“Tolikara Dalam Kekang Tirani
Mayoritas”
*Yoyarib Mau
Peristiwa
Tolikara menyita perhatian semua anak bangsa, dengan berbagai sikap ada
kelompok masyarakat melakukan konferensi pers untuk menyatakan sikap prihatin,
ada yang mengatakan mengutuk peristiwa Tolikara, Pemerintah segera melakukan
tindakan dengan mengunjungi Tolikara, Partai politik dalam hal ini PPP
menggalang dana dan menyumbang untuk perbaikan rumah dan kios yaang terbakar
serta memberi sumbangan khusus agar Mushola yang ikut terbakar dapat
ditingkatkan menjadi Masjid, Di tempat lain di Yogyakarta ada kelompok yang mengatasnamakan agama melakukan tindakan
pembalasan dengan membakar gereja, sedangkan di Solo ada ormas yang melakukan
aksi balasan dengan melakukan demonstrasi tekanan balasan dan menutup tempat
ibadah GIDI.
Tidak
hanya umpataan, makian, debat kusir di media sosial juga sangat terasa karena
saling menyerang dengan argumentasi serta tekanan psikis, semua kelompok
membuli Tolikara seolah-olah peristiwa Tolikara ini adalah bencana besar yang
tidak boleh terjadi, dikarenakan hal ini menciderai sejarah kehidupan beragama
di tanah air, namun kondisi ini seolah-olah semua kelompok lupa ada sejarah
kelam konflik antar umat beragama yang menelan korban jiwa dan harta, bahkan
menggantung tanpa solusi, siapa yang bertanggung jawab, serta membiarkan hal
ini sebagai sebuah resiko beragama yang selalu saja dinikmati sebagaimana
ungkapan pepatah bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
Kelompok
Jemaah Ahmadiyyah korban konflik keagaamaan sebagaimana yang dialami oleh Jemaah
Ahmadiyyah Cikeusik Pandeglang Banten pada 06 februari 2011 yang menewaskan 3
orang serta korban materi, dan berakhir dengan ketidakpastian karena mengalami
pengusiran dari habit kesehariannya. Berikut kekerasan terhadap warga syiah di
Sampang – Madura, Jawa Timur. Kekerasan keagamaan ini belum menuai titik terang
korban diungsikan dari kesehariannya serta berada di pengungsian penampungan
Sidoarjo tanpa kepastian kepemilikan atas aset pribadinya, sebelumnya di
tampung di Gedung Olah Raga Sampang kemudian mengalami pemindahan ke Rusunawa
yang jauh dari sumber kehidupan mereka.
Penutupan
GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi yang hanya berjarak ratusan meter
dari istana negara mengalami hal yang sama, sehingga dalam 5 tahun terakhir ini
mereka memilih beribadah di depan istana presiden. Karena belum mendapatkan kepastian
tempat untuk beribadah tetap, mereka tercabut dari akar keseharian mereka hanya
karena aturan soal SKB 2 (dua) Menteri soal mendapatkan tanda tangan
kesepakatan warga setempat untuk pendirian rumah ibadah, serta persoalan IMB dari
pemda setempat untuk membangun. Dari rentetan peristiwa yang terjadi di tanah
air, justru yang mendapatkan simpati dan penyelesaian yang begitu cepat adalah
Tolikara, bukan Cikeusik, bukang juga Sampang, apalagi Bogor dan Bekasi. Ketua
Umum PPP versi Munas Jakarta Djan Faridz menjanjikan akan membantu korban
Tolikara untuk membangun kembali kios-kios dan rumah yang terbakar bahkan Djan
Faridz menjanjikan akan membangun kembali Musholla yang turut terbakar karena
berdekatan dengan kios-kios yang dibakar menjadi Masjid.
Menjadi
pertanyaan untuk kita diskusikan adalah apakah kehadiran negara atau bangsa
hanya sebatas agama yang diakui secara resmi ? selanjutnya mungkinkah
keberpihakan negara atau bangsa hanya akan melayani kepentingan mayoritas
atau tuntutan jumlah suara terbanyak ? Teori
Hegel soal negara dan civil society dalam pandangannya yang memberi posisi
unggul terhadap negara. Bagi Hegel civil society adalah realm dari individu,
yang memiliki kepentingan, hak pribadi dan egoismenya. Sebagai kontrasnya,
negara membawa misi rakyat, melindungi kepentingan umum, dan melayani
kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu civil society harus tunduk pada
negara, karena negara melaksanakan kebaikan bagi seluruh rakyat. Sementara
civil society hanya berhubungan dengan beberapa kepentingan pribadi dari anggotannya. Civil society akan
membawa negara ke banyak arah yang berbeda (Luthfi J. Kurniawan dan Hesti
Puspitosari – Intrans Publishing – 2012)
Civil
Society atau bentuk lain dari kelompok kepentingan yang membentuk diri dalam
organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi kepemudaaan (OKP), atau
lembaga-lembaga dengan aspek perjuangan ekonomi dan non ekonomi, dalam konten
tulisan ini yakni kelompok kepentingan non-ekonomi memberikan gambaran secara
jelas bahwa kelompok kepentingan yang turut berperan dalam setiap peristiwa
konflik keagamaan adalah ormas-ormas keagamaan sudah tidak menjadi rahasia
umum, bahwa ada organisasi yang mengatasnamakan agama yang selalu melakukan
tekanan kepada negara untuk memihak, bahkan menuruti apa keinginan mereka. Pada
mulannya kelompok kepentingan agama ini bergerak dalam pengembangan nilai-nilai
moral dan sosial keagamaan, namun pasca orde baru kelompok keagaamaan ini atas
nama demokrasi dan kebebasan berpendapat terjadi bias dari orientasi kelompok
kepentingan agama. Bahkan ormas keagamaan ini tampil dengan performance seperti
militer (para militer) memiliki seragam ala militer dengan bebas membawa
senjata atau perlengkapan yang dapat digunakan untuk melakukan tindak
kekerasan.
Kelompok
kepentingan yang berbasiskan agama memiliki kemampuan untuk menekan para
politisi dengan ancaman, bahkan melakukan agitasi serta menggalang dukungan dari
masyarakat dengan sentimen agama, untuk menekan negara bahkan menggiring negara
guna menetapkan kebijakan yang diskriminatif bagi kelompok-kelompok agama yang
sedikit jumlahnya di sebuah wilayah kekuasaan baik pada tingakatan
kota/kabupaten atau provinsi. Kekuatan kelompok kepentingan ini selalu saja
menjadikan basis keagamaan untuk menggalang kekuatan dalam dukungan Pilkada,
atau Pileg. Kekuatan ini mampu melakukan transaski dukungan dengan kesepakatan dimana
ada kebijakan untuk menciptakan diskriminasi atau penekanan kepada kelompok
tertentu dalam bentuk perda diskriminatif.
Kondisi
ini yang kemudian membuat negara lemah, negara kehilangan arah tujuan berbangsa
dan bernegara, jauh seperti yang diharapkan oleh Hegel yakni berkeinginan untuk
mendemokratisasikan masyarakat supaya mendapat keadilan, kesejahteraan adil dan
makmur. Apa yang diharapkan Hegel tertuang dalam dasar negara Pancasila dan konstitusi
UUD 1945, yang menawarkan nilai-nilai berkebangsaan yakni menciptakan
kemerdekaan, menciptakan keadilan, kemanusiaan yang beradab, sehingga tercipta
kesejahteraan dan kesetaraan.
Tolikara
bukan peristiwa yang dilihat terpisah, namun Tolikara adalah sebuah akibat dari
perilaku lampau dimana pembiaran negara ditundukan oleh kelompok kepentingan
tertentu (civil society), dengan misi yang mengabaikan kesempatan yang sama di
wilayah mana saja semua memiliki hak yang sama untuk menjalankan kebebasan
beribadah. Semua sepakat bahwa peristiwa Tolikara adalah peristiwa yang tidak
perlu terjadi, namun perlu diingat bahwa hal ini adalah hasil “sebab-akibat”
ketika di wilayah lain terjadi penekanan atau penutupan rumah ibadah terhadap
kelompok agama lain dibiarkan tanpa ada penyelesaian. Kebijakan yang tidak
merata, tidak adil serta terkesan memihak, akibat tekanan mayoritas membuat
negara menjalankan kebijakan fleksibel atau menerapkan pasal karet berdasarkan
kebutuhan wilayah dan pesanan sponsor.
Diperparah
jika negara (aparat negara) dikendalikan oleh kebutuhan operasional yang
didanai oleh kelompok kepentingan, akan menambah posisi tawar negara melemah. Pada
akhirnya kasus seperti di Tolikara tidak akan terulang lagi dalam catatan
sejarah kelam bangsa ini dalam hal konflik antar agama, apabila kelompok
kepentingan yang atas dasar suara terbanyak atau mayoritas mampu dikendalaikan
dalam peran negara yakni melaksanakan kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia
secara adil dan merata tanpa sentimen primordial.
*Pemerhati
Sosial – Politik (Tulisan ini sudah di muat di media lokal NTT Timor Express (Jawa Pos Group) Pada tanggal 24 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar