Selasa, 28 Juli 2015

"TOLIKARA DALAM KEKANG TIRANI MAYORITAS"

“Tolikara Dalam Kekang Tirani Mayoritas”
*Yoyarib Mau

Peristiwa Tolikara menyita perhatian semua anak bangsa, dengan berbagai sikap ada kelompok masyarakat melakukan konferensi pers untuk menyatakan sikap prihatin, ada yang mengatakan mengutuk peristiwa Tolikara, Pemerintah segera melakukan tindakan dengan mengunjungi Tolikara, Partai politik dalam hal ini PPP menggalang dana dan menyumbang untuk perbaikan rumah dan kios yaang terbakar serta memberi sumbangan khusus agar Mushola yang ikut terbakar dapat ditingkatkan menjadi Masjid, Di tempat lain di Yogyakarta ada kelompok yang mengatasnamakan agama melakukan tindakan pembalasan dengan membakar gereja, sedangkan di Solo ada ormas yang melakukan aksi balasan dengan melakukan demonstrasi tekanan balasan dan menutup tempat ibadah GIDI.

Tidak hanya umpataan, makian, debat kusir di media sosial juga sangat terasa karena saling menyerang dengan argumentasi serta tekanan psikis, semua kelompok membuli Tolikara seolah-olah peristiwa Tolikara ini adalah bencana besar yang tidak boleh terjadi, dikarenakan hal ini menciderai sejarah kehidupan beragama di tanah air, namun kondisi ini seolah-olah semua kelompok lupa ada sejarah kelam konflik antar umat beragama yang menelan korban jiwa dan harta, bahkan menggantung tanpa solusi, siapa yang bertanggung jawab, serta membiarkan hal ini sebagai sebuah resiko beragama yang selalu saja dinikmati sebagaimana ungkapan pepatah bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.  

Kelompok Jemaah Ahmadiyyah korban konflik keagaamaan sebagaimana yang dialami oleh Jemaah Ahmadiyyah Cikeusik Pandeglang Banten pada 06 februari 2011 yang menewaskan 3 orang serta korban materi, dan berakhir dengan ketidakpastian karena mengalami pengusiran dari habit kesehariannya. Berikut kekerasan terhadap warga syiah di Sampang – Madura, Jawa Timur. Kekerasan keagamaan ini belum menuai titik terang korban diungsikan dari kesehariannya serta berada di pengungsian penampungan Sidoarjo tanpa kepastian kepemilikan atas aset pribadinya, sebelumnya di tampung di Gedung Olah Raga Sampang kemudian mengalami pemindahan ke Rusunawa yang jauh dari sumber kehidupan mereka.

Penutupan GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi yang hanya berjarak ratusan meter dari istana negara mengalami hal yang sama, sehingga dalam 5 tahun terakhir ini mereka memilih beribadah di depan istana presiden. Karena belum mendapatkan kepastian tempat untuk beribadah tetap, mereka tercabut dari akar keseharian mereka hanya karena aturan soal SKB 2 (dua) Menteri soal mendapatkan tanda tangan kesepakatan warga setempat untuk pendirian rumah ibadah, serta persoalan IMB dari pemda setempat untuk membangun. Dari rentetan peristiwa yang terjadi di tanah air, justru yang mendapatkan simpati dan penyelesaian yang begitu cepat adalah Tolikara, bukan Cikeusik, bukang juga Sampang, apalagi Bogor dan Bekasi. Ketua Umum PPP versi Munas Jakarta Djan Faridz menjanjikan akan membantu korban Tolikara untuk membangun kembali kios-kios dan rumah yang terbakar bahkan Djan Faridz menjanjikan akan membangun kembali Musholla yang turut terbakar karena berdekatan dengan kios-kios yang dibakar menjadi Masjid.

Menjadi pertanyaan untuk kita diskusikan adalah apakah kehadiran negara atau bangsa hanya sebatas agama yang diakui secara resmi ? selanjutnya mungkinkah keberpihakan negara atau bangsa hanya akan melayani kepentingan mayoritas atau  tuntutan jumlah suara terbanyak ? Teori Hegel soal negara dan civil society dalam pandangannya yang memberi posisi unggul terhadap negara. Bagi Hegel civil society adalah realm dari individu, yang memiliki kepentingan, hak pribadi dan egoismenya. Sebagai kontrasnya, negara membawa misi rakyat, melindungi kepentingan umum, dan melayani kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu civil society harus tunduk pada negara, karena negara melaksanakan kebaikan bagi seluruh rakyat. Sementara civil society hanya berhubungan dengan beberapa kepentingan  pribadi dari anggotannya. Civil society akan membawa negara ke banyak arah yang berbeda (Luthfi J. Kurniawan dan Hesti Puspitosari – Intrans Publishing – 2012)

Civil Society atau bentuk lain dari kelompok kepentingan yang membentuk diri dalam organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi kepemudaaan (OKP), atau lembaga-lembaga dengan aspek perjuangan ekonomi dan non ekonomi, dalam konten tulisan ini yakni kelompok kepentingan non-ekonomi memberikan gambaran secara jelas bahwa kelompok kepentingan yang turut berperan dalam setiap peristiwa konflik keagamaan adalah ormas-ormas keagamaan sudah tidak menjadi rahasia umum, bahwa ada organisasi yang mengatasnamakan agama yang selalu melakukan tekanan kepada negara untuk memihak, bahkan menuruti apa keinginan mereka. Pada mulannya kelompok kepentingan agama ini bergerak dalam pengembangan nilai-nilai moral dan sosial keagamaan, namun pasca orde baru kelompok keagaamaan ini atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat terjadi bias dari orientasi kelompok kepentingan agama. Bahkan ormas keagamaan ini tampil dengan performance seperti militer (para militer) memiliki seragam ala militer dengan bebas membawa senjata atau perlengkapan yang dapat digunakan untuk melakukan tindak kekerasan.

Kelompok kepentingan yang berbasiskan agama memiliki kemampuan untuk menekan para politisi dengan ancaman, bahkan melakukan agitasi serta menggalang dukungan dari masyarakat dengan sentimen agama, untuk menekan negara bahkan menggiring negara guna menetapkan kebijakan yang diskriminatif bagi kelompok-kelompok agama yang sedikit jumlahnya di sebuah wilayah kekuasaan baik pada tingakatan kota/kabupaten atau provinsi. Kekuatan kelompok kepentingan ini selalu saja menjadikan basis keagamaan untuk menggalang kekuatan dalam dukungan Pilkada, atau Pileg. Kekuatan ini mampu melakukan transaski dukungan dengan kesepakatan dimana ada kebijakan untuk menciptakan diskriminasi atau penekanan kepada kelompok tertentu dalam bentuk perda diskriminatif.

Kondisi ini yang kemudian membuat negara lemah, negara kehilangan arah tujuan berbangsa dan bernegara, jauh seperti yang diharapkan oleh Hegel yakni berkeinginan untuk mendemokratisasikan masyarakat supaya mendapat keadilan, kesejahteraan adil dan makmur. Apa yang diharapkan Hegel tertuang dalam dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945, yang menawarkan nilai-nilai berkebangsaan yakni menciptakan kemerdekaan, menciptakan keadilan, kemanusiaan yang beradab, sehingga tercipta kesejahteraan dan kesetaraan.

Tolikara bukan peristiwa yang dilihat terpisah, namun Tolikara adalah sebuah akibat dari perilaku lampau dimana pembiaran negara ditundukan oleh kelompok kepentingan tertentu (civil society), dengan misi yang mengabaikan kesempatan yang sama di wilayah mana saja semua memiliki hak yang sama untuk menjalankan kebebasan beribadah. Semua sepakat bahwa peristiwa Tolikara adalah peristiwa yang tidak perlu terjadi, namun perlu diingat bahwa hal ini adalah hasil “sebab-akibat” ketika di wilayah lain terjadi penekanan atau penutupan rumah ibadah terhadap kelompok agama lain dibiarkan tanpa ada penyelesaian. Kebijakan yang tidak merata, tidak adil serta terkesan memihak, akibat tekanan mayoritas membuat negara menjalankan kebijakan fleksibel atau menerapkan pasal karet berdasarkan kebutuhan wilayah dan pesanan sponsor.

Diperparah jika negara (aparat negara) dikendalikan oleh kebutuhan operasional yang didanai oleh kelompok kepentingan, akan menambah posisi tawar negara melemah. Pada akhirnya kasus seperti di Tolikara tidak akan terulang lagi dalam catatan sejarah kelam bangsa ini dalam hal konflik antar agama, apabila kelompok kepentingan yang atas dasar suara terbanyak atau mayoritas mampu dikendalaikan dalam peran negara yakni melaksanakan kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata tanpa sentimen primordial.

*Pemerhati Sosial – Politik (Tulisan ini sudah di muat di media lokal NTT Timor Express  (Jawa Pos Group) Pada tanggal 24 Juli 2015








Tidak ada komentar:

Posting Komentar