“ETIKA PAPA MINTA SAHAM”
*Yoyarib Mau
Kasus
Papa Minta Saham merupakan bentuk penamaan lain bagi Ketua DPR RI Setya Novanto
(SN) yang terlibat dalam pembicaraan dengan Direktur PT. Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (MS),
yang direkam serta kemudian dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bahwa
SN melakukan pelanggaran etika, namun kemudian pengadu Sudirman Said yang juga
Menteri ESDM yang atas dasar pelanggaran etika melaporkan SN ke MKD, guna melakukan pertimbangan etika dalam menetapkan keputusan pelanggaran etika, justru
mendapatkan cercaan balik dari pada beberapa anggota MKD.
Penegakan
etika justru menjadi bola liar dimana para anggota MKD melakukan debat kusir
soal tata persidangan, siapa yang berhak melakukan pengaduan, sehingga
mengaburkan bahkan mengalihkan substansi persoalan penegakan etika, yang
bertujuan untuk menemukan baik atau buruk sikap yang dilakukan SN, sehingg tidak perlu memperoleh sanksi sesuai ketentuan UU yang
berlaku. Etika yang adalah sebuah kajian
filosofis harusnya dilakukan oleh MKD malah berubah wujud menjadi pembahasan
hak DPR yakni hak interpelasi untuk meminta keterangan kepada Pemerintah dalam
hal ini menteri ESDM Sudriman Said soal kebijakan kontrak dengan PT. Freeport.
Substansi
etika yang harus dijalankan oleh MKD adalah meneropong persoalan dengan
pemikiran filsafat dalam memutuskan ada
pelanggaran etika dalam kasus papa minta saham,
yang mana MKD harus mampu melihat aspek penting dalam kekuasaan, yakni
moralitas dengan titik tekan utamanya ada beradab dan keadilan. Apa yang
dilakukan oleh SN adalah mengejar dominasi atas kekuasaan, sehingga
terjadi dominasi “libido pricipandi”
yakni nafsu menguasai. Perilaku ini kemudian menguat dan menjadi “the culture
of power”. Culture of power dari perilaku menyimpang atau pelanggaran atas
ketetapan yang telah ditetapkan, sepertinya bergeser dan lebih dikuasai oleh
libido kekuasaan. Culture of power
selalu saja hadir dari animo publik yang memberikan hukuman sosial berupa
cebiran bahkan pada era gadget begitu cepat meme dan emotion yang dibuat untuk
memberikan pesan miring bagi mereka yang diduga melakukan pelanggaran etika,
bahkan netizen akan menghimpun dan menggalang petisi untuk melawan pelanggar
kode etik untuk mundur.
Berbeda
dengan negara-negara yang dikenal masih kuat dengan menjunjung etika, ketika
seorang pejabat diduga melakukan praktek korupsi sebelum menjalani proses hukum
mereka akan menghormati dan menghargai etika. Jepang dengan budaya malunya yang
sangat tinggi mereka bahkan tak segan-segan melakukan pilihan bunuh diri, Korea
Selatan apabila seorang pejabat diduga terlibat merugikan negara maka yang dilakukan adalah segera
mengundurkan diri dari jabatan yang diemban. Kenyataan di Indonesia ketika seorang
pejabat melakukan pelanggaran etika maka yang dilakukan adalah membangun
pencitraan bahwa dirinya sedang di zalimi dan mencari belas kasihan.
Perilaku
publik sangat diharapkan turut serta menegakan etika kehidupan berbangsa dan
bernegara terancam, dugaan yang dilakukan SN adalah pelanggaran bernegara
sehingga perilaku ini bukanlah lagi soal private tetapi sudah menjadi persoalan
publik. Penegakan etika berbangsa dan bernegara perlu ditegakan oleh setiap
warga negara bahkan oleh sesama pejabat negara. Menarik dari dugaan pelanggaran
etika yang dilakukan oleh SN, sepertinya tidak berdampak pada publik karena
terlihat dari animo para pejabat yang memberikan papan ucapan sukacita berupa
papan bunga bagi pernikahan anak SN yang diadakan di Hotel Mulia bintang lima
(5). Para pejabat juga menyempatkan diri untuk hadir dan melakukan sesi foto
bersama dengan SN dan keluarga.
Kenyataan
ini kemudian menghadirkan pertanyaan apa ukuran etika berbangsa dan bernegara
kita ? apakah etika kita ditentukan oleh kuatnya tekanan media sosial maupun
media masa semata ?, atau sebaliknya pelanggaran etika dapat ditegakan melalui
pencitraan dengan melakukan hajatan istimewa dan berkelas elit ? Tiga
pertanyaan ini menjadi perenungan tulisan ini untuk melakukan aksi penegakan
etika yang berdasar pada dasar negara kita yakni Pancasila dalam sila II
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pierre Bourdieu seorang pemikir besar
Perancis menghadirkan pemikirannya tentang “the field of power” bahwa terjadi
konstestasi kekuasaan itu dalam berbagai bentuk, dalam berbagai bidang, dan
dalam pelbagai tingkatan struktur sosial, politik dan ekonomi. Dikatakan bahwa
kekuasaan itu “tidak datang dari langit” akan tetapi buah modal, capital, baik
financial capital, maupun cultural capital (Daniel Dhakidae – Menerjang Badai
Kekuasaan – 2015).
Uraian
pemikiran kritis Bourdieu, merupakn kritik terhadap konsep Machiavelli tentang
paham kekuasaan “fortuna” dimana
sebuah kekuasaan diperoleh karena uang dan/atau favor, atau karena kekayaan
(fortune) yang berlawanan dan berbeda dengan paham kekuasaan “virtu” yang membangun kekuasaan yang
berpijak pada nilai-nilai seperti integritas, cinta-kasih, rendah-hati, yang
sering dikenal dengan sebutan virtus Augustinian yang berrati menjadi orang baik adalah sebuah
keutamaan. Kekuasaan SN yang diperoleh karena fortuna akan mengabaikan virtu
sebagaiman yang diharapkan dari publik agar MKD memberikan sanksi pelanggaran etika,
sebab tidak memenuhi paham kekuasaan yang virtu. Pelaksanaan pernikahan anak SN
yang dilakukan di hotel berbintang lima (5) adalah sebuah alat ukur untuk
mengabaikan penegakan etika (virtu) sebab dalam kondisi penghakiman publik
akibat papa minta saham.
Kondisi
penghakiman publik seperttinya tidak berpengaruh pada penegakan etika yang
diharapkan lewat MKD, Kenyataan yang dialami SN ditegaskan lewat pemikiran
Bourdieu bahwa SN telah melakukan pengujian melewati struktur (strata) sosial
bahwa kekuatan capital (Bourdieu)
atau kekuatan fortune (Machiavelli) mampu
membawa mengembalikan keberadaan SN ke pucuk kekuasaan, hal ini jelas dari
kiriman krans (papan) bunga ucapan sukacita atas pernikahan anaknya. Justru SN
merasa kuat karena kondisi pernikahan anaknya menjadi bukti kuat bahwa momentum
ini melemahkan tuntutan publik soal sanksi sosial yang hendak ditujukan kepada
dirinya.
Lingkaran
kekuasaan secara tidak langsug melegitimasi bebasnya sanksi etika bagi SN
dengan hadirnya petinggi negara seperti Kepala BNN Komjend Budi Waseso,
Menkopolkam Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Perekonomian Sofian Djalil, Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPD RI Irman
Guzman, Kepala BIN Sutiyoso, Ketua MK Arief Hidayat, selain itu sejumlah pengiriman
krans bunga dari Kapolri, Panglima TNI, Ketua BPK, dan petinggi negara lainnya.
Realitas
ini membuktikan bahwa penegakan etika jauh dari harapan hidup berbangsa dan
bernegara jika hendak memutus mata rantai korupsi yang sangat mengental dalam
kehidupan bernegara maka sikap penerapan sila kemanusiaan yang adil dan beradab,
harus diwujudkan secara radikal dalam kehidupan sosial keseharian dimana berani
menerapkan sanksi sosial dengan melakukan tindakan menjauhi oknum atau yang
terduga sebagai bentuk tekanan/hukuman sosial
agar memberikan efek jera bagi orang lain. Kehadiran sejumlah pejabat
dalam hajatan anak SN merupakan bentuk reduksi pencitraan bagi kehidupan
peradaban Indonesia bahwa perilaku papa minta saham adalah sesuatu yang lumrah
dalam lingkaran kekuasaan, karena ini adalah bentuk kepantasan sebagai elite
negara, dimana pejabat adalah subyek
negara dan rakyat hanyalah obyek penyerta.
*Pengamat Sosial – Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar