“SBY Gagal Karena Kegendutan”
*Yoyarib Mau
Presiden yang dinilai hampir 50% tidak dijalankan alias gagal merupakan realitas yang tak dapat dipungkiri karena upaya mensejahterakan rakyat tidak tercapai karena hanya mensejahterahkan kelompok yang berada dalam lingkaran istana. Akibat korupsi yang mewabah mengakibatkan anggaran untuk rakyat di nikmati oleh kelompok elit yang berkuasa, Anggaran yang dikorupsi mulai dari proses anggaran di badan anggaran DPR hingga proyek ditenderkan kementrian bahkan pada level terendah di pemerintahan daerah.
Kegagalan yang terjadi dalam pemerintahan SBY tidak saja di akibatkan oleh korupsi tetapi disebabkan oleh struktur lembaga negara yang terlalu banyak, masa Presiden SBY tercatat 88 lembaga nonstruktural serta 28 lembaga pemerintahan non kementrian sehingga berkisar 116 lembaga yang ada dalam pemerintahan SBY (Kompas, 18/07/2011) banyaknya lembaga menyebabkan banyaknya anggaran rakyat yang harus digelontorkan untuk membiayai operasional kantor, gaji pegawai, dan program kerja.
Lembaga – lembaga yang ada sebenarnya ideal apabila menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik namun kenyataannya tumpang tindih dalam menjalankan fungsi dan tugasnya atau bahkan mengalami kontraproduktif karena mengerjakan atau mengambil alih wewenang dan tugas dari lembaga tertentu. SBY dalam menjalankan pemerintahannya memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda dari Presiden-Presiden sebelumnya, SBY memiliki dua kegemaran yakni suka menerbitkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) serta ketika ada persoalan yang muncul ke permukaan selalu membentuk lembaga nonstruktural baru untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Persoalan mafia hukum maka dibentuklah Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Mafia Hukum padahal sudah ada lembaga Yudikatif yang menangani persoalan hukum, ada kepolisian, kemudian dibentuk lembaga nonstruktural sebagai fungsi pengawasan dan kontrol seperti Komisi Hukum Nasional, Komisi Kepolisian Nasional,Ombudsman Republik Indonesia,Komisi Kejaksaan dan lainnya.
Hal lain yang menggangu kinerja pemerintahan adalah kemampuan birokrasi yang mengeksekusi anggaran dan mengejewantahkan program, perilaku birokrasi yang selalu menggunakan pola-pola lama yakni suka memping-pong dari meja petugas yang satu ke meja petugas yang lain, dan mempersoalkan hal-hal teknis yang sebenarnya tidak perlu di perdebatkan tetapi dijadikan alasan untuk mempersulit sebuah proses administratif.
Penanganan Birokrasi dalam Pemerintahan negara ini ada Kementrian yang mengurusi birokrasi dan tidak hanya Kementrian tetapi juga ada sejumlah lembaga pemerintahan nonkementrian dan juga lembaga nonstruktural yang memiliki keterkaitan dalam penanganan birokrasi dalam negara. sebagaimana keberadaan Kementrian Dalam Negeri yang memiliki visi; Terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang desentralistik, dengan menjalankan misi; menetapkan kebijakan nasional yang memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan, yang salah satu misi konkritnya, memantapkan efektifitas dan efisiensi penyelengaraan pemerintahan yang desentralistik. (http://www.depdagri.go.id)
Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memiliki visi; terwujudnya aparatur negara yang professional efektif dan efisien dan akuntabel dalam pelaksanaan reformasi birokrasi menuju pemerintahan yang baik, serta memiliki misi; meningkatkan kualitas pelayanan, meningkatkan akuntabilitas kinerja aparatur, meningkatkan koordinasi pengawasan, terwujudnya kelembagaan yang efektif dan efisien, meningkatkan professionalitas SDM aparatur.
Selain dua kementrian diatas yang hampir sama memiliki lingkup kerja dan kewenangan yang hampir sama ada juga lembaga pemerintahan nonkementrian seperti Lembaga Administrasi Negara yang didirikan sejak tahun 1957 dengan peraturan pemerintah No. 30 tahun 1957 dengan visi; Menjadi Institusi Yang Handal Dalam Pengembangan Sistem Administrasi Negara dan Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) Penyelenggara Negara. tidak hanya memiliki visi tetapi juga memiliki misi; yakni Memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan kapasitas aparatur negara dan sistem administrasi negara guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik, melalui :Perumusan kebijakan dalam bidang administrasi negara; Pengkajian, penelitian, dan pengembangan dalam bidang administrasi negara; Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan aparatur negara; Pembinaan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan aparatur negara; Perkonsultasian dan advokasi dalam bidang adminstrasi negara; Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi administrasi; Peningkatan kapasitas organisasi LAN (http://www.lan.go.id).
Lembaga Pemerintahan Nonkementrian lainnya yang memiliki fungsi yang hampir sama seperti LAN dan dua Kementrian di atas yakni Badan Kepegawaian Nasional dengan misi; Menyelenggarakan Manajemen PNS berbasis Kompetensi untuk Mewujudkan PNS yang Profesional, Netral dan Sejahtera. Misi BKN dalam Renstra 2010-2014 adalah: Mengembangkan Sistem Manajemen SDM PNS, Merumuskan kebijakan pembinaan PNS dan menyusun peraturan perundang-undangan kepegawaian, Menyelenggarakan pelayanan prima bidang kepegawaian, Mengembangkan sistem informasi manajemen kepegawaian, Menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian kepegawaian, Menyelenggarakan manajemen internal BKN (http://www.bkn.go.id).
Dari uraian diatas menarik sebuah pertanyaan; mengapa untuk urusan hal yang sama berhubungan dengan penyelenggara pemerintahan atau aparatur negara harus dibentuk lebih dari satu lembaga yang mengurusi bidang atau lingkup kerja yang sama ?, bagaimana komitment pemerintah pasca reformasi dimana salah satu agenda reformasi politik adalah melakukan reformasi birokrasi ?
Dua pertanyaan diatas menjadi pisau analisa untuk meneropong persoalan gagalnya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, Pemikiran Peter M.Blau dan Marshall W. Meyer menuliskan jalan pemikiran Hukum Parkinson bahwa; semakin besar suatu organisasi maka semakin besar pula personalia yang harus menangani dan mengurusnya, sehingga membenarkan kesimpulan bahwa semakin besar suatu organisasi akan semakin besar pula pengeluaran administrasinya (Birokrasi Dalam Masyarakat Modern – UI Press – 1987).
Logika Hukum Parkinson tidak menjadi pertimbangan dalam menjalankan pemerintahan, model pemerintahan yang memilih untuk mengadakan bentuk-bentuk lembaga nonstructural atau lembaga pemerintah nonkementrian yang lebih banyak sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan presiden Soeharto, namun mengakomodir banyaknya personalia dalam lembaga pemerintahan lebih pada pertimbangan politis dan bukan pada efektifitas dan efisiensi.
Soeharto dengan alasan Golkar bukan partai politik sehingga semua aparatur negara atau PNS diharuskan menjadi anggota partai golkar, yang walaupun golkar bukan partai politik tetapi tetap sebagai salah satu kontestan dalam setiap pemilu dalam masa orde baru. Pola ini akhirnya menyeret aparatur negara harus loyal kepada Golkar karena Golkar adalah merupakan organisasi politik penopang pemerintah.
Kacung Maridjan menuliskan kembali pikiran Afan Gaffar bahwa; birokrasi merupakan penyedia dana bagi usaha untuk memenangkan Golkar dalam setiap pemilihan umum, dalam kasus - kasus tertentu praktik demikian misalnya dilakukan dengan cara menarik sekian persen dari proyek yang ada di dalam suatu instansi, sebagaian dari dana itu kemudian diberikan kepada Golkar (Sistem Politik Indonesia – Kencana – 2010).
Lembaga nonstructural dan lembaga pemerintah nonkementrian pada hakikatnya adalah sistem yang dibentuk untuk meraup dukungan politik bagi partai politik sebagaimana yang dilakukan pada masa orde baru dengan jalur ABG (ABRI – BIROKRASI-GOLKAR), padahal birokrasi harusnya netral dan tidak di seret dalam dukungan politik kepada Partai tertentu, sebenarnya sudah ada kementrian yang mengurus tentang aparatur negara namun mengapa perlu ada lembaga nonstructural dan lembaga pemerintah nonkementrian sudah tentu memiliki nuansa politik karena membagi-bagi jabatan structural kepada tim sukses yang telah memberikan dukungan politik sebagai tim sukses ataupun yang mampu mengarahkan birokrasi dari instansi yang dipimpin kepada calon tertentu.
SBY dalam menjalankan pemerintahan dinilai gagal karena dari instruksinya kepada aparatur pemerintahan yang menjalankannya tidak dapat menjalankan dengan baik karena jabatan Menteri adalah jabatan politik yang diduduki oleh politisi dari partai tertentu sehingga menjadi hambatan bagi pemerintahan SBY, karena jika kementrian tersebut sukses dalam menjalankan program kementrian maka klaim keberhasilan menjadi keuntungan bagi SBY.
Karena jabatan Kementrian adalah jabatan Politik maka lembaga-lembaga nonstruktural juga lembaga pemerintahan nonkementrian menjadi strategi alat perpanjangan tangan pemerintahan SBY untuk mewujudkan program kerjanya namun persoalannya adalah para pejabat yang ditempatkan pada lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi yang tepat sehingga tidak mampu mewujudkan program-program kerja, jika pun mampu ada hal lain yang membuat program tidak dapat di lakukan karena jaringan korupsi yang begitu mewabah baik di internal lembaga yang dipimpin, tuntutan partai politik yang berperan dalam penempatan atau promosi di dalam jabatan-jabatan tersebut ditambah lagi tuntutan success fee dari para anggota DPR di komisi yang menyepakati program kerja mereka di DPR, bahkan pemerintah daerah yang menjalankan program di daerah.
Apabila sekian lembaga nonstruktural dan lembaga pemerintahan nonkementerian melakukan hal yang sama maka begitu besar kerugian negara, pemerintahan SBY dan Soeharto menempatkan lembaga-lembaga ini sebagai mesin politik sekaligus mesin penghasil uang bagi partai politik dari setiap proyek atau program kerja yang dikerjakan.
Apabila masa pemerintahan Soeharto lebih banyak membentuk lembaga pemerintahan non kementrian yang nota bene sebagai PNS sudah tentu menjadi pendukung dan lumbung suara bagi Partai Golkar, sedangkan masa SBY lebih banyak membentuk lembaga nonstruktural karena PNS sudah tidak dapat dikooptasi dalam partai politik sehingga lembaga nonstruktural ada yang bertujuan untuk menempatkan para tim sukses yang telah memenangkan dirinya sebagai Presiden, kemudian menjadi lembaga untuk menjamin dan mengamankan kepentingan politik dirinya sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan baik, serta sebagai sumber keuangan bagi partai politik dari proyek atau program kerja yang dikerjakan, sehingga dapat disimpulkan bahwa reformasi birokrasi yang diharapkan dari reformasi 1998 tidak terlaksana karena SBY tetap menjalankan semangat politik orde baru dengan memanfaatkan birokrasi dengan design baju yang berbeda dari orde baru.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Khekhususan Politik Indonesia – FISIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar