“MEREDAM BENIH SEKTARIANISME PILKADA”
*Yoyarib Mau
Pemetaan terhadap pasangan yang akan
bertarung dalam Pilkada Gubernur NTT,
membangun sebuah persepsi dalam masyarakat bahwa ada fragmentasi politik dimana
setiap pasangan yang bertarung harus mempertimbangkan etnisitas dan agama, sebagaimana 6 (enam) pasangan yang akan
bertarung yakni, Beni Bosu- Mel Adoe (BBM), Medah-Lakalena (TUNAS), Esthon-Paul
(THOTAL), Frans-Litelnoni (FRENLY), BKH-NOPE, Cris Rotok- Paul (CRISTAL).
Pertimbangan pertama yakni setiap pasangan harus merepresentatifkan Protestan –
Katolik atau sebaliknya Katolik – Protestan, kedua yakni Flores – Timor (Tirosa) atau sebaliknya Timor – Flores.
Fragmentasi ini dianggap sebagai sebuah sebuah hubungan yang lumrah untuk
sebuah kepentingan politik semu. Fragmentasi ini mengakar dalam politik NTT pada level Provinsi.
Fragmentasi yang terbangun ini mau tidak mau mendorong para pasangan kandidat
dalam setiap tema kampanye dan menggunakan citra keagamaan untuk membangun
dukungan dengan didasarkan pada seruan keagamaan dan kesukuan.
Tentu keberpihakan awal yang mau di
bangun oleh budaya ini yakni bagaimana membangun sentiment yang berdasarkan
sentiment ras, wilayah geografis etnies. Di dataran Flores Akan terlihat dari
para cagub seperti: Cristal dan BKH akan berebut membangun dukungan basis
dengan kekuatan Manggarai, Frans akan membangun kekuatan basisnya dengan
pendekatan Lamaholot minus Alor, Beni Bosu
dengan Ende Lio-nya. Cawagub LakaLena akan membangun kekuatan dengan
melakukan pendekatan Ende dan Maumere, sedangkan Paulus Talo akan membangun
kekuatan politik dengan pendekatan Bajawa dan Nagakeo.
Di dataran Timor Cagub antara lain; Esthon
Foenay sebagai Orang Timor dapat membangun pendekatan kerajaan untuk melakukan
berbagai pendekatan terhadap raja-raja di dataran Timor untuk mendapatkan
dukungan basis Timor. Cagub Medah mendapatkan basis kuat dari pendekatan Rote
serta masyarakat di kabupaten Kupang karena mantan Bupati dua periode,
sedangkan Kab.TTS sebagai kabupaten dengan suara pemilih terbanyak menjadi
primadona dalam mencari dukungan, sehingga di daerah ini ada dua calon wakil gubernur
yakni, Wellem Nope dan Beny Litelnoni,
sedangkan Mel Adoe dapat mencuri suara dari Rote, serta dukungan Persekutan Doa
dan aliran kepercayaan Kharismatis.
Beberapa kabupaten seperti di daratan
Sumba, Alor, TTU dan Belu tidak ada kandidat yang berasal dari daerah-daerah
ini membuat basis pemilih di daerah ini mengambang (floating mass) keberadaan
pemilih dibeberapa tempat ini akan dengan mudah direcoki dengan berbagai
sentimen yang dibangun untuk mendapatkan dukungan. Pendekatan yang mudah dan
dapat di lakukan adalah dengan menggunakan pendekatan agama dan suku (etnies).
Keberadaan suara dari daratan Sumba tidak akan mudah dilakukan dengan pendekatan
etnies karena sangat berbeda dengan Flores dan Timor.
Untuk merasionalisasi dukungan di
dataran Sumba dan Alor pendekatan keagamaanlah yang manjur, sebagaimana menurut
Geertz; agama sebagai sebuah sistem simbol yang bertindak untuk menciptakan
suasana hati dan motivasi yang kuat, universal, dan tahan lama pada manusia
dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi sehingga suasana hati dan
motivasi-motivasi tersebut tampak sangat realistis (Geertz -1973,90). Sedangkan di TTU dan Belu dapat memakai dua
pola, cagub yang beragama Katolik akan
melakukan pendekatan keagamaan sedangkan cagub yang beragama Protestan akan
lebih memakai pendekatan etnisitas atau letak geografis. Dua pendekatan inilah
yang kuat digunakan dalam membangun solidaritas politik di NTT.
Kondisi yang digambarkan diatas
menghadirkan pertanyaan sampai kapankah
sentiment sektarian yang terbangun ini dapat pupus dalam membangun pemerintahan yang demokratis ?
Demokrasi selalu dipahmai dengan perolehan suara terbanyak atau suara
mayoritas. Pemahaman ini kemudian mendorong adanya pemahaman yang sempit untuk
perolehan suara mayoritas dengan pendekatan agama dan suku. Pilkada Gubernur
NTT adalah sebuah harapan untuk mendapatkan pemimpin yang mampu membangkitkan
kemajuan bagi NTT.
Salah satu elemen penting pembentuk
kinerja demokrasi adalah budaya politik, proses penetapan cagub dan cawagub
yang di bangun dengan fragmentasi Katolik-Protestant atau sebaliknya,
Flores-Timor atau sebaliknya yang berlaku terus-menerus dalam setiap Pilkada
Gubernur. Kondisi ini akan melemahkan sistem politik demokrasi karena proses
penetapan pasangan yang sudah terpola seperti itu, dapat di pandang sebagai
“faktor hulu” maka “faktor hilirnya”dapat di telisik bahwa setiap jabatan
birokrasi dan pemenangan proyek tender hanya akan diperoleh sesuai dengan pendekatan-pendekatan
sektarian semata.
Keadaaan masyarakat NTT apabila
masih terbawa dengan budaya politik ini maka demokrasi kita masih bertahan pada
demokrasi feodal dan bukan demokrasi modern yang kualitatif. Pemenangan Pilgub
tidak hanya di capai dengan slogan kedaerahan bahwa saatnya suku ini harus
memimpin atau slogan keagamaan sebagai agama mayoritas yang harus memimpin,
namun bagaimana membangun kerangka politik yang menjamin semua orang dapat berperan
aktif dimana hak-hak individu yang minoritas-pun turut serta dalam dinamika
politik pilkada NTT.
Fragmentasi Politik yang terkesan
membangun dua arus utama politik di NTT yakni; Katolik – Protestanisme atau
sebaliknya, serta Timor-Flores dan sebaliknya, tidak memberikan ruang bagi
kelompok aliran lain atau suku lain yang minoritas, untuk terlibat dalam
dinamika politik. Beban sosio – politik
akibat fragmentasi ini akan muncul karena banyak kelompok suku atau agama atau
aliran merasa tidak dilibatkan dalam pesta demokrasi, demokrasi hanya menjadi
domain kelompok atau aliran utama atau besar semata.
Kemudian bara kebencian yang sektarian
akan hadir dan mengemuka dalam setiap proses politik didaerah dimana jika di
hilir tidak dilibatkan dalam penetapan sejumlah jabatan di birokrasi, Apalagi
keberadaan agama dan suku di NTT lebih kompleks dengan daerah lain di
Indonesia, mereka akan merasa tidak dilibatkan sehingga menginginkan pemisahan
diri dengan menuntut pemekaran atau mendirikan provinsi terpisah dari provinsi
induk NTT.
Membangun NTT bukan membangun
berdasarkan pendekatan suku atau agama tertentu, membangun NTT dibutuhkan
figure yang mampu mengakomodir semua pihak. Menguji loyalitasnya kepada rakyat
dengan membuktikan diri bahwa, loyalitas kepada suku atau agamanya berakhir
ketika dirinya tampil ke publik untuk memimpin NTT.
Loyalitas keenam pasangan ini akan
teruji siapa yang tepat untuk memimpin NTT ke depan akan terlihat pada masa
kampanye yang akan segera dijalani. Masyarakat akan diperhadapkan pada pilihan
yakni “teruskan budaya politik lama yang
berpola baku atau berubah dengan demokrasi yang modern” indikatornya adalah
kemampuan rakyat untuk melihat dengan kritis sejaumana pendekatan pasangan
cagub-cawagub lakukan apakah selalu mendahulukan pendekatan agama atau
etnies/sukunya dengan pertimbangan jumlah pemilih yang banyak atau juga hadir
dalam setiap komunitas yang walaupun kecil jumlah pemilihnya tetapi adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari warga NTT.
Keberpihakan dan kehadiran mereka
kepada semua komunitas adalah bentuk kapasitas moral mereka untuk memperhatikan
dan mendemontrasikan kemampuan mereka sebagai pemimpin yang tidak semata-mata
mengandalkan kekuatan yang berbasis pada agama atau etnisitas semata. Tetapi
kepemimpinan mereka teruji dari penerimaannya terhadap kelompok partikular yang
yang ada dan tersebar di seluruh NTT agar tidak berpotensi sektarian.
*Mahasiswa
Ilmu Politik - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar