Jumat, 04 Desember 2015

"ETIKA PAPA MINTA SAHAM"



“ETIKA PAPA MINTA SAHAM”
*Yoyarib Mau


Kasus Papa Minta Saham merupakan bentuk penamaan lain bagi Ketua DPR RI Setya Novanto (SN) yang terlibat dalam pembicaraan dengan Direktur PT.  Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (MS), yang direkam serta kemudian dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bahwa SN melakukan pelanggaran etika, namun kemudian pengadu Sudirman Said yang juga Menteri ESDM yang atas dasar pelanggaran etika melaporkan SN ke MKD, guna melakukan pertimbangan etika dalam menetapkan keputusan pelanggaran etika, justru mendapatkan cercaan balik dari pada beberapa anggota MKD.

Penegakan etika justru menjadi bola liar dimana para anggota MKD melakukan debat kusir soal tata persidangan, siapa yang berhak melakukan pengaduan, sehingga mengaburkan bahkan mengalihkan substansi persoalan penegakan etika, yang bertujuan untuk menemukan baik atau buruk sikap yang dilakukan SN, sehingg tidak perlu memperoleh sanksi sesuai ketentuan UU yang berlaku.  Etika yang adalah sebuah kajian filosofis harusnya dilakukan oleh MKD malah berubah wujud menjadi pembahasan hak DPR yakni hak interpelasi untuk meminta keterangan kepada Pemerintah dalam hal ini menteri ESDM Sudriman Said soal kebijakan kontrak dengan PT. Freeport. 

Substansi etika yang harus dijalankan oleh MKD adalah meneropong persoalan dengan pemikiran filsafat  dalam memutuskan ada pelanggaran etika dalam kasus papa minta saham,  yang mana MKD harus mampu melihat aspek penting dalam kekuasaan, yakni moralitas dengan titik tekan utamanya ada beradab dan keadilan. Apa yang dilakukan oleh SN adalah mengejar dominasi atas kekuasaan, sehingga terjadi dominasi “libido pricipandi” yakni nafsu menguasai. Perilaku ini kemudian menguat dan menjadi “the culture of power”. Culture of power dari perilaku menyimpang atau pelanggaran atas ketetapan yang telah ditetapkan, sepertinya bergeser dan lebih dikuasai oleh libido kekuasaan.  Culture of power selalu saja hadir dari animo publik yang memberikan hukuman sosial berupa cebiran bahkan pada era gadget begitu cepat meme dan emotion yang dibuat untuk memberikan pesan miring bagi mereka yang diduga melakukan pelanggaran etika, bahkan netizen akan menghimpun dan menggalang petisi untuk melawan pelanggar kode etik untuk mundur.

Berbeda dengan negara-negara yang dikenal masih kuat dengan menjunjung etika, ketika seorang pejabat diduga melakukan praktek korupsi sebelum menjalani proses hukum mereka akan menghormati dan menghargai etika. Jepang dengan budaya malunya yang sangat tinggi mereka bahkan tak segan-segan melakukan pilihan bunuh diri, Korea Selatan apabila seorang pejabat diduga terlibat merugikan negara maka yang dilakukan adalah segera mengundurkan diri dari jabatan yang diemban. Kenyataan di Indonesia ketika seorang pejabat melakukan pelanggaran etika maka yang dilakukan adalah membangun pencitraan bahwa dirinya sedang di zalimi dan mencari belas kasihan.

Perilaku publik sangat diharapkan turut serta menegakan etika kehidupan berbangsa dan bernegara terancam, dugaan yang dilakukan SN adalah pelanggaran bernegara sehingga perilaku ini bukanlah lagi soal private tetapi sudah menjadi persoalan publik. Penegakan etika berbangsa dan bernegara perlu ditegakan oleh setiap warga negara bahkan oleh sesama pejabat negara. Menarik dari dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh SN, sepertinya tidak berdampak pada publik karena terlihat dari animo para pejabat yang memberikan papan ucapan sukacita berupa papan bunga bagi pernikahan anak SN yang diadakan di Hotel Mulia bintang lima (5). Para pejabat juga menyempatkan diri untuk hadir dan melakukan sesi foto bersama dengan SN dan keluarga.

Kenyataan ini kemudian menghadirkan pertanyaan apa ukuran etika berbangsa dan bernegara kita ? apakah etika kita ditentukan oleh kuatnya tekanan media sosial maupun media masa semata ?, atau sebaliknya pelanggaran etika dapat ditegakan melalui pencitraan dengan melakukan hajatan istimewa dan berkelas elit ? Tiga pertanyaan ini menjadi perenungan tulisan ini untuk melakukan aksi penegakan etika yang berdasar pada dasar negara kita yakni Pancasila dalam sila II Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pierre Bourdieu seorang pemikir besar Perancis menghadirkan pemikirannya tentang “the field of power” bahwa terjadi konstestasi kekuasaan itu dalam berbagai bentuk, dalam berbagai bidang, dan dalam pelbagai tingkatan struktur sosial, politik dan ekonomi. Dikatakan bahwa kekuasaan itu “tidak datang dari langit” akan tetapi buah modal, capital, baik financial capital, maupun cultural capital (Daniel Dhakidae – Menerjang Badai Kekuasaan –  2015).

Uraian pemikiran kritis Bourdieu, merupakn kritik terhadap konsep Machiavelli tentang paham kekuasaan “fortuna” dimana sebuah kekuasaan diperoleh karena uang dan/atau favor, atau karena kekayaan (fortune) yang berlawanan dan berbeda dengan paham kekuasaan “virtu” yang membangun kekuasaan yang berpijak pada nilai-nilai seperti integritas, cinta-kasih, rendah-hati, yang sering dikenal dengan sebutan virtus Augustinian  yang berrati menjadi orang baik adalah sebuah keutamaan. Kekuasaan SN yang diperoleh karena fortuna akan mengabaikan virtu sebagaiman yang diharapkan dari publik agar MKD memberikan sanksi pelanggaran etika, sebab tidak memenuhi paham kekuasaan yang virtu. Pelaksanaan pernikahan anak SN yang dilakukan di hotel berbintang lima (5) adalah sebuah alat ukur untuk mengabaikan penegakan etika (virtu) sebab dalam kondisi penghakiman publik akibat papa minta saham. 

Kondisi penghakiman publik seperttinya tidak berpengaruh pada penegakan etika yang diharapkan lewat MKD, Kenyataan yang dialami SN ditegaskan lewat pemikiran Bourdieu bahwa SN telah melakukan pengujian melewati struktur (strata) sosial bahwa kekuatan capital (Bourdieu) atau kekuatan fortune (Machiavelli) mampu membawa mengembalikan keberadaan SN ke pucuk kekuasaan, hal ini jelas dari kiriman krans (papan) bunga ucapan sukacita atas pernikahan anaknya. Justru SN merasa kuat karena kondisi pernikahan anaknya menjadi bukti kuat bahwa momentum ini melemahkan tuntutan publik soal sanksi sosial yang hendak ditujukan kepada dirinya.

Lingkaran kekuasaan secara tidak langsug melegitimasi bebasnya sanksi etika bagi SN dengan hadirnya petinggi negara seperti Kepala BNN Komjend Budi Waseso, Menkopolkam Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Perekonomian Sofian Djalil, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPD RI Irman Guzman, Kepala BIN Sutiyoso, Ketua MK Arief Hidayat, selain itu sejumlah pengiriman krans bunga dari Kapolri, Panglima TNI, Ketua BPK, dan petinggi negara lainnya.

Realitas ini membuktikan bahwa penegakan etika jauh dari harapan hidup berbangsa dan bernegara jika hendak memutus mata rantai korupsi yang sangat mengental dalam kehidupan bernegara maka sikap penerapan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, harus diwujudkan secara radikal dalam kehidupan sosial keseharian dimana berani menerapkan sanksi sosial dengan melakukan tindakan menjauhi oknum atau yang terduga sebagai bentuk tekanan/hukuman sosial  agar memberikan efek jera bagi orang lain. Kehadiran sejumlah pejabat dalam hajatan anak SN merupakan bentuk reduksi pencitraan bagi kehidupan peradaban Indonesia bahwa perilaku papa minta saham adalah sesuatu yang lumrah dalam lingkaran kekuasaan, karena ini adalah bentuk kepantasan sebagai elite negara, dimana  pejabat adalah subyek negara dan rakyat hanyalah obyek penyerta.

*Pengamat Sosial – Politik




Tidak ada komentar:

Posting Komentar