“GOLKAR PENYEBAB UTAMA RONTOKNYA AKIL
MUCHTAR”
*Yoyarib
Mau
Proyek
bernegara dijalankan dalam sebuah narasi besar yang namanya demokrasi. Dalam
menjalankan negara dengan narasi
demokrasi maka dalam kontrak sosial yang ditawarkan oleh oleh para filsuf untuk
menjamin hak-hak politik masyarakat yang kemudian kita kenal dengan sebutan
trias politika.
Gagasan trias politik, yakni
yudikatif, eksekutif dan legislatif hadir
akibat revolusi Prancis yang telah menumbangkan kerajaan yang mengamputasi hak
dan kebebasan rakyat. Waktu itu kekuasaan semata-mata hanya dikendalikan dan
dinikmati oleh lingkaran kerajaan Perancis saja. Gagasan trias politika diadopsi
oleh Indonesia, bahkan keberadaan trias politika yang seharusnya menciptakan
kesejahteraan bagi rakyat, berubah wujud menjadi trias koruptika yang membangun
kartel untuk memangsa, perilaku kartel politik yang dijalankan oleh ketiga
lembaga ini terlihat jelas dalam peristiwa
tertangkap tangannya Akil Mochtar.
Kartel trias koruptika ini terlihat
jelas dalam memainkan perannya. Dalam dua (2) kasus suap pilkada yang terungkap
saat Akil Muchtar tertangkap tangan, Kasus Pemilihan Bupati Gunung Mas; eksekutif
direpresentasikan oleh pihak Bupati Gunung Mas - Hambit Bintih yang
memanfaatkan pengusaha untuk menyiapkan uang, Chairun Nisa merepresentasikan
legislatif, karena sebagai anggota DPR-RI dari Partai Golkar. Chairun Nisa seorang ligislator di Komisi
VIII DPR-RI membidangi kesejahteraan
sosial dan agama, berperan sebagai perantara. Sudah sejak pemilu 1997 dirinya
sebagai legislator, bahkan saat ini tercatat sebagai calon legislatif pada
pemilu 2014 dari daerah pemilihan Kalimantan Tengah Nomor Urut 1. Kepentingan
Hambit Bintih sebagai eksekutif di jembatani oleh legislator yang diperankan
oleh Chairun Nisa untuk mempertemukan kepentingan eksekutif tersebut dengan pihak yudikatif dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi yang direpresentatiskan oleh Akil Mochtar.
Kasus yang sama yang motif dan
operandi yang sama dilakukan Akil Muchtar menyangkut soal Pemilihan Bupati Lebak.
Amir Hamzah Bupati Lebak incumbent yang adalah legislatif yang bertarung di
pilkada dan sebagai pemenang suara terbanyak ke dua, yang mengugat ke MK memanfaatkan
keberadaan jaringan sesama eksekutif yakni Tubagus Chaeri Wardhana yang adalah
adik kandung Gubernut Banten Ratu Atut Chosiyah dan juga adalah suami dari
Walikota Tangerang Selatan Airin Rachma Diany. Daerah Banten adalah daerah yang
hampir semua kepala daerahnya di pimpin oleh keluarga Gubernur Banten, sebagai
daerah basis Golkar yang tentunya memiliki kader legislatif di parlement, namun
dalam kasus di pilkada Lebak – Banten ini, legislatif tidak banyak dilibatkan
tetapi kedekatan secara emosional sebagai kader dan basis Golkar tentunya
mendorong peran serta para petinggi
Golkar yang kemungkinan ada dalam lembaga legislatif untuk memfasilitasi
kepentingan eksekutif lokal untuk dapat berhubungan dengan yudikatif dalam hal
ini Akil Muchtar sebagai salah satu penentu dalam setiap keputusan sengketa
pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Kartel Politik yang dibangun dengan
memanfaatkan sentiment emosional kepartaian ini membuat sistem pemerintahan
kita mengalami “rontokrasi” karena pilar-pilar demokrasi yang diharapkan
peran mereka yang independent, ternyata tidak memberikan kinerja yang sangat
mengecewakan. Kondisi ini menghadirkan pertanyaan. Bagaimana membangun sistem pemerintahan kita yang baik, guna
menciptakan situasi negara yang diharapkan oleh para pendiri bangsa kita yang
dirangkum dalam pembukaan UUD 1945 ?
Kontrak sosial yang di bangun oleh
masyarakat dengan memberikan mandat kepada tiga lembaga negara ini, untuk
bekerja sama dan saling mengontrol demi menghasilkan sebuah kehidupan yang
mensejahterakan, yakni terciptanya kehidupan yang adil dan makmur. Kenyataannya
lembaga-lembaga trias politika ini membangun kartel dengan sebuah tujuan. Menurut
Kuskrido Ambardi; membangun kartel adalah kepentingan partai politik untuk
menjaga kelangsungan hidup partai politik. Karena kelangsungan hidup mereka
adalah bagaimana menjaga kekuasaan kepala daerah untuk mendapatkan sumber
keuangan. Sumber keuangan ini bukan alokasi resmi negara kepada partai politik,
melainkan uang pemerintah yang didapatkan oleh partai politik melalui perburuan
rente. Aktivitas ini hanya akan mungkin jika memiliki akses dalam jabatan
pemerintahan dan parlemen ( Kuskrido Ambardi – 2009).
Golkar Penguak Tabir
Kartel
Dalam kasus yang menimpa Akil Muchtar dengan dua kasus pemilihan bupati
ini, menunujukan dengan jelas bagaimana peranan Partai Golkar. Akil Muchtar
adalah Ketua Mahkamah Konstitusi yang adalah mantan kader Golkar yang pernah
menjadi anggota DPR RI selama dua periode yakni 1999-2004 dan 2004-2009.
Kemudian memilih menjadi Hakim Konstitusi sejak 2008-2013, kemudian terpilih
menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi pada 2013-2016.
Sejatinya keberadaan diri Akil
Muchtar sebagai Hakim Konstitusi sudah seharusnsya berperan sebagai penegak
konstitusi dengan pendirian teguh demi kedamian dan kesejahteraan negara,
dimana berperan sebagai negarawan yang telah di ambil sumpah. Karakter
negarawan tidak tampak dalam diri Akil Muchtar yang tampak adalah karakter
politik rezim orde baru dengan bawaan spesifik yang bergantung penuh pada
lembaga atau organisasi dengan tujuan utama yang dikejar adalah mempertahankan
kekuasaan dengan memaksimalkan energi politik dan hukum.
Karakter khas rezim orde baru adalah
mengoperasikan kekuatan ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan, hal ini yang kembali dibangun oleh rezim ARB di tubuh
Golkar. Golkar menyadari bahwa keberadaan mereka bukanlah “the rulling party” yang
bisa mendapatkan sumber-sumber tambahan bagi partai, melalui kekuasaan yang
dikendalikan pada tingkat pusat seperti Kementerian atau BUMN. Peluang untuk
mendapatkan keuntungan pada tingkatan provinsi tidak tercapai, karena dalam
beberapa pilkada pada tingkat provinsi Golkar mengalami kekalahan secara telak.
Partai Politik Harus
Tau Diri
Era otonomi daerah dengan pola
disentralisasi dimana memberikan peluang kekuasaan itu berada di tingkat kabupaten
dan kota. Keadaan ini memaksa Golkar hendak merebut kemenangan, demi
mempertahankan kekuasaan serta keberlangsungan Partai Golkar. Perjuangan dalam
setiap pilkada dimaksimalkan hingga Mahkamah Konstitusi. Maka sering menghalalkan
segala cara untuk merebut kekuasaan. Tidak menaifkan bahwa partai lainpun
melakukan hal yang sama. Ada keterkaitan yang saling menguntungkan, dan
keberadaan legislatif di DPR-RI sangat berperan penting dalam persoalan ini,
dimana mereka memiliki kedekatan dengan para elite penentu kebijakan, seperti
keberadaan Akil Muchtar sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi tentunya mengenal
mereka sebagai sesama anggota DPR dari Partai Golkar.
Pengendalian pilkada kabupaten/kota
oleh sejumlah anggota legislatif dan melibatkan penegak hukum yakni yudikatif
dipaksa untuk terlibat dalam konsolidasi kemenangan partai politik ini juga
bertujuan agar eksekutif yang terpilih bertanggung jawab untuk mengarahkan
rakyat di wilayah kekuasaannya untuk memilih legislator yang telah berperan
sebagai perantara di Mahkamah Konstitusi.
Keberadaan yudikatif sebagai lembaga
pemerintahan setara dengan dengan eksekutif dan legislatif, keberadaan mereka
adalah menjalankan fungsi kenegaran tanpa harus membangun kartel demi
kepentingan partai politik tertentu. Independensi lembaga-lembaga pemerintahan
ini tidak harus dikecilkan bahkan direndahkan martabatnya oleh peran partai politik. Partai politik
keberadaannya hanya sebatas membangun komunikasi dengan lembaga legislatif
memberikan pemikiran dan masukan bagi legislatif.
*Mahasiswa Ilmu Politik
– FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar