“CALON INDEPENDENT ½ DEMOKRASI”
*Yoyarib Mau
Perbandingan
politik yang menarik untuk dicermati adalah calon independent dalam
pemerintahan Amerika Serikat (AS) Vs Indonesia, dalam suksesi calon independent
tentu berbeda jauh, di AS calon independent selalu saja berupaya membentuk partai
ketiga di luar dua partai utama namun memperoleh suara terkecil dan tidak
signifikan sebagaiman pernah dilakukan Ross Perot. Berbeda dengan Indonesia
dimana calon independent sangat getol dan berjuang untuk bisa menjadi pemimpin
daerah tanpa melalui partai poilitik, dimana akan bekerja keras untuk
mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat maju sebagai calon
independent, terkadang calon independent yang memperoleh suara terbanyak dan
memenangkan pilkada.
Sejatinya demokrasi menjamin setiap individu haknya tidak
terabaikan sehingga menjadi mulia. Spirit demokrasi ini hampir sejalan dengan
pemikiran John Locke bahwa demokrasi harus menjamin setiap individu dewasa
untuk ikut serta dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama,
keagungan manusia hanya mungkin terwujud jika masyarakat memberi kesempatan
sebesar-besarnya kepada setiap individu untuk ikut serta dalam pembentukan
nilai-nilai.
Dasar pemikiran John Locke diatas yang
kemudian dipegang teguh oleh para calon indpendent setiap individu memiliki hak
penuh untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, adalah hak demokrasi. Dasar
berpikir ini kemudian hadir pertanyaan menarik, apakah atas nama hak indidivu
untuk membentuk nilai-nilai kemudian mengabaikan akan sistem bernegara yang
telah dibangun dalam konstitusi ? Teori Hegel yang memberi posisi unggul bagi
negara, dimana Hegel melihat civil society adalah realm dari individu yang
memiliki kepentingan hak pribadi dan egoismenya. Sedangkan soal negara Hegel
mengkontraskan itu dengan mengatakan bahwa negara membawa misi rakyat,
melindungi kepentingan umum dan melayani kepentingan masyarakat luas, oleh
karena itu civil society harus tunduk pada negara, karena negara melaksanakan
kebaikan bagi seluruh rakyat. Sementara civil society hanya berhubungan dengan
beberapa kepentingan pribadi dari anggotanya (Luthi J. Kurniawan dan Hesti
Puspitosari – 2012 )
Independent is The Civil Society
Civil
society marak dalam bentuk komunitas dan ormas dalam melakukan konsolidasi
untuk mengusung calon independent mendahului partai politik sejak Jokowi ada
organisasi seperti Barisan Relwan Jokowi Presiden (Bara JP), Seknas Jokowi,
Kawan Jokowi dan sejumlah relawan atau komunitas lainnya. Demikian juga dengan
Ahok di DKI Jakarta, relawan yang menamakan diri Teman Ahok melakukan
konsolidasi dan menggalang dukungan untuk mengusung Ahok dari jalur independent
namun akhirnya juga membutuhkan partai politik dengan diawali dengan dukungan
dari Partai NasDem. Di sejumlah tempat
gerakan independent yang dilakukan oleh relawan disejumlah daerah begitu marak
dengan penuh spekulasi mengumpulkan KTP dan juga sebagai bergaining untuk
dilamar partai politik.
Peran
gerakan relawan untuk mengusung calon independent idealnya adalah bentuk dari kebutuhan
dasar sebagai manusia yang memiliki kebebasan dan menyukai kebebasan. Gerakan atau
bentuk relawan yang terbangun adalah sebuah bentuk perjuangan atas
ketidakpuaasan terhadap kepemimpinan sebelumnya. Gerakan relawan ini melihat
pada sejarah yang pernah dijalankan melalui “civil disobedience” yang dipimpin
oleh Marthin Luther King di pertengahan 60-an. Model gerakan relawan ini dalam
demokrasi hanya dipahami sebatas gerakan kelompok kepentingan yang dijamin oleh UU untuk berkumpul dan
berserikat, sebagai bentuk ledakan partisipasi karena kekecewaan atas partai
politik yang tidak menjalankan agenda prioritas dalam meningkatkan taraf kehidupan
masyarakat yang adil dan sejahtera.
Gerakan
relawan sebagai kelompok kepentingan bisa saja terbentuk dalam jangka waktu
tertentu tergantung kepentingan setelah itu mencair (membubarkan diri), ataupun
sebagai civil society yang terinstitusional dengan legalitas yang cukup seperti ormas atau lembaga swadaya masyarakat
(LSM). Kepentingan mereka hanya pada upaya untuk mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan, sedangkan tidak untuk merebut jabatan publik sebagaimana yang sejatinya
diperankan oleh partai politik.
Chek’s and Balance
Jabatan politik hanya bisa direbut
melalui partai politik, sehingga para kelompok kepentingan yang berjuang
mengusung calon independent apabila hendak ikut merebut jabatan publik dalam
pemilu / pilkada seyogiannya berjuang dalam sistem partai politik yang dibentuk
dengan dasar isu tunggal yang tidak diperjuangan dalam partai-partai politik
yang kadernya menjadi pemimpin publik. Jika upaya ini mengalami kesulitan bagi
tataran daerah karena partai politik di negara kita berpusat, maka didaerah
bisa mensiasatinya dengan partai lokal sebagaimana yang dijalankan di Aceh. Partai
politik bukanlah negara yang persis dimaksudkan oleh Hegel diatas tetapi
keberadaan partai politik adalah institusi publik semu.
Partai politik sebagai sebuah
sistem yang baku untuk menghimpun aspirasi yang berkembang dalam masyarakat
untuk kemudian diperjuangkan. Tentunya partai politik memiliki “platform” atau
ideologi yang diperjuangkan untuk kepentingan pendukungnnya, proses rekrutmen pemimpin
publik harus melalui proses berpartai karena telah membuktikan diri melalui
organisasi partai polit, karena parpol melakukan kegiatan-kegiatan serta
program yang berkesinambungan serta menjadi mimbar atau podium untuk melatih
kader yang dapat direkrut sebagai pejabat eksekutif atau legislatif.
Syarat berpartai adalah sarana untuk
mengukur seseorang menjunjung nilai atau ideologi serta memiliki loyalitas
kepada negara, serta memiliki azas partai yang dapat dipertanggung jawabkan. Perebutan jabatan
eksekutif yang mengikut sertakan calon indenpenden, sulit untuk mengukur ideologi,
arah dan apa rencana serta kebijakan dalam membangun pemerintahan, apalagi sang
calon tidak pernah melalui jenjang membangun sebuah komunitas sosial. Jika
berasal dari partai politk maka sang kandidat dapat diukur kemana arah
pembangunan akan diarahkan. Apabila sang kandidat berasal dari partai politik yang berideologi,
maka ada ruang bagi partai politik yang berideologi berbeda untuk melakukab
fungsi kontrol atau pengawasan.
Basuki
Tjahya Purnama yang sering di sapa Ahok, awalnya memilih jalur independent tetapi
dalam perjalanan waktu didukung oleh partai tertentu, sebagaiman yang dilakukan
Partai NasDem adalah sebuah kebutuhan, kemungkinan Ahok menyadari keberadaan
diri sebagai calon independent tidak akan maksimal dalam menjalankan sebuah
pemerintahan sebab fungsi kontrol dan legislasi (membuat UU) sangat ditentukan
oleh peran partai politik. Sebisa mungkin sang calon independent bisa
menjalankan pemerintahan, namun
kemungkinan besar hanya menjalankan proses administrasi semata, karena
untuk menjalankan sebuah program pembangunan mebutuhkan UU sebagai syarat
operasional sebuah program pabila hendak dijalankan.
Realitas
politik yang terjadi di beberapa daerah yang dipimpin oleh kandidat dari jalur
independent, kebanyakan hanya menjalankan fungsi administratif dan pemerintahan
yang bersih dan jujur, akan tetapi tidak dapat memujudkan sebuah program besar
dalam isi kepalanya karena terbentur produk hukum yang menjadi domain
legislatif. Sehinga untuk menciptakan
demokrasi semu maka setelah terpilih mau tidak mau, harus berkompromi atau menggadaikan
independensi dengan membeli partai politik guna mendapatkan dukungan bagi proses pemerintahannya, atau merebut partai
politik tertentu dengan maju sebagai calon ketua partai politik, atau melakukan
nepotisme dengan mendorong dan membiayai keluarga untuk maju dalam pemilu
legislatif agar bisa mendapatkan dukungan politik bagi kebijakan sang independent.
*Pengamat
Sosial - Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar