KPK TERLAHIR UNTUK SIAPA ?
*Yoyarib Mau
Komisi Pemberantasan Korupsi terlahir dari proses yang panjang karena tidak bekerja secara optimal institusi penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan, banyaknya koruptor yang melarikan diri ke luar negeri seperti Edy Tansil dengan kasus pembobolan Bank Bapindo melalui perusahaannya PT. Golden Key yang mendekam di penjara LP. Cipinang tetapi mampu melarikan diri yang diduga melarikan diri ke China, Marimutu Sinivasan dalam kasus korupsi Bank Muamalat dan diduga melarikan diri ke India, Sjamsul Nursalim terlibat kasus korupsi BLBI Bank BDNI termasuk Bambang Soetrisno dan Adrian Kiki Ariawan , Maria Pauline kasus pembobolan BNI yang juga diduga melarikan diri ke Singapura dan Belanda (Majalah Forum No. 17/15-21 Agustus 2011).
Ada sejumlah nama kurang lebih 40 nama koruptor yang melairkan diri ke luar negeri tanpa mengikuti proses hukum, pelarian mereka di sebabkan oleh kinerja penegak hukum yang tidak bekerja optimal bahkan terlibat berkompromi dalam memudahkan proses pelarian mereka. Kondisi ini membuat negara mengalami kerugian yang sangat besar karena uang negara dibawa kabur oleh koruptor kondisi ini akan menggiring negara menuju negara gagal.
Kondisi ini jika dibiarkan tanpa pencegahan dan pemberantasan maka kondisi negara gagal tidak akan terhindarkan, oleh karena upaya yang harus ditempuh oleh negara adalah upaya supremasi hukum dengan diperlengkapi dengan kebijakan yang kuat yakni perundang-undangan sebagai dasar operasional negara dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Sesuai semangat reformasi maka peranan MPR yang masih memiliki kewenangan kuat sebelum UUD 1945 diamandemen, dalam Pasal 1 ayat 2 “kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” sehingga MPR melalui kewenangannya menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dan Bersih dari KKN, ketetapan MPR tersebut di wujudkan dalam UU 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dan Bersih dari KKN serta UU 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Korupsi Pidana Korupsi yang kemudian di ubah menjadi UU 20 Tahun 2001 namun karena kerja para penegak hukum tidak maksimal dalam proses hukum bahkan terlibat dalam KKN sehingga pemberantasan korupsi mandek.
Pemberantasan korupsi yang mandek dan berjalan di tempat karena institusi penegak hukum yakni Kepolisian dan Kejaksaan Agung tidak optimal bahkan terlibat praktek KKN dengan menerima suap sehingga proses penegakan hukum berjalan di tempat bahkan korupsi semakin meningkat sehingga menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat kemudian mendorong agar pemberantasan korupsi di institusionalisasikan menjadi lembaga yang mandiri dan independen serta memiliki sejumlah kewenangan sebagai lembaga negara tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan apapun.
Proses Institusionalisasi KPK di atur dalam UU 30 tahun 2002, tahun 2003 lembaga ini mulai bekerja dengan langkah yang tertatih karena lembaga negara yang membutuhkan stategi dan kematangan dalam proses penanganan korupsi, era keemasan KPK menuai pujian dan pencapaian prestasi yang patut mendapatkan acungan jempol yakni pada tahun 2008 di bawah pimpinan Antasari Azhar yang mampu memenjarakan mantan Kapolri Rusdihardjo ke tahanan Brimob Kelapa Dua, mantan pejabat senior Bank Indonesia yakni Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak, dan juga bekas Gubernur Bank Indonesia Burhanudin Abdullah. Gebrakan yang dilakukan oleh Antasari Azhar tidak pandang buluh bahkan lembaga yang pernah membesarkan namanya pun di terobos yakni menangkap basah Jaksa Urip Tri Gunawan dan Arthalita Suryani tangan kanan Sjamsul Nursalim.
Sejumlah kasus yang di tangani KPK begitu luar biasa hampir di tiap tingkatan pemerintahan KPK berani melakukan penanganan seperti Gubernur Riau Saleh Djasit, bahkan Nur Amin Nasution tertangkap tangan menerima sogok di sebuah hotel berbintang. Prestasi yang menunjukan KPK tidak tebang pilih yakni Aulia Pohan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tak luput dari gebrakan KPK, public merasa puas dan menaruh harapan besar terhadap institusi ini.
Kekuatan elite merasa di pecundangi oleh kinerja KPK dan sikap iri sejumlah lembaga penegak hukum atas kinerja KPK sehingga KPK seperti dijadikan musuh bersama yang kemudian diduga Antasari Azhar di jebak dengan seorang pelayan golf yang merupakan Istri kesekian dari Nazarudin Zulkarnain yang berakhir dengan kematian Nazarudin.
Kasus ini menyebabkan Antasari harus mendekam di penjara dan otomatis dinonaktifkan dari pimpinan KPK, kekosongan kepemimpinan ini maka Presiden menunjuk Tumpak Hatorangan Panggabean untuk mengisi keanggotaan KPK yang kemudian melalui rapat unsur pimpinan KPK yang memutuskan Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai ketua sementara, walaupun waktu itu itu umur Tumpak telah melewati batas yang di tentukan oleh UU, dalam UU 30 Tahun 2002 Pasal 29 ayat “e” untuk dapat diangkat sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : “berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan” sedangkan saat itu Tumpak Hatorangan Panggabean yang lahir pada tahun 1943 sehingga sudah berumur 66 Tahun tetapi di paksakan karena ditunjuk langsung oleh Presiden.
Satu tahun kemudian maka dilakukan pemilihan pimpinan KPK untuk menggantikan Tumpak maka Busyro Muqoddas yang adalah mantan Ketua Komisi Yudisial pada masa periode pertama SBY dan JK memimpin yang terpilih untuk menggantikan Tumpak Hatorangan Panggabean. Busyro terpilih dengan jumlah 43 suara, dari 55 suara Komisi III, dengan presentasi 13 anggota dari Fraksi Demokrat, 9 anggota dari Fraksi Golkar, 9 anggota dari Fraksi PDIP, 4 anggota dari Fraksi PKS, 4 anggota dari Fraksi PPP, 4 anggota dari Fraksi PAN, 3 anggota dari Fraksi PKB, 3 anggota dari Fraksi Gerindra, 2 anggota dari Fraksi Hanura dan ditambah empat pimpinan KPK lainnya (http://nasional.vivanews.com/news/read/190630).
Dari jumlah komposisi anggota fraksi di Komisi III tersebut maka sudah diduga bahwa kemana setgab (sekretariat gabungan) partai pendukung SBY- Boediono berpihak maka kemenangan sudah tentu ada ditangan Busyro. Kenyataan yang terjadi setelah didekamnya Antasari Azhar dalam jeraji besi timbul pertanyaan mengapa pembarantasan korupsi makin melemah dan meningkat ? mengapa korupsi yang melibatkan partai penguasa serta anggota partai pendukung pemerintahan yang melakukan korupsi terkesan dilindungi sedangkan anggota korupsi yang dilakukan oleh lawan politik langsung di jebloskan ke penjara walau penyuapnya tidak dihadirkan dalam persidangan ?
Dibajak Atas Nama Keselamatan Kekuasaan
KPK hadir dengan bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun sehingga tidak dapat diintervensi, Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia menuliskan bahwa, “salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol adalah ialah “hipokritis alias munafik” berpura-pura, lain dimuka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka di paksa oleh kekuatan – kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendaki, karena takut akan mendapatkan ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya (Mochtar Lubis – Yayasan Obor Indonesia - 2008).
Kekuatan – kekuatan yang menekan sehingga orang tidak berani mengatakan “A” jika “A” tetapi akan memplintir karena tekanan sang penguasa, sejak penunjukan KPK secara langsung oleh Presiden menghadirkan berbagai spekulasi diantaranya dari Hasyim Muzadi yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU menilai bahwa; adanya pimpinan KPK yang dipilih Presiden membuat lembaga itu kian terkooptasi kepentingan pemerintah. Pemberantasan korupsi menjadi kian jauh dari tujuannya karena independensi KPK kian menipis (http://www.kpk.go.id/modules/news/article).
Terseret Dalam Pola Patron - Klien
Pendapat Hasyim Muzadi seperinya memberikan signal bahwa KPK tidak lagi dapat di percaya karena menjadi perpanjangan tangan penguasa, Hubungan KPK dan Penguasa dalam hal ini Presiden, lebih mengarah pada hubungan “patron-klien” yakni hubungan muatualisme hubungan saling menguntungkan, yang berperan sebagai patron adalah Presiden dan Klien adalah KPK. Padahal seharusnya KPK di beri wewenang sebagai patron dengan berklien dengan rakyat.
Presiden yang menentukan Tumpak dan juga partai penguasa dan seluruh partai pendukung yang tergabung dalam “setgab” apabila mereka memilih Busyro Muqoddas maka sudah tetentunya mereka menerapkan rumus baku yakni pola “take and give” pola ini memiliki kesamaan dengan pemikiran Harold D. Laswell dalam bukunya who gets what, when dan how, mengatakan politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana ? sepertinya deal antara pimpinan KPK dan penguasa bahwa dukungan suara keterpilihan mereka dari partai-partai pendukung pemerintahan, namun dengan syarat memberikan jaminan untuk tidak menggangu atau tidak memojokan, tetapi melindungi petinggi partai penguasa jika melakukan korupsi.
Pemikiran diatas dapat di benarkan dengan proses hukum terhadap para anggota DPR periode 1999 - 2003 yang kebanyakan dari partai politik yang beroposisi dengan pemerintah, mereka didakwa terlibat suap dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia dimana sejumlah anggota DPR yang terlibat langsung di jebloskan ke penjara walau penyuapnya Nunung Nurbaitie tidak hadir dalam pengadilan, yang di menangkan untuk menduduki posisi Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom bebas berkeliaran, sedangkan jika di bandingkan dengan penyelesaian kasus korupsi atlet wisma atlet dan korupsi kementrian tenaga kerja dan transmigrasi kelihatannya hanya menjerumuskan mereka yang menjadi tumbal sedangkan pimpinan partai diduga akan bebas.
Jika pola ini tetap di pertahankan bahwa pemilihan pimpinan KPK masih dilakukan dengan intervensi kepentingan “sekretariat gabungan” tanpa memberikan kebebasan bagi para anggota komisi III untuk bebas menentukan pimpinan KPK berdasarkan rasionalitas serta dorongan tulus hati nurani maka KPK hadir diatas kertas adalah lembaga negara yang independen dan tidak dapat diintervensi oleh penguasa tetapi kenyataannya hadir untuk penguasa maka korupsi dalam negara tidak akan berakhir padahal uang negara sudah dialokasikan dalam jumlah yang cukup banyak untuk lembaga KPK dalam memberantas korupsi namun kinerja KPK tersandra dengan kepentingan penguasa sehingga tidak memberikan kepuasan bathin bagi rakyat. Para pimpinan KPK harus mampu menempatkan lembaga ini setara dan mitra kerja dengan Presiden dan bukan memosisikan diri sebagaimana patron-klien yang bekerja untuk President.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar