“PARTAI POLITIK PENGHASIL SWING LEADER”
*Yoyarib Mau
Peranan partai politik dalam penentuan kandidat calon kepala daerah sangatlah menentukan, sebagaimana dalam penentuan calon walikota dan wakil walikota Kota Kupang untuk berkompetisi dalam pilkada pada awal Mei 2012. Sejumlah paket yang sudah dipastikan akan ikut dalam pilkada adalah paket Jefri Riwu Kore – Kristo Blasin yang diusung oleh beberapa partai politik yang saat deklarasi yakni PDIP, Gerindra, PAN, dan PPD, sehari setelah deklarasi baru Partai Demokrat menyatakan dukungan ke paket Jeriko, paket berikut adalah Daniel Adoe – Daniel Hurek yang diusung oleh Partai Golkar yang kemungkinan didukung oleh PPP dan PDS, Yovita Mitak - Anton Natun diusung oleh Partai Hanura dengan didukung oleh PPRN dan PDP. Sedangkan Veki Lerik – Muhamad Wongso di dukung oleh Partai-partai non sheet. Sedangkan paket Salam (Jonas Salean – Herman Man) telah menyerahkan dokumen dukungan KTP untuk maju dari jalur independen serta calon lainnya yang berupaya untuk turut serta dalam pesta pemilihan kepala daerah di Kota Kupang.
Proses penentuan partai politik untuk mengusung para kandidat sepertinya terjadi sebuah konspirasi besar dalam penentuan paket calon walikota dan wakil walikota di Kota Kupang, peta politik terlihat dengan jelas kehadiran dan peran partai politik di NTT terbangun dalam konteks primordialisme kedaerahan serta kelompok. Pemikiran ini kemudian tercermin dalam kepemimpinan yang telah terkonstruksi dalam sejumlah tubuh partai politik di NTT, membedah PDIP dengan dikendalikan oleh kelompok Flores dimana Frans Leburaya sebagai Ketua DPD I PDIP NTT, sehingga terlihat bahwa kekuatan DPD I PDIP mengendalikan DPD II Kota Kupang dengan memberikan kesempatan bagi siapa untuk boleh mendaftar melalui pintu PDIP tetapi Calon Wakil Walikota telah di patok mati yakni Kristo Blasin yang adalah orang kepercayaan Frans Leburaya.
Di tubuh Partai Gerindra sepertinya partainya orang Timor, pasca kematian Ketua DPD I Partai Gerindra Libret Foenay yang kemudian di gantikan oleh Esthon Foenay terlihat bahwa kekuatan partai ini sepertinya ingin meraup suara dari komunitas orang Timor bahkan ketua DPD II Kota Kupang adalah orang Timor yakni Hengki Benu, di partai lain yakni PAN NTT sendiri ada sebuah kecenderungan bahwa partai ini membangun basis politiknya pada warga Indonesia keturunan Timor Leste hal ini dikarenakan Ketua dan Sekretaris DPW PAN NTT adalah keturunan Timor Leste.
Partai Golkar NTT memiliki kecenderungan dikendalikan oleh orang Rote, dimana pimpinan DPD I adalah Ibrahim Medah dan Ketua DPD II Kota Kupang adalah Walikota Incumbent Daniel Adoe yang nota bene adalah orang Rote. Sedangkan Partai Demokrat NTT yang dalam sejarah pembentukannya jelang tahun 2004 di NTT di lakukan oleh salah seorang tokoh Sabu sehingga menghasilkan dua anggota DPR RI yang nota bene orang Sabu sehingga memberikan indikasi bahwa partai ini masih dikendalaikan oleh orang Sabu tidak saja itu tetapi walau Ketua DPD I Partai Demokrat NTT aalah Johni Kaunang tetapi Sekjend DPD I Partai Demokrat tetap orang sabu Jonatan Kana.
Pemaparan anatomi kekuatan partai politik di NTT diatas seyogianya ingin menggambarkan bahwa kondisi politik di Kota Kupang menjelang Pilkada ini sedang terjebak dengan tarik – menarik kepentingan politik berada di level Gubernur dan sehingga struktur pimpinan partai di tingkat DPD I yang nota bene memiliki kekuatan politik diatas DPD II Kota/Kabupaten.
Sehingga logika yang ingin dimunculkan oleh kekuatan DPD I yang nota bene secara structural ada diatas DPD II, maka DPD II harus tunduk atas kebijakan pimpinan partai secara structural lebih tinggi. Jika kekuatan structural yang dikuasai secara etnies dan kelompok ini yang menentukan kepemimpinan dalam pesta dermokrasi di level lokal atau daerah, bagaiman peran partai politik dalam era demokratis memainkan perannya ?
Firmanzah menegasakan bahwa ideology dan program partai-partai peserta pemilu sehingga betapa pentingnya peran dan kedudukan ideology dalam sistem piolitik di Indonesia, sehingga masing-masing partai politik perlu memikirkan strategi untuk memperkuat identitas mereka. Identitas ini berperan penting sekali dalam era kompetisi. Adanya identitas politik yang tegas akan semakin memudahkan para pemilih untuk mengidentifikasi keberpihakan dalam isu politik suatu partai dan kebijakan publik yang akan dibuatnya (Firmanzah – 2011 – Obor)
Kesalahan terbesar yang di bangun atau dikonstruksi oleh politik lokal di NTT adalah membangun identias politik berdasarkan suku atau komunitas, hal inilah yang menjadi persoalan dalam politik di NTT. padahal identitas yang di maksud adalah semisal metode atau tujuan akhir yang ingin di capai atau diperjuangkan oleh partai politik yakni dalam sejarah bahwa dua ideology besar yang menjadi identitas partai-partai politik yakni ideology sosialis yakni masyarakat dengan kesejahteraan yang merata, sedangkan ideology kapitalis yakni ingin menciptakan kemakmuran dan kekayaan yang sebesar-besarnya atau ingin meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara itu ada juga ideology agama yang ingin memperjuangkan nilai-nilai agama tertentu dalam konstitusi bernegara.
Kenyataan dalam mengusung kandidat dalam kompetisi pesta demokrasi di tingkat Kota Kupang, partai-partai politik di level nasional memngempanyekan program mereka berdasarkan pemetaan ideology yakni sosialis-kerakyatan, kapitalis, dan juga agamais tetapi di tingkat lokal, ideology – ideology tersebut hanyalah aksesoris demokrasi untuk menghiasi buku-buku panduan kaderisasi partai politik. Bagaimana mungkin keberadaan Partai Democrat yang memiliki kecenderungan kapitalis dimana kebijakan negara dalam pemerintahan SBY melakukan import berbagai bahan pangan semisal Ikan, Kentang, Garam dan bahan pangan lainnya, dapat berkoalisi dengan PDIP dan Gerindra yang berkoar-koar dengan ekonomi kerakyatan yakni menolak import pangan dan mendorong konsumsi pangan lokal. Pada paket lain dimana PDS dapat berkoalisi bersama PPP untuk mengusung Daniel Adoe padahal kedua partai ini memiliki kutub politik yang sangat berbeda.
Penerapan ideologi politik sebagai identitas politik pada tingkatan lokal di NTT khususnya dalam Pilkada Kota Kupang membangun sebuah identitas politik yang tidak sesuai dengan ideologi politik pada tingkatan partai level nasional tetapi lebih cenderung membangun sebuah identitas poltik yang primordial sehingga dalam penetapan pasangan calon kandidat pun melakukan pertimbangan suku atau identitas primordial, seperti yang terlihat dalam paket-paket yang akan bertarung ada paket Rote-Flores, Sabu – Flores, Flores – Timor dan sebaginya. Sehingga dalam penetapan calon dan Gerindra mengurung niatnya mencalonkan calon walikota yang seyogianya sudah menjadi hak Ketua DPD II Gerindra Kota Kupang Hengki Benu, hal inilah yang menjadi pemicu bagi ormas Persehatian Orang Timor untuk menarik dukungan politiknya dari kempimpinan Frans Leburaya dan Esthon Foenay, karena Atoin Meto (Orang Timor) merasa di abaikan oleh kedua petinggi pimpinan partai di NTT ini.
Penggunaan identitas politik yang primordial seperti ini akan menghasilkan kualitas demokrasi serta kepemimpinan yang mengambang (Swing Leader) karena pertimbangan etnies, kelompok dan kepentingan komunitas yang menjadi pertimbangan, partai politik hanya berorientasi pada kerja-kerja jangka pendek, tidak menjalankan program kerja yang merupakan perjuangan dari ideologi partai politik yang ada. Model identitas politik sebagai ideologi politik di NTT ini membuat kepemimpinan di NTT dapat diukur dari berapa besar material dan harta yang dimiliki oleh sesorang yang berasal dari komunitas petinggi pengurus partai tersebut, untuk dapat diajukan sebagai kandidat calon kepala daerah.
Model kepemimpinan seperti ini yang dikembangkan dalam setiap Pilkada di NTT maka dukungan politik yang diberikan berdasarkan oleh komunitas akan terbangun sebuah consensus “balas jasa” yakni sejumlah jabatan dan alokasi penerimaan PNS harus di berikan kepada komunitas dan suku tertentu, sehingga kepemimpinan dalam masa tertentu hanya akan dikendalikan oleh suku dan komunitas tertentu, Modus kepemimpinan ini akan menjadi sebuah trend balas dendam dalam kepemimpinan berikutnya.
Idealnya partai politik menjadi aset terpenting dalam mewujudkan demokratisasi untuk melahirkan perbaikan kepemimpinan di level lokal maupun di level nasional namun jika sudah di bangun di level paling bawah dengan model kepemimpinan yang primordial maka kepemimpinan akan mengambang dan menjadi liabilitas bagi kemajuan bangsa.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar