“SMD3T KERDILKAN OTONOMI DAERAH”
*Yoyarib Mau
Program SMD3T (Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang ditelurkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional adalah sebuah ide untuk menjawab apa yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa namun tidak serta merta ide tersebut harus di sepakati secara mutlak karena ini kebijakan menteri.
Kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan (Kemendiknasbud) mengirim 2.700 sarjana pendidikan untuk mengajar di pulau tertinggal dan terluar. 339 di antaranya merupakan sarjana pendidikan asal Sulsel (beta.fajar.co.id). pemerintah pusat dalam hal ini Kemendiknasbud berencana menempatkan 703 guru kontrak di Nusa Tenggara Timur, kebijakan penempatan guru kontrak dari luar NTT inilah yang membuat hampir seluruh mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Kota Kupang gerah dengan kebijakan ini dan melakukan aksi protes.
Dari jumlah 703 guru kontrak untuk Nusa Tenggara Timur hampir semuanya berasal dari luar NTT, tarik menarik antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah mengenai program ini membuktikan ada kesalahan manajemen pemerintahan, anggota Komisi D yang membidangi masalah pendidikan, Antonius Timo menjelaskan, pihak kementerian terkesan tertutup dengan program ini. Pasalnya, terdapat dua versi penjelasan, yakni berbeda antara Mendikbud Moh. Nuh dan Wamendikbud Musliar Kasim. Menurut Mendikbud, kata Anton-sapaan Antonius Timo anggota Komisi DPRD NTT yang membidangi masalah pendidikan, anak-anak NTT juga mengikuti tes namun tidak lulus, padahal IPK minimal 2,75. Selain itu, Universitas Nusa Cendana (Undana) juga terlibat dalam tes tersebut. Sementara itu, menurut penjelasan Musliar, yang mengikuti tes tersebut hanya dari IKIP, bukan FKIP (Timor Exprees Jumat, 03 Feb 2012).
Pendapat petinggi negara patut di pertanyakan mengenai kebijakan negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, dilain pihak Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App, Sc, Ph.D mengakui tidak mengetahui proses perekrutan tenaga pendidik untuk program SMD3T, Ia mengatakan, Undana tidak diikutkan sebagai salah satu universitas dalam proses tersebut. Rektor Undana akan menyurati Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud agar Undana bisa menjadi salah satu universitas yang bisa melakukan perekrutan tenaga SM3T jika program itu masih ada.
Komunikasi antara lembaga dibawah kementrian saja tidak berjalan dengan baik apa lagi dengan pemerintahan daerah lebih tidak dihiraukan lagi, kondisi ini menyebabkan lahirnya pertanyaan, ada kepentingan apa dibalik program SMD3T, sehingga terkesan tidak transparan dan tertutup ?
Otonomi daerah hadir karena masa orde baru kekuasaan terpusat di Jakarta, pemda dan rakyat di daerah tidak punya ruang gerak karena semua serba ditentukan dari atas. Program SMD3T bagi NTT ini menunjukan bahwa kekuasaan kembali terpusat di Jakarta. UU Otonomi Daerah yakni UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5 ; Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ayat 6 ; Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Urusan di daerah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan daerah menurut prakarsa sendirti berdasarkan aspirasi masyarakat hanya ada beberapa hal saja yang diatur secara langsung oleh pusat meliputi; politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama yang menjadi domain pemerintah pusat. Sedangkan persoalan pendidikan tetap menjadi domain pemerintahan daerah dan bukan urusan pusat, berangkat dari pemahaman ini maka Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan telah salah melangkah dalam urusan pengembangan pendidikan didaerah dengan mendatangkan tenaga guru honorer secara langsung ke daerah terpencil, sedangkan pemerintah daerah dalam hal ini Provinsi tidak mengetahui akan program Kemendiknasbud, bahkan institusi terkait Universitas Negeri terbesar di NTT yakni UNDANA tidak ada koordinasi menyangkut program SMD3T ini.
Demokrasi Partisipatoris
Spirit otonomi daerah dalam bingkai sistem pemerintahan demokratis adalah pemerintahan partisipatoris, tujuan dari penerapan otonomi daerah lebih dititikberatkan pada pemberdayaan masyarakat yang merupakan prasyarat utama dalam mengimplementasi desentralisasi dan otonomi daerah. dimana pembangunan harus melibatkan partisipasi masyarakat, namun kenyataan yang ada pemerintah dalam hal ini Kemendiknasbud berjalan sendiri seolah-olah menunjukan dominasi pusat terhadap daerah dengan mematikan peran serta daerah dalam pembangunan bangsa.
Jika Kemendiknasbud menyadari akan penerapan otonomi daerah maka APBN untuk pengadaan guru honorer atau guru kontrak untuk daerah tertinggal yang dialokasikan dari APBN tidak serta merta di lakukan sendiri tetapi dapat di sinergikan dengan pemerintah daerah sebagai representasi masyarakat, bisa saja kurikulum dan kemajuan terknologi pendidikan yang tidak di kuasai oleh guru-guru lokal terutama guru-guru honorer di daerah dapat dilatih untuk memeliki kemampuan dana penguasaan teknologi pendidikan tersebut.
Selama ini persoalan tenaga pendidik yang tidak melakukan tugas di daerah tertinggal atau terluar karena faktor biaya hidup yang tidak memadai, apabila Kemendiknasbud memiliki niat baik dan tulus untuk kemajuan pembangunan pendidikan yang merata bagi seluruh insan di Republik Indonesia maka proses dalam pengejewantahan program kerja pun perlu mengikut sertakan masyarakat lokal. Realitas yang ada Kemendiknas menciptakan kesenjangan baru bahwa tenaga guru dari pulau Jawa dan kota besar lainnya lebih berkompeten.
Jika konsep berpikir dengan menciptakan disparitas kemampuan guru lokal dan guru yang didatangkan dari kota besar, hal ini menunjukan bahwa pemerintah tetap menginginkan kebodohan dan ketertinggalan menjadi bagian dari daerah tertinggal atau terluar sehingga tidak memberikan kesempatan bagi orang lokal untuk berperan keluar dari keadaan tersebut dan tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam semangat otonomi daerah.
Program SMD3T Abaikan Kearifan Lokal
Pendidikan di Indonesia di bentuk untuk menciptakan sebuah pemahaman yang terkensan sentralistik sebagaimana yang terjadi dengan standar kelulusan yang didasarkan pada hasil Ujian Nasional, dimana penyususan soal dilakukan di Pusat dan daerah hanya menjalankan saja. Keadaan ini menyebabkan banyak ketidaklulusan ada di daerah, kondisi ini yang kemudian mendorong Kemendiknasbud melahirkan ide SMD3T untuk sebuah penyeragaman.
Proses penyeragaman seperti ini terkesan didominasi oleh sebuah kultur dominan dari budaya tertentu yang dikenal dengan sebutan Triple-S (Selaras, Serasi, Seimbang) proses ideologisasi seperti ini mematikan kearifan lokal yang ada di daerah tersebut. Padahal UU 32 tahun 2004 pasal 22 memberikan ruang bagi pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah dengan melestarikan nilai sosial budaya.
Proses pelestarian nilai sosial budaya dapat dilakukan oleh institusi pendidikan tentunya yang mengoperasikannya adalah seorang guru, karena itu seorang guru perlu memahamai dan mengerti akan budaya dan karakter sosial masyarakat setempat sehingga proses implementasi kurikulum pendidikan harus diadaptasikan dengan kultur setempat. Pemahaman akaln kultur atau kearifan lokal yang merupakan tatanan nilai dan menjadi pedoman hidup yang dimiliki masing-masing kelompok masyarakat. Keberadaan kerarifan lokal ini dapat beguna untuk menjaga keseimbangan lingkungan sehingga pendidikan yang diajarkan pun harus mendukung atau disesuaikan dengan kearifan lokal, bagaimana mungkin seorang guru honorer yang didatangkan dari luar NTT dapat memahami kearifan lokal NTT.
Kebijakan kemendiknasbud merupakan sebuah kebijakan yang mengkerdilkan Otonomi Daerah sehingga menghadirkan apriori baru yang terkesan “top down” dan merupakan pesanan sponsor untuk mengecilkan nilai-nilai lokal dan sepertinya adanya muatan zat “nitron” yang lain yang dapat berkembang sebagai sebuah proses ideologisasi baru yang mengacu pada Triple – S (Selaras, Serasi, Seimbang) yang berlaku secara nasional.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar