“VOX POPULI VOX DEI IN BAILOUT CENTURY ”
*Yoyarib Mau
Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Pengusutan Kasus Bank Century yang bekerja selama kurang lebih 5 (lima) bulan yang kemudian diakhiri dengan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat - Republik Indonesia (DPR-RI). Rapat Paripurna yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut sejak tanggal 01- Mei 2010 hingga berakhir 03-03-2010 sekitar pukul 23:30, menyita perhatian seluruh rakyat Indonesia, dan membangun dua kekuatan baik ditingkatan masyarakat yang pro dan kontra, dengan melakukan demontrasi dan juga di level DPR – RI dengan dua kekuatan yang terbelah dengan dengan voting dua opsi yakni Opsi A (kebijakan bailout dan aliran dana tidak bermasalah) dan Opsi C (kebijakan bailout dan aliran dana diduga terdapat penyimpangan sehingga diserahkan kepada proses hukum).
Hasil voting yang dilakukan DPR dengan dua opsi tersebut, Anggota DPR yang memilih opsi A sebanyak 212 suara (Demokrat 148 suara, PAN 39 suara dari 46 Kursi di DPR, serta PKB 25 suara dari 28 Kursi di DPR) sedangkan anggota DPR yang memilih opsi C sebanyak 325 suara ( Golkar 104 suara dari 106 Kursi di DPR, PDIP 90 suara dari 96 Kursi di DPR, PKS 56 suara dari 57 Kursi di DPR, PPP 32 suara dari 38 Kursi di DPR, PKB 1 suara, Gerindra 25 suara dari 26 Kursi di DPR, dan Hanura 17 suara dari 17 Kursi di DPR).
Di sela-sela proses pemungutan suara (voting) banyak hal yang terjadi, di mulai dari kisruh karena Ketua DPR RI Marzuki Ali menskor rapat paripurna secara sepihak tanpa koordinasi dengan pimpinan DPR RI lainnya, banyaknya hujan interupsi, bahkan banyaknya suara sumbang, celetuk-celetuk ringan, cemohan, intrik dan sindiran. Namun ada hal yang menarik yang perlu kita bersama perhatikan dalam proses ini adalah pemakaian atau pengadopsian akan kata “vox pupuli vox dei” dalam rapat paripurna tersebut, bahkan saat salah satu anggota DPR RI dari fraksi Golkar yakni Nurul Arifin dalam kesempatan menyampaikan pendapatnya sempat menyampaikan pemikirannya sesuai dengan moto golkar dalam masa kepemimpinan Ketua Umum Aburizal Bakrie, “Suara Golkar adalah Suara Rakyat”. Apabila di simak dengan seksama banyak hal yang dikaitkan dengan suara rakyat, bahkan diakhir rapat paripurna semua fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan akhirnyapun hampir semuanya sepakat bahwa hasil akhir rekomendasi DPR-RI dalam rapat paripurna menyangkut hak angket penyusutan kasus bank century adalah kemenangan rakyat.
Vox Populi Vox Dei merupakan ungkapan yang cukup tua dalam sejarah dunia, dimana pada abad ke-8, seorang penulis yang bernama Alcuin menuliskan surat buat Charlemagne 768 – 814 Masehi (bahasa Prancis) seorang raja Frank. Charlemagne dalam bahasa latin di sebut Carolus Magnus dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Karel Agung. Dan dalam perkembangannya “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan) sepertinya lebih ditujukan sebagai sebuah pembenaran, bahwa apa yang diinginkan rakyat itu yang diinginkan Tuhan, kemungkinan hal ini dapat dikaitkan kepada wakil rakyat yakni para anggota DPR karena dipilih secara langsung oleh rakyat.
Wakil rakyat yakni para DPR dalam rapat paripurna DPR yang terbagi karena pilihan opsi A dan C, menimbulkan kebingungan manakah yang benar memenuhi krieria slogan Vox Populi Vox Dei ? apakah 212 suara yang memilih opsi A atau 325 suara yang memilih C ? memang tidak ada criteria yang tepat untuk dijadikan indicator untuk mengkategorikan mana yang memenuhi syarat “suara rakyat suara Tuhan”.
Namun mencermati voting (pemungutan suara) yang berlangsung dalam rapat paripurna pada rabu 03-03-2010 yang telah berlalu ada rujukan yang dapat menyakinkan bahwa jargon “vox populi vox dei” masih relevan karena dimiliki oleh wakil rakyat di DPR – RI. Suara DPR yang memberikan harapan bahwa “suara rakyat suara Tuhan” hanyalah satu orang yakni Lili Wahid salah satu anggota Dewan dari Fraksi PKB, ia berbeda dari mayoritas anggota Fraksi PKB yang memilih opsi A.
Timbul pertanyaan mengapa dalam tulisan ini, memilih Lili Wahid yang masih mewakili suara rakyat suara Tuhan, tentu hal ini beralasan seperti sepenggal pemikiran yang dituliskan oleh Joseph Losco dan Leonard Williams bahwa, “Jiwa besar sang legislator adalah satu-satunya keajaiban yang dapat membuktikan misinya” (Joseph Losco – Political Theory – Rajawali Pers - 2005)
Pilihan Lili Wahid bukanlah sekedar mencari popularitas, karena nama besar yang tertera di belakang yakni “Wahid” sudah dikenal di seantero Jawa Timur bahkan di kalangan Ormas Nadhatul Ulama (NU), Sehingga sikap Lili Wahid lebih tepat adalah sebuah “pilihan beresiko”, pilihan tersebut bukan dilakukan dalam kondisi alam bawa sadar (mimpi) tetapi dilakukan dalam keadaan sadar. apa yang dilakukan oleh Lili Wahid bukan dipengaruhi celetuk –celetuk yang dilontarkan anggota DPR lainnya ketika giliran voting bagi fraksi PKB bunyinya “ingat Gus Dur….ingat Gus Dur” pilihan tersebut juga bukan hanya sekedar sebagai solidaritas bersama anggota tim 9 (sembilan) sebagai inisiator penggunaan hak angket untuk kasus bank century. Sudah tentu perlawanan melawan keputusan fraksi akan berakibat fatal tetapi dia tidak gentar dan takut. Melihat sikap ini maka sudah barang tentu ini adalah suara hati karena keputusan untuk turut memilih opsi C bersama suara mayoritas adalah sebuah pergumulan dan pergulatan bathin yang cukup berat. Perjuangan untuk berbeda sikap seumpama, terperosok dalam jurang yang dalam dan berjuang untuk keluar dari jurang tersebut sehingga ketika ia berani menentukan pilihan untuk berbeda, dirinya bagaikan dirinya terselamatkan dari jurang yang dapat mematikan dirinya karena kehabisan tenaga dan membuatnya tak berdaya bahkan kehabisan suara untuk berteriak memohon pertolongan.
Suara Lili Wahid dalam menentukan pilihan opsi C berbeda dengan anggota mayoritas fraksi PKB adalah pilihan sebagai sejatinya seorang legislator karena ia sadar sebagai seorang legislator yang memahami misinya sebagai wakil rakyat. Kemungkinan besar dari 212 suara yang memilih opsi A adalah perintah atau amanat partai yang berkoalisi dengan penguasa, demikikian juga dengan 325 suara memilih karena pesanan ketua partai politik atau desakan fraksi sehingga tidak lah memenuhi atau menjawab jargon “vox populi vox dei”. Ketepatan hanyalah ada pada 1 suara dari PKB yang memilih opsi C sebagai bukti perwujudan jargon demokrasi tersebut karena ia mengetahui untuk apa, kapan dan bagaimana kehadirannya di Senayan sebagai wakil rakyat yang adalah simbol dari rakyat yang berdaulat dan di lain pihak ia pun berada pada posisi yang dilematis karena merupakan perwakilan partai politik.
Penyadaran sebagai simbol rakyat, yang mengemban mandate rakyat berkewajiban untuk bertindak atas nama kelompok yang lebih besar yang telah mempercayainya dan tidak hanya mewakili PKB. Sehingga keberanian untuk berbeda satu suara dari mayoritas patut mendapatkan penghargaan sebagai pewujud jargon demokrasi ”vox populi vox dei”
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar