Sabtu, 24 Desember 2011

"STOP !!! PEMBAJAKAN NATAL"

“STOP !!!! PEMBAJAKAN NATAL”
*Yoyarib Mau

Meriahnya Natal konteks kekinian, yang ditampilkan dalam panggung kemeriahan perayaan Natal sepertinya sangat berbeda dengan momentum awal terciptanya Natal yang hadir dalam kesederhanaan dan kehinaan. Zaman dengan keterbatasan akses untuk mendapatkan pelayanan pemerintahan waktu itu, ketidakperdulian masyarakat Yahudi terhadap perempuan yang hamil tua sehingga rumah mereka pun tidak di ijinkan bagi Yusuf dan Maria untuk mendapatkan tempat perteduhan yang layak. Herodes dengan kekuasaannya yang mendapatkan kabar berita bahwa telah lahir seorang bayi yang dinubuatkan sebagai Mesias, dirinya ketakutan (paranoid) merasa kekuasaannya terancam karena telah hadir raja baru, sehingga Herodes memerintahkan untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir, sebuah genosida yang dalam sejarah manusia, dapat dikategorikan sebagai Negara yang melakukan pelanggaran HAM berat.

Berbeda dengan perayaan Natal hari ini begitu berbeda dengan konteks waktu lampau. Natal diidentikan dengan berbagai ornament yang menjadi ciri Natal, Natal telah di disimbolkan dengan berbagai simbol, ada pohon natal yang kemudian menjadi trend bagi masyarakat dunia untuk selalu menyediakan pohon natal di setiap rumah bahkan gedung besar seperti perkantoran, gedung pertemuan, bahkan lebih-lebih Mall (pusat perbelanjaan) berlomba untuk membuat pohon natal dengan ukuran tertentu dengan berbagai ornament yang di produksi oleh perusahaan bahkan semua komunitas atau perorangan berusaha untuk membentuk pohon natal yang tertinggi untuk memecahkan rekor serta tercatat dalam rekor Museum Dunia atau Indoensia – MURI, perilaku ekonomi ini kemudian membentuk Natal sebagai momentum peluang ekonomi bagi usaha ornament natal.

Di lain kesempatan perayaan Natal dijadikan ajang konsolidasi politik para politisi dengan memerankan peran sebagai Sinterklas yang dalam cerita-cerita natal berperan sebagai tokoh yang memiliki kemurahan hati dengan segala niatnya untuk membagi hadiah atau bingkisan natal bagi anak-anak. Para politisi atau pejabat publik mensiasati hal ini dengan tidak menyediakan bingkisan natal, tetapi menyediakan sejumlah amplop yang berisi uang yang akan dibagikan bagi masyarakat atau konstituen yang berkunjung ke rumah dalam amplop tersebut sudah tersedia kartu ucapan selamat dari sang politisi. Bahkan jamuan makan bersama juga tersedia untuk publik, tidak saja itu penyebaran kartu ucapan serta pemasangan baliho ucapan selamat natal tersebar di setiap persimpangan jalan.

Kondisi ini dalam era demokrasi perayaan natal dilakukan dalam kebebasan alam demokrasi, sehingga menghadirkan pertanyaan, apa yang mendorong pemaknaan terhadap natal di lakukan dalam semangat yang menggeser makna pelepasan dan pembebasan yang di hadirkan Mesias sang bayi Natal itu di kandang domba ? Teknologi menghadirkan kemajuan dan kreatifitas yang cukup tinggi jauh melampaui peradaban waktu bayi natal itu lahir, sehingga melihat momentum perayaan sebagai sebuah peluang bisnis yang menggiurkan tidak hanya itu dalam bidang politik juga melihat momentum ini sebagai kesempatan untuk melakukan pencitraan atau konsolidasi kekuasaan. Sehingga premis yang mengatakan bahwa poilitik dan ekonomi bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Filsuf Rene Descartes yang mendahulukan pemikiran atau nalar atas materi mengungkapkan “cogito ergo sum” saya berpikir maka saya ada, membuat manusia menjadi istimewa karena proses berpikir tersebut. Namun dalam perjalanan waktu tesis Rene Descartes di kembangkan oleh seorang penulis sajak Peter Meinke menjadi sebuah antitesa yakni “libido ergo sum” yang berarti aku punya nafsu maka aku ada atau aku ada karena aku memiliki libido.


Pergeseran Makna Natal

Nafsu selalu ada dalam diri manusia sebagai sesuatu yang alami namun bagaimana mengelola nafus tersebut agar tidak melampaui batas kemanusiaan, nafsu selalu melibatkan orang lain, atau bagaimana menguasai dan berkuasa atas orang lain. Nafsu selalu memiliki orientasi ekonomi dan kekuasaan karena menyangkut pengaruh untuk menguasai seumber daya alam bahkan produksi, nafsu selalu memiliki orientasi yang tidak bisa di tawar yakni keuntungan ekonomis. Sehingga ketika natal tiba segala upaya kemeriahan yang diciptakan dengan tujuan untuk menghidupkan suasan natal atau dengan memiliki ornament natal maka dapat berperan sebagai alat untuk menolong pertumbuhan iman jemaat, sebenarnya ada terjadi pergeseran makna dalam pemahaman ini tapi wajarlah bahwa kepentingan ekonomi pun harus memiliki kemapuan untuk merasionalisasi produknya agar terjual di pasar.

Para pelaku ekonomi bagaimana menciptakan suasana natal di berbagai pusat perbelanjaan (mall) dengan menghadirkan paduan suara, artis untuk melantunkan pujian natal dengan harapan mampu menarik simpati para pembeli ke pusat perbelanjaan tersebut. Sedangkan di lain hal para politisi atau pejabat publik berusaha melakukan “open house” di kediamannya untuk menarik simpati para warga masyarakat hadir dalam rumahnya, atau membagi bingkisan natal ke sejumlah warga dengan kartu ucapan natal dan potret diri sebagai bentuk kepedulian. Pemikiran awal bahwa dengan melakukan open house atau pembagian bingkisan natal yakni membagi rezeki yang di miliki dengan orang lain. Model libido ini adalah sesuatu upaya untuk menyatakan diri bahwa diri sang penguasa ada bersama dengan masyarakat, atau pemikiran para pebisnis yang memproduksi ornament natal berpendapat bahwa mereka juga memiliki peran mulia yakni menghadirkan natal di tengah-tengah jemaat.


Sejatinya Natal

Namun semangat natal sesungguhnya tidak seperti yang di hadirkan berdasarkan “libido ergo sum” sebenarnya Natal yang sesungguhnya yakni semangat pembebasan manusia dari ketertindasan, kemiskinana dan belenggu yang mengikat dan membuat manusia tidak berdaya. Tatkala Yesus di lahirkan di kandang dombaa adalah sebuah pesan penting bahwa natal ada untuk membebaskan manusia dari kemiskinan, mau menunjukana bahwa penguasa yang berkuasa saat itu gagal dan menggiring rakyat ada dalam kegelapan, hanya menjalankan dinasti kekuasaan tanpa memikirkan kesejahteraan rakyatnya.

Tawaran pemikiran Rene Descartes sangatlah tepat untuk memberikan sebuah panduan dalam memahami dan memaknai natal yakni “cogito ergo sum” aku berpikir maka aku ada, tawaran pemikiran merupakan sebuah jalan dialektika dalam meretas kebuntuan ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan dan kelaparan dalam masyarakat tidak diobati dengan kehadiran bingkisan natal dari para penguasa serta open house yang dilakukan di rumah para pejabat yang hanya menjadi obat penawar sesaat. Jemaat (rakyat) membutuhkan jawaban makna natal itu ada, yakni bagaimana momentum natal seharusnya tercermin nyata dalam kebijakan atau program kerja nyata pemerintah yang dijalankan dalam kehidupan masyarakat.

Cogito lebih mengarah pada praktik pemerintahan dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat, perbuatan-perbuatan buruk pemerintah yakni korupsi yang merajalela dalam masyarakat bagaimana action nyata natal itu adalah menghimbau aparat pemerintah untuk tegas dalam menegakan hukum, mengambil sikap tegas terhadap pelaku koruptor, sehingga manusia cogito adalah manusia natal. Spritualitas keagamaan dengan merayakan natal dibuktikan dengan memperjuangkan keadilan mewujudkan program kerja yang memanusiakan manusia membebaskan manusia dari kebodohan (kegelapan) dan berada dalam terang yakni kehidupan yang layak cukup sandang, pangan dan papan tidak mengalami busung lapar (honger oedema atau kwasiorkor).

Jika masyarakat mampu mewujudkan kidung natal yang memanusiakan manusia lain dengan berlaku tegas dalam menjalankan pemerintahan dengan libido ergo sum yang merupakan perilaku kegelapan yang didorong oleh kepentingan ekonomi untuk mendaapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan juga kekuasaan politik untuk mempertahankan kekuasaan dan membangun dinasti seharusnya di tundukan dalam terang natal yang diwujudkan dengan melakukan peran natal yang sejati dengan cogito ergo sum. Sehingga Natal di tempatkan pada makna sebenarnya tetapi tidak dibajak untuk memenuhi nafsu semata, biarlah spritualitas natal itu dihadirkan untuk kemaslahatan banyak orang.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI (alumni Institut Filsafat Theologia dan Kepemimpinan Jaffray Jakarta)

Selasa, 20 Desember 2011

"MESIAS YANG PARADOKSAL"

“MESIAS YANG PARADOKSAL”

*Yoyarib Mau



Dimanakah kau ketika Ia datang /

Dimanakah kau ketika Ia datang/

Ia telah datang, Sesuai alamat yang dinubuatkan/

Mengosongkan diri dari kemuliaan, Masuk dalam kehinaan/ /



Seluruh alam semesta pun takluk/

Bintang ,Astrologi, Gembala-Domba,Istana kerajaan /

Malak Sorga pun bersorak-sorai/

Sejarah pun mencatat, semua tersungkur/ /




Seiring perjalan waktu/

Semesta yang tidak lagi bersahabat dengan manusia/

Manusia terjangkiti virus Trojan penghilang memori /

Ratu Nunun pun tak luput dari ganasnya virus /

Semua pun terjangkiti serta menyangkal akan Kemesiasan-Nya//



Manusia pun mengambil peran Mesias/

Berbajukan Wakil Rakyat, dengan membajak Demokrasi/

Bermodalkan Uang Century untuk menjadi sosok mesias/

Hadir menawarkan “Amal Mahruf Nahi Mungkar”//



Para Tokoh Agama awalnya menentang Kebohongannya/

Merekalah Yang layak, Karena Sedang Berjalan pada jalan kebenaran/

Dengan dalih memperjuangkan jalan keadilan/

Dalam sekejap kebenaran dan keadilan itu menguap/

Akibat hujan kepingan dana pembinaan umat//



Dengan dilalap api Sondang Hutagalung melawan, bukan Dia – bukan Dia/

Namun Para “Klerus” terinveksi virus lupa/

mengundangnya dalam Yubelium rumah kami/

membentangkan karpet merah kemewahan simbol pengagungan//



Sambil mengepalkan tangan kanan kami dan bersorak…. Hosana-hosana….//

Diberkati Dia yang datang sebagai mesias/

Namun Bersamaan juga tangan kiri kami yang satu diacungkan/

Dan berbisik……. “wani piro - wani piro”//



*Yoyarib Mau (Mahasiswa Ilmu Politik, Kekhususan Politik Indonesia – Sekretaris Fungsional Bidang Aksi dan Pelayanan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) Selamat Merayakan Natal 2011