharusnya apabila keadaan genting maka TNI harus mampu memberikan pengawalan secara sempurna bagi para kabinet atau bersama-sama dengan sejumlah petinggi Militer menghadap Soekarno yang ada di Bogor.
Kenyataannya adalah yang menghadap adalah hanya tiga petinggi militer dengan menyampaikan permintaan yang perlu di keluarkan Surat Perintah untuk mengatasi situasi (Achmad Suhawi - Rajawali Pers – 2009). kelihatanya bahwa semua target yang akan di capai sudah di rencanakan oleh TNI –AD tanpa mengkoordinasikannya lagi dengan Kabinet dimana mengetahui hasil sidang kabinet. Sehingga tidak di salahkan bahwa apa yang di lakukan ini adalah tidak memiliki legitimasi karena tanpa ada koordinasi dengan kabinet.
Jika benar hal ini adalah tuntutan rakyat maka proses penyerahan mandat harus di saksikan wakil- wakil rakyat yang pada waktu itu, dan kabinet terwakilkan dalam Kabinet Gotong Royong. Apabila Supersemar murni di keluarkan oleh Soekarno maka ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang perlu diperhatikan yakni yang di beri kuasa harus berada bersama-sama Soekarno menyaksikan penandatanganan dan penerimaan mandat dalam prosesi protokoler kepresidenan, serta saksi menyaksikan sehingga memiliki kesahihan atau memiliki legitimacy yang cukup.
Apabila Proses permintaan pengadaan Supersemar yang hanya di hadiri oleh petinggi angkatan darat, sehingga terkesan subyektif, hal ini tampak sekali bahwa tidak memiliki legitimacy serta memiliki penafsiran tertentu yakni seolah-olah Bung Karno menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Soeharto, dan Soeharto boleh melakukan apa saja untuk menangani masalah keamanan dan ketertiban.
Ketika pengambil alihan kekuaasaan oleh Rezim Orde Baru serta membentuk MPRS dan meminta pertanggung jawaban Soekarno. Soekarno tetap hadir sebagai seorang negarawan dan memberikan pidato pada sidang tersebut dengan judul ”jangan sekali – kali meninggalkan sejarah” bahkan ia mengatakan bahwa jika surat perintah 11 maret 1966 bukan berarti pengalihan kekuasaan, tetapi hanya pengalihan wewenang kepada jenderal soeharto untuk memelihara keamanan (Achmad Suhawi - Rajawali Pers – 2009).
Skenario yang di mainkan oleh Soeharto dan TNI – AD menjadi sesuatu yang menarik sepertinya apa yang di lakukan Soeharto tidak jauh beda dengan rezim di negara lain sperti yang di gambarkan oleh Daniel Dhakidae bahwa, rezim yang berkuasa di sana adalah rezim bahkan fasis ?. Kebrutalan rezim otoriter seperti Idi Amin di Uganda, bahkan Plot Pot di Kambodia oleh para ahli ilmu politik tidak digolongkan dalam suatu rezim (Daniel Dhakidae – Gramedia – 2003).
Permasalahaan yang membutuhkan jawaban adalah bahwa supersemar adalah sebuah produk rezim otoriter yang melalui proses pembantaian sejumlah orang dengan maksud menciptkan ketidakstabilan dalam masyarakat, sehingga menciptakan image atau citra di masyarakat bahwa tidak adanya rasa aman sehingga negara memerlukan tentara untuk memberikan rasa aman. Tentara terlibat politik bukan karena lemahnya sipil tetapi dorongan yang kuat dalam diri militer untuk berada dala pusaran kekuasaan. Sehingga ketika upaya tentara melalui berbagai siasat supersemar berhasil di tanda tangani oleh Sokerno, tentara dalam hal ini Soeharto merasa bahwa kekuasaan sudah di serahkan sepenuhnya padahal hanayalah wewenang untuk menciptakan stabilitas namun di taksirkan sebagai penyerahan kekuasaan, padahal apabila penyerahan kekuasaan harusnya melalui proses kenegaraan. Sehingga lebih cenderung dikategorikan sebagai kudeta politik.
Supersemar adalah sebuah langkah politik militer untuk menguasai kekuasaan atau ranah politik yang selama ini di kuasai oleh kekuatan Bung Karno dan PKI sedangkan Militer tidak merasa nyaman karena di dominasi oleh PKI sehingga TNI bagaimana berupaya untuk menguasai ranah politik tersebut. namun proses penguasaan ranah politik melalui cara yang tidak elegent.
Supersemar sebagai surat sakti bagi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan, surat tersebut dapat di katakan bahwa hasil pemikiran TNI dan melalui penekanan untuk melakukan penandatanganan. Apabila surat tersebut murni pemikiran Soekarno maka Soekarno tidak perlu di kerangkeng di istana Bogor, dan pasca masa kekuasaannya Soekarno tidak di batasi hak politiknya, serta memberikan perhatian bagi mantan pejabat negara dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang disediakan. Sepertinya Soekarno diperlakukan sebagai tahanan rumah, padahal tidak ada pengadilan yang memberikan pengadilan bagi dirinya. Dengan demikian maka Supersemar sebagai alat politik untuk pengambilalihan kekuasaan.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI.
*Yoyarib Mau
Salah satu permasalahan yang belum tuntas dalam sejarah bangsa Indonesia adalah masalah Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar) dari kepemimpinan Soeharto, BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono. Surat ini hingga hari ini masih menjadi perdebatan yang hangat, para sejarawan terbagi dalam dua faksi yang masing-masing memiliki argument yang kuat guna menegaskan kebenaran bahwa surat ini memiliki kekuatan validitas yang dapat di percaya.
Perdebatan ini mengalami kebuntuan karena Surat Supersemar yang asli hingga hari ini belum ditemukan sehingga tercipta dualisme pemikiran dalam masyarakat, padahal supersemar merupakan catatan sejarah dalam perjalanan bangsa namun tak di temukannya keaslian dari surat ini dapat berimplikasi bagi pendidikan sejarah, dapat terjadi distorsi pemahaman karena ada benang kusut yang belum terurai sehingga menimbulkan kekaburan pemahaman.
Kekaburan sejarah dapat menimbulkan pemahaman sejarah yang tidak sempurna bahkan dapat mengarah kepada penafsiran yang mengalami bias sehingga menghadirkan kebingungan yang kemudian membentuk karakter bangsa yang mudah tidak percaya terhadap sejarah, apalagi topic ini merupakan tonggak sejarah yang masuk dalam kurikulum pendidikan dasar.
Pendidikan dasar merupakan foundasi awal membangun karakter serta jiwa nasionalisme anak bangsa jika diawali dengan ketidakpastian dan kejelasan pemahaman maka akan berdampak secara sistemik dalam keberlanjutan berpikir sebagai bangsa peragu, karena dari awal saja sudah terbangun pemahaman yang membingungkan.
Sekelumit Masalah
Kondisi hadirnya surat perintah sebelas maret ini dilator belakangi oleh kondisi negara yang sangat tidak stabil pasca peristiwa G30S/PKI - Gestapu (Gerakan Tiga puluh September) dimana tekanan rakyat untuk membubarkan PKI yang dianggab sebagai biang pembantaian melalui bukti-bukti pada waktu itu (Sulastomo – Transisi Orde Lama ke Orde Baru – Kompas – 2008), namun menurut Baskara T. Wardaya bahwa pihak Angkatan Darat melemparkan tuduhan bahwa PKI-lah yang secara penuh bertanggung jawab atas peristiwa berdarah itu, terhadap sejumlah petinggi perwira ABRI, Sehingga salah satu perwira yang waktu itu memiliki posisi yang strategis yakni Mayjen Soeharto melakukan konsolidasi di internal ABRI khususnya AD (Angkatan Darat) melakukan berbagai bentuk kampanye media untuk memperkuat kesimpulan keterlibatan PKI dan kemudian dilanjutkan dengan pembantaian masal terhadap mereka yang diduga terlibat dalam PKI (Baskara T. Wardaya - Membongkar Supersemar - Galangpress – 2009) untuk melakukan pembubaran terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia), kondisi ini bergeser dimana isu pembubaran PKI tidak lagi menjadi agenda utama tetapi beralih kepada isu yang mempersoalkan kebijakan pemerintah mengapa Bung Karno tidak bersedia membubarkan PKI (Sulastomo – Kompas – 2008).
Apabila kebijakan pemerintah yang dipersoalkan maka yang memiliki legitimasi untuk menentukan kebijakan adalah President, suatu sisi ada korban yang telah tewas yakni 7 petinggi AD dan Mayjen Soeharto telah mengkonsolidasikan internal AD untuk melakukan penanganan dan pembantaian terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI.
Peristiwa G30S/PKI dan proses penanganannya yang dilakukan oleh TNI-AD telah terbangun image dalam masyarakat bahwa terjadi dualisme kepemimpinan yakni, Mayjen Soeharto yang pada waktu itu sebagai Panglima Kostrad yang mencanangkan tema melaksanakan Pancasila dan dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen seperti berada di atas angin karena momentum dan sepertinya mengambil alih dalam melakukan pembantaian terhadap PKI, karena PKI yang di tuduh merongrong Pancasila harus dilawan. Di lain kesempatan ada President Soekarno sebagai pemimpin negara yang legitimate yang seharusnya diminta pendapat tidak dilibatkan.
Permasalahan ini membutuhkan pertanyaan pengarah guna memahami pendalaman pembahasan makalah ini maka pertanyaannya, ”apakah supersemar sebagai bukti legitimasi pengalihan kekuasaan atau sebuah penafsiran”?
Kepentingan Rezim
Pemahaman terhadap adanya Supersemar membutuhkan pemahaman dan kajian yang matang sehingga dapat menemukan pemahaman yang benar dan proporsional, oleh karena itu pemikiran yang tepat untuk menganalisa makalah ini maka, Dwight J. King mengusulkan sebuah teori yakni, ”bureaucratic – authoritarian regime” di sana kekuasaan berada dalam suatu oligarki, sekumpulan orang, lembaga dalam hal ini militer sebagai suatu institusi, dan bukan berada pada seseorang sebagai penguasa individu (Daniel Dhakidae - Cendekiawan dan Kekuasaan - Gramedia – 2003)
Setiap keputusan yang dikeluarkan atau diterbitkan harus berdasarkan kajian dan pertimbangan yang matang sehingga tidak menimbulkan polemik atau kontra-produktif serta bersifat petunjuk teknis untuk melaksanakan sebuah keputusan.
Meningkatnya eskalasi politik di mana PKI memiliki kekuatan yang kuat di tengah masyarakat menimbulkan resistensi di tengah kekuatan politik lain hal ini menimbulkan kegelisahan dalam kelompok lain. Sehingga sesuailah apa yang di katakan Laswell dalam buku “Who Gets What, When, How” mengatakan, politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik -Gramedia – 2008). Ditambahkan dengan kecenderungan Soekarno dengan ideologi ”NASAKOM” pertarungan ini menimbulkan ketegangan yang menurut Achmad Suhawi, menimbulkan segitiga kekuatan antara PKI - Bung Karno - TNI (Angkatan Darat), (Achamad Suhawi - Gymnastik Politik Nasionalis Radikal - Rajawali Pers – 2009) pertarungan kekuatan ini lah yang menjadi embrio lahirnya supersemar.
Padahal konsep Nasakom Bung Karno merupakan sebuah strategi politik untuk merangkul kekuatan Nasionalis, Agamais, dan Komunis dalam kabinetnya. Kekuatan Nasional di sokong oleh PNI (Partai Nasional Indonesia) partai yang mendukung Bung Karno, sedangkan kekuatan politik yang lain adalah kekuatan Agama dan yang ketiga adalah kekuatan Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai terbesar kedua pada masa itu.
Berdasarkan pertimbangan aspek Historis maka menurut Boni Hargens, pemikiran Angkatan Darat yang hadir sebagai salah satu kekuatan karena dalam sejarah TNI bukanlah organisasi ketentaraan yang dibentuk oleh negara melainkan dibentuk secara sukarela oleh para tentara sendiri dari para bekas pejuang PETA dan KNIL, karena dibentuk secara otonom tanpa campur tangan negara, maka tentara Indonesia memiliki keyakinan bahwa tentaralah yang mendirikan republik ini, sehingga sudah semestinya dilibatkan dalam proses politik dan social (Saurip Kadi - Menata Ulang Sistem Demokrasi dan TNI Menuju Peradaban Baru - Parrhesia – 2006). pemikiran ini dapat dibenarkan karena TNI merasa bahwa adanya kemerdekaan Indonesia karena peran besar TNI sehingga menguatnya kekuatan politik PKI yang mendominasi panggung politik waktu itu sepertinya menggeser posisi TNI sehingga berbagai upaya politik pun dapat di lakukan untuk mendapatkan porsi dalam panggung politik.
Kondisi ini menjadi kesempatan bagi internal TNI untuk melakukan konsolidasi guna hadir dalam panggung politik, apalagi kondisi internal TNI terpecah antara AL (Angkatan Laut) dan AU (Angkatan Udara) lebih mendekat ke Soekarno atau dalam Barisan Soekarno (Baskara T. Wardaya - Galangpress – 2009). Sepertinya gejolak perlawanan ada dalam tubuh TNI – AD sehingga berbagai upaya dilakukan untuk menguasai pemerintaan. Karena PKI sudah dilumpuhkan dengan kekuatan militer penuh, PNI di mana pendiri partai atau simbol Partai ada pada Soekarno dikandangkan maka dua kekuatan ini telah lumpuh sehingga dengan sendirinya satu kekuatan yang tersisih yakni TNI (AD) memegang kekuasaan.
Ketika kemenangan sudah di kuasai maka ada upaya lebih konkrit lagi yakni mengusai dengan berperan aktif sebagai penentu kebijakan. Perebutan kekuasaan ini dilakukan secara terang-terangan dimana saat rapat kabinet sebagai bentuk konsolidasi pemerintahan pada waktu itu oleh Kabinet Gotong royong namun tak selang beberapa lama, rapat kabinet dihentikan oleh karena istana di kepung oleh sejumlah pasukan akibatnya, President Soekarno diamankan ke Istana Bogor dan selang beberapa lama tiga orang Jenderal TNI AD sebagai utusan Jenderal Soeharto yakni Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud, memeperingatkan Bung Karno akan adanya kekacauan di waktu mendatang sehingga perlu dikeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret ( Supersemar) insiden ini menggagalkan sejumlah agenda rapat yang hendak di lakukan oleh Bung Karno (Achamad Suhawi - Rajawali Pers – 2009).
Supersemar Alat Politik
Mengikuti persoalan diatas dapatlah disimpulkan bahwa hal ini terjadi melalui sebuah skenario besar (by design) dimana TNI-AD yang memiliki peran penting dan Soeharto sebagai tokoh sentral, yang menurut Baskara T. Wardaya bahwa, pasukan liar itu adalah pasukan AD yang berjumlah dua kompi atau 80 personil yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi. Sarwo Edhi mendpat perintah dari Kemal Idris, sedang Kemal Idris mendapat instruksi mengenai pengerahan pasukan tanpa atribut itu dari Letjen Soeharto (Baskara T. Wardaya - Galangpress – 2009).
Memang kebenaran sulit untuk di dapatkan bahwa TNI – AD berperan dalam scenario besar ini namun ada indikasi-indikasi sosial dan psikologis yang dapat mengarahkan tuduhan bahwa TNI-AD berperan dalam upaya adanya Supersemar. Karena seharusnya yang harus ke bogor adalah para kabinet yang tetap melanjutkan sidang kabinet dimana Soekarno sebelum meninggalkan Istana Jakarta menuju Ke Bogor menyerahkan palu pimpinan sidang kepada Waperdam II dr. Johanes Leimena (Baskara T. Wardaya - Galangpress – 2009), seharusnya apabila keadaan genting maka TNI harus mampu memberikan pengawalan secara sempurna bagi para kabinet atau bersama-sama dengan sejumlah petinggi Militer menghadap Soekarno yang ada di Bogor.
Kenyataannya adalah yang menghadap adalah hanya tiga petinggi militer dengan menyampaikan permintaan yang perlu di keluarkan Surat Perintah untuk mengatasi situasi (Achmad Suhawi - Rajawali Pers – 2009). kelihatanya bahwa semua target yang akan di capai sudah di rencanakan oleh TNI –AD tanpa mengkoordinasikannya lagi dengan Kabinet dimana mengetahui hasil sidang kabinet. Sehingga tidak di salahkan bahwa apa yang di lakukan ini adalah tidak memiliki legitimasi karena tanpa ada koordinasi dengan kabinet.
Jika benar hal ini adalah tuntutan rakyat maka proses penyerahan mandat harus di saksikan wakil- wakil rakyat yang pada waktu itu, dan kabinet terwakilkan dalam Kabinet Gotong Royong. Apabila Supersemar murni di keluarkan oleh Soekarno maka ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang perlu diperhatikan yakni yang di beri kuasa harus berada bersama-sama Soekarno menyaksikan penandatanganan dan penerimaan mandat dalam prosesi protokoler kepresidenan, serta saksi menyaksikan sehingga memiliki kesahihan atau memiliki legitimacy yang cukup.
Apabila Proses permintaan pengadaan Supersemar yang hanya di hadiri oleh petinggi angkatan darat, sehingga terkesan subyektif, hal ini tampak sekali bahwa tidak memiliki legitimacy serta memiliki penafsiran tertentu yakni seolah-olah Bung Karno menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Soeharto, dan Soeharto boleh melakukan apa saja untuk menangani masalah keamanan dan ketertiban.
Ketika pengambil alihan kekuaasaan oleh Rezim Orde Baru serta membentuk MPRS dan meminta pertanggung jawaban Soekarno. Soekarno tetap hadir sebagai seorang negarawan dan memberikan pidato pada sidang tersebut dengan judul ”jangan sekali – kali meninggalkan sejarah” bahkan ia mengatakan bahwa jika surat perintah 11 maret 1966 bukan berarti pengalihan kekuasaan, tetapi hanya pengalihan wewenang kepada jenderal soeharto untuk memelihara keamanan (Achmad Suhawi - Rajawali Pers – 2009).
Skenario yang di mainkan oleh Soeharto dan TNI – AD menjadi sesuatu yang menarik sepertinya apa yang di lakukan Soeharto tidak jauh beda dengan rezim di negara lain sperti yang di gambarkan oleh Daniel Dhakidae bahwa, rezim yang berkuasa di sana adalah rezim bahkan fasis ?. Kebrutalan rezim otoriter seperti Idi Amin di Uganda, bahkan Plot Pot di Kambodia oleh para ahli ilmu politik tidak digolongkan dalam suatu rezim (Daniel Dhakidae – Gramedia – 2003).
Permasalahaan yang membutuhkan jawaban adalah bahwa supersemar adalah sebuah produk rezim otoriter yang melalui proses pembantaian sejumlah orang dengan maksud menciptkan ketidakstabilan dalam masyarakat, sehingga menciptakan image atau citra di masyarakat bahwa tidak adanya rasa aman sehingga negara memerlukan tentara untuk memberikan rasa aman. Tentara terlibat politik bukan karena lemahnya sipil tetapi dorongan yang kuat dalam diri militer untuk berada dala pusaran kekuasaan. Sehingga ketika upaya tentara melalui berbagai siasat supersemar berhasil di tanda tangani oleh Sokerno, tentara dalam hal ini Soeharto merasa bahwa kekuasaan sudah di serahkan sepenuhnya padahal hanayalah wewenang untuk menciptakan stabilitas namun di taksirkan sebagai penyerahan kekuasaan, padahal apabila penyerahan kekuasaan harusnya melalui proses kenegaraan. Sehingga lebih cenderung dikategorikan sebagai kudeta politik.
Supersemar adalah sebuah langkah politik militer untuk menguasai kekuasaan atau ranah politik yang selama ini di kuasai oleh kekuatan Bung Karno dan PKI sedangkan Militer tidak merasa nyaman karena di dominasi oleh PKI sehingga TNI bagaimana berupaya untuk menguasai ranah politik tersebut. namun proses penguasaan ranah politik melalui cara yang tidak elegent.
Supersemar sebagai surat sakti bagi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan, surat tersebut dapat di katakan bahwa hasil pemikiran TNI dan melalui penekanan untuk melakukan penandatanganan. Apabila surat tersebut murni pemikiran Soekarno maka Soekarno tidak perlu di kerangkeng di istana Bogor, dan pasca masa kekuasaannya Soekarno tidak di batasi hak politiknya, serta memberikan perhatian bagi mantan pejabat negara dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang disediakan. Sepertinya Soekarno diperlakukan sebagai tahanan rumah, padahal tidak ada pengadilan yang memberikan pengadilan bagi dirinya. Dengan demikian maka Supersemar sebagai alat politik untuk pengambilalihan kekuasaan.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI.
Langganan:
Postingan (Atom)