Sabtu, 16 April 2011

"THAILAND DENGAN DEMOKRASI KONSENSUS"

“THAILAND DENGAN DEMOKRASI KONSENSUS”
*Yoyarib Mau

Thailand merupakan negara yang dalam sejarahnya tidak pernah dijajah sehingga Thailand memiliki kekhasan dan kekhususan tersendiri yang tidak sama seperti negara lain di daerah semenanjung atau di Asia Tenggara pada umunya. Masyarakat Thailand sering di sebut dengan sebutan orang Thai, atau juga dapat di sebut orang Siam, namun sebutan yang lebih popular bagi orang Thailand adalah Thai karena lebih pada pertimbangan etnies Thai dalam bahasa Thai berarti “orang bebas”

Asal-usul orang Thai, memiliki ciri-ciri fisik yang tidak jauh berbeda dengan orang China, D.G.E. Hall sepakat mengisahkan perihal tanah asal orang Siam di Asia Tengah. Dipercaya bahwa sekitar 7000 tahun yang dahulu mereka mendiami kawasan pegunungan Altai (Mongolia) dan sekitarnya 2500 tahun kemudian berkembang hijrah ke selatan yang lebih subur (www.pekemas.org)

Pemikiran diatas dapat membenarkan apabila orang Thai berasal dari Mongolia, karena ciri fisik turut mendukung namun yang menjadi persoalan yang perlu di cermati adalah relief tulisan yang jauh berbeda serta bahasa yang dipakai juga sangat jauh berbeda asumsi ini dikuatkan oleh George Coedes bahwa masuknya secara lamban dan boleh jadi yang sudah kuno, sepanjang sunagi-sungai berhubungan dengan pergeseran umum penduduk dari utara ke selatan yang menjadi ciri terbentuknya kependudukan di semenanjung Indochina (George Coedes-KPG-2010).

Masyarakat Thai memiliki cirri – ciri rambut yang hampir sama dengan orang Mongolia yakni membiarkan rambutnya panjang sebagaimana di tuliskan oleh Anthony Reid bahwa; memperlakukan bagian tubuh yang paling beragam yakni rambut, pria dan wanita tidak begitu dibedakan dalam hal gaya rambut, bagi keduanya rambut merupakan suatu lambang serta petunjuk diri yang sangat menentukan. Oleh sebab itu pola yang berlaku hingga kurun niaga tampaknya ialah didorongnya pria dan wanita untuk menumbuhkan rambut sepanjangnya dan selebat mungkin (Anthony Reid – YOI – 2011)

Dalam hal yang lain bahwa banyak orang China atau orang Thai yang rambutnya di potong seperti para Saolin atau Bhiksu yang memiliki ciri-ciri seluruh rambutnya di potong sehingga yang tampak hanya kulit kepala saja, sepertinya pilihan ini khusus atau bagian dari ciri atau peran yang di jalankan.

Menurut Anthony Reid bahwa pilihan diatas dengan memotong seluruh rambut merupakan pengorbanan diri dari pada pertanda pengekangan gairah seksual atau pengebirian, seperti yang pernah dikemukakan (Berg 1951; Leach 1958), Alcina (1668A: 18) menulis tentang kaum wanita Filipina, “sakit terberat yang bisa mereka rasakan ialah jika rambutnya diambil atau dipotong. Maka untuk menunjukan kesedihan yang mendalam mereka memotong rambut… suatu tanda bahwa mereka berkabung atas kematian orang tua atau suami yang dicintai…. Untuk suatu motif keagamaan atau menyatakan selamat tinggal pada keduniaan” (Anthony Reid – YOI – 2011) sebagaimana orang Thai dengan para bikkhunya yang memakai jubah serba kuning dengan kepala digundulkan.

Dan motif pemotongan yang dilakukan di orang Thai lebih pada motif keagamaan atau menyatakan selamat tinggal pada keduniaan. Dan pilihan ini membuat mereka harus memiliki ciri atau perbedaan dari masyarakat kebanyakan. Thailand dalam sejarah merupakan merupakan jaringan dari aristokrasi dari Mongol, dimana Mongol mengontrol semua kelas sosial, “prajurit atau kaum setia yang merupakan insane bebas, rakyat biasa, dijadikan budak.

Salah satu tokoh yang bernama Ramkhamhaeng yang memiliki hubungan baik dengan Mongol dan menjadi bagian dari aristokrasi Mongol berhasil meraih semacam hegemoni atas sejumlah suku Thai akhirnya Ramkhamhaeng adalah pemimpin dan raja yang berkuasa penuh atas semua orang Thai (George Coedes-KPG-2010).

Dengan adanya pemimpin ini membuat orang Thai memiliki penguasa dan tunduk terhadap penguasa tersebut, daerah penaklukannya merupakan bagian dari kekuasaannya sehingga memenuhi syarat untuk mandiri sebagai sebuah kerajaan (negara) karena ada wilayah kekuasan (geografis), pemerintahan, dan rakyat, dan dari keturunan Ramkhamhaeng lah kerajaan Thai terbentuk. Kepemimpinan yang dipimpin oleh kerajaan turun temurun dan menjadi penentu bagi kerajaan hingga terbentuknya Thailand sebagai sebuah negara.

Namun seiring dengan kemajuan peradaban yang di dalangi oleh ilmu pengetahuan, dunia semakin sempit dan tidak lagi di batasi oleh ruang dan waktu, orang dari wilayah tertentu dapat melakukan kunjungan ke negara lain serta dapat membangun kerjasama yang saling menguntungkan dimana ada tukar menukar (ekspor-import) barang atau pertukaran peradaban maka influence kemajuan dari negara yang lebih maju akan mempengaruhi negara yang lemah dalam teknologi atau peradaban maka sistem pemerintahan aristokrasi yang menjadi model pemerintahan di kerajaan Thailand pun mulai mengalami pergeseran.

Kondisi pergeseran ini mendorong Thailand untuk memikirkan design politik yang tepat bagi orang Thai dimana budaya dan tradisi tidak akan dimusnahkan tetapi juga mereka pun diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan peradaban di negara-negara maju yang menerapkan sistem pemerintahan yang demokratis.

Karena bagi orang Thai ada tiga hal yang suci atau yang sering disebut “eka lak thai” yakni : Bangsa Thai, Raja, dan Buddha, sehingga perlu pemikiran yang tepat dalam melihat penerapan demokrasi di Thailand karena suatu sisi demokrasi hadir untuk memberikan ruang bagi peran rakyat dalam pemerintahan namun di sisi lain bagi Thailand raja memiliki peran yang sangat penting dalam sistem politik Thailand.

Bagi orang Siam atau Thai kebanyakan menganut agama Buddha akan menghormati apa yang menjadi putusan raja, karena kepercayaan atas nilai-nilai tradisional yang dianut yakni peran tradisional raja, raja-raja Thailand percaya bahwa mereka adalah Bodhisattva dimana karena rasa kasihnya yang luar biasa ia meninggalkan nirvana untuk menolong manusia, pemikiran keyakinan yang mereka miliki bahwa raja dalam setiap keputusan atau kebijakanya merupakan inspirasi yang merupakan apa yang dikehendaki sang Ilahi dan di percaya demi kebaikan bersama (bonum communal).

Dilain pihak demokrasi hadir dari barat dengan nilai – nilai yang menjamin individual yang bertolak belakang dengan apa yang dijalankan di Thailand, nilai-nilai demokrasi sebagaimana disederhankan oleh Samuel Huntington bahwa; sebuah sistem politik disebut demokratis bila “para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala dan didalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara (Hendra Nurtjahjo - Bumi Aksara - 2008).

Dari uraian tesebut diatas tulisan dalam topic ini menghadirkan beberapa pertanyaan permasalahan yaitu ;Bagaimana model demokrasi yang berkembang dari barat (Eropa dan AS) dapat di sesuaikan dengan monarkhi di Thailand ? Sejaumana kedudukan orang Thailand dalam pelaksanaan demokrasi di Thailand.

Thailand sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki keunikan dan problematika karena adanya kepemimpinan raja yang kuat sebagai hal yang tidak dapat di tawar namun membuka diri untuk penerapan demokrasi sehingga tulisan ini sebagai sebuah sumbangsi pemikiran untuk pemikiran politik sehingga dapat melihat demokrasi yang berkembang di barat dan ketika diperhadapkan dengan sebuah struktur budaya kerajaan yang begitu kuat.

Landasan teori yang mungkin menjadi pisau analisa adalah pemikiran Feridinand Tonnies yang membedakan dua jenis kelompok yang dinamakannya Gemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeinschaft digambarkan sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi dan ekslusif; suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir dan dibagi dalam tiga jenis yakni gemeinschaft by blood, gemeinschaft of place, dan gemeinschaft of mind. Sedangkan Gesellschaft merupakan kehidupan public, yang terdiri atas orang yang kebetulan hadir bersama tetapi masing-masing tetap mandiri dan bersifat sementara dan semu (Kamanto Sunarto - LP FE – UI, 2004).

Hubungan raja dan orang Thai atau masyarakat Thailand begitu kuat dan tak mungkin dipisahkan karena merupakan bentuk turunan dari kepercayaan tradisional Thailand, raja di tempatkan sebagai inti dari doktrin Ekalak Thai. Sedangkan nilai-nilai demokrasi lebih merunut pada nilai-nilai kontemporer yang lebih mengacu pada budaya eropa atau barat (AS).

Pemikiran Plato tentang negara memiliki kemiripin dengan apa yang dianut oleh kerajaan Thailand menurut Plato negara ideal menganut prinsip mementingkan kebajikan (virtue). Kebajikan menurut Plato adalah pengetahuan. Sehingga menurut Plato negara yang ideal atau negara yang terbaik bagi manusia adalah negara yang penuh kebajikan di dalamnya. Mereka yang berhak menjadi penguasa hanyalah mereka yang mengerti sepenuhnya prinsip kebajikan ini. Plato menyebut negarawan seperti itu seorang raja-filsuf - the philosopher king (Ahmad Suhelmi – Gramedia – 2007).

Pemikiran Plato menguatkan apa yang menjadi tradisional pemahaman masyarakat Thailand dalam diri seorang raja karena bagi orang Thai, kedudukan raja tidak hanya diatur formal dalam konstitusi tetapi lebih pada nilai-nilai tradisional yang diyakini seperti keberadaan raja sebagai Bodhisattva pemilik kebajikan tertingi, dipercaya sebagai reinkarnasi dari seseorang yang pada masa lalunya memiliki pahala yang sangat tinggi.

Pemikiran bahwa sumber kabajikan hanya ada pada raja karena reinkarnasi merupakan sesuatu yang kuat sehingga sebagai pelindung bagi Buddihsm dan Sangha dan keduanya merupakan sumber legitimasi dari raja, sehingga raja menjadi symbol pemersatu dan symbol idnetitas bangsa keberadaan ini menunjukan bahwa keberadaan raja adalah mutlak sehingga model pemerintahannya adalah monarkhi absolute yang kemudian pada tahun 1932 merupakan titik awal dimulainya demokrasi di Thailand sehingga adanya Demokrasi di Thailand.

Proses demokrasi di awali dengan proses kudeta untuk membatasi kekuasaan raja dan mengikut sertakan sipil (masyarakat) dalam menjalankan pemerintahan. Penerapan demokrasi bagi masyarakat Thailand sejatinya bertolak belakang dengan nilai-nilai tradisonalnya karena ada spirit demokrasi yang sebetulnya tidak sejalan dengan nilai tradisional Thailand.

Esensi demokrasi adalah bagaimana peran maksimal dari rakyat, dimana kedaulatan atau kekuasaan oleh rakyat, Abraham Lincoln menguraikan bahwa pengertian kekuasaan rakyat itu dalam slogan yang sangat ringkas, yaitu “from the people, by the people, and for the people, yang kesemuanya itu berintikan ide “rule by the people”( Hendra Nurtjahjo - Bumi Aksara – 2008).

Pemikiran ini apakah sejalan dengan nilai – nilai tradisional Thai yang mendaulatkan kekuasaan itu ada pada raja dimana raja adalah inti atau obyek sembahan rakyat Thailand apa yang menjadi keputusan raja merupakan amanah bagi rakyat Thailand, dimana kasus PM. Thaksin yang secara demokratis mendapatkan dukungan mayoritas dari rakyat dan memilih Partai yang didirikan Thaksin yakni Thai Rak Thai menang di parlemen sehingga secara demokratis maka Thaksin mendapatkan kedaulatan dari rakyat.
Mengacu pada “dari rakyat” maka akan menunjuk adanya suatu pemilihan umum yang bebas atau kebebasan memilih yang dimiliki secara sama oleh seluruh rakyat, kondisi ini dengan sendirinya Thaksin terpilih secara demokratis, namun kuatnya tekanan perlawanan oleh lawan politik dengan masing-masing menghadirkan masa turun ke jalanan membuktikan demokratisasi yang tumbuh di Thailand.

Kondisi ini tidak sertamerta menyelesaikan persoalan demokrasi karena kedua pihak yang tidak mengalah dan akhirnya kekuasaan Rajalah yang menyelesaikan persolan dengan memerintahkan PM. Thaksin untuk melepaskan jabatan, dengan demikian seluruh rakyat tunduk dan taat pada apa yang diperintahkan oleh Raja.

Kata “oleh rakyat” sering dipahami lain yakni kepemimpinan dipimpin beramai-ramai oleh rakyat, apa jadinya jika sebuah pemerintahan di perintah oleh beribu-ribu orang sehingga oleh rakyat di sini yakni diwakilkan kepada wakil-wakil yang dipilih melalui pemilu, di Thailand wakil-wakil itu ada di parlemen karena mereka diusung oleh partai politik sebagai sarana untuk memudahkan pemilihan. Namun bukan berarti keputusan mutlak di tangan wakil-wakil rakyat tersebut tetapi tetap keputusan akhir ada pada Raja.

Jika pemikiran “oleh rakyat” apakah dengan keberadaan nilai-nilai orang Thai dimana ketaatan pada raja, yakni setiap masyarakat Thai harus tunduk dan taat kepada keputusan raja, semua berkewajiban untuk menegakan keputusan Raja, apabila mengacu bahwa keputusan taatnya rakyat pada raja tanpa perlawanan adalah sesuatu yang baik maka hal tersebut dapat di sebut “democratic pradoksal” karena di suatu sisi telah memenuhi varibel suara terbanyak karena mayoritas orang Thai akan mematuhi keputusan raja yakni dukungan kepatuhan sebai bentuk suara terbanyak namun dilain pihak keputusan tersebut nyaris tanpa celah untuk dikritisi atau di perdebatkan sebagaimana a\yang ditawarkan demokrasi deliberative karena bagi rakyat suara raja dianggab suara dewa yang tidak memiliki kemungkinan salah/dosa sehingga sudah pasti mutlak benar.

Dan keputusan Raja bertujuan untuk stabilitas dan kedamaian orang Thai karena Raja ingin adanya ketentraman pemikiran orang Thai diperhadapkan antara peradaban tradisional dan peradaban modern dimana mereka menerima demokrasi sebagai bagian dari sistem pemerintahan Thailand.

Kondisi ini jika dikaitkan dengan demokrasi deliberative yang di tawarkan oleh Jurgen Habermas, mengenai demokrasi deliberative/diskursus dalam ruang public, kehidupan bersama di dalam sebuah masyarakat membentuk suatu tatanan sosial, jika para anggota masyarakat ini mematuhi norma-norma tertentu yang mengatur perilaku mereka, Kepercayaan akan pandangan dunia (weltranschauung) tradisional dan sikap menerima begitu saja pendasaran-pendasaran konvensional atas norma-norma dalam taraf tertentu dapat mereproduksi dan menstabilkan tatanan sosial tersebut. Namun di dalam masyarakat modern orang tak dapat menerima begitu saja norma-norma yang mengatur perilaku mereka (F. Budi Hardiman - Komunitas Salihara – 2011).

Namun bagi orang Thai kebenaran itu adalah menyakini nilai-nilai tradisonal bahkan keyakinan akan kebijakan raja di atur dalam Konstitusi Kerajaan Thailand 1997. Sehingga mereka melakukan ini sebagai bentuk dari negara yang menjunjung tinggi hukum “rule of law” sebagai salah satu sendi demokrasi.

Model demokrasi di Thailand merupakan sebuah model yang unik dan menarik dibelahan dunia saat ini untuk di pelajari, jika nilai-nilai tradisional itu telah di sepakati sebagi hukum konstitusional maka hal tersebut tidak dapat di salahkan bahwa Thailand tidak demokratis, sebab apabila dilihat dari struktur bangun demokrasinya memenuhi criteria ada pemilu yang dilakukan berkala, ada eksekutif dan legislative ada yudikatif, ada konstitusi semuanya menunjukan bahwa secara procedural negara ini demokratis.

Demokrasi di Thailand tak dapat menghilangkan ikatan “gemeinschaaft” yang begitu kuat dimana ikatan yang di bangun dengan sebutan “Ekarak Thai” yakni bangsa Thai, Raja, dan Buddhism tiga hal yang tidak dapat di pisahkan dari kehidupan negara ini. Namun menjadi persoalan mendasar dari demokrasi hadir untuk menegakan nilai kesetaraan, keragamaan (pluralism), penghormatan atas perbedaan (toleransi), kemanusiaan atau penghargaan atas hak-hak asasi manusia “kebebasan”, tanggung jawab, kebersamaan, dan sebagainya.

Namun keberadaan masyarakat Thailand di wilayah selatan Thailand yang beragama Islam bagi mereka demokrasi di Thailand hadir dengan dua wajah karena dalam perwujudan demokrasi masyarakat Thailand Selatan tidak mendapatkan perlakukan demokrasi tidak adanya penghormatan atas perbedaan karena di suatu sisi nilai demokrasi berusaha untuk diterapkan dengan sepenuh hati namun di sisi lain ada nilai-nilai tradisional yang berbenturan dengan paham demokrasi.

Demokrasi di Thailand sejatinya hanyalah demokrasi procedural yang ditafsirkan secara mayoritas dan mengabaikan kelompok particular dalam sebuah negara, sehingga demokrasi di Thailand tidak menjawab substansi demokrasi, sehingga peluang yang perlu di lakukan adalah Otonomi Khusus Demokrasi bagi kelompok patikular sehingga mereka bebas dan setara dengan masyarakat mayoritas.

Bangsa Thai, Buddhis, dan Raja yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Thai terdoktrin dalam konstitusi hal ini menyebabkan demokrasi di Thailand harus dilakukan secara Otonom tidak berlaku mutlak karena tidak ada pemisahan antara agama dan negara sehingga menyulitkan bagi penerapan demokrasi. Demokrasi Thailand hanyalah seremonial karena tidak membuka ruang bagi bagi kebebasan berpendapat, karena tradisi yang ada bukan hanya sekedar atribut sosial yang “gesellschaaft” yang dapat mencair, tetapi keberadaan keyakinan bernegara di Thailand telah mengeras dan menjadi identitas politik yang mengisi semua ruang baik itu ruang politik dan ruang sosial masyarakat.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP - UI

1 komentar: