“DCS 2013 HASIL REKAYASA SISTEM PERWAKILAN
POLITIK”
*Yoyarib Mau
Jelang pemilu legislatif 2014,
partai politik yang diloloskan KPU sebagai peserta pemilu 2014 sebanyak 15 partai
politik tiga antaranya adalah partai lokal di Provinsi Aceh sedangkan 12 partai
lainnya adalah partai yang berkedudukan di Ibu Kota negara dan memiliki
kepengurusan disetiap provinsi dan kabupaten diseluruh tanah air. Sebelum masuk
pada hajatan pemilu legislatif tersebut ada sebuah tahapan awal yakni pengajuan
Daftar Calon Sementara (DCS), dimana setiap partai politik mengajukan nama
calon legislatif yang akan dijagokan untuk bertarung sebagai kontestan pada
pemilu legislatif.
Dalam proses rekruitman yang
dilakukan oleh berbagai partai politik, banyak pola
yang dipakai untuk merekrut calon anggota legislatif, ada yang melakukan
rekruitman dari internal kader, ada yang merekrut calon dengan memberikan
kesempatan bagi masyarakat luas untuk mendaftar sebagai caleg melalui iklan di
media massa, ada partai politik sebagai penampung anggota legislatif dari
partai kecil yang tidak lolos seleksi sebagai peserta pemilu, ada partai
politik yang melakukan pengusungan calon legislatif dari lingkaran oligarki
(sekelompok orang yang membangun ikatan emosional yang saling menguntungkan),
adanya partai politik yang mengusung caleg bermodal dompet tebal, atau
mencalonkan caleg yang berdasarkan pertimbangan gender dan pertimbangkan
lainnnya.
Realitas rekruitmen caleg yang terlihat dalam pengacuan DCS yang baru
saja dilakukan terlihat pola perekrutan hampir pada semua tingkatan perekrutan
untuk DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota mampir menjalankan pola yang
sama. Kita menengok bersama dengan pola perekrutan yang dilakukan beberapa
partai politik di level nasional yang merekrut caleg DPR RI yang terkesan ada
pola perekrutan berdasarkan pertimbangan tertentu, pola ini kemudian berlaku ke
level Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Rekrutmen caleg yang menjalankan
pendekatan kekeluargaan sebagaimana yang dilakukan oleh Partai Demokrat dalam
menetapkan DCS di Dapil NTT 2 menempatkan dua keluarga bermarga Gah dalam satu
partai yakni Anitha Jacoba Gah dan Maria Susana Mesang Gah, persoalan lain di
Partai Demokrat yakni mengalokasikan kursi Caleg bagi pengurus partai tanpa
mempertimbangkan latar belakang sosio-cultur
yakni mengusung caleg yang tidak merepresentasikan keterwakilan gender
tapi mengabaikan sosio-cultur seperti mengusung
Nurita Sinaga di Dapil NTT 1 dan Sri Damayanti Manulang di Dapil NTT 2, yang
dari nama saja tidak merepresentasikan NTT. Ada juga nama Nelson Daniel Boling dari Partai Demokrat di
Dapil NTT 1 yang adalah orang dekat Syariefudin Hasan Menteri Koperasi,
kedekatan ini karena selalu memberikan jasa pengamanan. Juga pola perekrutan
standar ganda yakni kembali mengusung
Benny K Harman di dapil NTT 1 akibatnya salah satu kader partai ini Agustinus
Tamo Mbapa harus terlempar ke Dapil NTT 2, pola ini secara langsung mematikan
kader lain karena tidak terakomodir dalam DCS. Karena keterbatasan penerapan
quota DCS 100% tidak seperti pemilu 2004
yang memberikan quota DCS 120%.
Di Partai Golkar para caleg adalah
pemain lama yang terus bercokol semisal di Dapil NTT 2 ada Setya Novanto dan
Charles Mesang yang sudah hampir 4 (empat) periode berturut-turut menjadi
anggota DPR RI, ada juga pola rekruitmen dengan pola standar ganda seperti;
Emanuel Melkiades Lakalena di Dapil NTT 1, yang juga adalah calon wakil
gubernur yang diusung Partai Golkar dalam Pilkada Gubernur NTT yang lalu.
sedangkan di Dapil NTT 2 ada nama Imanuel E. Blegur yang juga Bakal Calon
Bupati Alor. Sedangkan rekruitmen caleg gender ada Sylvia Asih Angraeni di
Dapil NTT 2 juga sepertinya alokasi titipan pusat untuk memenuhi quota semata.
Pola rekruitmen yang menarik dan
menjadi perhatian publik di tubuh PDIP terutama di Dapil NTT 2 yakni alokasi
DCS 7 orang dengan pertimbangan quota perempuan 30% maka seharusnya di Dapil NTT 2 PDIP cukup mengusung 2 orang
perempuan tetapi kenyataannya 4 orang perempuan diusung oleh PDIP yakni; Jeane
Cythia Lay (istri dari Cornelis Lay mantan pakar ahli Megawati), Ruth Nina
Kedang (mantan anggota DPR RI 2004-2009 Fraksi PDS Dapil NTT), Vianey Feoh dan
Martha Unu. Strategi mengusung perempuan lebih dari quota sepertinya dilakukan
untuk menggugurkan caleg laki-laki lain yang bisa menjadi ancaman bagi caleg
yang bermodalkan dompet tebal dan juga caleg incumbent.
Sekelumit persoalan rekrutmen caleg
yang dilakukan oleh 3 partai besar diatas hampir sama juga terjadi di beberapa
partai nasional lainnnya, dari persoalan DCS diatas menghadirkan pertanyaan, Apakah Daftar Caleg Sementara yang diusung
partai politik sudah mencerminkan sistem perwakilan politik yang sesungguhnya
atau hanya memanfaatkan suara rakyat untuk kepentingan segelintir orang atau
partai semata ?
Ini persoalan politik yang perlu dicermati
dalam khasanah keilmuan politik, sehingga tulisan ini hendak disampaikan tidak untuk
mendeskreditkan orang, pribadi atau partai tertentu tetapi hendak menjelaskan
persoalan dan permasalahan politik Indonesia. Sebagaimana Herbert Feith melihat
“permasalahan perwakilan Politik di Indonesia dari dua fihak: Pertama, pemikiran atau ide tentang
perwakilan politik yang disinyalir tidak dikembangkan dalam pemikiran politik
Indonesia. Kedua, mekanisme
perwakilan politik yang tidak dapat ditumbuhkan karena konsepsi kepentingan dan
pertentangan (konflik) tidak diterima sebagai mekanisme hubungan
sosial-politik” (Arbi Sanit – Perwakilan Politik Di Indonesia).
Persoalan Perwakilan Politik hari
ini tidak mencerminkan akan keterwakilan karena keberadaan partai politik yang
diharapkan menjadi sarana perjuangan ideologi tidak lagi menjadi ukuran, Partai Islam yang
jelas memiliki ideologi perjuangan syariah keagamaan tetapi karena penerapan
ideologi dalam partai politik sangat cair sifatnya, akibat pertimbangan keselamatan
menembus aturan “parliament treshold”
maka ideologi tidak lagi menjadi
pertimbangan atau ukuran, maka dalam DCS 2013 partai politik dengan ideology
tertentu membuka diri secara luas kepada para bakal caleg yang di coret di
partai tertentu terakomodir.
Melihat fenomena akut penentuan DCS
maka apa yang diungkapkan oleh Herbert Feith bahwa mekanisme perwakilan politik
tidak berjalan karena kepentingan dan pertentangan (konflik) sangat dominan
dalam penetapan DCS ini. Untuk menyelamatkan diri dan kepentingannya maka yang
diakomodir dalam caleg adalah orang yang tidak berpotensi melebihi keberadaan
anggota legislatif incumbent atau caleg yang diakomodir terutama untuk memenuhi
quota perempuan, berasal dari daerah lain atau kerabat sendiri agar tidak mengganggu,
dan juga hanya sebagai pengumpul suara bagi caleg dompet tebal karena caleg ini
dapat bermanufer dengan rakyat jelang pemilu serta KPU/KPUD.
Kepentingan untuk terus berkuasa
membuat regenerasi serta representasi mengalami kebuntuan, pengabaian terhadap
sistem perwakilan antara wakil dan terwakil. Perwakilan Politik hendaknya perlu
ada pertalian sosio-cultural atau yang di sebut dengan sebutan “linkage” (sarana pertalian) hal ini
sangat penting karena wakil harus memahami dan mengerti corak pertalian wakil dengan
terwakil. Tidak mungkin seorang dari Pulau Jawa atau Sumatera datang dan
menjadi wakil bagi orang NTT, corak pertalian tidak hanya hadir memakai pakian
adat/suku NTT kemudian merasa sudah menjadi bagian dari NTT atau dengan membawa
sejumlah uang dan memberikan bantuan kemudian merasa sudah menjadi NTT.
Corak pertalian wakil dan terwakili
harus mendalam dimana ada ikatan bathin-emosional yang kuat untuk menjadi wakil
dari yang terwakili, dalam ikatan bathin yang kuat itulah letak seorang wakil
mengerti persoalan. Jika pengabaian ini dilakukan maka mandat rakyat NTT yang
mengharapkan perubahan yang diberikan kepada wakil rakyat hanyalah pepesan
kosong, dan keberadaan wakil rakyat hanyalah hasil pembelian dibawah tangan
(black market).
*Mahasiswa
Ilmu Politik – FISIP -UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar