Rabu, 09 Desember 2015

"EVALUASI PILKATAK (PILKADA SERENTAK) 2015"

“EVALUASI PILKATAK 2015”
*Yoyarib Mau

Pilkada Serentak (PILKATAK) 2015 di 260-an daerah pemilihan, menarik karena banyak persoalan yang ditimbulkan dari awal proses suksesi hingga mencapai punjak Pilkatak, tentu semua pihak dapat mengukur kadar Pilkatak, publik memiliki pemahaman bahwa dengan dilakukannya Pilkatak dapat mengurangi atau menghemat biaya politik, namun kenyataannya tidak efisien soal biaya, hanya menghemat waktu dan energi dalam melakukan pemilu, penting dalam evaluasi Pilkatak tahun 2015 ini bertujuan untuk mengukur kualitas demokrasi, apakah praktek demokrasi di daerah telah mencapai harapan yang dimaksudkan, atau menjadi rendah karena mahar politik untuk membeli/menyewa partai politik sebagai syarat utama menjadi calon.

Hal lain adanya proses seleksi yang tidak kompetibel, penyelenggara pemilu berpotensi menciptakan konflik karena kelemahan Bawaslu dan KPU dalam memutuskan calon mana yang ditetapkan  sebagai kontestan peserta Pilkatak, jelang hari pelaksanaan Pilkatak, sebagaimana Bawaslu menerbitkan Surat Edaran No. 275 tertanggal 23 September 2015 yang menegaskan calon berstatus terpidana dan bebas bersayarat, tidak bisa diikutkan dalam Pilkada 2015, sebagaimana yang terjadi di Kota Manado calon Walikota Jimmy Rimba Rogi dan Calon Bupati Yusak Yaluwo di Boven Digoel. Sisi pendidikan politik tidak berjalan dengan baik dan berarti bagi pemilih di daerah Pilkatak yang diikuti oleh “incumbent”, yang membatasi lawan politik untuk menyampaikan perlengkapannya, atau melakukan sosialisasi diri mengalami hambatan dan intimidasi, kasus ini apabila tidak difasilitasi tentu akan membuat calon lain mengurangi niat untuk maju, sebagaimana di daerah yang menjalankan Pilkatak dengan jalan “referendum’ dengan memilih yah atau tidak seperti yang dilakukan di 3 (tiga) Kabupaten yakni; TTU, Blitar dan Tasikmalaya.

Manajemen Pilkada dalam Pilkatak 2015 tahap I ini justru membunuh demokrasi dikarenakan penyelenggara Pilkatak yang seharusnya independent dan memiliki hirarki institusi sendiri di luar pemerintahan daerah, tetapi justru karena anggaran Pilkatak melalui kas daerah maka incumbent memanfaatkan kekuasaan untuk mengendalikan penyelenggara Pilkatak seperti KPUD dan Bawasda, sehingga keberpihakan sudah tentu terlihat dengan jelas. Kenyataan diatas menghadirkan pertanyaan, apakah Institusi penyelenggara Pemilu dalam menjalankan tugasnya sepenuhnya bertitik tolak hanya pada prosedural produk UU dan mengabaikan substansi  demokrasi sebagai ruh dari hajatan pemilu ? Keserentakan pilkada yang hendak diseragamkan di seluruh wilayah Indonesia bertujuan untuk menyeragamkan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif dalam menjalankan sistem presidensial. Adanya kompleksitas persoalan dalam pilkatak, dimana hendak mengutamakan hukum atau demokrasi, sebaliknya demokrasi didahulukan dan mengabaikan hukum, atau menjalankan kedua-duannya bersamaan.

Robert Dahl dalam karya klasiknya “Polyarchi’ menuliskan, 8 (delapan) jaminan konstitusional yang menjadi syarat perlu untuk demokrasi yakni; Pertama, adanya kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi, Kedua, adanya kebebasan berekspresi, Ketiga, adanya hak memberikan suara, Keempat, adannya eligibilitas untuk menduduki jabatan publik, Kelima, adanya hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara, Keenam, adanya tersedia sumber-sumber informasi alternatif, Ketujuh, adanya pemilu yang bebas dan adil, Kedelapan, adanya institusi-institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada suara-suara pemerintah (pemilih, rakyat) dan ekspresi pilihan (politik) lainnya (Jimly Asshiddiqie – Konstituti Press – 2004).

Demokrasi dan Hukum
Demokrasi adalah satu-satunya bentuk pemerintahan  yang memperkenankan rakyatnya untuk memerintah dirinya sendiri. Carl Schmitt mengatakan bahwa identitas adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari demokrasi, identitas merupakan basis bagi pembentukan demokrasi, Dan kesamaan dalam satu dan lain hal diantara sekelompok individu merupakan unsur yang diperlukan untuk membentuk identitas. Kesamaan identitas akan menghilangkan perbedaan di antara para wakil yang dipilih atau orang yang dipilih (Nuri Soeseno – Puskapol – 2013)

Identias selalu harus tampak dalam setiap hajatan demokrasi, namun identitas dalam Pilkatak bagi calon tunggal merupakan sebuah kecacatan demokrasi, Pemilu yang bertujuan untuk memenuhi tujuan menguatkan sistem presidensil dimana pilkada legislatif dan pemilu eksekutif dapat dilakukan bersama-sama mengalami pergeseran makna, Pilkatak hanya mengejar target dan mengabaikan substansi. Dampaknya kebijakan penyelenggara hanya mengacu pada prosedural UU, namun mengabaikan substansi demokrasi.  Kondisi kertas suara Pilkatak bagi calon tunggal dengan hanya menampilkan gambar dari salah satu pasangan adalah upaya penghilangan identitas dari kelompok basis tertentu.

Manajemen penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU harus mampu melakukan rekruitment bagi kontestan dimana melibatkan semua orang, partai maupun calon konstestan, dengan harapan terlibat dalam hajatan Pilkatak. Penghilangan identitas dalam kertas suara bagi daerah yang menjalankan Pilkatak dengan calon tunggal, merupakan penghilangan identitas sebagai basis demokrasi. Peluang menimbulkan ketidakharmonisan antar produk UU mengaburkan peranan hukum dan demokrasi, pemahaman terhadap penegakan hukum tidak hanya dilihat secara linear soal pasal-pasal yang tertulis secara literal, kemudian mengabaikan pertimbangan demokratis sebagai hak azasi sebagai warga negara (citizenship rights) yang salah satunya adalah hak untuk memilih.

Penegakan hukum juga tidak berjalan dengan baik, hukum dibuat elastis dengan tujuan dapat terwujudnya Pilkatak bagi daerah-daerah yang sudah jatuh tempo harus melaksanakan Pilkada, Kabupaten Humbang Hasundutan dua kepengurusan Partai Golkar memberikan rekomendasi yang berbeda bagi dua pasangan calon peserta Pilkatak.  Memiliki identitas kepertaian yang  sama tetapi membelah diri dalam calon berbeda, diperbolehkan sebagai peserta Pilkatak.

Persoalan lain dari produk UU yang memberikan wewenang penuh bagi Bawaslu untuk memutuskan sengketa Pilkada dimana keputusan itu final dan mengikat. Sengketa pemilihan Gubernur dan wakil gubernur maka penyelsaiannya di selesaikan oleh Bawaslu Provinsi sedangkan sengketa pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Juga Walikota/Wakil Walikota diselesaikan oleh Panwaslu Kabupaten. Persoalan keberadaan Bawaslu hanyalah badan ad hoc, ibarat kepanitian yang apabila berakhirnya sebuah kepanitian maka ad hoc itu dibubarkan. Wewenang Bawaslu yang berhak melakukan keputusan sengketa pilkada yang final dan mengikat pada tingkat kabupaten sangat diragukan kemampuan mereka karena tidak memiliki pengalaman hukum. Hukum sejatinya dibutuhkan untuk menjamin terwujudnya demokratisasi, bukan sebaliknya hukum dipakai untuk mengekang matinya demokratisasi, Keputusan MK membatalkan pembatasan politik dinasti yang diatur dalam pasal 7 huruf r UU 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, dengan pertimbangan bahwa bertentangan dengan UUD 1945 adalah sebuah contoh konkrit.

Padahal pertimbangan dilakukannya pembatasan dikarenakan secara politis kekuasaan dinasti yang berkuasa dapat mengendalikan semua potensi politik sehingga mengabaikan juga mematikan syarat demokrasi yakni adanya hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara, bagaimana calon lawan yang hendak melawan incumbent, apabila bahan atau alat sosialisasi di batasi oleh penyelenggara pemilu, hal ini dapat mematikan langkah calon lain dalam menjalankan syarat-syarat demokrasi yakni tersedia sumber-sumber informasi alternatif. Hukum diterjemahkan dalam produk UU yang justru mematikan esensi demokrasi yang sejatinya berbasiskan kebebasan untuk berkespresi, kebebasan berekspresi bukan dipahami secara literal dengan sekedar memberikan suara tetapi sedari proses berkompetisi hingga wilayah pertarungan juga harus mampu diciptakan oleh penyelenggara pemilu bagi semua identitas yang akan bertarung.


*Pengamat Sosial - Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar