Rabu, 11 September 2013

"OTOKRASI WALIKOTA DALAM SPIRIT OTONOMI DAERAH"


“OTOKRASI WALIKOTA, DALAM SPIRIT OTONOMI DAERAH”
*Yoyarib Mau

            Keterpilihan Jonas Salean seiring dengan masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memilih kepala daerahnya melalui jalur Pemilukada (Pemilihan Langsung Kepala Daerah), Jonas Salean yang memilih jalur independent untuk menggapai jabatan walikota dikarenakan kebosanan warga terhadap partai politik yang bermental korup dan sangat oligarkis.

            Keterpilihan Jonas Salean yang berpasangan dengan Herman Man menjadi tumpuan bagi masyarakat Kota Kupang untuk mendapatkan pelayanan yang mensejahterakan, karena menganggap Jonas Salean sebagai korban yang tersalimi pada pemilukada sebelumnya yang dimenangi oleh Pasangan Daniel Adoe dan Daniel Hurek. Keadaan tersalimi ini kemudian di manfaatkan oleh Jonas Salean bukan untuk membalas dendam dengan menebar kebencian atau kampanye hitam (black campaign).

            Jonas Salean melakukan politik silturahmi dengan mengunjungi sejumlah masyarakat yang melakukan hajatan pernikahan atau mengalami kematian, melakukan kunjungan dan membangun komitment serta kesepakatan dengan paguyupan etnies seperti Persatuan Atoin Meto (POT) dan etnies lainnya, yang juga dikunjungi adalah mereka yang tercancam dan terpinggirkan dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Seperti yang dilakukan Jonas Salean dengan warga Kolhua dimana sebelum terpilih Jonas berjanji dan menjamin bahwa bendungan Kolhua  tidak akan di bangun.

            Kemampuan konsolidasi kekuatan dan isu kampanye yang baik akhirnya kemenangan diraih oleh pasangan Jonas Saelan - Herman Man. Konsolidasi membangun kekuatan dukungan tentunya tidak mudah karena jalur independent selalu mengalami kesulitan yang sangat besar yakni tidak memiliki infrastruktur partai dan juga tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk membiayai kampanye serta permintaan-permintaan jangka pendek yang insidentil ketika silaturahmi itu dilakukan seperti perbaikan jalan lingkungan, perbaikan rumah ibadah, bingkisan dan bantuan seadannya bagi korban kecelakan atau keluarga yang berduka.

            Keadaan Paket Jonas-Herman secara kasat mata tidak akan mungkin melawan pasangan calon lain seperti Jaffray Riwu Kore, Paul Liyanto dan yang lainnya, yang memiliki kemampuan financial yang kuat. Modal sosial yakni Kesederhanaan dan setingan performance rendah hati yang digunakan mampu memukau warga kota untuk memilih pasangan Jonas-Herman.

            Ketika saat ini dalam posisi jabatan sebagai walikota Kupang, dalam menjalankan manajemen pemerintahan berupa produktivitas dan daya kerja pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Modal sosial yang menjadi modal kemenangan Jonas yakni kesederhanaan dan rendah hati sepertinya, ibarat  jarum jam yang berputar terbalik melawan arah, yang terkesan arogan dan memaksa.  Hal ini terlihat sejak rencana pembangunan bendungan Kolhua,  dimana masyarakat Kolhua yang menolak rencana pembangunan tersebut mendapatkan ancaman bahwa Jonas akan menggunakan pendekatan kekerasan untuk mewujudkan pembangunan  bendungan Kolhua. Pada kasus yang berbeda menyangkut PDAM Jonas Salean berkeras dan akan menggunakan kekerasan untuk mengambil alih pengelolaan PDAM yang saat ini dikelola oleh Pemkab Kupang.

            Perilaku yang dilakukan oleh  Jonas Salean saat konsolidasi dan kampanye sangat berbeda dengan apa yang dilakukan saat ini ketika menjalankan manajemen pemerintahannya. Sehingga hadir pernyataan untuk diteropong, Apakah gaya kepemimpinan seseorang akan berubah ketika ada dalam kekuasaan, serta apa faktor penyebab berubahnya gaya kepemimpinan itu ?


Otokrasi Orde Baru

            Sikap yang dilakukan oleh Jonas Salean terlihat sebagai budaya orde baru dalam menjalankan pemerintahan, dimana pola indoktrinasi yang dilakukan oleh rezim Soeharto bahwa pendapat yang benar adalah adalah pendapat resmi pemerintah, setiap perbedaan dari pikiran resmi, apalagi bertentangan, adalah penyelewengan yang harus di tumpas sampai ke akar-akarnya  (Ajib Rosidi – Pustaka Jaya – 2006). Resmi yang di pahami disini adalah apa yang dikehendaki oleh pemimpin, yang biasanya di kenal dengan sebutan otokrasi yakni pemerintahan yang di dalamnya seluruh kekuasaan politik yang sepenuhnya dikendalikan oleh satu orang dengan tidak mengindahkan pengawasan publik.

            Jika model ini yang dilakukan oleh Jonas Salean maka ada kecenderungan kuat bahwa Jonas Salean adalah sisa rezim orde baru yang memiliki kecenderungan kuat untuk menjalankan ideologi Thatcherisme dimana dalam kebijakannya selalu di perkuat dengan polisi dan pol pp-nya. Ideologi Thatcherisme dan doktrin rezim orde baru telah tumbang oleh reformasi 1998 dimana spirit demokrasi yang mewarnai semua sistem pemerintahan dimana adanya keterbukaan pengelolaan kekuasaan dan keterlibatan publik pengambilan keputusan.


Otonomi Daerah Berdimensi Merata

            Dimensi otonomi daerah tidak semata-mata adalah meningkatkan ekonomi masyarakat yang mengakibatkan minimnya kerja sama dan komunikasi antar daerah -pemerintahan lokal, sebagaimana yang dialami oleh Kota Kupang dan Kab.Kupang soal PDAM, dan soal usul solusi pemindahan pembangunan bendungan Kolhua ke kabupaten lain agar APBN itu dapat terserap di NTT. Memang otonomi daerah membuat setiap kabupaten harus bertanggung jawab atas daerahnya sendiri, akan tetapi tidak semua daerah punya kemampuan untuk menanggung sendiri kebutuhan di kawasannya.

            Kondisi lain yang harus di pertimbangkan oleh Kota Kupang dan Kabupaten Kupang yang apabila di hubungkan dengan teori Alfred Wallace yang kita kenal dengan sebutan “garis Wallace (Wallace Line)” yang memisahkan flora dan fauna di NTT dimana ada wilayah yang subur Asia dan ada yang memiliki kemiripan daaerah kering  seperti Australia, dimana kekekeringan dan kemarau sering merusak hasil pertanian di wilayah tertentu sehingga  perlu ada subsidi kepada daerah lain yang surplus kepada daerah yang minus. Kerjasama yang baik antar daerah otonom, ada daerah yang berperan sebagai otonom daerah penyangga, apalagi sejarah keberadaan Kabupaten  Kupang dan Kota Kupang memiliki keterkaitan historis yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.

            Gaya kepemimpinan yang dibutuhkan dalam era otonomi daerah, seperti di NTT membutuhkan model yang tepat dan bukan semata-mata perburuan kekuasaan untuk mendapatkan pengakuan status sosial. Upaya balas dendam karena tersalimi dan motif-motif lain yang terselubung. Kesejahteraan hanyala ilusi jika ada pergeseran spirit otonomi daerah yang hanya memburu keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan adanya pemerataan kesejahteraan.

            Rakyat dikibuli dengan kata-kata belas kasihan, namun kemudian ketika mendapatkan kekuasaan berbalik arah dan melakukan kebijakan yang berlainan. Sang pemimpin terecoki dengan mempertimbangkan besarnya APBN yang di alokasikan, sehingga mengabaikan esensi otonomi daerah yang demokratis. Mengabaikan kepemimpinan yang berdampak bagi semua wilayah, jangan hanya ingin memburu rente dan kepentingan para pemodal maka menggunakan sikap represif dengan kekerasan yang memanfaatkan sistem, demi kepentingan segelintir kroni. Keberadaan rakyat tidaklah penting dalam lingkaran elit, rakyat dikesampingkan hanya di butuhkan ketika jelang pilkada. Dimana dukungan rakyat dianggap sebagai “vox argentum” atau suara recehan, dimana dengan selembar mata uang  maka mata rakyat membiru dan dengan muda memberikan suaranya.

*Mahasiswa ilmu Politik – FISIP - UI
             
            
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar