Jumat, 11 Januari 2013

"MEREDAM BENIH SEKTARIANISME DALAM PILKADA"

“MEREDAM BENIH SEKTARIANISME  PILKADA”
*Yoyarib Mau

            Pemetaan terhadap pasangan yang akan bertarung dalam Pilkada Gubernur  NTT, membangun sebuah persepsi dalam masyarakat bahwa ada fragmentasi politik dimana setiap pasangan yang bertarung harus mempertimbangkan etnisitas dan agama,  sebagaimana 6 (enam) pasangan yang akan bertarung yakni, Beni Bosu- Mel Adoe (BBM), Medah-Lakalena (TUNAS), Esthon-Paul (THOTAL), Frans-Litelnoni (FRENLY), BKH-NOPE, Cris Rotok- Paul (CRISTAL). 

            Pertimbangan pertama yakni setiap pasangan harus merepresentatifkan Protestan – Katolik atau sebaliknya Katolik – Protestan, kedua yakni Flores – Timor (Tirosa) atau sebaliknya Timor – Flores. Fragmentasi ini dianggap sebagai sebuah sebuah hubungan yang lumrah untuk sebuah kepentingan politik semu. Fragmentasi ini mengakar  dalam politik NTT pada level Provinsi. Fragmentasi yang terbangun ini mau tidak mau mendorong para pasangan kandidat dalam setiap tema kampanye dan menggunakan citra keagamaan untuk membangun dukungan dengan didasarkan pada seruan keagamaan dan kesukuan. 

            Tentu keberpihakan awal yang mau di bangun oleh budaya ini yakni bagaimana membangun sentiment yang berdasarkan sentiment ras, wilayah geografis etnies. Di dataran Flores Akan terlihat dari para cagub seperti: Cristal dan BKH akan berebut membangun dukungan basis dengan kekuatan Manggarai, Frans akan membangun kekuatan basisnya dengan pendekatan Lamaholot minus Alor, Beni Bosu  dengan Ende Lio-nya. Cawagub LakaLena akan membangun kekuatan dengan melakukan pendekatan Ende dan Maumere, sedangkan Paulus Talo akan membangun kekuatan politik dengan pendekatan Bajawa dan Nagakeo.

            Di dataran Timor Cagub antara lain; Esthon Foenay sebagai Orang Timor dapat membangun pendekatan kerajaan untuk melakukan berbagai pendekatan terhadap raja-raja di dataran Timor untuk mendapatkan dukungan basis Timor. Cagub Medah mendapatkan basis kuat dari pendekatan Rote serta masyarakat di kabupaten Kupang karena mantan Bupati dua periode, sedangkan Kab.TTS sebagai kabupaten dengan suara pemilih terbanyak menjadi primadona dalam mencari dukungan, sehingga  di daerah ini ada dua calon wakil gubernur yakni, Wellem Nope dan Beny  Litelnoni, sedangkan Mel Adoe dapat mencuri suara dari Rote, serta dukungan Persekutan Doa dan aliran kepercayaan  Kharismatis. 

            Beberapa kabupaten seperti di daratan Sumba, Alor, TTU dan Belu tidak ada kandidat yang berasal dari daerah-daerah ini membuat basis pemilih di daerah ini mengambang (floating mass)  keberadaan pemilih dibeberapa tempat ini akan dengan mudah direcoki dengan berbagai sentimen yang dibangun untuk mendapatkan dukungan. Pendekatan yang mudah dan dapat di lakukan adalah dengan menggunakan pendekatan agama dan suku (etnies). Keberadaan suara dari daratan Sumba tidak akan mudah dilakukan dengan pendekatan etnies karena sangat berbeda dengan Flores dan Timor. 

            Untuk merasionalisasi dukungan di dataran Sumba dan Alor pendekatan keagamaanlah yang manjur, sebagaimana menurut Geertz; agama sebagai sebuah sistem simbol yang bertindak untuk menciptakan suasana hati dan motivasi yang kuat, universal, dan tahan lama pada manusia dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi tersebut tampak sangat realistis (Geertz -1973,90).  Sedangkan di TTU dan Belu dapat memakai dua pola, cagub yang beragama Katolik  akan melakukan pendekatan keagamaan sedangkan cagub yang beragama Protestan akan lebih memakai pendekatan etnisitas atau letak geografis. Dua pendekatan inilah yang kuat digunakan dalam membangun solidaritas politik di NTT.

            Kondisi yang digambarkan diatas menghadirkan pertanyaan sampai kapankah sentiment sektarian yang terbangun ini dapat pupus  dalam membangun pemerintahan yang demokratis ? Demokrasi selalu dipahmai dengan perolehan suara terbanyak atau suara mayoritas. Pemahaman ini kemudian mendorong adanya pemahaman yang sempit untuk perolehan suara mayoritas dengan pendekatan agama dan suku. Pilkada Gubernur NTT adalah sebuah harapan untuk mendapatkan pemimpin yang mampu membangkitkan kemajuan bagi NTT. 

            Salah satu elemen penting pembentuk kinerja demokrasi adalah budaya politik, proses penetapan cagub dan cawagub yang di bangun dengan fragmentasi Katolik-Protestant atau sebaliknya, Flores-Timor atau sebaliknya yang berlaku terus-menerus dalam setiap Pilkada Gubernur. Kondisi ini akan melemahkan sistem politik demokrasi karena proses penetapan pasangan yang sudah terpola seperti itu, dapat di pandang sebagai “faktor hulu” maka “faktor hilirnya”dapat di telisik bahwa setiap jabatan birokrasi dan pemenangan proyek tender hanya akan diperoleh sesuai dengan pendekatan-pendekatan sektarian semata.

            Keadaaan masyarakat NTT apabila masih terbawa dengan budaya politik ini maka demokrasi kita masih bertahan pada demokrasi feodal dan bukan demokrasi modern yang kualitatif. Pemenangan Pilgub tidak hanya di capai dengan slogan kedaerahan bahwa saatnya suku ini harus memimpin atau slogan keagamaan sebagai agama mayoritas yang harus memimpin, namun bagaimana membangun kerangka politik yang menjamin semua orang dapat berperan aktif dimana hak-hak individu yang minoritas-pun turut serta dalam dinamika politik pilkada NTT.

            Fragmentasi Politik yang terkesan membangun dua arus utama politik di NTT yakni; Katolik – Protestanisme atau sebaliknya, serta Timor-Flores dan sebaliknya, tidak memberikan ruang bagi kelompok aliran lain atau suku lain yang minoritas, untuk terlibat dalam dinamika politik. Beban  sosio – politik akibat fragmentasi ini akan muncul karena banyak kelompok suku atau agama atau aliran merasa tidak dilibatkan dalam pesta demokrasi, demokrasi hanya menjadi domain kelompok atau aliran utama atau besar semata.

            Kemudian bara kebencian yang sektarian akan hadir dan mengemuka dalam setiap proses politik didaerah dimana jika di hilir tidak dilibatkan dalam penetapan sejumlah jabatan di birokrasi, Apalagi keberadaan agama dan suku di NTT lebih kompleks dengan daerah lain di Indonesia, mereka akan merasa tidak dilibatkan sehingga menginginkan pemisahan diri dengan menuntut pemekaran atau mendirikan provinsi terpisah dari provinsi induk NTT.  
          
            Membangun NTT bukan membangun berdasarkan pendekatan suku atau agama tertentu, membangun NTT dibutuhkan figure yang mampu mengakomodir semua pihak. Menguji loyalitasnya kepada rakyat dengan membuktikan diri bahwa, loyalitas kepada suku atau agamanya berakhir ketika dirinya tampil ke publik untuk memimpin NTT. 

            Loyalitas keenam pasangan ini akan teruji siapa yang tepat untuk memimpin NTT ke depan akan terlihat pada masa kampanye yang akan segera dijalani. Masyarakat akan diperhadapkan pada pilihan yakni “teruskan budaya politik lama yang berpola baku atau berubah dengan demokrasi yang modern” indikatornya adalah kemampuan rakyat untuk melihat dengan kritis sejaumana pendekatan pasangan cagub-cawagub lakukan apakah selalu mendahulukan pendekatan agama atau etnies/sukunya dengan pertimbangan jumlah pemilih yang banyak atau juga hadir dalam setiap komunitas yang walaupun kecil jumlah pemilihnya tetapi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari warga NTT. 

            Keberpihakan dan kehadiran mereka kepada semua komunitas adalah bentuk kapasitas moral mereka untuk memperhatikan dan mendemontrasikan kemampuan mereka sebagai pemimpin yang tidak semata-mata mengandalkan kekuatan yang berbasis pada agama atau etnisitas semata. Tetapi kepemimpinan mereka teruji dari penerimaannya terhadap kelompok partikular yang yang ada dan tersebar di seluruh NTT agar tidak berpotensi sektarian.

*Mahasiswa Ilmu Politik - UI
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar