“Kolhua Dibawah
Bayang-Bayang Penjajahan Modern”
*Yoyarib Mau
Bulan
Agustus pada tahun 2013 ini bertepatan ada dua perayaan kemenangan, pertama
pada tanggal 8 Agustus 2013 Hari Idulfitri bagi pemeluk agama Islam yang
merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Seminggu kemudian 17 Agustus
2013 segenap rakyat Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke 68. Berbeda di Kota Kupang semua warga
bersiap menyongsong perayaan tujuh belasan, tetapi bagi warga Kolhua yang berada
dalam ketidakpastian akibat rencana pembangunan bendungan Kolhua dengan APBN senilai
485 miliar, dengan membutuhkan lahan seluas ±100 ha membuat warga Kolhua harus
dipindahkan dari lokasi ini, rencana ini membuat warga Kolhua harus hidup dalam
keseharian mereka dengan penuh waspada karena sewaktu-waktu akan hadir Pemkot
dengan kekuatan fisik untuk melakukan pembebasan area.
Walikota
Kupang yang adalah penguasa lokal yang berkepentingan untuk mengamankan
dana APBN sebesar Rp. 485 miliar agar
bisa diperuntukan bagi Kota Kupang. Kepentingan lain yang tidak kalah penting
yakni harapan ekonomis, dimana Jonas Salean sebagai Walikota Kupang bermimpi
setelah pembangunan bendungan Kolhua maka akan disertai dengan pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pusat perikanan dan daerah pengembangan
wisata.
Rasionalisasi
ekonomis atas nama kebutuhan warga kota, maka Pemkot berkeras untuk tetap
melakukan pembebasan lahan guna pembangunan bendungan ini dilakukan. Walaupun
ketidaksepakatan warga Kolhua dengan melakukan penolakan tetap saja diabaikan.
Keadaan ini menghadirkan pertanyaan, Apakah
warga Kolhua tidak memiliki kemerdekaan untuk mempertahankan modal dan hak
pribadi mereka ?
Senjata
ampuh yang digunakan oleh Pemkot dalam hal ini Walikota Jonas Salean yakni PP
38 Tahun 2011 tentang Sungai, dimana melarang ada aktivitas di bantaran
sungai. Keberadaan warga Kolhua
diwilayah ini jauh melampaui sebelum adanya PP 38 Tahun 2011, warga Kolhua
hampir keseluruhan warganya adalah etnies Helong yang merupakan sisa dari
legenda kota Kupang, selalu hidup dan bermukim berkelompok serta memilih untuk
tinggal dekat mata air atau sumber mata air sehingga ada sejumlah tempat dimana
disebut dengan sebutan dalam bahasa Helong “Ui” berarti “air” yang kemudian
bermetamorfosis dengan bahasa dawan menjadi “Oe” sehingga di Kupang dapat kita
ketahui bersama ada sejumlah tempat dengan sebutan yang didahului dengan kata
“Oe” semisal Oepura, Oetona, Oesapa dan lainnya di kota Kupang, sedangkan
tempat lainnya tersebar di Kab. Kupang seperti Oekabiti, Oesain, Oehani, Oeletsala,
Oesao dan tempat lainnya. Jangan karena masyarakat helong di Kolhua yang
tinggal di dekat bantaran sungai kemudian nama tempatnya tidak memakai sebutan
Oe atau Ui sehingga dianggab tidak
memiliki legenda bagi kota Kupang.
Marthin
Bulmer mengemukakan, etnik atau yang selalu disebut kelompok etnik adalah satu
kelompok kolektif manusia dalam penduduk yang luas, memiliki kenyataan atau
cerita asal-usul yang sama, mempunyai kenangan terhadap masa lalu, yang
terfokus pada satu unsur simbolik atau lebih yang mendefenisikan indentitas
kelompok (Alo Liliweri – Prasangka dan Konflik)
Warga Kolhua memenuhi syarat sebagai
kelompok etnik karena memiliki identitas kelompok, ada cerita asal-usul yang
sama, memiliki kekerabatan yang kolektif. Sejatinya tersisanya suku helong yang
masih hidup berkelompok yang ada di kota Kupang adalah masyarakat Kolhua.
Sehingga kebijakan pembangunan Bendungaan Kolhua tidak hanya memperhatikan
aspek ekonomis bagi kebutuhan air warga kota tetapi harus menghargai etnik asli
(indigenous ethnic) dimana pemkot
harus mengakui hak-hak khusus kepada “first peoples” sebagai penduduk pertama
penghuni kota.
Kesadaran warga Kolhua akan nilai
budaya dan norma sangat tinggi hal ini ditandai dengan penamaan tempat-tempat
kehidupan mereka dengan sebutan yang ada kaitannya dengan alam, bahkan di
wilayah tersebut ada tempat pemakaman para leluhur dari warga Kolhua. Tanah
bagi masyarakat etnik merupakan ikatan mereka dengan segala hal.
Tanah
atau bumi dimana kaki berpijak adalah “mama atau Ibu” yang melahirkan sehingga
ada sebutan Ibu Pertiwi, karena dianggap tanah tersebut yang melahirkan,
memberi makan, memelihara, mendidik bahkan bagaimana beradaptasi untuk tetap survive, pemahaman ini tidak juga dengan
mudah, dengan atas nama kebutuhan orang lain di luar kelompok etnik ini,
kemudian mengharuskan mereka harus mengkhianati norma dan budaya mereka,
naifnya kelompok etnik di Kolhua hendak diputus mata rantai kehidupan nilai dan
moral mereka dengan dipaksa pindah dari hak ulayat mereka. Kompensasi Jonas Salean
Walikota Kupang bertolak belakang dengan keseharian mereka dengan ditawarkan
menata kios-kios di sekitar bendungan.
Pembangunan
tidak harus melihat nilai modal yang ditawarkan oleh APBN yang bernilai
miliaran kemudian menusuk peradaban manusia dengan mengkhianati sejarah, nilai,
bahkan budaya masyarakat. sepertinya kekuatan kekuasaan mencoba menjajah ikon
kota, simbol kota yakni etnik helong yang masih tersisa di Kolhua ini.
Pemerintah dalam hal ini pemkot sepertinya terjebak pada soal angka yang besar,
dimana perhitungan nilai besaran proyek dan banyaknya orang yang dihitung
membutuhkan air, pertimbangan tersebut tidak kemudian mengharuskan pemkot menyandara
warga Kolhua untuk mengabaikan sejarah, nilai dan budayannya.
Pembangunan
dengan meninggalkan sejumlah proyek bangunan dan gedung seperti rencana pembanugnan bendungan Kolhua tidak
semata-mata menjadi tolak ukur keberhasilan seorang pemimpin. Pembangunan tidak
hanya mempertimbangkan tujuan ekonomis akan tetapi harus menjungjung tinggi
masalah demokrasi dengan hak-hak azasi manusia. Jonas Salean Walikota Kupang
perlu mengingat kembali apa yang dikatakan oleh Goulet (1977) mengungkapkan
bahwa falsafah dan etika pembangunan menjadi acuan dimana proses pembangunan
harus menghasilkan “solidaritas baru” yang mendorong pembangunan yang berakar
dari bawah (grassroots oreinted),
memelihara keberagamaan budaya dan lingkungan, dan menjunjung tinggi martabat
serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat (Dampak Otonomi Daerah di Indonesia
– Obor – 2013)
Dengan
demikian maka rencana pembangunan bendungan Kolhua tidak berakar dari bawah
yakni usulan rakyat dan kesepakatan warga, ini lebih pada kepentingan para
wakil rakyat yang bersekongkol untuk mendapatkan keuntungan (fee project) serta tidak menghargai
martabat masyarakat Kolhua. Ada kecenderungan pemkot melakukan hegemoni dengan
menggunakan kepemimpinan politik dan pengarahan kekuatan aparat, dan masyarakat
yang mendukung, guna kepentingan mereka semata. Dengan jalan mencoba menekan
kelompok etnik yang jumlahnya kecil, yang juga adalah warisan sejarah, atau
bagian dari peradaban yang perlu mendapatkan apresiasi bukan penggusuran karena
sama-sama di jamin di mata hukum termasuk hukum adat, walau kelompok etnik ini
memiliki hak adat tetapi dengan senjata APBN dan sejumlah peraturan maka
penguasa melakukan penetrasi agar nafsu penjajahannya tersalurkan.
*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar