“ANOMALI
SPRING ARAB”
*Yoyarib
Mau
Arab
Spring merupakan fenomena kebangkitan Islam, fenomena ini meng-internasional
dengan berbagai macam topik diskursus yang menantang dan terkesan seksi. Hal
ini disebabkan oleh eksistensi Islam yang mencoba merespon situasi yang
dihadapi dunia, yaitu: imperialisme politik, menguatnya kebudayaan barat yakni
demokrasi, ekonomi liberal dengan konsep pasar bebas, globalisasi, namun revolusi kebangkitan Islam terlihat parsial
karena kenyataannya revolusi yang hanya menguntungkan para elite. Kebangkitan
Islam-Arab bekerja sama secara revolusioner dengan kebangkitan-kebangkitan di
berbagai tempat, sangat situasional berdasarkan pada kekuatan kelompok aliran
lokal mana yang berkuasa, serta pilihan kiblat politiknya ke negara mana.
Realitas Dunia Arab berhubungan erat dengan realitas Dunia Islam dan kekuatan internasional.
Arab Spring
adalah sebutan lain yang diberikan terhadap Revolusi Dunia Arab yang juga dalam
bahasa arab disebut “al-Thawrat al-Arabiyyah”. Sejak 2010 – 2012 menjadi tonggak
awal arab spring, diawal dengan gelombang protes di Tunisia yang dikendalikan
oleh rezim kudeta Zine El Abidin Ben Ali sudah 25 tahun berkuasa dengan
menjalankan kekuasaan otoriter dengan kediktatorannya, kemudian diturunkan secara
paksa oleh rakyatnya sendiri. Tunisia menginspirasi Mesir untuk melakukan
penurunan paksa terhadap Husni Mubarok yang telah berkuasa selama 30 tahun,
kemudian menjalar ke Libya yang menuntut pengunduran diri Moammar Kaddafi yang
berujung pada perang saudara, revolusi pun berlanjut ke berbagai negara di
Timur Tengah dan Afrika Utara seperti Yaman, Suriah, Bahrain, Iraq, Kuwait,
Yordania, Lebanon, Maroko, Oman, Arab Saudi dan Sudan.
Negara-negara
Arab tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula kebangkitan
Islam tidak hanya mengakar di bumi Arab. Islam merupakan agama mayoritas
masyarakat Arab, Afrika, dan Asia. Dalam perspektif historis, gerakan-gerakan
Islam saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Kehadiran demokrasi
di dunia Arab harus bertarung dengan budaya arab yang mengental, masyarakat barat meyakini eksperimen Eropa
soal demokrasi sebagai eksperimen murni dan memandang dirinya sebagai pusat
kebangkitan dan contoh ideal pencerahan umat manusia, namun apa yang terjadi di
eropa terbangun dari budaya dan peradaban yang berbeda.
Arab Spring
menstimulasi dunia Arab untuk melakukan diplomasi dan menjalin hubungan dengan
pihak Internasional, karena kekuatan Internasional mampu memberikan tekanan
yang efektif kepada kekuasaan diktator
di suatu negara, Arab Spring adalah langkah awal dalam melakukan
restrukturisasi bidang kehidupan guna menciptakan pertumbuhan ekonomi,
stabilitas politik serta kemajuan peradaban yang demokratis di Arab dan
semenanjung Afrika Utara.
Arab Spring
yang dihadirkan Eropa dan sekutunya harus berhadapan dengan peradaban yang
mengakar yakni kekhilafahan Utsmani yang menjalankan penguasaan berdasarkan kesultanan, yang berhasil makmur di bawah
kepemimpinan sejumlah Sultan yang tegas dan efektif dalam menjalankan kekuasaan
dengan kekuatan pasukan perangnya, yang pernah memiliki kekuasaan dari Turki
hingga negara-negara Afrika Utara (Mediterania). Ada beban masa lalu antara
Eropa dan kekhilafahan Utsmani dalam perang salib pada masa lampau, Warisan budaya
Imperium Utsmani adalah sebuah negara militer, kultur politik Utsmani berpusat
pada citra-citra perang salib dan sultan sebagai pedang Islam. Pendekatan
perekonomian Utsmani kesadaran akan
tujuan bersama dan kesatuan sosial sangat bergantung pada penaklukan dan
perluasan wilayah yang tanpa henti.
Dalam budaya
suksesi kepemimpinan jika kalah dalam sebuah peperangan mereka akan segera
menuntut balas, dan membuat mereka terus terjerat dalam konflik serta mereka
akan selalu memperkuat angkatan bersenjata untuk mendominasi. Bahkan merekrut
tentara bayaran dari petani bahkan tunawisma yang tidak punya rumah dan
mengembara di pedalaman kemudian menjadi pemberontak. Kenyataan budaya
kekuasaan yang diwariskan oleh kekhalifaan Utsmani ini yang menghadirkan
berbagai kelompok pemberontak yang tidak
puas atau kalah dalam pertarungan yang dihadirkan melalui demokratisasi.
Berkembangnya
demokrasi dan tentu berseminya kesadaran keislaman yang terus membaik di
negeri-negeri muslim. Bentuk-bentuk kebangkitan yang mungkin lebih tepat
disebut “Islam Spring” terlihat dalam bentuk internationalization ekonomi
Islam, diterimanya politik Islam berdampingan dengan demokrasi modern, budaya
Islam yang membangkitkan kebanggaan pada nilai dan norma Islam, namun suatu
sisi harus berhadapan dengan kelompok yang memilih budaya kekhalifaan Utsmani.
Kelompok
perlawanan yang membangun kebencian terhadap terhadap Spring Arab yang dilihat sebagai proyek
zionisme, sehingga kelompok yang memegang teguh kekhalifaan Utsmani, terus
melakukan perlawanan, bukti perlawanan mereka tidak saja dilakukan di wilayah
jazirah arab, tetapi sudah berani melakukan di eropa sebagaimana yang terjadi
di Perancis yang dilakukan di sejumlah tempat yang menewaskan banyak orang.
Persoalan ini kemudian menghadirkan pertanyaan, Apakah pola demokratisasi yang tepat untuk mendorong internasionalisasi
di jasirah Arab ?.
Kelompok
yang menyimpang dari Spring Arab ini kemudian memilih jalan kekerasan sebagai
pola untuk melawan demokratisasi diberikan stigma teroris. Penyebutan ini
sepertinya meneguhkan terorisme sebagai bahasa kekerasan yang patut dilawan,
namun perlawanan yang dilakukan apakah harus dibalas dengan kekerasan atau
melalui pola yang beradab yang tetap menjunjung spirit kemanusiaan. Spirit
kemanusiaan dalam bingkai demokratisasi selalu dipahami dengan membuka diri
bagi penampungan pengungsi, sebagaimana yang dimotori oleh Jerman untuk
menerima para pengungsi dari negara-negara yang mengalami anomali spring Arab,
untuk ditampung di negara-negara eropa, Perancis dalam sejarah sebagai negara
yang menjajah di Aljazair, membuka diri bagi warga Aljazair dan jazirah arab
lainnya untuk tinggal di Perancis, hal ini sebagai bagian dari tanggung jawab
moril untuk memajukan demokratisasi. Kenyataan ini kemudian dimanfaatkan oleh
para teroris untuk melakukan perlawanan.
Salah satu
sisi dari demokratisasi adalah toleransi, harapan dari Spring Arab adalah
terwujudnya demokratisasi, upaya internasionalisasi demokrasi tidak harus
menggunakan kekerasan untuk membalas kekerasan tetapi, perlu pendekatan yang lebih
soft. Eropa dan sekutunya sebagai
pemeran untuk hadirnya demokrasi seyogiannya mampu membangun nasionalisme dan
demokrasi di Arab yang didasarkan pada perkembangan “teoretis dan material” sebagaimana
yang dahulu dilakukan di eropa, Pendekatan Behaviorisme yang adalah empirisme
yang memberikan gambaran bahwa manusia seharusnya tumbuh secara alami, hubungan
manusia dan lingkungannya cukup berpengaruh terhadap perubahan tingkahlaku (http://www.academia.edu/9343382/Teori_dan_Konsep_Pendidikan).
Pola demokratisasi yang dibangun oleh eropa dan
sekutu, selalu saja pada penekanan kerjasama ekonomi yang menitikberatkan pada
material, yakni pembangunan fisik, infrastruktur dengan sejumlah kompensasi
atau barter. Sedangkan pembangunan manusia untuk mencerahkan pemikiran manusia
melalui pendidikan teoretis untuk mematangkan pemikiran masyarakat arab tidak
dilakukan. Teknologi pendidikan harus mampu dimajukan merata di wilayah
geografis Arab sendiri sehingga tidak menciptakan perbedaan sosial.
Memberikan beasiswa bagi yang berprestasi untuk
menikmati pendidikan di eropa tanpa ada muatan lain (pesanan sponsor) sehingga
kemudian menciptakan pencerahan pemikiran bagi warga Arab yang mengenyam
pendidikan di Eropa. Pendidikan sebagai solusi bagi Arab Spring karena akan
mendorong nasionalisme yang tinggi untuk membangun tanah airnya. Penerimaan
pengungsi dan mengabaikan pendidikan justru mematikan nasionalisme, serta
tersisih sebagai warga kelas dua, kemudian dilabel dengan stigma tertentu. Situasi
ini menciptakan rasa kebencian yang mendorong orang memilih jalan budaya
kekhilafaan Utsmani ketika kalah bertarung maka akan melakukan pemberontakan
melalui aksi terorisme.
*Pemerhati Sosial - Politk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar