“JOKOWI ABAIKAN LEVIATHAN DALAM
NATAL”
*Yoyarib Mau
Terobosan baru dalam perayaan Natal
di Indonesia tahun ini ada beberapa hal baru yang di buat oleh Jokowi dalam
kapasitas sebagai presiden Republik Indonesia, hal yang pertama selama
kepemimpinan presiden sebelumnya yang belum pernah dilakukan oleh mereka saat menjelang
hari raya Natal, di halaman Istana Presiden didirikan pohon Natal berukuran
besar dengan sejumlah ornament untuk menghiasi pohon Natal. Tahun ini Jokowi
mengambil langkah berani untuk menjadikan istana sebagai milik semua rakyat,
milik semua umat. Kebijakan yang dilakukan di halaman Istana Presiden ada pohon natal yang berdiri tegak. Terobosan
berikut adalah sejak terpilih sudah dua kali melakukan perayaan Natal Nasional,
tidak lagi dilakukan di gedung mewah yang berpusat di Jakarta, akan tetapi
perayaan Natal Nasional diadakan bergilir dan rutin disejumlah daerah, giliran
perayaan Natal Nasional 2014 dilakukan di Papua, sedangkan tahun ini 2015
dirayakan di NTT.
Kebijakan ini kemudian membangun
sebuah pemahaman yang universal bahwa Jokowi adalah orang baik, pemimpin bagi
semua umat, dan sejumlah sebutan lain yang dilekatkan kepada figure Jokowi, dalam
sambutan Jokowi pada Natal Nasional yang dirayakan Pada tanggal 28 Desember 2015,
menegaskan bahwa keluarga itu tak terbatas pada keluarga inti, ayah ibu dan
anak, tetapi juga keluarga lain dalam kesatuan bangsa Indonesia, dalam kesatuan
umat Tuhan, Natal mengingatkan kita untuk hidup sebagai keluarga. Kita harus
saling tolong-menolong, saling gotong-royong, Kita bersyukur merayakan Natal
dalam satu keluarga Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Dalam sambutan Jokowi
tersebut memberi gambaran bahwa Jokowi adalah Orang baik dan pemimpin yang
berada dan berpihak bagi semua suku dan agama, kebaikan itu akan dilihat
sebagaimana infrastruktur yang dibangun sebagai kado Natal yang dikemas dalam
sejumlah peresmian proyek seperti peresmian terminal Bandara Komodo di Labuan
Bajo - Manggarai Barat, PLTS di Desa Oelpuah - Kupang, dan peletakan batu
pertama Bendungan Rotiklot - Belu.
Apa yang dilakukan Jokowi dalam
rangkaian perayaan Natal tahun ini, apakah
cukup dikategorikan sebagai modal kepemimpinan nasional ? atau ada hal lain
yang terabaikan ? Konteks persoalan
kebangsaan sudah seharusnya final saat kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga dengan sendirinya Bhineka Tunggal Ika sudah menjadi pakem yang tidak
bisa diganggu gugat lagi, sebab kondisi ini justru tidak lagi harus menjadi
pokok cerita dalam sambutan Natal Jokowi. Justru entripoint penting yang harus
ditunjukan Jokowi adalah makna Natal yang sebenarnya dimana hadir seorang
pemimpin baru yang berani melawan sebuah tradisi kekuasaan yang telah dibangun
berabad-abad untuk mengeksploitasi daerah-daerah jajahan, melakukan kelaliman dan
persekongkolan untuk membangun sebuah dinasti kekuasaan, saling membunuh antar
kerabat untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Indonesai jelang natal dan akhir tahun 2015, disuguhkan
dengan pertontonan politik internal eksekutif dan legislatif yang sudah berlangsung
sejak lama sejak orde baru, dimana para penguasa saling berusaha untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi dari berbagai proyek pembangunan, warisan budaya ini tidak dapat dipungkiri
bahwa kekuasaan terlibat dalam sejumlah
proyek, Setya Novanto sebagai Pimpinan DPR menarik Luhut Binsar Panjaitan
sebagai orang dekat RI 1 dalam kasus perpanjangan kontrak kerja Freeport,
dugaan keterlibatan nama Rini Sumarni dalam kasus pengadaan Crane di Pelindo
II. Kasus-kasus ini tidak saja melibatkan para pesohor kekuasaan tetapi
menggiring persepsi publik bahwa negara dalam keadaan darurat korupsi, dimana
sudah terbukti terlibat dari bukti-bukti yang ada tetapi para penguasa masih
bisa berkelit dan membenarkan diri dengan mengabaikan moral dan etika.
Kehadiran Natal dapat dipadankan dengan pemikiran Thomas
Hobbes disuatu sisi Negara harus menempatkan diri dalam posisi leviathan dan
bukan pada posisi berbuat baik dan penuh belas kasihan (charitas) semata,
dengan memberikan sejumlah bantuan sosial kepada masyarkat. Hobbes mengibaratkan
Negara sebagai Leviathan, sejenis monster (makhluk raksasa) yang ganas,
menakutkan dan bengis seperti dalam kisah-kisah lampau dalam Alkitab –
Perjanjian Lama. Keberadaan makhluk raksasa-raksasa ini mengancam keberadaan
makhluk-makhluk lain, keberadaan leviathan tidak hanya ditakuti tetapi dipatuhi
(Ahmad Suhelmi – Gramedia – 2007). Negara dalam hal ini Jokowi harus bersikap
atau menghadirkan rasa takut kepada siapapun yang melanggar hukum Negara (
kehadiran Putra Natal Yesus yang menghadirkan rasa takut bagi Herodes).
Kenyataannya Jokowi tidak mampu menjadi Leviathan sehingga nama Jokowi dicatut
untuk mendapatkan keuntungan ekonomis bagi kelompok tertentu. Menciptakan
perilaku memperkaya diri, menghadirkan ketidakharmonisan, mencuri kedamaian masyarakat, menimbun penderitaan
bagi rakyat yang ditimbulkan oleh sejumlah penguasa yang ada dalam lingkaran
Jokowi.
Jokowi harus hadir sebagai sosok yang ditakuti karena
mengambil peran Leviathan untuk menghadirkan damai sentosa bagi rakyat, karena
arena kekuasaan saat adalah arena koalisi yang masing-masing memiliki niat dan
tujuan merebut kekuasaan, tidak ada teman yang abadi hanyalah kepentingan yang
abadi, begitulah cerminan dari perilaku politik yang tidak beretika. Mungkin
perilaku alamiah kebinatangan yakni “bellum omnium contra omnes” yang berarti semua manusia akan berperang
melawan semua, sehingga adu kuat siapa yang mampu mendominasi kekuasaan melalui
lobi dan penguasaan proyek maka dialah penguasa sejati.
Keadaan ini kemudian tidak harus membuat Jokowi sebagai
orang baik yang penuh belas kasihan harus berdiam diri dan mengabaikan
persoalan ketegasan dalam penegakan hukum, sikap tegas Jokowi sebagai simbol
dari harapan rakyat harus mampu menjadi leviathan dalam menegakan hukum, agar
hukum berfungsi sebagaimana mestinya, sebab daulat rakyat ada dalam tangan
Jokowi, jika sikap ini tidak dilakukan maka bisa saja akan berlaku
terbalik dimana terjadi pembangkangan
politik sebagaimana yang dialami Yesus yang dilakukan Herodes dengan pelakukan
pembunuhan kepada serjumlah anak-anak.
Leviathan selalu dipahami secara negative namun dalam
konteks tertentu yakni penegakan hukum, sebaiknya dipahami sebagai respon sosial
terhadap realitas politik dalam Negara. Jokowi harus mendudukan spirit
leviathan sebagai harapan yang dinantikan untuk menghadirkan damai sejahtera.
Bhineka Tunggal Ika tidak juga hanya sekedar himbauan tetapi butuh sikap, leviathan
melalui doktrinisasi keindonesiaan yang tidak sekedar retorika belaka, tetapi
butuh kebijakan konkrit yang dihadirkan melalui produk hukum. Orang baik bukan
berarti meniadakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang dekat sekalipun,
karena jika dibiarkan maka akan menjadi benalu yang dapat mematikan kebaikan
sejati, walaupun mungkin teks-teks kebenaran agama menautkan bahwa nilai-nilai
kebenaran itu salah satunya adalah memberikan pengampunan, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa prinsip-prinsip kebenaran ini benar dan baik, namun yang perlu
diingat bahwa perilaku pengampunan tidak juga harus menjadi barang murah untuk
terus-menerus diobral, sehingga tepatlah konsep leviathan dibutuhkan dalam
ketegasan menegakan norma hukum yang berlaku, guna mengendalikan kedok-kedok
kekuasaan yang disangat dikuasai nafsu-nafsu hewani.
*Pengamat
Sosial - Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar