Jumat, 12 Februari 2016

'CALON INDEPENDENT 1/2 DEMOKRASI'

“CALON INDEPENDENT ½ DEMOKRASI”
*Yoyarib Mau

Perbandingan politik yang menarik untuk dicermati adalah calon independent dalam pemerintahan Amerika Serikat (AS) Vs Indonesia, dalam suksesi calon independent tentu berbeda jauh, di AS calon independent selalu saja berupaya membentuk partai ketiga di luar dua partai utama namun memperoleh suara terkecil dan tidak signifikan sebagaiman pernah dilakukan Ross Perot. Berbeda dengan Indonesia dimana calon independent sangat getol dan berjuang untuk bisa menjadi pemimpin daerah tanpa melalui partai poilitik, dimana akan bekerja keras untuk mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat maju sebagai calon independent, terkadang calon independent yang memperoleh suara terbanyak dan memenangkan pilkada. 

Sejatinya demokrasi menjamin setiap individu haknya tidak terabaikan sehingga menjadi mulia. Spirit demokrasi ini hampir sejalan dengan pemikiran John Locke bahwa demokrasi harus menjamin setiap individu dewasa untuk ikut serta dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama, keagungan manusia hanya mungkin terwujud jika masyarakat memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada setiap individu untuk ikut serta dalam pembentukan nilai-nilai.

 Dasar pemikiran John Locke diatas yang kemudian dipegang teguh oleh para calon indpendent setiap individu memiliki hak penuh untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, adalah hak demokrasi. Dasar berpikir ini kemudian hadir pertanyaan menarik, apakah  atas nama hak indidivu untuk membentuk nilai-nilai kemudian mengabaikan akan sistem bernegara yang telah dibangun dalam konstitusi ?  Teori Hegel yang memberi posisi unggul bagi negara, dimana Hegel melihat civil society adalah realm dari individu yang memiliki kepentingan hak pribadi dan egoismenya. Sedangkan soal negara Hegel mengkontraskan itu dengan mengatakan bahwa negara membawa misi rakyat, melindungi kepentingan umum dan melayani kepentingan masyarakat luas, oleh karena itu civil society harus tunduk pada negara, karena negara melaksanakan kebaikan bagi seluruh rakyat. Sementara civil society hanya berhubungan dengan beberapa kepentingan pribadi dari anggotanya (Luthi J. Kurniawan dan Hesti Puspitosari – 2012 )

Independent is The Civil Society

Civil society marak dalam bentuk komunitas dan ormas dalam melakukan konsolidasi untuk mengusung calon independent mendahului partai politik sejak Jokowi ada organisasi seperti Barisan Relwan Jokowi Presiden (Bara JP), Seknas Jokowi, Kawan Jokowi dan sejumlah relawan atau komunitas lainnya. Demikian juga dengan Ahok di DKI Jakarta, relawan yang menamakan diri Teman Ahok melakukan konsolidasi dan menggalang dukungan untuk mengusung Ahok dari jalur independent namun akhirnya juga membutuhkan partai politik dengan diawali dengan dukungan dari Partai NasDem.  Di sejumlah tempat gerakan independent yang dilakukan oleh relawan disejumlah daerah begitu marak dengan penuh spekulasi mengumpulkan KTP dan juga sebagai bergaining untuk dilamar partai politik.

Peran gerakan relawan untuk mengusung calon independent idealnya adalah bentuk dari kebutuhan dasar sebagai manusia yang memiliki kebebasan dan menyukai kebebasan. Gerakan atau bentuk relawan yang terbangun adalah sebuah bentuk perjuangan atas ketidakpuaasan terhadap kepemimpinan sebelumnya. Gerakan relawan ini melihat pada sejarah yang pernah dijalankan melalui “civil disobedience” yang dipimpin oleh Marthin Luther King di pertengahan 60-an. Model gerakan relawan ini dalam demokrasi hanya dipahami sebatas gerakan kelompok kepentingan  yang dijamin oleh UU untuk berkumpul dan berserikat, sebagai bentuk ledakan partisipasi karena kekecewaan atas partai politik yang tidak menjalankan agenda prioritas dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Gerakan relawan sebagai kelompok kepentingan bisa saja terbentuk dalam jangka waktu tertentu tergantung kepentingan setelah itu mencair (membubarkan diri), ataupun sebagai civil society yang terinstitusional dengan legalitas yang cukup  seperti ormas atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kepentingan mereka hanya pada upaya untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, sedangkan tidak untuk merebut jabatan publik sebagaimana yang sejatinya diperankan oleh partai politik.

Chek’s and Balance

            Jabatan politik hanya bisa direbut melalui partai politik, sehingga para kelompok kepentingan yang berjuang mengusung calon independent apabila hendak ikut merebut jabatan publik dalam pemilu / pilkada seyogiannya berjuang dalam sistem partai politik yang dibentuk dengan dasar isu tunggal yang tidak diperjuangan dalam partai-partai politik yang kadernya menjadi pemimpin publik. Jika upaya ini mengalami kesulitan bagi tataran daerah karena partai politik di negara kita berpusat, maka didaerah bisa mensiasatinya dengan partai lokal sebagaimana yang dijalankan di Aceh. Partai politik bukanlah negara yang persis dimaksudkan oleh Hegel diatas tetapi keberadaan partai politik adalah institusi publik semu. 

             Partai politik sebagai sebuah sistem yang baku untuk menghimpun aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk kemudian diperjuangkan. Tentunya partai politik memiliki “platform” atau ideologi yang diperjuangkan untuk kepentingan pendukungnnya, proses rekrutmen pemimpin publik harus melalui proses berpartai karena telah membuktikan diri melalui organisasi partai polit, karena parpol melakukan kegiatan-kegiatan serta program yang berkesinambungan serta menjadi mimbar atau podium untuk melatih kader yang dapat direkrut sebagai pejabat eksekutif atau legislatif.

            Syarat berpartai adalah sarana untuk mengukur seseorang menjunjung nilai atau ideologi serta memiliki loyalitas kepada negara, serta memiliki azas partai yang  dapat dipertanggung jawabkan. Perebutan jabatan eksekutif yang mengikut sertakan calon indenpenden, sulit untuk mengukur ideologi, arah dan apa rencana serta kebijakan dalam membangun pemerintahan, apalagi sang calon tidak pernah melalui jenjang membangun sebuah komunitas sosial. Jika berasal dari partai politk maka sang kandidat dapat diukur kemana arah pembangunan akan diarahkan. Apabila sang kandidat  berasal dari partai politik yang berideologi, maka ada ruang bagi partai politik yang berideologi berbeda untuk melakukab fungsi kontrol atau pengawasan.

Basuki Tjahya Purnama yang sering di sapa Ahok, awalnya memilih jalur independent tetapi dalam perjalanan waktu didukung oleh partai tertentu, sebagaiman yang dilakukan Partai NasDem adalah sebuah kebutuhan, kemungkinan Ahok menyadari keberadaan diri sebagai calon independent tidak akan maksimal dalam menjalankan sebuah pemerintahan sebab fungsi kontrol dan legislasi (membuat UU) sangat ditentukan oleh peran partai politik. Sebisa mungkin sang calon independent bisa menjalankan pemerintahan, namun  kemungkinan besar hanya menjalankan proses administrasi semata, karena untuk menjalankan sebuah program pembangunan mebutuhkan UU sebagai syarat operasional sebuah program pabila hendak dijalankan. 

Realitas politik yang terjadi di beberapa daerah yang dipimpin oleh kandidat dari jalur independent, kebanyakan hanya menjalankan fungsi administratif dan pemerintahan yang bersih dan jujur, akan tetapi tidak dapat memujudkan sebuah program besar dalam isi kepalanya karena terbentur produk hukum yang menjadi domain legislatif.  Sehinga untuk menciptakan demokrasi semu maka setelah terpilih mau tidak mau, harus berkompromi atau menggadaikan independensi dengan membeli partai politik guna mendapatkan dukungan bagi  proses pemerintahannya, atau merebut partai politik tertentu dengan maju sebagai calon ketua partai politik, atau melakukan nepotisme dengan mendorong dan membiayai keluarga untuk maju dalam pemilu legislatif agar bisa mendapatkan dukungan politik bagi kebijakan sang independent.

*Pengamat Sosial - Politik



Tidak ada komentar:

Posting Komentar