“ Arus Balik Revolusi Golkar”
*Yoyarib Mau
Hasil
perolehan kursi DPR-RI Golkar menempati
posisi kedua setelah PDIP dengan perolehan suara PDI Perjuangan 109 kursi,
Golkar 91 kursi, Gerindra 73 kursi, Demokrat 61 kursi, PAN 49 kursi, PKB 47 kursi,
PKS 40 kursi, PPP 39 kursi, NasDem 35 kursi, Hanura 16 kursi. Total keseluruhan
560 kursi. Adanya kegagalan Golkar sebagai pemain lama yang tidak dapat
mengusung calon, kemudian bergabung sebagai salah satu partai pengusung dari
paket Prabowo-Hatta. Pilihan pahit memberikan dukungan bagi Prabowo-Hatta
menjadi polemik internal Golkar. Pasca pemilu presiden Golkar bermanufer untuk
mematenkan koalisi partai-partai pendukung Prabowo-Hatta. Golkar mengkomandai
kebersamaan partai-partai pendukung Prabowo-Hatta dengan membangun koalisi
permanen dengan nama Koalisi Merah-Putih (KMP).
Pergerakan
Golkar dalam mengambil alih kendali KMP pasca putusan MK, 21 September 2014
menjadi embrio arus revolusi balik dimulai, ketika pertemuan yang biasa dilakukan
bersama di rumah polonia dan bergeser ke rumah politisi senior Golkar Akbar
Tanjung pada 10 September 2014, kemudian dilanjuti dengan penandatangaanan
kesepakatan koalisi permanen di parlemen di Tugu Proklamasi. Gejolak yang
terjadi di dalam internal Golkar apakah tetap dalam KMP atau bergabung dengan
Koalisi Indonesia Hebat (KHI). Agung Laksono (AL) yang awalnya ngotot agar
Munas dipercebat menjadi kendor dan tidak terdengar lagi gaungnnya. Dan tetap
mengikuti agenda Munas yang akan berlangsung pada 2015, prestasi dan kemampuan
elit Golkar mampu membenamkan kekacauan faksi internal, hal ini disebabkan
karena Aburizal Bakrie (ARB) bersandar kuat dibahu Akbar Tanjung. Akbar Tanjung
sebagai perekat bagi faksi-faksi partai Golkar, saat Akbar Tanjung menjadi
Ketua Umum Partai Golkar disaat yang sama Prabowo Subianto juga terlibat dalam kepengurusan
Partai Golkar, sehingga ada hubungan emosional yang kuat.
Sejarah
keberadaan Golkar sebagai partai penguasa berjalan seiring dengan keberadaan
pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Setelah reformasi Golkar mengalami
persoalan internal dimana selalu hadir faksi-faksi dalam tubuh Golkar sehingga
sulit bagi partai ini memenangkan kekuasaan secara mutlak, Golkar berusaha untuk kembali ke panggung
kekuasaan, walau hanya menguasai pimpinan DPR-RI pada periode 2004-2009.
Sedangkan pada periode 2009-2014 Golkar tidak mendapatkan posisi strategis
sebagai ketua, hanya menempati wakil ketua
DPR-RI yang ditempati Priyo Budisantoso dan wakil ketua MPR-RI Hajriyanto
Y. Thohari.
Menjadi
pernyataan penting dalam pembahasan opini ini, mengapa Partai Golkar sangat berkepentingan untuk mengendalikan Koalisi
merah Putih ? Giovani Sartori membuat defenisi atas partai politik secara
longgar yakni kelompok politik apa saja yang ikut serta dalam perilaku dan
mampu menempatkan orang-orang dalam jabatan-jabatan publik, tujuan didirikannya
partai politik mendapatkan kekuasaaan politik dan mengontrol proses perumusan
kebijakan, karena itu partai politik biasannya memiliki lebih dari satu tujuan
atau kepentingan dalam masyarakat, dan pada tingkatan tertentu mereka berusaha
mengagregasikan berbagai tujuan dan kepentingan (The Golkar Way – Akbar Tanjung
– Gramedia).
Arus APBN
Defenisi
Sartori jelas memberikan gambaran bahwa keberadaan partai Golkar dalam KMP
tidak sekedar sebagai partai yang diibaratkan sebagai sapi yang ditusuk
hidungnya untuk mudah di tarik kemana-mana. Habitat Golkar adalah berada dalam
lingkaran kekuasaan, mengalami kemunduran ketika tidak ada dalam kekuasaan hal
ini dibuktikan dengan beberapa hal yakni perolehan kursi DPR-RI yang menurun,
gagal mengusung kader partai Golkar dalam pemilu presiden 2014. Strategi Partai Golkar saat berkuasa adalah selalu berusaha
menempatkan sejumlah kader Golkar dalam berbagai struktur pemerintahan maupun
organisasi sosial kemasyarakatan, dengan tujuan agar mampu mengagregasikan
program kerjanya dengan anggaran negara, Contohnya posisi pimpinan organisasi
kemasyarakatan seperti KNPI dan laiannya di pusat hingga daerah selalu saja ditempati
oleh kader Golkar, KADIN, HIPMI dan organisasi profesional lainnya yang
berpeluang untuk mengakses program pada pemerintah serta mengelola dana
bantuan/dana pembinaan dari pemerintah.
Pola
ini yang dijalanakan oleh Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten di saat
berkuasa mengelola dana bansos dengan memberikan hibah dana tersebut, setiap
tahun diduga mengalir ke Dinasti Atut bersama kroninya. Pada tahun 2011 lalu,
dana hibah yang dianggarkan mencapai Rp 340,463 miliar lebih dan bansos
mencapai Rp 51 miliar. Namun, sebagian dana hibah itu mengalir ke lembaga yang
dipimpin keluarga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah bersama kroninya. menurut
hasil investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Aliansi Lembaga
Indendepen Peduli Publik (ALIPP). Dana hibah 2011 itu mengalir ke Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI) sebesar Rp 1,85 miliar. Organisasi ini dipimpin Aden
Abdul Khalik yang merupakan suami dari adik tiri Atut yakni Lilis Karyawati
Hasan. Selain itu lembaga Taruna Siaga Bencana (Tagana) Banten yang dipimpin
Andika Hazrumi, putra pertama Atut, menerima dana hibah 2011 senilai Rp 1,75
miliar.
Model
penguasaan seperti ini hanya dapat dilakukan ketika ada dalam puncak kekuasaan,
Golkar pada periode kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) mengalami kemunduran
karena tidak berada di puncak kekuasaan untuk mengendalikan sejumlah anggaran
proyek, sehingga sejumlah janji ARB tidak dapat diwujudkan seperti membangun
kantor Golkar sekian lantai, pergantian ganti rugi terhadap korban lumpur
lapindo yang tidak terwujud. ARB terlilit utang perusahaan yang begitu besar
sehingga jika ada di kekuasaan maka bisa mengalihkan utang tersebut menjadi
utang negara. Kebiasaan ini menjadi mental yang
terpola sejak orde baru yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan SBY, akan
tetapi kehadiran Jokowi dengan ide revolusi mental ingin melibas perilaku buruk
ini, sehingga keberadaan Golkar yang hanya bisa kuat dan besar karena pola orde
baru tersebut merasa terancam.
Arus Balik Revolusi
Golkar perlu melakukan perjuangan kontra
revolusi mental untuk tetap menikmati kenyamanan berkuasa, melakukann
konsolidasi terhadap sejumlah partai
adalah hal yang tidak mudah, dalam revolusi yang harus di lakukan adalah
meluluhkan sistem serta lembaga yang berkuasa untuk kemudian mengendalikan
kekuasaan maka Golkar bekerja keras untuk meloloskan UU MD3 (Undang-undang
nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD) untuk menjegal PDIP
sebagai partai pemenang pemilu yang secara otomatis menempati posisi Ketua
DPR-RI alhasil Golkar yang menempaati posisi Ketua DPR-RI, kemudian meloloskan
UU Pilkada dimana Pilkada Gubernur, Bupati/Walikota tidak lagi dilakukan secara
langsung tetapi dilakukan oleh DPRD saja, dan mengubah situasi pemilihan DPD
yang seharusnya dimenangkan oleh DPD, tetapi Golkar mampu memanfaatkan
kader-kader Golkar di DPD seperti Ibrahim A. Medah, Paul Liyanto, Fahira
Idris,Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang kemungkinan besar memilih mendukung paket
yang diusung KMP.
Penguasaan sejumlah jabatan politik
yang strategis merupakan indikator keberhasilan arus
balik revolusi Golkar karena telah bekerja keras mengurangi taring kekuasaan
revolui mental dan meningkatkan aset jabatan dan keuntungan politik, dengan
menerapkan prinsip ekonomis psikologis yakni dengan dana terbatas yang di
peroleh dari Partai Gerindra yang galau dan sakit hati akibat kekalahan dari
Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Geindra dan Partai kecil lainnya tidak sadar
bahwa arus Revolusi Golkar ini seperti pedang bermata dua, yang bisa menusuk ke
KIH dan ke dalam KMP sendiri dimana Golkar pelan-pelan membunuh Gerindra dan
KMP lainya, karena rakyat akan menilai bahwa penyebab utama kekacauan politik
dalam negara berawal dari perilaku Gerindra dan Partai koalisi lainnya yang
mengusung Prabowo-Hatta yang tidak menerima kekalahan dalam pemilu presiden
2014 yang dimenangkan Jokowi-JK.
*Pemerhati
Sosial-Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar