“OTOKRASI WALIKOTA,
DALAM SPIRIT OTONOMI DAERAH”
*Yoyarib Mau
Keterpilihan Jonas
Salean seiring dengan masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memilih
kepala daerahnya melalui jalur Pemilukada (Pemilihan Langsung Kepala Daerah),
Jonas Salean yang memilih jalur independent untuk menggapai jabatan walikota
dikarenakan kebosanan warga terhadap partai politik yang bermental korup dan
sangat oligarkis.
Keterpilihan Jonas Salean yang
berpasangan dengan Herman Man menjadi tumpuan bagi masyarakat Kota Kupang untuk
mendapatkan pelayanan yang mensejahterakan, karena menganggap Jonas Salean
sebagai korban yang tersalimi pada pemilukada sebelumnya yang dimenangi oleh
Pasangan Daniel Adoe dan Daniel Hurek. Keadaan tersalimi ini kemudian di
manfaatkan oleh Jonas Salean bukan untuk membalas dendam dengan menebar
kebencian atau kampanye hitam (black campaign).
Jonas Salean melakukan politik
silturahmi dengan mengunjungi sejumlah masyarakat yang melakukan hajatan
pernikahan atau mengalami kematian, melakukan kunjungan dan membangun komitment
serta kesepakatan dengan paguyupan etnies seperti Persatuan Atoin Meto (POT)
dan etnies lainnya, yang juga dikunjungi adalah mereka yang tercancam dan
terpinggirkan dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Seperti yang dilakukan
Jonas Salean dengan warga Kolhua dimana sebelum terpilih Jonas berjanji dan
menjamin bahwa bendungan Kolhua tidak
akan di bangun.
Kemampuan konsolidasi kekuatan dan
isu kampanye yang baik akhirnya kemenangan diraih oleh pasangan Jonas Saelan -
Herman Man. Konsolidasi membangun kekuatan dukungan tentunya tidak mudah karena
jalur independent selalu mengalami kesulitan yang sangat besar yakni tidak
memiliki infrastruktur partai dan juga tidak memiliki pendanaan yang cukup
untuk membiayai kampanye serta permintaan-permintaan jangka pendek yang
insidentil ketika silaturahmi itu dilakukan seperti perbaikan jalan lingkungan,
perbaikan rumah ibadah, bingkisan dan bantuan seadannya bagi korban kecelakan
atau keluarga yang berduka.
Keadaan Paket Jonas-Herman secara
kasat mata tidak akan mungkin melawan pasangan calon lain seperti Jaffray Riwu
Kore, Paul Liyanto dan yang lainnya, yang memiliki kemampuan financial yang
kuat. Modal sosial yakni Kesederhanaan dan setingan performance rendah hati
yang digunakan mampu memukau warga kota untuk memilih pasangan Jonas-Herman.
Ketika saat ini dalam posisi jabatan
sebagai walikota Kupang, dalam menjalankan manajemen pemerintahan berupa
produktivitas dan daya kerja pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Modal sosial yang menjadi modal kemenangan Jonas yakni
kesederhanaan dan rendah hati sepertinya, ibarat jarum jam yang berputar terbalik melawan
arah, yang terkesan arogan dan memaksa.
Hal ini terlihat sejak rencana pembangunan bendungan Kolhua, dimana masyarakat Kolhua yang menolak rencana
pembangunan tersebut mendapatkan ancaman bahwa Jonas akan menggunakan
pendekatan kekerasan untuk mewujudkan pembangunan bendungan Kolhua. Pada kasus yang berbeda
menyangkut PDAM Jonas Salean berkeras dan akan menggunakan kekerasan untuk
mengambil alih pengelolaan PDAM yang saat ini dikelola oleh Pemkab Kupang.
Perilaku yang dilakukan oleh Jonas Salean saat konsolidasi dan kampanye
sangat berbeda dengan apa yang dilakukan saat ini ketika menjalankan manajemen
pemerintahannya. Sehingga hadir pernyataan untuk diteropong, Apakah gaya kepemimpinan seseorang akan
berubah ketika ada dalam kekuasaan, serta apa faktor penyebab berubahnya gaya
kepemimpinan itu ?
Otokrasi Orde Baru
Sikap yang dilakukan oleh Jonas
Salean terlihat sebagai budaya orde baru dalam menjalankan pemerintahan, dimana
pola indoktrinasi yang dilakukan oleh rezim Soeharto bahwa pendapat yang benar
adalah adalah pendapat resmi pemerintah, setiap perbedaan dari pikiran resmi,
apalagi bertentangan, adalah penyelewengan yang harus di tumpas sampai ke
akar-akarnya (Ajib Rosidi – Pustaka Jaya
– 2006). Resmi yang di pahami disini adalah apa yang dikehendaki oleh pemimpin,
yang biasanya di kenal dengan sebutan otokrasi yakni pemerintahan yang di
dalamnya seluruh kekuasaan politik yang sepenuhnya dikendalikan oleh satu orang
dengan tidak mengindahkan pengawasan publik.
Jika model ini yang dilakukan oleh
Jonas Salean maka ada kecenderungan kuat bahwa Jonas Salean adalah sisa rezim
orde baru yang memiliki kecenderungan kuat untuk menjalankan ideologi
Thatcherisme dimana dalam kebijakannya selalu di perkuat dengan polisi dan pol
pp-nya. Ideologi Thatcherisme dan doktrin rezim orde baru telah tumbang oleh
reformasi 1998 dimana spirit demokrasi yang mewarnai semua sistem pemerintahan
dimana adanya keterbukaan pengelolaan kekuasaan dan keterlibatan publik
pengambilan keputusan.
Otonomi Daerah Berdimensi
Merata
Dimensi otonomi daerah tidak
semata-mata adalah meningkatkan ekonomi masyarakat yang mengakibatkan minimnya
kerja sama dan komunikasi antar daerah -pemerintahan lokal, sebagaimana yang
dialami oleh Kota Kupang dan Kab.Kupang soal PDAM, dan soal usul solusi
pemindahan pembangunan bendungan Kolhua ke kabupaten lain agar APBN itu dapat
terserap di NTT. Memang otonomi daerah membuat setiap kabupaten harus
bertanggung jawab atas daerahnya sendiri, akan tetapi tidak semua daerah punya
kemampuan untuk menanggung sendiri kebutuhan di kawasannya.
Kondisi lain yang harus di
pertimbangkan oleh Kota Kupang dan Kabupaten Kupang yang apabila di hubungkan
dengan teori Alfred Wallace yang kita kenal dengan sebutan “garis Wallace
(Wallace Line)” yang memisahkan flora dan fauna di NTT dimana ada wilayah yang
subur Asia dan ada yang memiliki kemiripan daaerah kering seperti Australia, dimana kekekeringan dan
kemarau sering merusak hasil pertanian di wilayah tertentu sehingga perlu ada subsidi kepada daerah lain yang
surplus kepada daerah yang minus. Kerjasama yang baik antar daerah otonom, ada
daerah yang berperan sebagai otonom daerah penyangga, apalagi sejarah
keberadaan Kabupaten Kupang dan Kota
Kupang memiliki keterkaitan historis yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Gaya kepemimpinan yang dibutuhkan
dalam era otonomi daerah, seperti di NTT membutuhkan model yang tepat dan bukan
semata-mata perburuan kekuasaan untuk mendapatkan pengakuan status sosial.
Upaya balas dendam karena tersalimi dan motif-motif lain yang terselubung.
Kesejahteraan hanyala ilusi jika ada pergeseran spirit otonomi daerah yang
hanya memburu keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan adanya pemerataan
kesejahteraan.
Rakyat dikibuli dengan kata-kata
belas kasihan, namun kemudian ketika mendapatkan kekuasaan berbalik arah dan
melakukan kebijakan yang berlainan. Sang pemimpin terecoki dengan
mempertimbangkan besarnya APBN yang di alokasikan, sehingga mengabaikan esensi
otonomi daerah yang demokratis. Mengabaikan kepemimpinan yang berdampak bagi semua
wilayah, jangan hanya ingin memburu rente dan kepentingan para pemodal maka
menggunakan sikap represif dengan kekerasan yang memanfaatkan sistem, demi
kepentingan segelintir kroni. Keberadaan rakyat tidaklah penting dalam
lingkaran elit, rakyat dikesampingkan hanya di butuhkan ketika jelang pilkada.
Dimana dukungan rakyat dianggap sebagai “vox
argentum” atau suara recehan, dimana dengan selembar mata uang maka mata rakyat membiru dan dengan muda
memberikan suaranya.
*Mahasiswa ilmu Politik
– FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar