“PAPA NTT MINTA-MINTA”
*Yoyarib Mau
Suguhan
politik akhir tahun 2015 ibarat kecambah liar yang tidak diinginkan tumbuh di
kebun petani, dimana sejumlah politisi asal NTT melakukan “harakiri” politik
yang mengegerkan publik Indonesia. Anggota DPR RI yang sering di sapa dengan
sapaan yang terhormat, mendapatkan sapaan baru dengan sebutan “papa”. Tentu
panggilan ini mengalami pergeseran makna dimana panggilan sayang yang bermakna
positif bagi kehidupan keluarga, berubah menjadi panggilan sindiran atau hinaan
yang diberi tagar sehingga menjadi trending topic bagi netizen dan masyarakat
luas.
Setya
Novanto (SN) sebagai Ketua DPR RI dengan menyalahgunakan jabatannya dengan
terlibat melakukan pelanggaran etika dalam transaksi lobi perpanjangan kontrak
kerja PT. Freeport bersama petinggi Freeport dan seorang pengusaha M. Reza
Chalid, kemudian nama SN diasosiasikan dengan sebutan skandal Papa Minta Saham,
bagi netizen agar menjadi trending topic,
maka skandal ini diberi tagar #PapaMintaSaham. Jelang beberapa waktu kemudian
teman sejawat SN yang juga anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Herman Hery (HH)
pada malam natal 25 Desember 2015 diduga menelpon perwira Direktorat Reserse
Narkoba Polda NTT, Ajun Komisaris Besar Albert Neno (AN), melakukan umpatan dan
makian terhadap AN karena dalam menjalankan tugas, melakukan operasi penyakit
masyarakat (Pekat) yang digelar satuan gabungan Polda NTT, yaitu operasi
minuman keras pada 06 - 20 Desember 2015 bersama satuan gabungan di Polda NTT.
Dalam
operasi tersebut tempat usaha HH ikut dirazia, sejumlah miras miliknya ikut
diamankan dan hendak ditutup, kemudian HH yang menurut pengakuan AN bahwa saat
menerima telepon dan mendapatkan ancaman dan umpatan tersebut sang penelpon
mengaku sebagai HH, perilaku HH ini dianggap melanggar etika sebagai seorang
Anggota DPR RI sehingga skandal ini dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD), skandal ini kemudian diberi tagar #PapaMintaMiras.
Kasus
lain yang juga turut menyeret salah satu anggota DPR RI yang juga kolega SN
dari Fraksi Golkar yakni Charles Mesang (CM), namun karena kasus ini belum
menemui titik terang, apakah CM terlibat atau tidak? namun sudah kali yang
kedua CM diperiksa KPK, yang terakhir pada akhir bulan september 2015, soal
perkara korupsi proyek transmigrasi di Kemenakertrans yang sudah menetapkan
bekas Dirjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT) Jamaludin Malik
(JM) sebagai tersangka.
JM
disangka memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan melakukan pemerasan,
pemerasan dilakukan terhadap sejumlah pembangunan sarana dan prasarana berupa gedung
perkantoran di lahan transmigrasi di Kalimantan, dimana setiap item proyek JM
meminta uang kepada pihak yang membangun gedung (http://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-korupsi-p2ktrans-kpk-periksa-politikus-golkar-charles-mesang.html).
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap CM tentu ada alasan kuat, ibarat pepatah tidak ada asap kalau tidak ada api, yang berarti tidak ada akibat tanpa sebab. Asap hanya
akibat. Jika nanti CM dijadikan tersangka maka skandal yang melibatkan CM sebagai saksi ini dapat
diberi tagar #PapaMintaPerasan.
Politisi
Spekulan
Perilaku para wakil NTT yang kita sapa dengan sebutan sinis Papa,
memaksa kita untuk bertanya, layakkah para Papa NTT ini, menjadi wakil rakyat
yang baik untuk disapa sebagai dewan terhormat ? Pierre Bourdieu seorang
sosiolog Perancis menghadirkan sebuah pemikiran; habitus dan arena (habitus and
field), habitus adalah struktural mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan
dengan dunia sosial, orang dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi
yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi dan mengevaluasi
dunia sosial melalui skema ini, orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi
dan mengevaluasi. Habitus adalah produk dari internalisasi struktur, dunia
sosial yang telah ditempatinya dalam waktu yang panjang.
Dari Pemikiran Peirre Bourdieu ini Sosiolog Indonesia Ignas
Kleden, menarik beberapa elemen penting tentang habitus : Pertama; sebagai
produk sejarah, sebagai perangkat disposisi yang bertahan lama serta diperoleh
dari latihan berulang-ulang. Kedua; lahir dari kondisi sosial tertentu dan
karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu yang sudah
diproduksikan yang distrukturkan. Ketiga; disposisi terstruktur ini sekaligus
melahirkan dan memberi bentuk, kepada persepsi, representasi dan menjadi
tindakan seseorang. Keempat; habitus bersifat pra sadar tidak merupakan hasil
refleksi atau pertimbangan rasional yang lebih merupakan spontanitas. Kelima; habitus
bukan a state of mind tetapi juga a state of body dan the site of incorporated
history (bukan pada keadaan pikiran tetapi ada pada perilaku tubuh yang mensejarah). Keenam; dapat terarah ke
tujuan dari hasil tindakan tertentu tanpa maksud secara sadar untuk mencapai
hasil (spekulaasi (http://journal.unair.ac./downloadfullpapers01%20Artikel%20AGEN%20DAN%20STRUKTUR%20DALAM%20PANDNGAN%20PIERE%20BOURDIEU%20Revisi%2020%20Okt%202012.pdf).
Papa-papa
asal NTT menjalankan perilaku menyimpang dengan mengabaikan keberadaan diri
mereka sebagai dewan terhormat, akibat habitus jangka panjang yang telah
terbangun dalam sejarah struktural kita. Keberadaan HH di Komisi III yang mitra
kerjanya adalah Kepolisian. Kapolri sejak terpilih sangat ditentukan oleh
Komisi III, walaupun menjadi hak prerogatif Presiden untuk menentukan siapa
yang hendak menjadi Kapolri, tetapi harus mendapatkan persetujuan Komisi III,
apalagi HH adalah representasi partai pemenang pemilu dan partai pengusung Jokowi-JK,
sehingga memiliki wewenang struktural yang kuat untuk berkomunikasi dengan
Kepolisian.
Habitus
yang berkembang dalam strukrutal Komisi III, saat pengajuan anggaran belanja negara untuk
Kepolisian selalu harus mendapatkan persetujuan mitra Komisi III karena fungsi
anggaran (budgeting) yang melekat pada anggota dewan, situasi dari keberadaan institusi Polri ini sangat
berkepentingan dengan Komisi III. Keadaan yang terstruktur ini walaupun tidak
diatur dalam produk UU tetapi sudah meembentuk persepsi, dan representasi dalam
tindakan seorang anggota DPR RI yang berada di Komisi III, habitus ini kemudian
dijalankan oleh HH untuk mengancam AN bahwa akan menghambat karier sang
perwira, bahkan tanpa memikirkan dan mempertimbangkan secara rasional bahwa ini
hanya sebuah kebiasaan (habitus) di lingkungan Komisi III dan bukan produk
hukum dan wewenang anggota dewan terhormat yang diatur dalam UUD. Habitus yang
berlebihan terepresentasi dari HH yang hendak berduel maut dengan AN, seperti
apa yang dikatakan Kleden bahwa sikap ini merupakan ungkapan rekleks yang tidak
dalam koridor sadar untuk mencapai tujuan kesana.
SN
juga menjalankan keberadaan struktural yang dimiliki sebagai sebuah kebiasaan
yang lumrah dan terbiasa dalam arena politik Indonesia, dimana sebagai Ketua
DPR perlu mendapatkan jatah, dengan memberanikan diri meminta jatah saham,
karena tentu dalam realisasinya nanti SN sebagai anggota DPR RI akan ikut bertanggung
jawab dalam penetapan perjanjian kontrak tersebut. Demikian juga dengan CM yang
sejak Orde Baru sudah malang melintang sebagai dewan terhormat sehingga tentu
memiliki habitus, bahwa dipanggil sebagai saksi adalah sebuah hal biasa dan
bukan sebuah perilaku menyimpang. Perilaku yang dijalankan oleh Papa-papa NTT
ini seyogiannya adalah sebuah spekulasi politik untuk meminta-minta guna
mengembalikan modal politik yang sudah banyak dikucurkan saat kampanye,
sehingga melakukan ancaman, melakukan pemerasan. Idealnya adalah sebuah hal
salah menurut etika tetapi menurut kebiasaan (habitus) dalam arena (field)
strutural DPR adalah sebuah kelumrahan.
*Pengamat Sosial - Politik