“POLITIK ENKLAVE DALAM PILKADA
GUBERNUR NTT”
*Yoyarib Mau
Masa Kampanye untuk 5 (lima)
pasangan calon gubernur NTT hampir usai, berbagai strategi dan pola kampanye
dilakukan, baik itu dilakukan oleh partai politik maupun oleh relawan yang
dibentuk independent, tim keluarga dan juga simpatisan. Pola kampanye yang
dilakukan dilakukan melalui tatap muka, mobilisasi masa, bahkan melalui media
elektronik (dunia maya) atau media cetak gencar dilakukan.
Isu sentimental yang dapat dijadikan
isu kampanye yang dilakukan dengan klaim kesukuan, dan agama menjadi barang
yang laku dijual di musim kampanye, suku dan agama dimana asal para kandidat
dijadikan alat propaganda untuk mendapatkan dukungan dari basis suku yang
ada.
Propaganda-propaganda ini, diyakini
sebagai senjata ampuh untuk mendapatkan dukungan, sehingga para kandidat yang
bertarung memperebutkan kursi panas berlomba-lomba menyambangi para turunan
raja dan juga tokoh agama di kediaman mereka atau mengundang mereka untuk hadir
dalam setiap acara terbuka agar terkesan bahwa dukungan sang tokoh dari
turunana raja tersebut menjadi alat perekat bagi masyarakat yang dulunya adalah
bagian dari kerajaan tersebut. Sedangkan
tokoh kharismatis dari unsure agama tertentu dapat menjadi alat untuk menarik
umat untuk mendukung pasangan tertentu.
Model, pola atau strategi yang
dimainkan oleh para pasangan yang bertarung dalam pilgub ini merupakan perspektif
politik praktis yang sektarian karena membangun segregasi dalam masyarakat.
Perspektif politik ini memiliki kecenderungan untuk menciptakan kegaduhan
politik yang membawa NTT berada dalam masa lampau yakni NTT dalam masa
keresidenan.
Kondisi ini menghadirkan pertanyaan,
Mengapa politik sektarian masih
dipelihara dalam era modern, dimana partai politik sebagai salah satu pilar
demokrasi ada untuk memainkan fungsi parpol dalam rekrutmen cawagub dan cawagub
diragukan ?
Modal warisan sisitem pemerintahan
kolonial dengan bentuk keresidenan NTT menjadi sebuah kekuatan politik lokal
yang dipelihara hingga saat ini, keresidenan itu meliputi keresidenan Timor,
Flores dan Sumba, dan daerah kepulauan lainnya. Dalam setiap keresidenan dibagi
lagi dalam kekuasaan raja-raja (Kepala Swapraja), kumpulan raja-raja ini
disetiap keresidenan membentuk kesatuan
yang disebut kerajaan afdeling di Timor, Flores dan Sumba. Raja di sebuah wilayah kekuasaannya membagi
diri dalam kefetoran untuk membantu
raja dalam wilayah kekuasaannya, kefetoran pun untuk menjalankan kekuasaannya
maka kefetoran pun menghimpun wakil-wakilnya dari kelompok-kelompok marga yang
ada di wilayah kefetorannya. Sistim penguasa tradisional ini tidak dengan mudah
di abaikan oleh kehadiran partai politik dalam sistem pemerintahan yang
dijalankan dengan demokrasi seperti saat ini.
Partai politik membutuhkan waktu dan
pola yang tepat untuk menjalankan tujuan partai politiknya dengan tidak
mengabaikan warisan kekuasaan tradisional yang begitu mengakar. Tujuan partai
politik diantaranya; Pertama,
meningkatkan partisipasi politik dari anggota dan seluruh masyarakat untuk kegiatan
politik dan pemerintahan. Tujuan ini bermaksud, partai politik tidak lagi menjadi
partai masa tetapi sudah bergeser menjadi partai kader. Kedua, memperjuangkan
cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Tujuan ini hendak membentuk kader partai yang memiliki ideologi
serta menyalurkan aspirasinya berdasarkan kehendak hatinya dan kenyamanan serta
kesejahteraan yang diperjuangkan partai politiknya. Ketiga, membangun etika
dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
tujuan ini bertujuan agar rakyat tidak membeo atau menurut apa saja yang
diarahkan oleh pimpinan struktural tradisional yakni raja atau kefetoran.
Strategi Politik Enclave
Pendekatan yang dilakukan oleh para
pasangan kandidat dengan melakukan pendekatan terhadap sejumlah turunan raja
untuk mendapatkan dukungan suara dari wilayah swapraja atau kefetoran tertentu
dapat di patahkan dengan melakukan “strategi politik enklave”. Enklave atau die
enklave berasal dari bahasa Prancis yang berarti yakni melakukan pendekatan terhadap “daerah
kantong” atau kampong kantong. Di daerah
NTT kebanyakan hidup dengan model kampung kantong, di sebut kampong kantong
karena di wilayah tersebut berdiam masyarakat dengan marga atau fam tertentu di
kantong tersebut.
Jika dalam kekuasaan tradisional
perwakilan kepentingan hanya diwakilkan kepada fetor atau raja, maka kekuasaan
hanya akan bertumpu pada lingkaran raja dan fetor dan merupakan struktur statis
dan tidak bisa diganggu gugat sedangkan warga dengan marga tertentu yang berada
dalam wilayah kekuasaan fetor atau swapraja tertentu hanya akan tunduk dan taat
sepanjang masa.
Kebekuan struktural ini harus
menjadi tanggung jawab partai politik untuk memainkan fungsi parpolnya yakni
melakukan pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat agar sadar hak dan
kewajibannya sebagai WNI, mengupayakan iklim kondisif bagi persatuan dan
kesatuan demi terciptanya kesejahteran masyarakat yang merata, menyerap dan
menghimpun serta menyalur aspirasi masyarakat secara langsung, melakukan
rekruitmen untuk mengisi jabatan public melalui mekanisme demokrasi.
Partai politik dapat melakukan
fungsi parpolnya secara enclave dimana, disetiap kantong-kantong marga tertentu
direkrut menjadi kader partai politik, tidak melakukan rekruitmen kader hanya
pada raja atau fetor semata. Strategi enklavenya adalah merekrut kader dari
marga-marga di kefeteroan yang menjadi bagian dari kefetoran tersebut. Contoh
di wilayah Kerajaan Amarasi yang terdiri
dari 4 (empat) kefetoran yakni Merbaun, Soba, Buraen dan Oekabiti.
Kefetoran Merbaun yang kemungkinan
besar fetornya adalah marga Amtiran dan rumpun marga terkait di bawahnya adalah
Naisanu, Bureni, Sayuna dan lain sebagainya. Maka kehadiran partai politik
dapat melakukan rekrutmen kader dari marga-marga terkait dibawah rumpun Amtiran
karena tentu marga-marga selain Amtiran bermukim secara enklave (kantong
kampong) dimana marga Naisanu terkonsentrasi di desa atau dusun tertentu
sedangkan marga Bureni juga terkonsentrasi di desa tertentu, untuk menjadi
kader partai sehingga dapat mengurai model kepemimpinan tradisional menjadi
modern dimana semua memiliki hak dan peluang yang sama untuk menjadi kader
partai politik sehingga memiliki kemampuan berpolitik untuk menjadi wakil rakyat.
Mengapa
pentingnya keberadaan partai politik dalam demokrasi, yakni rekruitmen
mengusung kandidat pejabat publik seperti Gubernur dan Wakil Gubernur dalam
pilkada perlu melakukan pendekatan enklave. Stategi ini dimaksudkan agar klaim
bahwa pasangan cagub-cawagub telah melakukan pendekatan terhadap keturunan dari
kerisedenan, kerajaan, atau kefetoran tertentu dengan acara seremonial.
Dimaksudkan sebagai sebuah kesepakatan dukungan secara menyeluruh bagi seluruh
warga masyarakat yang menjadi bagian dari kekuasan tradisional kepada pasangan
dengan nomor tertentu dapat di mentahkan.
Pilkada Gubernur Sebagai Turbulensi
Politik
Pilkada Gubernur bukan kerja
perorangan atau kerja pasangan yang bertarung sendiri dalam memenangkan
pertarungan, tetapi kerja kolektif terutama peran partai politik. Momentum
pilkada gubernur bertepatan dengan perekrutan bakal calon anggota legislatif
dari semua partai politik dalam menyongsong Pemilu Legislatif 2014.
Partai-partai politik pendukung kandidat pasangan tertentu seyogianya melakukan
perekrutan kader secara enklave di seluruh wilayah NTT. Perekrutan ini bertujuan untuk menguji
keberadaan bakal calon legislatif dalam kerja politiknya untuk mendaptkan
dukungan di wilayah enklavenya.
Partai politik harus menjadikan Pilkada Gubernur ini sebagai momentum
membesarkan partai politik dengan mendorong kader partai yang direkrut dari
berbagai enklave agar bekerja membuktikan diri sebagai kader yang militant.
Sehingga kerja bakal caleg memberikan bukti bahwa partai politik telah
memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, dimana telah mampu
menciptakan iklim politik yang konusif tidak memilih karena sentiment
kedaerahan atau agama, tidak memilih karena mengekor pada apa yang diarahkan
oleh tokoh tertentu tetapi memilih cagub atau cawagub karena ideologi politik
yang akan diperjuangkan oleh partai pengusung yang terlihat dari visi, misi dan
program kerja yang ditawarkan para kandidat.
*Mahasiswa Ilmu Politik –
Kekhususan Politik Indonesia FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar