“EVALUASI
PILKATAK 2015”
*Yoyarib
Mau
Pilkada
Serentak (PILKATAK) 2015 di 260-an daerah pemilihan, menarik karena banyak
persoalan yang ditimbulkan dari awal proses suksesi hingga mencapai punjak
Pilkatak, tentu semua pihak dapat mengukur kadar Pilkatak, publik memiliki
pemahaman bahwa dengan dilakukannya Pilkatak dapat mengurangi atau menghemat
biaya politik, namun kenyataannya tidak efisien soal biaya, hanya menghemat
waktu dan energi dalam melakukan pemilu, penting dalam evaluasi Pilkatak tahun
2015 ini bertujuan untuk mengukur kualitas demokrasi, apakah praktek demokrasi
di daerah telah mencapai harapan yang dimaksudkan, atau menjadi rendah karena
mahar politik untuk membeli/menyewa partai politik sebagai syarat utama menjadi
calon.
Hal
lain adanya proses seleksi yang tidak kompetibel, penyelenggara pemilu berpotensi
menciptakan konflik karena kelemahan Bawaslu dan KPU dalam memutuskan calon
mana yang ditetapkan sebagai kontestan
peserta Pilkatak, jelang hari pelaksanaan Pilkatak, sebagaimana Bawaslu menerbitkan
Surat Edaran No. 275 tertanggal 23 September 2015 yang menegaskan calon
berstatus terpidana dan bebas bersayarat, tidak bisa diikutkan dalam Pilkada
2015, sebagaimana yang terjadi di Kota Manado calon Walikota Jimmy Rimba Rogi
dan Calon Bupati Yusak Yaluwo di Boven Digoel. Sisi pendidikan politik tidak berjalan
dengan baik dan berarti bagi pemilih di daerah Pilkatak yang diikuti oleh “incumbent”, yang membatasi lawan politik
untuk menyampaikan perlengkapannya, atau melakukan sosialisasi diri mengalami
hambatan dan intimidasi, kasus ini apabila tidak difasilitasi tentu akan
membuat calon lain mengurangi niat untuk maju, sebagaimana di daerah yang
menjalankan Pilkatak dengan jalan “referendum’ dengan memilih yah atau tidak
seperti yang dilakukan di 3 (tiga) Kabupaten yakni; TTU, Blitar dan
Tasikmalaya.
Manajemen
Pilkada dalam Pilkatak 2015 tahap I ini justru membunuh demokrasi dikarenakan
penyelenggara Pilkatak yang seharusnya independent dan memiliki hirarki
institusi sendiri di luar pemerintahan daerah, tetapi justru karena anggaran
Pilkatak melalui kas daerah maka incumbent memanfaatkan kekuasaan untuk
mengendalikan penyelenggara Pilkatak seperti KPUD dan Bawasda, sehingga
keberpihakan sudah tentu terlihat dengan jelas. Kenyataan diatas menghadirkan
pertanyaan, apakah Institusi penyelenggara
Pemilu dalam menjalankan tugasnya sepenuhnya bertitik tolak hanya pada
prosedural produk UU dan mengabaikan substansi
demokrasi sebagai ruh dari hajatan pemilu ? Keserentakan pilkada
yang hendak diseragamkan di seluruh wilayah Indonesia bertujuan untuk
menyeragamkan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif dalam menjalankan sistem
presidensial. Adanya kompleksitas persoalan dalam pilkatak, dimana hendak
mengutamakan hukum atau demokrasi, sebaliknya demokrasi didahulukan dan
mengabaikan hukum, atau menjalankan kedua-duannya bersamaan.
Robert
Dahl dalam karya klasiknya “Polyarchi’ menuliskan, 8 (delapan) jaminan
konstitusional yang menjadi syarat perlu untuk demokrasi yakni; Pertama, adanya kebebasan untuk membentuk
dan mengikuti organisasi, Kedua,
adanya kebebasan berekspresi, Ketiga,
adanya hak memberikan suara, Keempat,
adannya eligibilitas untuk menduduki jabatan publik, Kelima, adanya hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara
sehat merebut dukungan dan suara, Keenam,
adanya tersedia sumber-sumber informasi alternatif, Ketujuh, adanya pemilu yang bebas dan adil, Kedelapan, adanya institusi-institusi untuk menjadikan kebijakan
pemerintah tergantung pada suara-suara pemerintah (pemilih, rakyat) dan ekspresi
pilihan (politik) lainnya (Jimly Asshiddiqie – Konstituti Press – 2004).
Demokrasi dan Hukum
Demokrasi
adalah satu-satunya bentuk pemerintahan yang
memperkenankan rakyatnya untuk memerintah dirinya sendiri. Carl Schmitt
mengatakan bahwa identitas adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari
demokrasi, identitas merupakan basis bagi pembentukan demokrasi, Dan kesamaan
dalam satu dan lain hal diantara sekelompok individu merupakan unsur yang
diperlukan untuk membentuk identitas. Kesamaan identitas akan menghilangkan perbedaan
di antara para wakil yang dipilih atau orang yang dipilih (Nuri Soeseno –
Puskapol – 2013)
Identias
selalu harus tampak dalam setiap hajatan demokrasi, namun identitas dalam Pilkatak
bagi calon tunggal merupakan sebuah kecacatan demokrasi, Pemilu yang bertujuan
untuk memenuhi tujuan menguatkan sistem presidensil dimana pilkada legislatif
dan pemilu eksekutif dapat dilakukan bersama-sama mengalami pergeseran makna,
Pilkatak hanya mengejar target dan mengabaikan substansi. Dampaknya kebijakan
penyelenggara hanya mengacu pada prosedural UU, namun mengabaikan substansi
demokrasi. Kondisi kertas suara Pilkatak
bagi calon tunggal dengan hanya menampilkan gambar dari salah satu pasangan
adalah upaya penghilangan identitas dari kelompok basis tertentu.
Manajemen
penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU harus mampu melakukan rekruitment bagi
kontestan dimana melibatkan semua orang, partai maupun calon konstestan, dengan
harapan terlibat dalam hajatan Pilkatak. Penghilangan identitas dalam kertas
suara bagi daerah yang menjalankan Pilkatak dengan calon tunggal, merupakan
penghilangan identitas sebagai basis demokrasi. Peluang menimbulkan ketidakharmonisan
antar produk UU mengaburkan peranan hukum dan demokrasi, pemahaman terhadap
penegakan hukum tidak hanya dilihat secara linear soal pasal-pasal yang
tertulis secara literal, kemudian mengabaikan pertimbangan demokratis sebagai
hak azasi sebagai warga negara (citizenship rights) yang salah satunya adalah
hak untuk memilih.
Penegakan
hukum juga tidak berjalan dengan baik, hukum dibuat elastis dengan tujuan dapat
terwujudnya Pilkatak bagi daerah-daerah yang sudah jatuh tempo harus
melaksanakan Pilkada, Kabupaten Humbang Hasundutan dua kepengurusan Partai
Golkar memberikan rekomendasi yang berbeda bagi dua pasangan calon peserta
Pilkatak. Memiliki identitas kepertaian
yang sama tetapi membelah diri dalam
calon berbeda, diperbolehkan sebagai peserta Pilkatak.
Persoalan
lain dari produk UU yang memberikan wewenang penuh bagi Bawaslu untuk
memutuskan sengketa Pilkada dimana keputusan itu final dan mengikat. Sengketa
pemilihan Gubernur dan wakil gubernur maka penyelsaiannya di selesaikan oleh
Bawaslu Provinsi sedangkan sengketa pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Juga
Walikota/Wakil Walikota diselesaikan oleh Panwaslu Kabupaten. Persoalan
keberadaan Bawaslu hanyalah badan ad hoc, ibarat kepanitian yang apabila
berakhirnya sebuah kepanitian maka ad hoc itu dibubarkan. Wewenang Bawaslu yang
berhak melakukan keputusan sengketa pilkada yang final dan mengikat pada tingkat
kabupaten sangat diragukan kemampuan mereka karena tidak memiliki pengalaman
hukum. Hukum sejatinya dibutuhkan untuk menjamin terwujudnya demokratisasi,
bukan sebaliknya hukum dipakai untuk mengekang matinya demokratisasi, Keputusan
MK membatalkan pembatasan politik dinasti yang diatur dalam pasal 7 huruf r UU 8
Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, dengan pertimbangan bahwa
bertentangan dengan UUD 1945 adalah sebuah contoh konkrit.
Padahal
pertimbangan dilakukannya pembatasan dikarenakan secara politis kekuasaan dinasti yang berkuasa dapat mengendalikan semua potensi politik sehingga mengabaikan juga mematikan syarat demokrasi yakni adanya hak para pemimpin politik untuk
berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara, bagaimana calon lawan yang
hendak melawan incumbent, apabila bahan atau alat sosialisasi di batasi oleh
penyelenggara pemilu, hal ini dapat mematikan langkah calon lain dalam menjalankan
syarat-syarat demokrasi yakni tersedia sumber-sumber informasi alternatif.
Hukum diterjemahkan dalam produk UU yang justru mematikan esensi demokrasi yang
sejatinya berbasiskan kebebasan untuk berkespresi, kebebasan berekspresi bukan
dipahami secara literal dengan sekedar memberikan suara tetapi sedari proses berkompetisi
hingga wilayah pertarungan juga harus mampu diciptakan oleh penyelenggara pemilu
bagi semua identitas yang akan bertarung.
*Pengamat Sosial - Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar