“BIROKRASI BARTER ITU BIROKRASI PRIMITIF”
*Yoyarib Mau
Persoalan birokrasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan persoalan yang klasik, dan birokrasi dijadikan sebagai hal yang prestisius, dimana birokrat adalah proesi terhormat bagi masyarakat NTT mungkin karena tidak adanya penghargaan kepada profesi lain dan juga terbatasnya lapangan kerja sehingga birokrasi atau aparatur negara sebagai salah satu tujuan porofesi. Kemudian seorang birokrat dalam melakukan tugasnya tidak melakukan fungsi dengan baik sebagai pelayan rakyat tetapi bergeser paradigm bahwa rakyatlah yang harus menyembah untuk mendapatkan pelayanan sehingga membuat masyarakat ingin menjadi menjadi aparatur negara agar menjadi orang terhormat karena telah mengenakan pakian PNS.
Dengan diri terhormat maka birokrat akan mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahkan mampu menjadi panutan, pengayom bagi keluarga, marga atau klannya bahkan komunitas agamanya. Pandangan ini kemudian menjadi pertimbangan dalam penempatan pejabat di Pemprov NTT, serta juga menjadi pertimbangan bagi penempatan pejabat di Pemerintah kota atau kabupaten yang melihat lebih bervariasi. Artinya, melintasi diskriminasi SARA, lebih banyak walikota-wakil wali kota, bupati-wakil bupati dalam menempatkan pejabat di dinas dalam menjalankan pemerintahan.
Penempatan pejabat kedinasan di tingkat Pemerintah Provinsi lebih memakai pertimbangan unsur SARA karena pertarungan dua agama besar di NTT yakni Protestan dan Katolik serta dengan pertimbangan suku. Hal ini tidak menjadi rahasia umum dalam penempatan pejabat di Pemprov juga tidak berdasarkan pada proesionalitas dan spesifikasi keahlian. Semisal yg menjadi Kabid PLS Dinas PPO adalah bekas penyuluh petanian. Sedangkan di tingkat kota atau kabupaten penempatan pejabat dinas berdasrkan dukungan politik yang diberikan pada pilkada yang lalu, Mengapa penempatan sebuah jabatan pelayanan birokrasi harus menjadikan agama, suku atau pertimbangan dukungan politik sebagai standar utama dan bukan berdasarkan kualifikasi kompetensi ?
Birokrasi pada dasarnya memiliki peran administarif yakni melaksanakan kebijakan - kebijakan yang telah ditetapkan oleh legislatif dan eksekutif yang kemudian harus dilaksanakan oleh birokrasi dalam melakukan pelayanan publik, dan salah satu semangat otonomi daerah yang harus di wujudkan adalah goog governance dan hal ini sebagai sprit reformasi pelayanan sektor publik, spirit good governance adalah suatu proses yang melibatkan birokrasi dimana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber- sumber sosial dan politiknya untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya, dengan demikian jelaslah bahwa untuk mencapai pembangunan yang mensejahterakan maka hal yang menentukan adalah kualitas tata pemerintahannya.
Kualitas tata pemerintahan menjadi dasar bagi birokrasi dalam mengejewantahkan program - program atau kebijakan pemerintah, kualitas tata pemerintaha akan terlihat jika pribadi yang menjalankan dalam hal ini birokrat atau PNS yang ditempatkan untuk menjalankan pemerintahan yang menurut Max Weber harus di seleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya yang dihasilakan melalui ujian yang kompetitif dan penempatan jabatan berdasarkan "merit sistem" dimana jabatan yang diduduki harus sesuai dengan latar belakang pendidikan atau latar belakang jenjang karier yang dilalui kenyataan yang ada birokrasi kita di tingkat pemerintahan pusat hingga ke kabupaten/kota tidak mewujudkan kualitas tata pemerintahan yang baik yang ditentukan oleh penempatan dan perekrutan pegawai berdasarkan kualifikasi yang dibutuhkan.
Tentunya ada pertanyaan yang mendasar diatas tadi yakni mengapa harus dipaksakan PNS atau birokrat yang tidak memenuhi kulaifikasi untuk menempati posisi tertentu yang bukan menjadi domain kemampuannya ?, kelihatannya pemda memiliki pemahaman yang berbeda yang sangat "primitif". jika pada masa lalu orang bertemu di pasar melakukan transaksi barter orang dari gunung datang membawa Ubie kemudian ingin memperoleh ikan maka ubie di tukar ke nelayan yang menjual ikan, padahal sebenarnya nelayan tidak membutuhkan ubie, atau ubie bukan kebutuhan yang utama namun atas dasar belas kasihan maka transasaksi barter ini pun terjadi.
Kemajuan teknologi telah maju dan alat transaki yakni uang sudah ada, dan juga teknologi informatika dan manajemen organisasi pemerintahan sudah pada level yang lebih tinggi sehingga membutuhkan kemampuan yang mumpuni untuk menjalankannya dan tidak lagi pada pola barter atas dasar belas kasihan.Realitas yang ada pada level pemda kita dalam menjalankan pemerintahn masih ada pada pola primitif yang di terapkan dalam "birokrasi barter" dimana dukungan politik yakni dukungan mobilisasi masa yang dilakukan oleh birokrat atau PNS pada pemilu kepala daerah.
Jika perilaku gubernur, bupati atau walikota yang menerapkan pola primitif "birokrasi barter" maka mereka adalah penganut paham Marxis yang menjadikan birokrasi menjadi perjuangan kepentingan kelompoknya yakni menjadikan birokrasi itu bukannya untuk kepentingan bersama dalam masyarkat yang multikultural tetapi lebih pada kepentingan partikular yang ingin memperjuangakan kepentingan klas ( kelompok agama, sukunya, atau kepentingan politiknya).
Solusi yang harus dilakukan adalah peran legislatif dalam hal ini DPRD dalam melakukan fungsi kontrolnya, namun DPRD kita juga memiliki perilaku yang sama yakni "titipan sponsor" ada deal politik yang dilakukan antara legisltaif dan eksekutif untuk mengamankan konstituen yang mendukungnya sehingga tercipta setali tiga uang, sehingga yang sangat diharapkan untuk mengontrol proses perekrutan ini adalah mahasiswa, LSM yang konsen pada kebijakan dan urusan publik, serta pers yang diharapkan memainkan fungsi kontrol melalui tekanan dan propaganda.
*Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI
mantap artikelnya, sangat bermanfaat.
BalasHapuswww.kiostiket.com