“MAMAR KOTA UNTUK KUPANG GREEN AND CLEAN”
*Yoyarib Mau
Dalam sebuah diskusi terbatas dan tak resmi antara beberapa aktifis academia NTT yang ada di Jakarta seperti; Andre Therik, Matheos Mesakh, penulis bersama Prof. Yusuf L. Henukh mencoba meneropong kembali program Kupang Green and Clean (KGC). Melihat bahwa program ini tidak melibatkan semua pihak serta tidak melihat kejayaan Kupang pada waktu lampau.
Program KGC sepertinya hanya program birokrasi dan tidak melibatkan seluruh masyarakat kota karena proses menghijaukan Kota dilakukan dengan membagi lahan-lahan kosong bagi tiap kantor dinas atau berbagai institusi di Kota Kupang untuk menanaminya dengan sejumlah pohon, padahal ada bukti dan catatan sejarah di masa kejayaan kota Kupang dimana peran vetor mampu menciptakan kondisi Kupang menjadi kota yang hijau.
Catatan atau bukti Sejarah yang dapat dilihat bahwa pada masa kevetoran ada wilayah – wilayah yang subur dan hijau serta memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat kota waktu itu, seperti mampu memberikan suplai air bagi konsumsi rumah tangga (PAM) dan suplai air bagi irigasi pertanian. Wilayah yang mampu memberikan sumber air bagi kehidupan kota adalah Oepura dan Air Nona.
Oepura dibuktikan dgn adanya PAM dan ada Kolam Renang serta ada Kolam Air Nona serta mengairi sejumlah persawahan di Kota, serta sumber air lain dari luar Kota yakni Baumata dan Oenisu. Melihat keberadaan tempat-tempat ini semuanya tidak dengan sendirinya ada tetapi ada keterkaitan, Sumber-sumber air ini selalu berada dengan “mamar”.
Mamar merupakan sistem usaha tani di Pulau Timor yang dikembangkan pada satu hamparan lahan di sekitar sumber air atau zona tertentu, mamar menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan di sejumlah kampung di daerah Timor, Sabu dan Rote. Mamar merupakan sumber kehidupan bagi orang Timor, Rote dan Sabu, karena kebutuhan kesehariannya ditanam di lahan ini dan selalu di dominasi oleh tanaman seperti; pisang, kelapa, pinang dan sirih.
Mamar ini tidak di miliki oleh pribadi tertentu tetapi bersifat komunal, karena kepemilikan yang komunal maka ada kesepakatan bersama dan melembaga di antara para pemilik yang berasal dari beberapa marga atau klan. Kesepakatan adat ini mengatur tentang batasan masa rotasi panen, pembagian hari untuk jatah pengairan ke tanaman, dan pemasangan beberapa atribut adat sebagai simbol larangan pada lokasi tertentu. Ketentuan ada ini harus di jalankan jika ada pelanggaran maka ada sanksi.
Warisan sejarah ini masih di nikmati oleh warga kota Kupang hingga hari ini yakni Air PAM, dan sejumlah sawah yang masih terhampar luas, Program KGC yang di kembangkan pada periode walikota saat ini, sesungguhnya memiliki tujuan mulia yakni menciptakan keteduhan dan suasana sejuk di kota namun perwujudan KGC tidak mungkin berjalan sendiri antara birokrasi dan rakyat tanpa pelibatan seluruh masyarakat.
Mungkinkah program KGC untuk mengatasi kesulitan dan kebutuhan pokok masyarakat yakni krisis air bersih atau sekedar menyenangkan pemerintah pusat ?
Pertanyaan diatas mungkin ada benarnya karena KGC hanyalah polesan pemkot untuk menyenangkan dan mengharapkan bantuan pemerintah pusat bahwa pemkot turut mendukung program nasional ”one man one tree” dan “protokol kyoto”. Padahal jika mau jujur apabila pemkot serius untuk membangun kota ini yang bertujuan ketersediaan air minum, suasana sejuk dan hijau maka rekomendasi mamardapat di terapkan sebagai salah satu kearifan lokal daerah guna menjawab KGC.
Walaupun wilayah Timor memiliki karakteristik iklim kering, batu bertanah,curah hujan rendah namun tidak serta merta membenamkan idealisme bahwa pohon susah hidup di kota ini. Penulis telah menggambarkan diatas bahwa konsep ”mamar” dapat digunakan untuk memacu kelambanan program KGC.
Konsep Meresapi
Program KGC akan berhasil jika melibatkan semua masyarakat, untuk melibatkan semua masyarakat perlu memperhatikan bahwa program ini harus diresapi masyarakat, Untuk program KGC ini terwujud maka penulis menawarkan sebuah tawaran pemikiran yakni ”meresapi” konsep ini dapat di wujudkan dalam masyarakat yakni menanam tanaman yang menjadi kebutuhan atau sering dinikmati oleh masyarakat. Konsep meresapi ini yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda di Jawa, yakni tanaman tebu namun proses meresapipun dilakukan dalam keseharian masyarakat Jawa dimana setiap makanan di taburi gula agar manies. Di Sulawesi juga demikian karena tanaman kelapa yang menjadi produk unggulan maka setiap makanan yang di sajikan selalu menambahkan santan kelapa. Ide meresapi ini memobilisasi masyarakat di jawa dan sulawesi untuk menanam tanaman yang menjadi bagian dari kehidupan mereka yang kemudian hari tanaman ini tidak hanya cukup dikonsumsi sendiri tetapi memnuhi kebutuhan pangan nasional serta diekspor
Proses meresapi juga di lakukan masyarakat yang bermukim di Timor, Rote dan Sabu dimana ”mamar” ditanami pisang dan kelapa ditanami untuk konsumsi tetapi yang lebih dominan adalah pinang dan sirih selalu ada di mamar. Pola meresapi sangat kental dan lebih mencerminkan nilai sosial budaya karena setiap tamu akan disuguhkan sirih – pinang, dan masyarakat sendiri mengkonsumsinya sebagai budaya membangun persaudaraan.
Rehabilitasi
Mamar pada hakikatnya membangun tiga komponen di mana, komponen pertama yakni tanah – air, kedua tanaman hayati dan ketiga manusia. Tiga komponen ini saling terkait tanah di tanami tanaman untuk tidak terjadi erosi, menahan dan menyimpan air hujan serta menghasilkan sumber air yang dapat difungsikan oleh manusia. Mamar merupakan hasil interaksi dari tiga komponen tersebut. Menjadi tantangan adalah dengan kemajuan dan peradaban masyarakat kota dimana dibutuhkannya lahan untuk perumahan sehingga sebagaian lahan mamar dialihfungsikan bagi pemukiman dan secara sosial sulit untuk mewujudkan mamar di tengah kota hal ini disebabkan oleh lahan yang sempit, serta karakteristik masyarakat kota yang tidak dapat menerapkan konsep meresapi yakni makan sirih pinang seperti masyarakat pingiran kota dan desa yang tersebar di Timor, Rote dan Sabu.
Mamar harus di pahami secara luas bahwa tidak selamanya yang harus di tanami adalah sirih dan pinang, tetapi tanaman lain yang menjadi kebutuhan masyarakat kota tetapi kembali lagi bagaimana komitmen pemkot dalam menjalankan KGC, dimana lahan tidur atau lahan kosong di berbagai sudut kota atau pinggiran kota di manfaatkan sebagai mamar dengan melibatkan masyarakat setempat untuk berperan aktif (social foresty) sehingga rasa kepemilikan, penerapan aturan adat berdasarkan kesepakatan bersama di lingkungan masyarakat dapat dilakukan sehingga rasa kepemilikan serta kepedulian membangun kota.
Anggaran
Perwujudan mamar tidak secara murni sumbangan sukarela dari masyarakat tetapi peran pemkot sangat dibutuhkan yakni pengaloksian anggaran bagi terwujudnya konsep mamar, APBD Kota Kupang tahun 2010 sebesar 476,147 milyar, anggaran untuk SDA dan Lingkungan diperuntukan bagi Jalur Hijau dan sejenisnya 1.530 milyar (0.322% dari APBD) dan untuk Penataan Taman 283 Juta (0,59% dari APBD).
Anggaran untuk SDA dan Lingkungan sanagat kecil padahal alokasi anggaran untuk bagian ini sangat vital karena menyangkut kebutuhan pokok yang menjamin kehidupan masyarakat yakni air. Anggaran terbesar malah dialoksikan untuk kendaraan dinas seperti alokasi dana untuk operasional mobil dinas di Pos Setda kota sebesar 1,923 milyar, pemeiliharaan dan operasional kendaraan dinas sebesar 4,558 milyar (khusus untuk Pos Setwan 540,9 juta) dan Pengadaan Kendaraan dinas/Operasional sebesar 5,032 milyar.
Dari besarnya anggaran memiliki kesenjangan yang sangat jauh antara anggaran untuk SDA – Lingkungan dengan Anggaran pengadaan mobil dinas hal ini mencerminkan bahwa keberpihakan pemkot untuk mewujudkan KGC hanyalah isapan jempol belaka, KGC hanyalah iklan belaka yang ingin menawarkan dan menunjukan bahwa pemkot peduli dengan isu ”warming global” dengan tujuan lebih banyak lagi mendapatkan bantuan pusat serta donatur lembaga asing tetapi sejatinya tidak peduli dengan rakyatnya, jika anggaran untuk rakyat maka alokasi dana yang cukup untuk memobilisasi masyarakat untuk membuat mamar kota di sejumlah titik dengan harapan dtidak hanya menciptakan kota indah dan hijau tetapi berefek ganda yakni mengatasi kesulitan air.
Tujuan dari KGC hanya akan berhasil jika memiliki tujuan jangka panjang untuk menjawab krisis kemanusiaan yakni air minum yang setiap saat jelang musim kemarau menjadi barang mahal bagi warga kota karena tidak dapat tidur menikmati malam karena menanti hadirnya tetesan air dari leding PAM.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar