“POLITIK RASA IBA”
*Yoyarib Mau
Pasangan
kandidat SBY – Boediono yang memperoleh suara pemilih berkisar 50%
lebih dalam pemilu President RI pada rabu, 08 Juli 2009 , hasil yang
diperoleh terpaut jauh dari dua pasangan kandidat lainnya. Walaupun ada
banyak kelemahan dalam pemilu President tahun terkait DPT (Daftar
Pemilih Tetap), namun proses pemilihan dapat berjalan lancar tanpa ada
kekacauan.
Indonesia memilih President yang kedua kalinya
secara langsung pasca reformasi 1998, kali ke dua ini mampu menunjukan
kepada dunia bahwa Indonesia telah menjadi salah satu negara Asia yang
telah memajukan demokrasi. Demokrasi hingga saat ini diyakini oleh
sebagian negara sebagai salah satu konsep terbaik untuk mensejahterakan
rakyat.
Dalam proses menuju kekuasaan ada tahapan-tahapan
yang dilalui oleh para pasangan untuk bisa menarik simpati masyarakat.
Tahapan awal melalui pemilu legislative bagi partai politik untuk
mencapai 20% sebagai syarat untuk mencalonkan President, dan tahapan
yang menarik dan menyita banyak energi yakni pendeknya masa kampanye
yang hanya berlangsung sebulan, menarik adalah dalam kampanye pemilu
president tahun ini model kampanye dilakukan dengan debat terbuka yang
di pandu oleh para akademisi dan professional yang berkompeten serta
disiarkan langsung melalui media massa.
Para kandidat
capres atau cawapres dapat memaparkan visi, misi, serta program kerja
apabila terpilih nanti, dan para kandidat bisa saling menyanggah dan
memperdebatkan pemaparan yang di sampaikan kandidat lain yang dipandu
oleh moderator semuanya sangat demokratis, dalam perdebatan tersebut ada
kandidat yang saling menuding dan menyudutkan namun mengakhirinya
dengan jabatan tangan seraya memaafkan.
Rakyat dapat
menyaksikan secara langsung dan memberikan dukungan bagi kandidat yang
didukungnya bahkan menaru rasa simpati dan rasa iba bagi kandidat yang
didukungnya, pasangan kandidat yang paling banyak di pojokan adalah
incumbent Susilo Bambang Yudoyono, kedua pasangan kandidat yang
menyerang SBY-Boediono yakni Megawati-Prabowo dan M. Jusuf
Kalla-Wiranto, bahkan sejak Pemilu legislative Megawati sudah menyerang
SBY dengan program BLT-nya sedangkan JK mengkritisi SBY yang terkadang
lamban dalam memutuskan sebuah keputusan harus melalui rapat
berkali-kali dengan cabinet.
Pemojokan tidak hanya
dilakukan terhadap SBY tetapi cawapres Boediono juga mendapatkan
bagiannya dengan menstigmanya sebagai kaki tangan asing yang akan
menerapkan mashab ekonomi neoliberal, dan yang tak luput adalah
Istri-istri pasangan kandidat, istri SBY diberitakan tidak berkerudung
jadi tidak pantas menjadi Ibu negara sedangkan Istri Boediono diisukan
sebagai seorang penganut Katolik, dan Boediono sendiri adalah penganut
Kejawen, isu-isu ini ditujukan bagi pasangan ini tetapi isu-isu ini
dilabelkan bagi pasangan ini.
Menjelang dua hari sebelum
pemilu president kedua kandidat pasangan dengan nomor urut satu (1) dan
tiga (3) melakukan konferensi pers dan mengancam akan melakukan boikot
dengan tidak menyertakan diri dalam pemilu president jika tidak ada
pengumuman dari KPU mengenai Daftar Pemilu Tetap (DPT) secara
transparan, tindakan ini membuat resah kandidat incumbent.
Pemojokan
dan isu-isu yang menyudutkan, menyalahkan kandidat lain menjadi
keuntungan bagi kandidat yang mengalami hal tesebut, bagi rakyat hal ini
mengurangi rasa simpati bagi incumbent tetapi bagi kelompok masyarakat
tertentu yang tidak setuju dengan memojokan atau sering dibahasakan
menzalimi orang lain, rakyat melihat hal ini tidak baik karena membangun
permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia.
Kemampuan untuk membangun citra dengan kondisi ini membuat keuntungan
tersendiri bagi para petarung.
Ketika Korupsi menerpa
kader-kader Partai Demokrat yang dilakukan secara berjamaah terstruktur
maupun pribadi membuat sang SBY gusar, Nazarudin yang menjadi kambing
hitam dalam kasus proyek Wisma Atlet Sea Games XVI, mengapa jadi kambing
hitam karena korupsi itu dilakukan di kementrian yang nota bene Menteri
Andi Malarangeng adalah Pengurus Partai Demokrat menutup mata tanpa
mengetahui bawahannya melakukan deal-deal proyek dengan perusahaan yang
dikendalikan oleh Nazarudin. Ansaman pun diterima Nazarudin hal ini
diakui oleh Nazarudin yang mengaku diancam akan dibunuh agar tidak lagi
membongkar keterlibatan elit Partai Demokrat (PD) dalam kasus suap di
Kementerian Pemuda dan Olahraga dan korupsi terkait PT Anugerah
Nusantara (www.detiknews.com kamis, 07/07/2011).
Waktu
kasus ini terkuak ke permukaan semua berusaha membela Nazarudin dengan
menyerahkan kepada Tim Pencari Fakta yang dibentuk oleh internal Partai
Demokrat tanpa hasil yang dipublikasikan, tarik menarik antar faksi pun
tercipta di tingakt kepengurusan pengurus pusat kemudian berujung dengan
pencopotan Nazarudin dari jabatan Bendahara Umum Partai Demokrat, namun
ketika nama-nama petinggi demokrat diungkit ke permukaan akan
keterlibatan mereka makahal yang sama juga diungkapkan oleh Mustofa
Nahrawardaya. "Soalnya Nazar tahu banyak soal aliran uang di PD, dan
kini terus meniupkan terompet tentang aliran dana haram ke sejumlah elit
PD. Apalagi sekarang sudah menyentuh petinggi Polri," kata Koordinator
Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) (www.detiknews.com kamis 07/07/2011).
Isu
ini membuat geram para petinggi partai democrat termasuk SBY
memerintahkan untuk penangkapan terhadap Nazarudin dilakukan sedangkan
koruptor lain yang melarikan diri seperti Nunun Nurbaitie tidak
dilakukan perintah keseluruhan untuk semua koruptor dan hanya Nazarudin
yang disebutkan, apakah hanya karena ketakutan akan aib petinggi
Demokrat di publikasikan kepublik sehingga mereka merasa terpojok di
zalimi sehingga perintah tegas dengan alasan kepentingan negara ?
Menjadi pertanyaan yang menarik adalah “apakah budaya politik rasa iba menjadi pola yang tepat dalam perpolitikan Indonesia?,
jawaban yang dapat diberikan sangat paradoksal karena dalam konteks
tertentu hal ini dapat dibenarkan, tetapi pada kontkes tertentu
pertanyaan ini tidak relevan. Sejarah memberikan referensi bahwa
kemenangan PDI-P dalam pemilu 1999 pasca orde baru karena figure
Megawati sebagai putri proklamator Bung Karno. President I yang saat
berkuasa di puja masyarakat tetapi kemudian dimusihi bahkan
disingkirkan, dikucilkan oleh rezim orde Baru, puncak nya pada tragedy
27 Juli 1996 dimana intervensi penguasa saat itu.
Inisiatif
Peristiwa dan perilaku ini memupuk rasa simpati terhadap Megawati, hal
ini membuat rakyat menaruh rasa prihatin dan rasa ibanya pada pemilu 26
Juli 1999 PDI-P memenangi Pemilu legislatif dengan perolehan suara
mencapai 35.689.073 suara atau 33,76 % (Kompas, 29 Juni 2009).
SBY
dalam perjalanan karier politiknya hampir memiliki kemiripan yakni
mengalami kemelut politik karena merasa tidak dipercaya lagi pada masa
kepemimpinan Megawati, sehingga membuatnya mengundurkan diri dari Menko
Polkam, keputusan ini membuat rakyat merasa kasihan dan menaruh rasa iba
terhadap SBY. Momentum ini membuat SBY berinisiatif bersama-sama
teman-temannya membidani lahirnya Partai Demokrat, dan Pengunduran diri
SBY dan maju bersama JK sebagai Cawapres membuat Megawati geram dn
menyindir mereka sebagai “bajing loncat” membuat rasa simpati rakyat
terhadap dirinya kemudian pasangan ini memiliki suara terbanyak pertama
pada putaran pertama dan pada putaran kedua menang dengan perolehan
suara 78,22 % mengungguli pasangan Mega-Hasyim.
Budaya
politik dapat diambil dari fakta-fakta yang dialami bahkan tanpa sadar
dilakoni oleh politisi, hal ini dianalisa dianggap sebagai sesuatu yang
ideal dan dapat di terapkan dalam perilaku politik (political
behavioral) James Bryce mengungkapkan bahwa; ”terdapat ketetapan dan
keseragaman pada berbagai kecenderungan dalam sifat manusia, yang
memungkinkan kita beranggapan bahwa tindakan seseorang pada suatu saat
selalu dikarenakan oleh sebab-sebab yang sama, yang telah pula
menentukan tindakan-tindakan mereka pada waktu sebelumnya” (SP.
Varma 2007) pemikiran ini jika di kaitkan dengan fakta-fakta yang
dialami oleh para President terpilih maka ada kecenderungan yang dapat
dijadikan salah satu alasan keterpilihan president ditentukan oleh rasa
iba atau rasa simpati rakyat karena diri salah satu kandidat dizalimi
atau di pojokan.
Sifat ini dapat dijadikan salah satu
dalil politik bahwa menempatkan diri sebagai korban yang dizalimi atau
dikucilkan oleh lawan politik dapat menguntungkan bagi diri yakni
menarik rasa simpati atau rasa iba dari rakyat. Dan ini menjadi selera
atau keinginan rakyat, pasca pemilu president 2009, Andrinof Chaniago
menuturkan bahwa “dalam memilih rakyat menempatkan porsi kepribadian
calon lebih besar ketimbang soal kemampuan calon, dengan 80 % pemilih
berpendidikan SLTP ke bawah, pilihan lebih ditentukan oleh factor selera”
(Kompas 9 Juli 2009). Jika dikaitkan dengan proses menuju pemilihan
president yang kita lalui saat ini maka dapat di benarkan bahwa
perolehan suara yang di peroleh SBY- Boediono, pemojokan terhadap
kepribadian yang dimiliki oleh pasangan kandidat nomor urut 2 (dua)
yang selalu disudutkan, hal ini pulalah yang mampu dicitrakan pada diri
pasangan kandidat yang memperoleh suara terbanyak.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa sifat manusia Indonesia, memiliki salah satu
kecenderungan politik untuk memilih adalah memilih karena rasa iba atau
simpati terhadap kandidat tertentu yang mengalami pemojokan atau
disudutkan dan bukan karena memilih berdasarkan kemampuan calon.
Sikap
SBY yang mencoba bersikap tegas dengan memerintahkan penangkapan
terhadap Nazarudin walaupun sangat diskriminatif karena ada sejumlah
nama yang terlibat korupsi dan melarikan diri tidak diperintahkan untuk
penangkapan, sikap ini diambil untuk kembali merebut hati rakyat atau
memelas hati rakyat untuk memiliki rasa iba kepada dirinya yang telah
berkeras untuk melakukan penangkapan terhadap dirinya. Padahal jika
dirunut dari setiap sikap politik yang dilakukan sebelumnya hampir
memiliki motif yang sama yakni di saat diri dan kepentingan kelompok
terancam dan terpojok maka SBY bersuara.
Padahal jika
ditilik dengan seksama perintah ini sebenarnya lebih pada kepentingan
pribadi dan kepentingan partai demokrat dalam penegakan citranya dalam
menghadapi pemilu 2014 dan bukan semata-mata untuk kepeduliaan terhadap
rakyat, karena sikap tebang pilih dalam penyelesaian kasus korupsi di
tanah air ini….
*Pemerhati Sosial-Politik