"SUPERSEMAR ALAT ALIH KEKUASAAN”
*Yoyarib Mau
Salah satu permasalahan yang belum tuntas dalam sejarah bangsa Indonesia adalah masalah Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar) dari kepemimpinan Soeharto, BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono. Surat ini hingga hari ini masih menjadi perdebatan yang hangat, para sejarawan terbagi dalam dua faksi yang masing-masing memiliki argument yang kuat guna menegaskan kebenaran bahwa surat ini memiliki kekuatan validitas yang dapat di percaya.
Perdebatan ini mengalami kebuntuan karena Surat Supersemar yang asli hingga hari ini belum ditemukan sehingga tercipta dualisme pemikiran dalam masyarakat, padahal supersemar merupakan catatan sejarah dalam perjalanan bangsa namun tak di temukannya keaslian dari surat ini dapat berimplikasi bagi pendidikan sejarah, dapat terjadi distorsi pemahaman karena ada benang kusut yang belum terurai sehingga menimbulkan kekaburan pemahaman.
Kekaburan sejarah dapat menimbulkan pemahaman sejarah yang tidak sempurna bahkan dapat mengarah kepada penafsiran yang mengalami bias sehingga menghadirkan kebingungan yang kemudian membentuk karakter bangsa yang mudah tidak percaya terhadap sejarah, apalagi topic ini merupakan tonggak sejarah yang masuk dalam kurikulum pendidikan dasar.
Pendidikan dasar merupakan foundasi awal membangun karakter serta jiwa nasionalisme anak bangsa jika diawali dengan ketidakpastian dan kejelasan pemahaman maka akan berdampak secara sistemik dalam keberlanjutan berpikir sebagai bangsa peragu, karena dari awal saja sudah terbangun pemahaman yang membingungkan.
Sekelumit Masalah
Kondisi hadirnya surat perintah sebelas maret ini dilator belakangi oleh kondisi negara yang sangat tidak stabil pasca peristiwa G30S/PKI - Gestapu (Gerakan Tiga puluh September) dimana tekanan rakyat untuk membubarkan PKI yang dianggab sebagai biang pembantaian melalui bukti-bukti pada waktu itu (Sulastomo – Transisi Orde Lama ke Orde Baru – Kompas – 2008), namun menurut Baskara T. Wardaya bahwa pihak Angkatan Darat melemparkan tuduhan bahwa PKI-lah yang secara penuh bertanggung jawab atas peristiwa berdarah itu, terhadap sejumlah petinggi perwira ABRI, Sehingga salah satu perwira yang waktu itu memiliki posisi yang strategis yakni Mayjen Soeharto melakukan konsolidasi di internal ABRI khususnya AD (Angkatan Darat) melakukan berbagai bentuk kampanye media untuk memperkuat kesimpulan keterlibatan PKI dan kemudian dilanjutkan dengan pembantaian masal terhadap mereka yang diduga terlibat dalam PKI (Baskara T. Wardaya - Membongkar Supersemar - Galangpress – 2009) untuk melakukan pembubaran terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia), kondisi ini bergeser dimana isu pembubaran PKI tidak lagi menjadi agenda utama tetapi beralih kepada isu yang mempersoalkan kebijakan pemerintah mengapa Bung Karno tidak bersedia membubarkan PKI (Sulastomo – Kompas – 2008).
Apabila kebijakan pemerintah yang dipersoalkan maka yang memiliki legitimasi untuk menentukan kebijakan adalah President, suatu sisi ada korban yang telah tewas yakni 7 petinggi AD dan Mayjen Soeharto telah mengkonsolidasikan internal AD untuk melakukan penanganan dan pembantaian terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI.
Peristiwa G30S/PKI dan proses penanganannya yang dilakukan oleh TNI-AD telah terbangun image dalam masyarakat bahwa terjadi dualisme kepemimpinan yakni, Mayjen Soeharto yang pada waktu itu sebagai Panglima Kostrad yang mencanangkan tema melaksanakan Pancasila dan dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen seperti berada di atas angin karena momentum dan sepertinya mengambil alih dalam melakukan pembantaian terhadap PKI, karena PKI yang di tuduh merongrong Pancasila harus dilawan. Di lain kesempatan ada President Soekarno sebagai pemimpin negara yang legitimate yang seharusnya diminta pendapat tidak dilibatkan.
Permasalahan ini membutuhkan pertanyaan pengarah guna memahami pendalaman pembahasan makalah ini maka pertanyaannya, ”apakah supersemar sebagai bukti legitimasi pengalihan kekuasaan atau sebuah penafsiran”?
Kepentingan Rezim
Pemahaman terhadap adanya Supersemar membutuhkan pemahaman dan kajian yang matang sehingga dapat menemukan pemahaman yang benar dan proporsional, oleh karena itu pemikiran yang tepat untuk menganalisa makalah ini maka, Dwight J. King mengusulkan sebuah teori yakni, ”bureaucratic – authoritarian regime” di sana kekuasaan berada dalam suatu oligarki, sekumpulan orang, lembaga dalam hal ini militer sebagai suatu institusi, dan bukan berada pada seseorang sebagai penguasa individu (Daniel Dhakidae - Cendekiawan dan Kekuasaan - Gramedia – 2003)
Setiap keputusan yang dikeluarkan atau diterbitkan harus berdasarkan kajian dan pertimbangan yang matang sehingga tidak menimbulkan polemik atau kontra-produktif serta bersifat petunjuk teknis untuk melaksanakan sebuah keputusan.
Meningkatnya eskalasi politik di mana PKI memiliki kekuatan yang kuat di tengah masyarakat menimbulkan resistensi di tengah kekuatan politik lain hal ini menimbulkan kegelisahan dalam kelompok lain. Sehingga sesuailah apa yang di katakan Laswell dalam buku “Who Gets What, When, How” mengatakan, politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik -Gramedia – 2008). Ditambahkan dengan kecenderungan Soekarno dengan ideologi ”NASAKOM” pertarungan ini menimbulkan ketegangan yang menurut Achmad Suhawi, menimbulkan segitiga kekuatan antara PKI - Bung Karno - TNI (Angkatan Darat), (Achamad Suhawi - Gymnastik Politik Nasionalis Radikal - Rajawali Pers – 2009) pertarungan kekuatan ini lah yang menjadi embrio lahirnya supersemar.
Padahal konsep Nasakom Bung Karno merupakan sebuah strategi politik untuk merangkul kekuatan Nasionalis, Agamais, dan Komunis dalam kabinetnya. Kekuatan Nasional di sokong oleh PNI (Partai Nasional Indonesia) partai yang mendukung Bung Karno, sedangkan kekuatan politik yang lain adalah kekuatan Agama dan yang ketiga adalah kekuatan Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai terbesar kedua pada masa itu.
Berdasarkan pertimbangan aspek Historis maka menurut Boni Hargens, pemikiran Angkatan Darat yang hadir sebagai salah satu kekuatan karena dalam sejarah TNI bukanlah organisasi ketentaraan yang dibentuk oleh negara melainkan dibentuk secara sukarela oleh para tentara sendiri dari para bekas pejuang PETA dan KNIL, karena dibentuk secara otonom tanpa campur tangan negara, maka tentara Indonesia memiliki keyakinan bahwa tentaralah yang mendirikan republik ini, sehingga sudah semestinya dilibatkan dalam proses politik dan social (Saurip Kadi - Menata Ulang Sistem Demokrasi dan TNI Menuju Peradaban Baru - Parrhesia – 2006). pemikiran ini dapat dibenarkan karena TNI merasa bahwa adanya kemerdekaan Indonesia karena peran besar TNI sehingga menguatnya kekuatan politik PKI yang mendominasi panggung politik waktu itu sepertinya menggeser posisi TNI sehingga berbagai upaya politik pun dapat di lakukan untuk mendapatkan porsi dalam panggung politik.
Kondisi ini menjadi kesempatan bagi internal TNI untuk melakukan konsolidasi guna hadir dalam panggung politik, apalagi kondisi internal TNI terpecah antara AL (Angkatan Laut) dan AU (Angkatan Udara) lebih mendekat ke Soekarno atau dalam Barisan Soekarno (Baskara T. Wardaya - Galangpress – 2009). Sepertinya gejolak perlawanan ada dalam tubuh TNI – AD sehingga berbagai upaya dilakukan untuk menguasai pemerintaan. Karena PKI sudah dilumpuhkan dengan kekuatan militer penuh, PNI di mana pendiri partai atau simbol Partai ada pada Soekarno dikandangkan maka dua kekuatan ini telah lumpuh sehingga dengan sendirinya satu kekuatan yang tersisih yakni TNI (AD) memegang kekuasaan.
Ketika kemenangan sudah di kuasai maka ada upaya lebih konkrit lagi yakni mengusai dengan berperan aktif sebagai penentu kebijakan. Perebutan kekuasaan ini dilakukan secara terang-terangan dimana saat rapat kabinet sebagai bentuk konsolidasi pemerintahan pada waktu itu oleh Kabinet Gotong royong namun tak selang beberapa lama, rapat kabinet dihentikan oleh karena istana di kepung oleh sejumlah pasukan akibatnya, President Soekarno diamankan ke Istana Bogor dan selang beberapa lama tiga orang Jenderal TNI AD sebagai utusan Jenderal Soeharto yakni Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud, memeperingatkan Bung Karno akan adanya kekacauan di waktu mendatang sehingga perlu dikeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret ( Supersemar) insiden ini menggagalkan sejumlah agenda rapat yang hendak di lakukan oleh Bung Karno (Achamad Suhawi - Rajawali Pers – 2009).
Supersemar Alat Politik
Mengikuti persoalan diatas dapatlah disimpulkan bahwa hal ini terjadi melalui sebuah skenario besar (by design) dimana TNI-AD yang memiliki peran penting dan Soeharto sebagai tokoh sentral, yang menurut Baskara T. Wardaya bahwa, pasukan liar itu adalah pasukan AD yang berjumlah dua kompi atau 80 personil yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi. Sarwo Edhi mendpat perintah dari Kemal Idris, sedang Kemal Idris mendapat instruksi mengenai pengerahan pasukan tanpa atribut itu dari Letjen Soeharto (Baskara T. Wardaya - Galangpress – 2009).
Memang kebenaran sulit untuk di dapatkan bahwa TNI – AD berperan dalam scenario besar ini namun ada indikasi-indikasi sosial dan psikologis yang dapat mengarahkan tuduhan bahwa TNI-AD berperan dalam upaya adanya Supersemar. Karena seharusnya yang harus ke bogor adalah para kabinet yang tetap melanjutkan sidang kabinet dimana Soekarno sebelum meninggalkan Istana Jakarta menuju Ke Bogor menyerahkan palu pimpinan sidang kepada Waperdam II dr. Johanes Leimena (Baskara T. Wardaya - Galangpress – 2009), seharusnya apabila keadaan genting maka TNI harus mampu memberikan pengawalan secara sempurna bagi para kabinet atau bersama-sama dengan sejumlah petinggi Militer menghadap Soekarno yang ada di Bogor.
Kenyataannya adalah yang menghadap adalah hanya tiga petinggi militer dengan menyampaikan permintaan yang perlu di keluarkan Surat Perintah untuk mengatasi situasi (Achmad Suhawi - Rajawali Pers – 2009). kelihatanya bahwa semua target yang akan di capai sudah di rencanakan oleh TNI –AD tanpa mengkoordinasikannya lagi dengan Kabinet dimana mengetahui hasil sidang kabinet. Sehingga tidak di salahkan bahwa apa yang di lakukan ini adalah tidak memiliki legitimasi karena tanpa ada koordinasi dengan kabinet.
Jika benar hal ini adalah tuntutan rakyat maka proses penyerahan mandat harus di saksikan wakil- wakil rakyat yang pada waktu itu, dan kabinet terwakilkan dalam Kabinet Gotong Royong. Apabila Supersemar murni di keluarkan oleh Soekarno maka ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang perlu diperhatikan yakni yang di beri kuasa harus berada bersama-sama Soekarno menyaksikan penandatanganan dan penerimaan mandat dalam prosesi protokoler kepresidenan, serta saksi menyaksikan sehingga memiliki kesahihan atau memiliki legitimacy yang cukup.
Apabila Proses permintaan pengadaan Supersemar yang hanya di hadiri oleh petinggi angkatan darat, sehingga terkesan subyektif, hal ini tampak sekali bahwa tidak memiliki legitimacy serta memiliki penafsiran tertentu yakni seolah-olah Bung Karno menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Soeharto, dan Soeharto boleh melakukan apa saja untuk menangani masalah keamanan dan ketertiban.
Ketika pengambil alihan kekuaasaan oleh Rezim Orde Baru serta membentuk MPRS dan meminta pertanggung jawaban Soekarno. Soekarno tetap hadir sebagai seorang negarawan dan memberikan pidato pada sidang tersebut dengan judul ”jangan sekali – kali meninggalkan sejarah” bahkan ia mengatakan bahwa jika surat perintah 11 maret 1966 bukan berarti pengalihan kekuasaan, tetapi hanya pengalihan wewenang kepada jenderal soeharto untuk memelihara keamanan (Achmad Suhawi - Rajawali Pers – 2009).
Skenario yang di mainkan oleh Soeharto dan TNI – AD menjadi sesuatu yang menarik sepertinya apa yang di lakukan Soeharto tidak jauh beda dengan rezim di negara lain sperti yang di gambarkan oleh Daniel Dhakidae bahwa, rezim yang berkuasa di sana adalah rezim bahkan fasis ?. Kebrutalan rezim otoriter seperti Idi Amin di Uganda, bahkan Plot Pot di Kambodia oleh para ahli ilmu politik tidak digolongkan dalam suatu rezim (Daniel Dhakidae – Gramedia – 2003).
Permasalahaan yang membutuhkan jawaban adalah bahwa supersemar adalah sebuah produk rezim otoriter yang melalui proses pembantaian sejumlah orang dengan maksud menciptkan ketidakstabilan dalam masyarakat, sehingga menciptakan image atau citra di masyarakat bahwa tidak adanya rasa aman sehingga negara memerlukan tentara untuk memberikan rasa aman. Tentara terlibat politik bukan karena lemahnya sipil tetapi dorongan yang kuat dalam diri militer untuk berada dala pusaran kekuasaan. Sehingga ketika upaya tentara melalui berbagai siasat supersemar berhasil di tanda tangani oleh Sokerno, tentara dalam hal ini Soeharto merasa bahwa kekuasaan sudah di serahkan sepenuhnya padahal hanayalah wewenang untuk menciptakan stabilitas namun di taksirkan sebagai penyerahan kekuasaan, padahal apabila penyerahan kekuasaan harusnya melalui proses kenegaraan. Sehingga lebih cenderung dikategorikan sebagai kudeta politik.
Supersemar adalah sebuah langkah politik militer untuk menguasai kekuasaan atau ranah politik yang selama ini di kuasai oleh kekuatan Bung Karno dan PKI sedangkan Militer tidak merasa nyaman karena di dominasi oleh PKI sehingga TNI bagaimana berupaya untuk menguasai ranah politik tersebut. namun proses penguasaan ranah politik melalui cara yang tidak elegent.
Supersemar sebagai surat sakti bagi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan, surat tersebut dapat di katakan bahwa hasil pemikiran TNI dan melalui penekanan untuk melakukan penandatanganan. Apabila surat tersebut murni pemikiran Soekarno maka Soekarno tidak perlu di kerangkeng di istana Bogor, dan pasca masa kekuasaannya Soekarno tidak di batasi hak politiknya, serta memberikan perhatian bagi mantan pejabat negara dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang disediakan. Sepertinya Soekarno diperlakukan sebagai tahanan rumah, padahal tidak ada pengadilan yang memberikan pengadilan bagi dirinya. Dengan demikian maka Supersemar sebagai alat politik untuk pengambilalihan kekuasaan.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar