Sabtu, 04 Juni 2011

"GERAKAN SOSIAL 'JALAN KIRI' BERMARTABAT"

“GERAKAN SOSIAL ‘JALAN KIRI’ BERMARTABAT”
*Yoyarib Mau

Pasca jatuhnya komunisme dengan meleburnya negara-negara Uni Soviet membuktikan bahwa kekuatan komunisme rapuh, dan menguatnya liberalisme yang mengglobal, sehingga pemikir seperti Francis Fukuyama menelurkan pemikiran The End Of History dimana kemjuan dunia lembaga politik dan lembaga ekonomi berkembang ke arah yang sama, dan sepertinya sudah tidak ada alternative lain selain demokrasi liberal.

Ahmad Suhelmi menuliskan bahwa Demokrasi Barat memiliki akar-akar doktrinal dalam dalam liberalisme. Oleh karena itu untuk memahami pengertian demokrasi Barat diperlukan pemahaman terhadap liberalisme, prinsip-prinsipnya serta teori-teorinya mengenai manusia dan masyarakat serta kehidupan politik, demokrasi liberal terkait erat dengan dengan perkembangan kapitalisme. Menurut pengamatan Macpherson yang dikutip kembali oleh Ahmad Suhelmi menyakini bahwa demokrasi liberal akan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang tingkat perkembangan kapitalismenya relatif tinggi, hanya dalam masyarakat kapitalismelah demokrasi liberal bisa diwujudkan dalam makna yang sesungguhnya, jadi sebuah negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi liberal harus bersifat liberal kemudian baru demokratis (Ahmad Suhelmi - 2007, hlm. 315 -316).

Pemikiran ini menghadirkan dua cabang besar dalam liberalisme yakni demokrasi dalam bidang politik serta kapitalisme dalam bidang ekonomi, penerapan demokrasi sudah tentu tak terpisahkan dari kapitalisme. Kapitalisme di kumandangkan oleh ekonom klasik Adam Smith yang memberikan pandangan bahwa prinsip dasar kapitalisme dalam masyarakat kapitalis adalah, mengakui milik pribadi, motif mencari laba, dan persaingan bebas (Kamanto Sunarto -2004, hlm. 72).

Pemikiran Adam Smith ini menjadi sangat menguat dalam perkembangannya dan selalu berbarengan dengan perwujudan demokrasi di penjuru dunia, termasuk perwujudan demoraksi di negar-negara dunia ketiga. Kebebasan mengkampanyekan demokrasi dan kapitalisme memberikan dampak yang menyeluruh ke seluruh dunia. Penyebaran ideologi ini memacu negara-negara maju melakukan kerjasama dengan sejumlah negara dalam bentuk kerjasama bilateral maupun kerjasama dalam lingkup regional atau kawasan tertentu. Kerjasama ini dilakukan dengan pendekatan legal formal yakni dalam bentuk perjanjian-perjanjian tertentu alasan hukum menjadi dasar dalam membangun kerjasama sesuai dengan pendapat Budi Winarno bahwa; gagasan dasar kaum liberal adalah kebebasan berdasarkan hukum (Budi Winarno - 2010, hlm. 10).

Lembaga – lembaga dunia dibentuk untuk tujuan adanya kerjasama dalam mewujudkan kesejahteraan dunia, dalam segala bidang seperti; bidang pertahanan keamanan, melakukan pengiriman pasukan PBB untuk melakukan misi perdamaian, bidang ekonomi ada lembaga seperti IMF, World Bank untuk melakukan bantuan bagi negara – negara yang mengalami kemerosotan ekonomi.

Negara berkembang terutama di negara-negara Amerika latin mengalami sebuah transisi kepemimpinan dari pemerintahan yang militeristik menuju pemerintahan demokratis. Serangkaian transisi menuju demokrasi pada tahun 1980 dilakukan dengan terbukanya pemilihan presiden melalui pemilihan umum yang demokratis. Dalam masa transisi ini lemahnya kepemimpinan menyebabkan merosotnya ekonomi karena adanya konsentrasi pemerintah dalam menciptakan stabilitas politik.

Benjamin H. Kohl yang dikutip kembali oleh Emil Radhiansyah menggambarkan penyebab keadaan ekonomi paskah kepemimpinan militeristik di negara-negara Amerika Latin seperti Bolivia menurutnya; bahwa antara akhir tahun 1999 dan tahun 2003, Bolivia mengalami perubahan perekonomian dan krisis politik, sebagaimana halnya dengan membuka diri terhadap paradigma neoliberal. Terdapat empat faktor kebijakan ekonomi yang menyebabkan kegagalan ekonomi Bolivia yaitu (www.lontar.ui.ac);

1. Kegagalan dua pemerintah sebelumnya dalam membangun lapangan kerja dan menciptakan pertumbuhan ekonomi secara signifikan
2. Program penghapusan pertanian koka secara agresif di wilayah Cochabamba.
3. Jatuhnya perekonomian Argentina, yang menyebabkan hilangnya lapangan kerja terbesar bagi buruh Bolivia.
4. Penghapusan pendapatan pekerja yang disebabkan kebijakan pemerintah melakukan privatisasi Badan Usaha Milik Negara

Kondisi ini memicu agar adanya kebergantungan terhadap bantuan luar negeri dalam menegakan kembali ekonomi dalam negeri. Karena pemerintah Bolivia sudah menjalankan demokrasi dimana adanya pemilihan presiden secara langsung sejak Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada dan presiden-presiden sesudahnya sebelum Evo Morales terpilih sebagai Presiden Bolivia, ketika pemilihan presiden secara demokratis hal ini membuktikan bahwa Bolivia telah menjalankan demokrasi, dengan demikian tidak akan mungkin melepaskan diri dari peran saudara kembarnya demokrasi yakni kapitalisme.

Untuk memulihkan keadaan ekonomi maka peran negara – negara kuat seperti Eropa dan Amerika Serikat sangat diharapkan untuk membantu bangkitnya Bolivia dan negara Amerika Latin lainnya dari keterpurukan. Situasi ini tidak menaifkan peran para pelobi dari negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang, namun bukan berarti tidak ada kepentingan besar di balik kerjasama tersebut ibarat memancing di air keruh.

Kecenderungan ini menurut Piotr Sztompka yang kembali menegaskan pemikiran Chirot bahwa tak satu negara pun di dunia yang mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, Piotr Sztompka menambahkan bahwa hal ini telah menghasilkan sebuah proses dunia tunggal, masyarakat di seluruh dunia menjadi saling tergantung di semua aspek kehidupan (Piots Sztompka – 2004, hlm. 100).

Amerika Serikat sebagai negara yang dekat dan sangat memiliki kepentingan yang cukup besar di wilayah ini, sepetinya sigap dan cepat melakukan sejumlah kebijakan dengan melakukan apa yang di sebut dengan “Kebijakan Washington”. Konsensus Washington diperkenalkan oleh John Williamson pada tahun 1989 untuk mendeskripsikan sepuluh kebijakan ekonomi yang menurutnya perlu menjadi standar reformasi bagi negara berkembang yang baru didera krisis.

Konsensus ini merekomendasikan 10 dekrit (www.tetukonugroho.wordpress.com) :
(a). Disiplin anggaran pemerintah;
(b). Pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan dan pelayanan masyarakat kelas menengah ke bawah;
(c). Reformasi pajak, dengan memperluas basis pemungutan pajak;
(d).Tingkat bunga yang ditentukan pasar dan harus dijaga positif secara riil;
(e). Nilai tukar yang kompetitif;
(f). Liberalisasi pasar dengan menghapus restriksi kuantitatif;
(g). Penerapan perlakuan yang sama antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik investasi asing langsung;
(h). Privatisasi BUMN;
(i). Deregulasi untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku ekonomi baru dan mendorong pasar agar lebih kompetitif;
(j). Keamanan legal bagi hak kepemilikan.

Konsensus Washington sangat jelih untuk menancapkan kepentingannya di regional Amerika Selatan, mungkin benar sebagaimana apa yang diungkapkan oleh Adam Smith dengan sebutan pasar adalah tangan yang tak tampak, kebijakan ekonomi dalam Konsensus Washington untuk menguasai pasar di wilayah Amerika Selatan/latin.

Item-item dalam 10 (sepuluh) butir Konsensus Washington sudah jelas memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat dan lembaga moneter lainnya seperti IMF dan World Bank yang nota bene memiliki keterkaitan dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sebagai pengusung Demokrasi Liberal. Persoalan ini adalah persoalan yang global dan telah mengglobalisasi di belahan dunia lain. Negara Amerika Serikat melihat Bolivia sebagai salah satu negara tujuan untuk menanamkan modal asingnya di sana. Muatan ekonomis dari bantuan dalam melakukan perjanjian kerjasama guna meningkatkan peran keuntungan dari MNC (multi national corporate) dapat di kembangkan di wilayah ini sebagai cabang lokal, yang bertujuan untuk melakukan investasi dan membuka lapangan kerja baru. Kerjasama ini tidak dapat melepasakn diri dari monopoli seperti perusahaan Exxon Mobil, Pepsi-Cola, Mc Donald, General Motor, yang telah menguasai pasar dunia dan mengusai mekanisme ekonomi dunia.

Demokrasi liberal dengan menerapkan consensus Washington yang diharapkan berkembang di Bolivia ternyata jauh dari harapan, rezim-rezim demokratis di Amerika Latin juga memiliki kelemahan yang serius dalam hal kemampuan mereka menghadapi berbagai macam permasalahan sosial dan ekonomi yang serius. Pertumbuhan ekonomi Bolivia yang mengalami kemerosotan disebabkan karena kebijakan ekonomi neoliberal yang diterapkan sejak pemerintahan Gonzalo Sanchez de Lozado pada tahun 1993, karena adanya privatisasi di beberapa perusahaan negara, seperti perusahaan minyak dan gas alam, air minum yang dikuasai oleh korporasi asing Bechtel, listrik, kehutanan, telekomunikasi.

Akibatnya menimbulkan kemiskinan rakyat Bolivia, keadaan ini memunculkan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh berbagai elemen kelompok masyarakat Bolivia, seperti gerakan buruh, gerakan tani, dan dari masyarakat adat. Dari mulai aksi unjuk rasa, blokade jalan hingga aksi kekerasan yang dilakukan oleh rakyat Bolivia agar pemerintah Bolivia lebih memperhatikan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan korporasi asing.

Persoalan diatas menghasilakan pertanyaan apa yang salah dengan demokrasi liberal, dan bagaimana menerapkan demokrasi yang tepat untuk membangkitkan ekonomi di Amerika latin khususnya Bolivia ?

Untuk mencari menemukan akar persoalan dan solusi bagi negara-negara berkembang yang termasuk didalamnya Amerika Latin khususnya Bolivia, yang dulunya memeliki keterkaitan kerjasam sama dengan Amerika Serikat namun saat ini memilih berseberangan dengan Amerika Serikat dan sekutunya maka, ada beberapa pemikiran teoritis yang dapat di jadikan rekomendasi untuk menjawab persoalan diatas.

Beberpa teori yang digunakan untuk melihat persolan ini adalah pemikiran Adam Smith bahwa dalam mekanisme pasar ketika setiap individu mengejar keuntungan pribadi akan berakibat pada masyarakat yang akan mendapatkan keuntungan pula, pemikiran Smith yang di teruskan oleh penggagas free trade yakni David Ricardo dimana efisiensi dianggap sebagai kebebasan negara dalam pasar sehingga terjadi ikatan ekonomi yang saling menguntungkan (Budi Winarno - 2010, hlm. 10).

Pemikiran Paul Presbich selaku penggagas awal teori ini menyatakan bahwa perekonomian dunia terbagi menjadi dua bagian; Pertama, “pusat” yang mendominasi, yang terjadi dari negara industri yang sangat maju, Kedua, “pinggiran” yang terdiri dari kebanyakan negara agraris. Teori ini juga hampir memiliki kesamaan dengan teori imperialisme dimana imperialism lebih keras yakni perluasan jajahan (penaklukan, kolonisasi, pengendalian ekonomi negara lain) adalah strategi kapitalisme untuk mempertahankan diri dari dari kehancuran yang segera terjadi. Perluasan jajahan dapat menyelematkan tiga tujuan ekonomi penting yakni mendapatkan tenaga kerja murah, bahan mentah murah, dan membuka pasar baru bagi hasil produksi yang berlimpah (Piots Sztompka – 2004, hlm. 104).

Kemajuan demokrasi liberal di Eropa Barat dan Amerika Utara (Amerika Serikat) membuat sebuah peradaban yang cukup maju sehingga membentuk persepsi yang berkembang bagi mereka lain terhadap negara-negara berkembang atau negara-negara dunia ketiga. Mungkin sejalan dengan pemikiran Edward W. Said tentang orientalisme dimana tercipta aliran penafsiran yang menjadikan Timur (yang termasuk didalammnya negar-negara dunia ketiga) peradaban-peradabannya, orang-orangnya, dan lokalitas-lokalitasnya sebagai obyek interpretasi, orientalisme membentuk dan dibentuk oleh kebudayaan umum yang cenderung mempertajam kesadaran perbedaan antara dua belahan dunia “ yang Eropa” dan “yang Asia” (Edward W. Said, - 2010, hlm. 104).

Pemikiran Edward W. Said diatas digunakan untuk menyamakan bagimana pandangan Barat dalam hal ini Eropa Barat dan Amerika Serikat melihat dunia ketiga atau negara- negara berkembangan hanya sebagai obyek, atau hanya sebagai pasar untuk sebuah kepentingan konsumtif dan dieksploitasi karena keterbelakangan ekonomi sehingga dengan mudah dikendalikan oleh negara barat.

Kehadiran demokrasi Liberal dengan diperkuat oleh Konsensus Washington untuk membantu kemajuan di Bolivia terkesan hanya sebuah drama yang dilakonkan dalam panggung yang namanya demokratisasi, lembaga-lembaga donor seperti IMF dan World Bank, Perusahaan Trans-National (TNC) dan Perusahaan MNC, WTO (World Trade Organization) serta organisasi strategis yang didirikan seperti NAFTA (North American Free Trade Agreement) yang diharapkan membantu membangkitkan ekonomi rakyat Bolivia dan negara Amerika latin lainnya, namun kenyataannya berperan sebagai perpanjangan tangan untuk mewujudkan niat negara’pusat’ yakni penguasaan pasar serta menarik keuntungan bagi negara asalnya.

Gerakan Sosial

Lembaga – lembaga asing, perusahaan MNC dan TNC serta Organisasi Strategis yang didirikan seperti OPEC, NAFTA sebagai alat kapitalis yang berperan sebagai imperialis untuk meraup keuntungan sebesarnya, pola meraup keuntungan inilah yang tidak disepakati oleh oleh Gerakan Sosial yang ada di Amerika Latin dan yang kuat di Bolivia adalah (indigenous people movement) yang didirikan oleh Evo Morales basis tradisional Morales adalah para “cocaleros” yang kebanyakan sebelumnya adalah pekerja tambang yang sangat terorganisir dan militan, namun kehilangan pekerjaannya pada pertengahan 1980an, sebagai konsekuensi resktrukturisasi atas saran IMF. Daun koka adalah bagian penting budaya tradisional penduduk asli setempat dan para petani koka adalah simbol perlawanan yang ampuh.

Indigenous people ini kemudian memperluas basis dan memiliki agenda-agenda politik dengan melebur diri dalam Movimiento al Socialismo (MAS) yang lahir dari perjuangan melawan upaya pembasmian budidaya koka yang digagas sertaa dipimpin oleh Amerika Serikat. Pendiri dan ideolog MAS, Antonio Peredo Leigue, berkomentar dalam Punto Final bahwa MAS telah menyatu jadi "sebuah kontradiksi permanen antara penduduk asli dan kaum marxis melawan konsepsi sos-dem, Kelahiran dan masa awal MAS bertepatan dengan titik balik perjuangan kelas yang dipimpin oleh rakyat asli Bolivia. Pada awal 2000an, mobilisasi massa di Cochabamba berhasil menendang perusahaan multinasional AS Bechtel. Tahun itu, aksi protes meluas hingga menggerakkan penduduk asli Aymara, yang tinggal di dataran tinggi altiplano, di atas ibukota La Paz (www.nefos.org/?q=node/41)

Gerakan ini terbentuk karena solidaritas yang mampu dibangun dengan mengkonsolidasikan kekuatan masyarakat lokal yang merupakan korban dari Konsensus Washington, MAS yang dalam perjalanannya kemudian menjadi sebuah kekuatan politik utama. Akibat kompetensi yang di bangun dalam consensus tersebut berdampak buruk bagi komunitas tertentu atau kelas masyarakat tertentu yang menurut pemikiran orientalisme selalu diidentikan dengan keterbatsan dan keterbelakangan. Sebagaimana kelompok petani Cocaleros yang merupakan korban dari kebijakan efisiensi yang di butuhkan dalam pasar bebas sebagaimana yang ditawarkan oleh David Ricardo dalam mengembangkan pemikiran Adam Smith.

Kebijakan kapitalisme selalau akan mengacu pada filsafat ekonomi yakni sedikit pengeluaran tetapi mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Keberadaan para cocaleros yang ada awalnya dilibatkan untuk memberikan keleluasaan perusahaan asing menancapkan kuku usahanya adalah sebuah strategi manajemen konflik bagi masyarakat lokal, namun dalam perjalanan karena pertimbangan efisiensi maka para cocaleros di berhentikan.

Berdasarkan perspektif orientalisme Edward W. Said yang digunakan maka para cocaleros yang berasal dari penduduk asli yang nota bene adalah warga pegunungan Andes yang jauh dari peradaban maju, dan kemudian digunakannya pertimbangan diskriminasi politik, ekonomi dan sosio-kultural antara orang-orang Kreol (orang-orang Spanyol yang dilahirkan di daerah jajahan), orang-orang Indian, orang-orang Meztizo ( keturunan campuran Indian dan Eropa) dan orang-orang negro dari Afrika.

Pertimbangan kultural inilah akan memberikan diskriminasi bagi warga asli atau suku Indian, sudah tentu yang lebih berpeluang adalah mereka yang berasal dari turunan Eropa dan Meztizo. Peminggiran peran kaum Indian-Aymara diperkuat dengan upaya pembasmian budidaya koka yang dipimpin oleh Amerika Serikat, kebijakan ini di dukung oleh pemerintah Bolivia yang berkuasa yakni Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada. Konsep membatasi ruang gerak kaum Indian-Aymara adalah strategi kapitalis, sebagaimana diungkapkan Budi Winarno bahwa; jika pembangunan harus mampu dimaknai sebagai perluasan ruang kebebasan manusia sehingga pembangunan harus mampu menghilangkan segala macam hambatan kearah pencapaian kebebasan tersebut (Budi Winarno – 2010, hlm.58).

Konsolidasi Demokrasi

Teori ketergantungan menjadi senjata ampuh bagi kapitalisme untuk menekan negara berkembang maka elite lokal diminta melayani kepentingan kapitalis asing, mereka dengan sengaja dan tak sengaja menjadi pelindung status ketergantungan negara mereka, elite lokal tidak berpikir untuk menikmati kedaulatan lokal (Piots Sztompka – 2004, hlm. 105). Kondisi inilah yang dinikmati oleh Gonzalo Sanchez de Lozada yakni Pada masa pemerintahan Presiden Gozalo Sanchez de Lozada dan Jorge Quiroga, Bolivia telah menandatangi 76 kontrak yang menguntungkan 12 perusahaan transnasional termasuk Enron, Shell, dan British Petroleum (www.lontar.ui.ac.

Keuntungan dari penandatangan ini hanya akan menguntungkan kelompok elite dan bukan untuk keberuntungan pribadi hal ini bertepatan dengan pertarungan pemilihan umum president untuk periode berikutnya sehingga kebutuhan biaya opersional politik dibutuhkan proses tersebut. Pemilu 2002 mengusung penduduk asli negeri tersebut - berikut MAS dan Morales sebagai perwakilan utama mereka - ke panggung utama. Dalam pemilihan presiden, Morales hanya kalah kurang dari 2 % suara dari Lozada.

Kekalahan Evo Morales merupakan sebuah kemenangan yang tertunda namun kesungguhan perjuangan Evo Morales dalam melakukan konsolidasi perjuangan kaum bawah dalam hal ini memperjuangkan kepentingan penduduk asli tak pernah kunjung surut. Karir politiknya dimulai dengan dipercayakannya ia sebagai pemimpin sebuah federasi petani koka di kawasan tropis Chapare dan mengatur perlawanan yang keras terhadap kampanye pembasmian koka yang didanai Amerika Serikat.

Perjuangannya untuk menjungkal kepemimpinan Lozada berhasil pada tahun 2003 Seiring meningkatnya kepercayaan diri penduduk asli secara politis, polarisasi kelas meruncing dan memuncak saat perlawanan massa bulan Oktober 2003, yang dipicu oleh isu gas alam dan berhasil menggulingkan Lozada. Penggulingan Lozada menempatkan wapres Carlos Mesa ke kursi kepresidenan dengan persetujuan hampir semua organisasi gerakan sosial. Untuk meraih dukungan, Mesa berjanji untuk meneruskan "Agenda Oktober" - yakni mengembalikan penguasaan gas Bolivia kepada rakyat.

Namun perjuangan Evo Morales tidak cukup hanya dengan melakukan penggalangan kekuatan melalui indigenous people movement atau gerakan sosial penduduk asli yang berbasis pada petani cocaleros dimana menetapkan koka sebagai konsumsi budaya dan bukan narkotika. Morales pun terlibat aktif atau mendirikan partai politik MAS sebagai kekuatan untuk mencapai puncak perjuangan yakni menduduki kursi presiden, yakni sebagai penentu kebijakan bagi kuatnya dominasi kapitalis.

Dalam sebuah pertemuan para petani yang merayakan hari jadi ke-10 MAS pada Maret 2005, Morales menyatakan bahwa “MAS siap memerintah Bolivia,” karena partai ini telah “mengkonsolidasikan posisinya sebagai kekuatan politik [utama] di negeri ini.” Namun demikian, ia mengakui bahwa “masalahnya bukan lagi memenangkan pemilu, tetapi bagaimana memerintah negara ini (www.newhistorian.wordpress.com).

Perjuangan Morales tidak hanya bermodalkan basis masyarakat indigenous people movement tetapi tetapi membutuhkan partai politik sebagai sarana kendaraan dalam pemilihan umum, kekuatan gerakan sosial tidak digunakan untuk melakukan kudeta yang langsung dapat dilakukan dengan kekuatan masyarakat yang ada untuk merebut kepemimpinan tetapi Evo Morales ingin mencapainya melalui proses yang demokratis.

Demokrasi liberal pada dirinya adalah sebuah kebaikan untuk kemajuan umat manusia, namun dalam penerapannya sering mengalami pergeseran nilai yang mengancam akan terciptanya konflik antar kelompok, bahkan merugikan pihak-pihak lain. Sehingga demokrasi liberal yang memberikan ruang bagi pasar bebas, swastanisasi seyogiannya di sepakati dalam perjanjian-perjanjian yang menguntungkan semua pihak dan tidak hanya menguntungkan elit lokal dan negara investor.

Perananan negara berkembang sangat mengharapkan bantuan asing dalam bentuk investasi guna mendongkrak perekonomian serta membuka lapangan kerja bagi negara tersebut. Sehingga pertimbangan-pertimbangan lokal, budaya dan kondisi setempat harus menjadi pertimbangan.

Demokrasi Liberal bukanlah sesuatu konsep mutlak yang tidak dapat diganggu gugat namun hanyalah sbuah konsep pemikiran yang kebetulan berkembang sesuai dengan kondisi lokal di negara-negara maju yang sudah mapan ekonomi serta tidak ada perbedaan kultural yang jauh berbeda dengan negara-negara dunia ketiga, tidak juga menempatkan negara dunia ketiga sebagai obyek atau tujuan dari eksploitasi.

Demokrasi Liberal tidak harus dipaksakan di negara-negara yang memiliki kultur yang berbeda namun demokrasi dimana dapat diwujudkan dalam bentuk demokrasi yang dapat menghimpun semua kelompok masyarakat untuk terlibat dan bertarung secara fair melalui pemilu, adanya partai politik serta adanya ideologi perjuangan partai politik.

Gerakan sosial tercipta karena kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi sehingga gerakan ini tumbuh untuk berjugan untuk mendapatkan haknya sebagai rakyat, namun gerakan ini tidak cukup dengan hanya melakukan tekanan atau gerakan masa dengan turun ke jalan, tetapi gerakan sosial harus mampu melakukan perjuangan dengan membangun basis masa dan bukanlah sebuah kekuatan final untuk mencapai kekuasaan namun perlu digiring masuk dalam partai politik sebagai sarana perjuangan sebagai bentuk representasi politik di parlement yang pada akhirnya menetapkan nya dalam kebijakan yang legal dan formal.


*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar