“Harakiri Politik Raymundus Sau Fernandes”
*Yoyarib Mau
Diatas
kertas selalu saja incumbent diatas angin untuk memenangkan pertarungan dalam
Pilkada sehingga konsentrasinya hanya bagaimana memanfaatkan anggaran
pemerintah semisal bansos atau anggaran lainnya
sebagai alat untuk menguatkan basis dukungan. Keberadaan birokrasi dengan
kekuatan kekuasaan incumbent untuk memberikan jabatan struktural disetiap SKPD,
serta ancaman mengkerangkeng para birokrat dengan pola penempatan ditempat yang
sulit untuk mengakses informasi dan transportasi, bahkan dijauhkan dari
keluarganya.
Belum
lagi keberadaan incumbent diuntungkan oleh banyak hal, fasilitas pemerintah
benar-benar memudahkan incumbent dalam setiap aktifitas. Kekuatan politik
incumbent ini membuat incumbent lupa dan tidak lagi berpikir soal aturan,
teknis, serta pilihan-pilihan alternatif strategi yang akan dilakukan oleh
lawan dengan memanfaatkan celah hukum. Ibarat berperang Raymundus Fernandez
(incumbent) energinya sudah terkuras karena mengikuti irama permainan yang dimainkan oleh penantang. Dinamika ini
berlanjut jelang deklarasi calon peserta Pilkada hingga kesiapan menjelang
pendaftaran terlihat adu kekuatan massa sehingga konsentrasi incumbent adalah
bagaimana mempertahankan massa dukungan dan tidak memikirkan sikap antisipatif
jika Eusobio mengundurkan diri.
Sejumlah
kelemahan yang tidak diantisipasi oleh Raymundus Fernandes adalah ketika
Eusobio Hornay Rebelo mampu menggandeng sejumlah partai politik seperti;
NasDem, Gerindra, PAN, Hanura, Demokrat dan PKS dalam sebuah koalisi besar.
Sedangkan incumbent nyaman dan ber-euforio dengan adannya PDIP yang tidak lagi
membutuhkan koalisi dengan partai lain karena memenuhi syarat untuk mengajukan
calon sendiri. Sedangkan Gabriel Manek masih menanti keputusan KPU soal
keberadaan Golkar dapat memajukan calon atau tidak, walaupun Gabriel Manek
sudah melakukan kampanye lewat baliho bahwa berpasangan dengan Edy Meol dari
Gerindra, sejujurnya ketika Eusobio mampu menggandeng Gerindra dengan
sendirinya telah mematahkan kekuatan Gabriel Manek. Dengan demikian seharusnya
incumbent sudah seharusnya membaca peta politik yang berkembang dan berpikir
alternatif untuk bagaimana memajukan calon alternatif. Tinggal dua partai politik
yakni PKB dan PKPI yang memiliki kursi di DPRD tetapi tidak memenuhi quota
untuk mengusung calon.
Jika
nalar politik incumbent dimaksimalkan untuk memecah kebekuan (head to head)
maka seharusnya PKB dan PKPI serta gabungan partai non-seat bisa dikonsolidasikan
untuk mengusung calon lain untuk memecah
suara dan mengantisipasi jika Eusobio batal mendaftar sebagai peserta Pilkada.
Kondisi ini membuktikan bahwa incumbent tidak memiliki strategi politik yang memadai, yang ada adalah adu kekuatan
finansial, adu otot serta mobilisasi massa semata. Celah politik tidak mampu
dibaca oleh incumbent akhirnya yang terjadi adalah Raymundus Fernandez berada
di arena pacuan kuda untuk bertanding, tetapi dirinya sendiri yang berkuda tanpa
ada lawan yang hendak bertanding.
Situasi
politik lokal di TTU menghadirkan pertanyaan yang bersifat sartire, apa bahasa
yang tepat untuk melukiskan konsep berpolitik ala Raymundus Fernandez ?
Meminjam perilaku lokal yang selalu mengidentikan kerbau yang ditusuk
hidungnya, kemana tali kerbau yang dikendalikan oleh penarik kerbau, kerbau itu
akan tetap menurut tanpa berdaya. Tarik menarik politik di TTU cukup menarik,
Kerbau tambun dengan kekuatan yang luar biasa karena memiliki energi yang
cukup, tetapi lemah karena mengikuti irama permainan bahkan menyerahkan
hidungnya ditusuk dengan tali sehingga tidak berdaya dan hanya mengikuti arus
permainan sehingga kerbau ini tidak sadar bahwa sedang digiring ke tempat
pembantaian.
Filsuf
Inggris atau yang lebih dikenal dengan sebutan filsuf empiris, yakni Immanuel
Kant yang menitikberatkan bahwa pengetahuan selalu berhubungan dengan
pengalaman indrawi, tetapi menurut Kant itu saja tidak cukup perlu kemampun
lain yakni kemampuan mengindrawi atau kemampuan sensibilitas (F. Rudi Hardiman
– Erlangga – 2011). Sensibilitas incumbent sepertinya melemah karena hidung
yang ditusuk sehingga tidak mampu lagi mengendus gelagat politik dari lawan
dengan strategi yang menggiring ke tempat pembantaian.
Kenyamanan
sebagai incumbent tentu membunuh sensitifitas berpolitik, Raymundus merasa
diatas angin karena sehari-harinya dapat memanfaatkan posisinya sebagai
incumbent dengan didukung oleh fasilitas pemerintah, mesin birokrasi dapat
ditekan melalui intimidasi membuat kekuatan itu menjadi besar. Kondisi kenyamanan
membuat gaya kepemimpinan kehilangan sensibilitas berdemokrasi, padahal dalam
demokrasi incumbent perlu menciptakan suasana kompetisi yang sehat dengan
memberikan ruang bagi regenerasi, guna tercipta siklus kepemimpinan.
Lemahnya
sensibilitas politik membuat incumbent tak berdaya dimana kekuasaan harus
dipertahankan, karena tidak ada lagi kursi promosi jabatan yang lebih tinggi
lagi, yang lebih enak dan lebih terhormat sehingga sekuat tenaga mempertahankan
kursi kekuasaannya. Kesalahan terbesar yang dilakukan oleh incumbent adalah
merasa berkuasa penuh dan mematikan lawan-lawan yang hendak bertarung.
Kesalahan berpikir seperti ini yang kemudian kita bisa menyebutnya sebagai
sikap politik yang membunuh diri sendiri (harakiri
politik).
Terlihat
dengan jelas bagaimana para pegawai yang dianggap lawan, serta memihak kepada
lawan politik dikucilkan dengan dipindah tugaskan dari pusat kekuasaan ke
tempat yang terpencil, atau tidak diberikan jabatan. Bahkan kegiatan-kegiatan
politik dari lawan politik dibatasi, incumbent membuat kegiatan-kegiatan yang
mengumpulkan masa bertepatan pada saat yang sama juga dilakukan oleh lawan
politik. Dengan berbagai alasan untuk menjustifikasi kebijakan incumbent
tersebut, namun kebijkan seperti ini justru tidak demokratis karena tidak
menyiapkan “suksesi” kepemimpinan menyongsong pergantian kepemimpinan dalam
Pilkada. Perilaku politik yang dijalankan oleh incumbent adalah memberangus
suksesi, sehingga tidak dapat disalahkan jika calon yang lain mengurung niat
untuk maju dalam pilkada.
Kepala
daerah harus menyadari bahwa salah satu tugasnya yang harus dilakukan sebagai
kepala daerah adalah sukses mewujudkan pilkada selanjutnya, dengan juga
menciptakan kondisi (pra-kondisi) dimana
mampu memberikan ruang bagi lawan politik untuk sama-sama bertarung bukan
membungkam dan mematikan langkah politik lawan, kemudian membanggakan diri
bahwa tidak ada lawan yang berani melawan dirinya, mencari alasan pembenaran
bahwa dapat dilakukan dengan jalan aklamasi atau musyawarah untuk mencapai mufakat
sebagai jati diri bangsa.
Kemandekan
berpikir membuat matinya sensibilitas politik, sehingga kemudian lawan politik
dalam hal ini Eusobio memutus mata rantai perilaku harakiri politik Raymundus
dengan tidak mendaftarkan diri sebagai calon kandidat pilkada TTU. Sayangnya
kemudian semua orang mengatakan bahwa sikap Eusobio ini mengorbankan
kepentingan banyak orang, padahal apa yang dilakukan Eusobio adalah pukulan
telak sebagai akibat dari perilaku politik para incumbent yang tidak
menciptakan kondisi politik yang demokratis. Justru strategi politik yang
dilakukan Eusobio adalah sebuah kritik politik yang membangun demokrasi,
sehingga demokrasi kita bukan demokrasi feodal tetapi demokrasi yang
profesional dan modern.
Revolusi
mental yang digadang oleh pemerintah saat ini seharusnya membentuk karakter
kepemimpinan yang siap dengan tangan terbuka untuk mengucapkan selamat datang
bagi lawan politik dalam percaturan politik, serta juga berani mengucapkan
selamat tinggal terhadap kekuasaan yang diduduki ketika dirinya memiliki
sensibilitas politik ketika dia sadar bahwa kinerjanya jauh dari harapan dan
dan merancang gapura demokrasi selamat datang bagi lawan politiknya.
*Pemerhati
Sosial - Politik
Setuju bung....
BalasHapusSetuju bung....
BalasHapus