Kamis, 18 Februari 2016

"KOMISI 3 = KOMISI 86"

“KOMISI 3  = KOMISI 86”
*Yoyarib Mau

Dipengujung tahun 2015 anggota DPR RI Herman Herry Komisi III yang menangani hukum dan HAM, Herman Herry (HH) melakukan tindakan kekerasan non fisik dengan melakukan makian dan umpatan via telpon terhadap AKBP Albert Neno, perwira polri yang bertugas di Polda NTT. kasus makian ini dilakukan jelang malam perayaan Natal merupakan protes dari HH karena telah dilakukannya penggerebekan dan penyitaan minuman keras di Cafe milik HH, kemudian sang perwira melaporkan kasus ini ke Polda NTT, namun langkah hukum ini sambar balik oleh  HH selaku mitra penegak hukum mengancam balik sang perwira untuk melaporkan sang perwira ke Propam Mabes Polri dengan ancaman akan dicopot.

Kasus ini kemudian dilimpahkan ke Bareskrim Polri oleh Kapolda NTT dan korban untuk ditangani lebih lanjut, awalnya HH membantah bahwa bukan dirinya yang melakukan makian, namun kemudian HH meminta maaf ke Albert Neno (AN), namun AN berharap kasus hukum tetap diproses oleh Mabes Polri, tidak lama kemudian Kapolda NTT Brigjen Pol. Drs. Endang Sunjaya dipindah tugaskan, apakah karena buntut kasus yang melibatkan HH atau karena bersamaan waktu.

Mengawali tahun 2016 teman HH yang juga Komisi III Masinton Pasaribu  (MP) dilaporkan oleh staf ahli DPR RI Dita Aditia Ismawati karena diduga melakukan tindak kekerasan dengan melakukan pemukulan terhadap dirinya. Kasus pemukulan ini telah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri, namun laporan yang dilakukan oleh korban Dita Aditia (DA) tersebut berbeda dengan pengakuan MP, MP mengatakan bahwa karena  DA histeris dan mabuk serta  hendak merebut stir mobil sehingga mobil oleng, kemudian sang sopir menepis tangan DA mengakibatkan wajah DA terpukul. Kasus ini telah dilaporkan ke Kabareskim dan sedang dilakukan pendalaman.

Kedua kasus ini memiliki kemiripan yang hampir persis, karena dialami oleh sesama anggota Komisi III. Ada alasan yang sama bahwa, hal tersebut dilakukan oleh staf mereka yang lain, sedangkan penggakuan dari kedua korban jika kekerasan yang diderita, masing-masing akibat dilakukan oleh kedua anggota DPR RI Komisi III Fraksi PDI-P. Yang membedakan dari kedua kasus ini adalah HH mengakui perbuatannya serta meminta maaf kepada AN, dan kasus ini belum diketahui kemana ujungnnya walaupun telah melampaui waktu P-21. Sedangkan yang menimpa DA Bareskrim Mabes Polri masih melakukan penyusutan dan kasus ini terus bergulir belum diketahui hendak kemana ujungnya. Kedua kasus ini dilakukan pelaporan ke kepolisian untuk mendapatkan kepastian hukum, sedangkan pelaporan yang dilakukan ke MKD juga dilakukan untuk melakukan penegakan etika terhadap kedua anggota Komisi III yang diduga terlibat.

Menarik dari penegakan etika yang dilakukan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) atas kedua kasus yang menimpa kedua anggota Komisi III ini, dugaan pelanggara etik yang diduga dilakukan  oleh HH dihentikan oleh MKD dengan alasan tidak memenuhi unsur verifikasi dari pelapor dan data-data tidak jelas kelengkapannya. Sedangkan kasus yang menimpa MP tidak langsung di tangani oleh MKD karena di tangani oleh penegak hukum, dan juga MKD sedang melakukan penyelidikan dengan tetap menggandeng kepolisian dalam penyelidikan kasus ini.

Dari kedua kasus ini berbeda dengan kasus Setya Novanto, yang mengalami tekanan publik yang luar biasa sehingga proses penanganan yang dilakukan oleh MKD berlangsung cukup cepat dan dapat disaksikan secara terbuka oleh publik. Kedua anggota Komisi III yakni HH dan MP  tidak terlepas dari pantauan publik namun animo publik melemah karena vonis pelanggaran etika oleh MKD tidak memenuhi ekspektasi publik. Sehinga kedua kasus yang melibatkan HH dan MP sepertinya tidak mendapatkan dukungan penuh dari publik.

Kondisi ini kemudian menghadirkan pertanyaan kepada publik bahwa, Apakah kedua anggota Komisi III yang memiliki mitra kerja dengan kepolisian, tidak dapat dipercepat pemeriksaan terhadap mereka hanya karena mereka bermitra ? selanjutnya apakah MKD dalam proses menegakan etika haruskah dilakukan sama seperti menegakan hukum ? Meminjam pemahaman Ilmu Pengetahuan Alam akan istilah “simbiosis mutualis” yang memilki arti hubungan antara dua jenis makhluk (baca : lembaga) yang berbeda tetapi saling menguntungkan, contoh hubungan antara lebah dan bunga, dimana lebah diuntungkan mendapat madu dan bunga diuntungkan dalam proses penyerbukan.
Keberadaan Komisi III yang berrmitra dengan Kepolisian dan Kejaksaan dapat menyebabkan hubungan simbiosis mutualis ini dapat memberikan peluang bagi proses simbiosis mutualis ini terjadi. Bagaimana tidak jika pengakuan terkini  dari kasus HH yang terlihat mengendap dan melewati waktu P-21 karena  kemungkinan  kepolisian memberikan kesembatan untuk menunggu negosiasi antara HH dan AN untuk berdamai, dimana AN menarik atau mencabut laporannya. Berdasarkan pengakuan AN di Mapolda NTT bahwa dirinya didatangi oleh orang suruhan HH dengan menawarkan sejumah uang bahkan jabatan asal AN mencabut laporannya (Harian Umum Victory News 16-02-2016).

Jika hal ini benar bahwa jabatan bisa diberikan kepada seorang AN sebagai perwira polisi, maka benarlah bahwa keberadaan Komisi III dan Kepolisan serta juga Kejaksaan dilain kesempatan, dapat melakukan hubungan “simbiosis mutualis”. Karena kewenangan sebagai legislatif yakni fungsi pengawasan dimana dapat memanggil pihak kepolisian dan juga kejaksaan untuk diminta pertanggung jawaban, bahkan mereka dapat melakukan pemboikotan anggaran bagi dua lembaga mitra tersebut dengan memanfaatkan fungsi budgeting yang mereka miliki. Indikasi ini juga bisa memberikan kebenaran bahwa ada pembenaran bagi pencopotan Kapolda NTT dalam waktu yang bersamaan dengan kasus yang melibatkan HH, karena hubungan simbiosis mutualis yang dimiliki antara Komisi III dan Lembaga Penegak Hukum.

Ketidakyakinan akan penegakan hukum dapat memberikan rasa keadilan bagi warga negara atas kasus MP dan DA, rasa keadilan  hanyalah angan bagi korban yang jelas – jelas mengalami kekerasan fisik. Jika penegakan hukum oleh pihak penegak hukum dengan pendekatan simbiosis mutualis, maka akan menciptakan budaya “bar-bar” bagi masyarakat, karena rakyat bisa menerima perlakuan kekerasan dari para anggota dewan terhormat, khususnya Komisi III, rakyat tidak berdaya untuk mendapatkan kepastian hukum, karena rakyat dalam ketidakberdayaan tersandera oleh permintaan maaf dari pelaku dengan iming ataupun imbalan tertentu, akhirnya akan terbangun doktrin yang tidak tertulis namun berlaku mutlak bagi Komisi III, bahwa mereka telah dijamin dengan hak prerogatif dari pihak penegak hukum (lex specialis derogat legi generalis) yakni kekhususan hak “immunities” atau kekebalan hukum.

Para anggota Komisi III juga akan  bebas dari tuntutan MKD kalau proses penegakan etika menanti penetapan Kepolisian, padahal substansi penegakan hukum dan etika adalah dua persepsi yang berbeda, persepsi etika tidak di dasarkan pada pasal-pasal hukum, tetapi etika lebih pada pertimbangan perilaku yang berdasar pada baik-buruk, tata-krama dan pertimbangan kemanusiaan. Jika MKD membasiskan keputusan penegakan etika pada pasal-pasal hukum dengan menunggu hasil proses penyelidikan oleh pihak kepolisian, maka benarlah apa yang terbangun dalam opini masyarakat bahwa jika kasus anggota DPR RI ditangani oleh penegak hukum dalam hal ini kepolisian, akhirnya adalah akan terselesaikan dengan kode 86.

*Pengamat Sosial - Politik







Jumat, 12 Februari 2016

'CALON INDEPENDENT 1/2 DEMOKRASI'

“CALON INDEPENDENT ½ DEMOKRASI”
*Yoyarib Mau

Perbandingan politik yang menarik untuk dicermati adalah calon independent dalam pemerintahan Amerika Serikat (AS) Vs Indonesia, dalam suksesi calon independent tentu berbeda jauh, di AS calon independent selalu saja berupaya membentuk partai ketiga di luar dua partai utama namun memperoleh suara terkecil dan tidak signifikan sebagaiman pernah dilakukan Ross Perot. Berbeda dengan Indonesia dimana calon independent sangat getol dan berjuang untuk bisa menjadi pemimpin daerah tanpa melalui partai poilitik, dimana akan bekerja keras untuk mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat maju sebagai calon independent, terkadang calon independent yang memperoleh suara terbanyak dan memenangkan pilkada. 

Sejatinya demokrasi menjamin setiap individu haknya tidak terabaikan sehingga menjadi mulia. Spirit demokrasi ini hampir sejalan dengan pemikiran John Locke bahwa demokrasi harus menjamin setiap individu dewasa untuk ikut serta dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama, keagungan manusia hanya mungkin terwujud jika masyarakat memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada setiap individu untuk ikut serta dalam pembentukan nilai-nilai.

 Dasar pemikiran John Locke diatas yang kemudian dipegang teguh oleh para calon indpendent setiap individu memiliki hak penuh untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, adalah hak demokrasi. Dasar berpikir ini kemudian hadir pertanyaan menarik, apakah  atas nama hak indidivu untuk membentuk nilai-nilai kemudian mengabaikan akan sistem bernegara yang telah dibangun dalam konstitusi ?  Teori Hegel yang memberi posisi unggul bagi negara, dimana Hegel melihat civil society adalah realm dari individu yang memiliki kepentingan hak pribadi dan egoismenya. Sedangkan soal negara Hegel mengkontraskan itu dengan mengatakan bahwa negara membawa misi rakyat, melindungi kepentingan umum dan melayani kepentingan masyarakat luas, oleh karena itu civil society harus tunduk pada negara, karena negara melaksanakan kebaikan bagi seluruh rakyat. Sementara civil society hanya berhubungan dengan beberapa kepentingan pribadi dari anggotanya (Luthi J. Kurniawan dan Hesti Puspitosari – 2012 )

Independent is The Civil Society

Civil society marak dalam bentuk komunitas dan ormas dalam melakukan konsolidasi untuk mengusung calon independent mendahului partai politik sejak Jokowi ada organisasi seperti Barisan Relwan Jokowi Presiden (Bara JP), Seknas Jokowi, Kawan Jokowi dan sejumlah relawan atau komunitas lainnya. Demikian juga dengan Ahok di DKI Jakarta, relawan yang menamakan diri Teman Ahok melakukan konsolidasi dan menggalang dukungan untuk mengusung Ahok dari jalur independent namun akhirnya juga membutuhkan partai politik dengan diawali dengan dukungan dari Partai NasDem.  Di sejumlah tempat gerakan independent yang dilakukan oleh relawan disejumlah daerah begitu marak dengan penuh spekulasi mengumpulkan KTP dan juga sebagai bergaining untuk dilamar partai politik.

Peran gerakan relawan untuk mengusung calon independent idealnya adalah bentuk dari kebutuhan dasar sebagai manusia yang memiliki kebebasan dan menyukai kebebasan. Gerakan atau bentuk relawan yang terbangun adalah sebuah bentuk perjuangan atas ketidakpuaasan terhadap kepemimpinan sebelumnya. Gerakan relawan ini melihat pada sejarah yang pernah dijalankan melalui “civil disobedience” yang dipimpin oleh Marthin Luther King di pertengahan 60-an. Model gerakan relawan ini dalam demokrasi hanya dipahami sebatas gerakan kelompok kepentingan  yang dijamin oleh UU untuk berkumpul dan berserikat, sebagai bentuk ledakan partisipasi karena kekecewaan atas partai politik yang tidak menjalankan agenda prioritas dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Gerakan relawan sebagai kelompok kepentingan bisa saja terbentuk dalam jangka waktu tertentu tergantung kepentingan setelah itu mencair (membubarkan diri), ataupun sebagai civil society yang terinstitusional dengan legalitas yang cukup  seperti ormas atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kepentingan mereka hanya pada upaya untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, sedangkan tidak untuk merebut jabatan publik sebagaimana yang sejatinya diperankan oleh partai politik.

Chek’s and Balance

            Jabatan politik hanya bisa direbut melalui partai politik, sehingga para kelompok kepentingan yang berjuang mengusung calon independent apabila hendak ikut merebut jabatan publik dalam pemilu / pilkada seyogiannya berjuang dalam sistem partai politik yang dibentuk dengan dasar isu tunggal yang tidak diperjuangan dalam partai-partai politik yang kadernya menjadi pemimpin publik. Jika upaya ini mengalami kesulitan bagi tataran daerah karena partai politik di negara kita berpusat, maka didaerah bisa mensiasatinya dengan partai lokal sebagaimana yang dijalankan di Aceh. Partai politik bukanlah negara yang persis dimaksudkan oleh Hegel diatas tetapi keberadaan partai politik adalah institusi publik semu. 

             Partai politik sebagai sebuah sistem yang baku untuk menghimpun aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk kemudian diperjuangkan. Tentunya partai politik memiliki “platform” atau ideologi yang diperjuangkan untuk kepentingan pendukungnnya, proses rekrutmen pemimpin publik harus melalui proses berpartai karena telah membuktikan diri melalui organisasi partai polit, karena parpol melakukan kegiatan-kegiatan serta program yang berkesinambungan serta menjadi mimbar atau podium untuk melatih kader yang dapat direkrut sebagai pejabat eksekutif atau legislatif.

            Syarat berpartai adalah sarana untuk mengukur seseorang menjunjung nilai atau ideologi serta memiliki loyalitas kepada negara, serta memiliki azas partai yang  dapat dipertanggung jawabkan. Perebutan jabatan eksekutif yang mengikut sertakan calon indenpenden, sulit untuk mengukur ideologi, arah dan apa rencana serta kebijakan dalam membangun pemerintahan, apalagi sang calon tidak pernah melalui jenjang membangun sebuah komunitas sosial. Jika berasal dari partai politk maka sang kandidat dapat diukur kemana arah pembangunan akan diarahkan. Apabila sang kandidat  berasal dari partai politik yang berideologi, maka ada ruang bagi partai politik yang berideologi berbeda untuk melakukab fungsi kontrol atau pengawasan.

Basuki Tjahya Purnama yang sering di sapa Ahok, awalnya memilih jalur independent tetapi dalam perjalanan waktu didukung oleh partai tertentu, sebagaiman yang dilakukan Partai NasDem adalah sebuah kebutuhan, kemungkinan Ahok menyadari keberadaan diri sebagai calon independent tidak akan maksimal dalam menjalankan sebuah pemerintahan sebab fungsi kontrol dan legislasi (membuat UU) sangat ditentukan oleh peran partai politik. Sebisa mungkin sang calon independent bisa menjalankan pemerintahan, namun  kemungkinan besar hanya menjalankan proses administrasi semata, karena untuk menjalankan sebuah program pembangunan mebutuhkan UU sebagai syarat operasional sebuah program pabila hendak dijalankan. 

Realitas politik yang terjadi di beberapa daerah yang dipimpin oleh kandidat dari jalur independent, kebanyakan hanya menjalankan fungsi administratif dan pemerintahan yang bersih dan jujur, akan tetapi tidak dapat memujudkan sebuah program besar dalam isi kepalanya karena terbentur produk hukum yang menjadi domain legislatif.  Sehinga untuk menciptakan demokrasi semu maka setelah terpilih mau tidak mau, harus berkompromi atau menggadaikan independensi dengan membeli partai politik guna mendapatkan dukungan bagi  proses pemerintahannya, atau merebut partai politik tertentu dengan maju sebagai calon ketua partai politik, atau melakukan nepotisme dengan mendorong dan membiayai keluarga untuk maju dalam pemilu legislatif agar bisa mendapatkan dukungan politik bagi kebijakan sang independent.

*Pengamat Sosial - Politik