“KEMERDEKAAN NAPAS PENDEK”
*Yoyarib
Mau
Artikel
bertajuk “Nasionalisme, Islamism, dan Marxisme” yang di muat dalam Koran Suluh
Indonesia Muda pada tahun 1926, dalam artikel ini ada sebuah paragraf yang
mengungkapkan; “sebagai Aria Bima-putera,
yang lahirnya dalam zaman perjuangan, maka Indonesia Muda inilah melihat cahaya
hari pertama-tama dalam zaman yang rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak
senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib ekonominya, tak senang dengan
nasib politiknya, dan tak senang dengan segala nasib yang lainnya.” Dua tahun kemudian pada 1928 para pemuda
menyatukan tekad untuk menyatakan Sumpah Pemuda, 17 tahun kemudian 1945 barulah
bangsa Indonesia menikmati nasib kemerdekaan untuk dapat menentukan nasib
senangnya dalam menentukan arah politik dan ekonominya.
Kini
70 tahun bangsa Indonesia menikmati kemerdekaannya dalam jangka waktu yang
cukup panjang sebagaimana usia normalnya manusia Indonesia. Konteks pergumulan
sebelum pekik dan proklamasi kemerdekaan dikumandangkan ada spirit perjuangan
kebangsaan itu jauh melampaui spirit kebangsaan pasca kemerdekaan. Dalam
keadaan terhempit dan dibawah todongan senjata penjajah ada keberanian yang luar biasa untuk memperjuangkan
perubahan nasib karena rasa cinta terhadap Tanah Air. Berbeda dengan perjalanan
waktu hingga 70 tahun Indonesia hampir keseluruhan rakyat Indonesia hanya
berpikir rasa cinta kepada diri sendiri, kepada kelompoknya (suku, agama, ras
dan bahasa), dan partai politik semata.
Partai Politik
Kemerdekaan
bukan untuk seluruh rakyat Indonesia sebagaiamana yang diwariskan oleh para
pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia,” dimana
kemerdekaan itu bertujuan untuk menghadirkan kesejahteraan yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa harus
didominasi oleh pribadi, kelompok bahkan partai politik sekalipun.
Kenyataannya
kekuasaan yang harus menghadirkan rasa kemerdekaan itu merata bagi semua namun
kenyataannya siapa partai politik yang berkuasa maka implikasi kemerdekaan itu
hanya dinikmati oleh partai berkuasa. Terlihat dengan jelas dalam jatah menteri
yang seharusnya bekerja untuk kesejahteraan rakyat tetapi didominasi oleh jatah
partai politik pengusung sejak Jokowi terpilih jatah menteri jatah PDIP
mendapat 4 kursi, PKB 4 kursi sedangkan partai koalisi lainnya seperti NasDem 3
menteri dan Jaksa Agung, Hanura 2 kursi, dan PPP 1 kursi, pembagian ini membuat
PDIP kecewa karena menginginkan porsi jatah kursi yang lebih besar, kondisi ini
kemudian merongrong akan keberadaan Jokowi.
Rasa cinta terhadap partai lebih besar
dibandingkan kepada rasa cinta kepada rakyat, keadaan ekonomi yang lesu, harga tukar
rupiah terhadap dollar melemah hingga menembus Rp. 13.000,-. Keadaan ekonomi
yang melemah yang pada Kuartal I 2015 pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,67 % sehingga menyebabkan berbagai sektor real di
tengah masyarakat mengalami perlambatan diantaranya; pertanian, peternakan,
kehutanan, manufaktur, perdagangan, hotel dan restoran keadaan ini kemudian
berdampak pada rendahnya penyerapan tenaga kerja, serta pendapatan masyarakat
yang rendah, hanya yang mengalami perscepatan cuman sektor keuangan, real estate
dan jasa. Kondisi ini kemudian menyiksa
rakyat dengan terjadinya volatilitas yakni besarnya jarak antara fluktuasi/
naik turunnya nilai tukar, nilai tukar rupiah yang tidak terkontrol akan
berdampak negatif terhadap kinerja perekonomian yang pada akhirnya berdampak
pada penerimaan negara.
Realitas ekonomi politik ini menunjukan nasib
bangsa berada pada posisi yang dikeluhkan pada 1926 dalam artikel Suluh
Indonesia Muda, sehingga publikpun menuntut adannya reshuffle, PDIP sebagai
partai penguasa memainkan perannya alih-alih menteri-menteri yang berhubungan
dengan ekonomi dianggap lemah sehingga tidak mampu menggenjot pertumbuhan
ekonomi sehingga Sofian Djalil Menko Perekonomian digantikan oleh Darmin Nasution,
Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan,
Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo yang adalah seorang pakar kemaritiman digantikan
oleh Rizal Ramli. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel digantikan oleh Thomas
Lembong. Menariknya dari pergantian ini kepentingan PDIP tetap menjadi
prioritas untuk mendapatkan posisi aman, seharusnya keseluruhan Menko diganti
tetapi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dijabat Puan Maharani
tidak diusik, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang adalah orang dekat saat
Megawati menjabat sebagai presiden tidak mengalami pergantian.
Keberadaan pejabat menteri profesional seperti
Andrinof Chaniago, Setkab Andi Widjayanto harus menerima kenyataan bahwa
kepentingan partai politik dan penguasa menjadi prioritas, Andrinof Chaniago
harus dilengserkan untuk menjamin keberadaan Sofian Djalil konon sebagai orang bawaannya
Jusuf
Kalla dalam kabinet, dikarenakan juga latar belakang Andrinof sekaligus
yang sesama suku bersama Sofian Djalil akan memudahkan untuk meredam gejolak. Andi
Widjayanto yang adalah anak kandung Theo
Sjafe’i salah satu sesepuh PDIP sudah tidak memiliki ikatan yang kuat dalam
tubuh PDIP lagi.
Kenyataan
politik ini menghadirkan pertanyaan bagi kita bahwa, apakah kemerdekaan berbangsa dan bernegara ini hanya untuk partai
politik yang berkuasa ? Carl J. Friedrich mengemukakan pengertian partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan itu, diharapkan memberikan kepada
anggota-anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materil (http://www.pengertianpakar.com/2014/09/pengertian-partai-politik-menurut-para.html).
Pembagian
kursi eksekutif dalam hal ini menteri kepada partai politik pengusung itu hak
politik untuk mendapatkan kemanfaatan atas kekuasaan yang direbut namun perlu diingat
bahwa kemerdekaan yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa menghendaki
agar kemerdekaan itu menghadirkan kesejahteraan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika kemerdekaan itu untuk seluruh rakyat
Indonesia maka seyogiannya jabatan publik yang berkenan dengan kesejahteraan
tidak semata-mata untuk kepentingan partai politik pengusung. Andai kader partai
tidak memiliki kapabilitas maka sebaiknya diberikan kepada rakyat yang
berkompeten untuk menjalankan kekuasaan tersebut.
Prinsip
manajemen “The Right Man In The Right Place” tidak bisa diabaikan jabatan
menteri harus diberikan kepada orang yang tepat, tidak sekedar diduduki oleh
orang partai karena jatah. Pemikiran partai politik yang hanya menempatkan
orang partai tanpa pertimbangan manajemen modern, maka partai politik tersebut
berada dalam suasana kemerdekaan napas pendek, sebuah suasana dimana orang hanya berpikir untuk perut dan
kepentingan dirinya semata, tidak berpikir panjang soal nasib keseluruhan
bangsa dan rakyatnya. Jabatan publik harus diisi oleh negarawan yang berpikir
bukan hanya untuk hari ini, namun harus berpikir bagaimana mewariskan fondasi
yang kuat bagi bangsa untuk tetap bertumbuh menjadi bangsa yang besar. Partai politik juga harus berani menolak
pejabat yang nota bene adalah titipan asing untuk mengamankan kepentingan
asing. Bangsa Indonesaia harus berani menunjukan diri berhadapan dengan bangsa
lain seperti Soekarno berkata “iki
dadaku, endi dadamu”.