“GUBERNUR BAYANGAN PROVINSI NTT’
*Yoyarib Mau
Harap
cemas menanti keputusan Mahkamah Konsititusi (MK) dalam memutuskan sengketa
Pilkada Gubernur Putaran II, untuk
menentukan siapa pemenang sebagai Gubernur, dilain kesempatan KPUD NTT telah
menetapkan pemenangnya. Penetapan ini belum memberi keyakinan kepada seluruh
masyarakat NTT terhadap penetapan terebut. Pendukung dari kedua kubu
kandidatyang berkompetisi masih menanti dalam kecemasan, karena mengharapkan keputusan
akhir yang sah ada di tangan MK.
Jabatan
Gubernur walaupun dalam era otonomi daerah hanyalah perpanjangan tangan
pemerintah pusat. Namun Realitas yang ada seperti kekuasaan atas sebuah
teritorial, anggaran yang didapatkan dari Pemerintah Pusat berupa APBN, maupun
di tingkat Provinsi sendiri di tunjang dengan APBD, sejumlah fasilitas yang di
miliki sebagai Kepala Daerah menunjukan bahwa Gubernur adalah penguasa tunggal
di sebuah wilayah Provinsi. Kondisi ini mengesahkan bahkan membangun opini
publik bahwa jabatan Gubenur adalah jabatan yang prestisius.
Padahal
dalam era otonomi daerah meletakan kewenangan otonomi di tingkat II yaitu pada
kabupaten dan kota, dan bukan pada provinsi, provinsi hanya sebagai perantara
atau perpanjang tangan. Seyogiannya perebutan kepemimpinan yang paling menarik dan
menguras energi untuk dibahas adalah perebutan kepemimpinan di tingkat
kabupaten dan bukan pada provinsi. Dalam Pilkada NTT yang bersamaan dengan
Pilkada Gubernur adalah Pilkada Kabupaten Sikka. Namun pembahasan dan animo
masyarakat NTT lebih besar menyedot perhatian ada pada pilkada Gubernur.
Kondisi
ini menggambarkan bahwa fenomena politik di NTT sangatlah menarik untuk ditelusuri
lebih jauh, bagaimana figure kandidat
yang bertarung menjadi buah bibir pembicaraan, apakah dilatarbelakangi oleh
psikologi pemilih dan sikap primordial, atau karena pemahaman akan jabatan
struktural gubernur itu sendiri yang prestisius ? Pembahasan dalam opini
ini, tidak akan membahas perilaku pemilih akan tetapi akan menyoroti keberadan
struktur gubernur itu sendiri dalam struktur bernegara.
Salah
satu pemikir demokrasi Joseph Schumpeter merumuskan demokrasi sebagai
pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana
individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih dan
memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan (AA.GN. Ari Dwipayana – LP3ES –
2004), infrastruktur demokrasi tidak semata-mata kepala negara semata, tetapi
meliputi partai politik, ornop local
(NGOs), pers lokal, universitas
lokal, dan politisi daerah.
Gubernur
adalah jabatan strategis di sebuah wilayah atau tritorial dan memiliki otoritas
dari rakyat sehingga memberikan hak bagi gubernur terpilih untuk dapat membuat
dan melaksanakan kebijakan-kebijakan secara absah. Menanti keputusan MKtentu
akan menetapkan pasangan tertentu sebagai gubernur defenitiv dan salah satu
pasangan harus menerima kenyataan untuk tidak menduduki jabatan gubernur yang
memiliki otoritas penuh dalam batasan teritorial tertentu.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pasca penetapan MK siapa Gubernur terpilih akan nampak
secara Psikologis dari kandidat yang kalah, akan terlihat adanya penurunan
power baik secara fisik maupun psikis, karena kedua calon gubernur sebelumnya
menduduki posisi kekuasaan, Frans Leburaya sebagai Gubernur dan Esthon Foenay
sebagi Wakil Gubernur yang berhak
mendapatkan sejumlah fasilitas untuk mendukung kinerjanya.
Keadaaan
ini kemudian tidak serta-merta membuat salah satu dari mereka tidak dapat
disebut dengan sebutan gubernur, semua kandidat dengan bebas dapat menggunakan
sebutan gebernur, namun yang membedakan adalah “gubernur berkuasaVsgubernur
oposisi”. Penyebutan ini bukan berarti tidak menerima akan keputusan
Mahkamah Konstitusi dan bukan juga menghadirkan dualisme kepemimpinan di NTT.
Gubernur Oposisi atau
Gubernur Bayangan
Penyebutan
Gubernur bagi yang kalah dalam keputusan MK juga adalah sebuah pembelajaran
demokrasi, bahwa sebutan dan jabatan Gubernur bukanlah sebuah jabatan elitis
yang prestisius akan tetapi dapat memberikan pemahaman bahwa Gubernur adalah
sebuah jabatan biasa dalam struktur bernegara. Karena penyebutan Gubernur dan
mendewakan posisi tersebut akan mengembalikan persepsi masyarakat dimana rakyat
yang seharusnya mendapatkan pelayanan dan perlakuan istimewa, akan terbalik di
mana kembali pada jaman feodal yang mana rakyat harus memperlakukan gubernur
sebagai raja pada jaman feodal.
Kedua kandidat yang bertarung dalam
Pilakda Putaran kedua sama-sama adalah pimpinan partai politik yang selevel
dengan posisi struktural gubernur, sehingga penyebutan gubernur bagi kandidat
yang kalah harus di pahami sebagai bentuk kehidupan sipil yang berada dalam era
demokrasi. Salah satu kandidat yang kalah dapat berperan sebagai gubernur
oposisi untuk mengontrol gubernur yang berkuasa. Peran sebagai gubernur oposisi
dapat dilakukan melalui struktur partai yang ada, atau dapat juga menjalankan fungsi
gubernur oposisi melalui organisasi sosial, lsm, organisasi lokal.
Peran gubernur oposisi sangat
strategis dimana tanpa aturan protokoler yang di bangun oleh sistem, peran
oposisi dapat dilakukan untuk mewujudkan visi dan misi yang telah dikampanyekan
pada masa kampanye pilkada sebelumnya. Bentuk dari peran gubernur opisisi ini
adalah bentuk kebangkitan sosial yang bertujuan mendemokratisasikan masyarakat dalam
menjalankan politikal namun bukan berarti mengarahkan rakyat untuk tidak tunduk
dan taat terhadap program yang dijalankan oleh gubernur berkuasa.
Design Kelembagaan
Oposisi
Membangun demokrasi dengan peran
oposisi belum dilakukan dalam kehidupan bernegara secara masif dalam berbagai
struktur pemerintahan di tingakt Provinsi dan Kabupaten/kota, sepintas terlihat
pada level pusat namun hanya pada level legislatif dalam melakukan kontrol
terhadap pemerintah yang berkuasa terutama menjelang pengambilan keputusan
dalam penetapan APBN dan APBN-P. Prinsip dan peran oposisi seharusnya menurun
ke tingkat terbawah dimana ada juga
peran oposisi dalam mengontrol kebijakan pemerintah Provinsi maupun
Kabupaten/Kota.
Jika peran oposisi dilakukan dan
dipahami oleh masyarakat luas bahwa perlu adanya gubernur oposisi agar pemahaman akan demokrasi tidak sekedar
memahami demokrasi secara parsial dimana demokrasi hanya dipamai hanya pada
saat pemilu atau pemungutuan suara semata, adanya kontestasi melalui kampanye,
debat publik yang dapat diyakni sebagai
sesuatau yang demokratis. Padahal pemahaman demokrasi jauh melampaui hal-hal
teknis yang berkelanjutan dimana adaanya ruang kontrol sebagai bukti
partisipatif yang dapat dilihat dalam
bentuk tindakan politik secara langsung melalui demonstrasi, surat terbuka,
bahkan sikap resmi melalui partai politik di parlement.
Design kelembagaan akan Gubernur
Bayangan atau Gubernur Oposisi tidak perlu diformalkan namun dibutuhkan dalam
kehidupan berdemokrasi, dimana struktur-struktur dalam lembaga kemasyarakatan,
lembaga sosial, lembaga adat bahkan
partai politik sekalipun dapat membiasakan penyebutan struktur pengurus
dengan sebutan presiden, gubernur, bupati/walikota agar sebagai bagian dari
upaya untuk pendalaman demokratisasi dan membiasakan rakyat untuk tidak
menganggab jabatan-jabatan tersebut sebagai jabatan prestisius yang selama ini
telah terbangun dalam pemikiran masyarakat bahwa jabatan tersebut adalah
jabatan yang mendewakan seseorang yang harus di dewakan atau bahkan dituhankan.
*Mahasiswa
Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar